A. Rintangan-rintangan
bagi Partisipasi Kaum Miskin
Kaum miskin, baik yang di pedesaan maupun yang di
kota pasti menghadapi rintangan rintangan untuk berpartisipasi. Misalnya di
daerah-daerah pedesaan, petani dan buruh tani termasuk dalam yang memiliki,
menyewa, menggarap atas dasar perjanjian bagi hasil atau dapat memanfaatkan
berdasarkan tradisi komunal lahan yang hampir-hampir tidak mencukupi untuk
menghidupi kebutuhan diri mereka sendiri beserta keluarganya, dan mereka yang
mempunyai lahan lebih kecil atau bahkan tidak mempunyai lahan sama sekali, yang
sebagian besar atau seluruh penghasilannya tergantung pada upah yang mereka peroleh sebagai buruh.
Sedangkan di daerah perkotaan, yang termasuk dalam
golongan miskin itu adalah mereka yang berpendidikan atau berketerampilan
rendah atau yang tidak berpendidikan atau tidak berketerampilan sama sekali,
yang mempunyai pekerjaan yang tidak terjamin dengan upah rendah dan tanpa
kemungkinan untuk memperoleh kedudukan yang lebih baik, dan mereka itu sebagian
besar bekerja pada perusahaan-perusahaan manufaktur dan jasa kecil-kecilan,
atau sebagai pembantu rumah tangga dan tukang jaga, buruh bangunan, kuli angkut
dan muat barang, atau sebagai buruh harian lainnya yang tidak memerlukan
keterampilan. Juga termasuk di dalamnya mereka yang tidak harus hidup pas-pasan
sebagai penjaja kecil-kecilan, sebagai pengumpul dan penjual atau pengelola kembali
barang-barang bekas, sebagai pemberi jasa kecil-kecilan (tukang semir sepatu,
tukang jaga mobil) atau mereka yang melakukan pekerjaan terlarang secara
kecil-kecilan (mencuri, melacurkan diri, minta-minta, membuat tuak, atau yang
semacamnya). Orang-orang semacam itu beserta keluarga mereka mungkin merupakan
lapisan paling bawah yang meliputi 40 atau 50% dari distribusi penghasilan di
kota di kebanyakan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Orang-orang miskin itu biasanya tidak begitu berpartisipasi
di dalam politik oleh karena partisipasi sering kali kelihatannya tidak relevan
dengan urusan mereka yang pokok, atau tidak ada gunanya, atau kedua-duanya.
Bagi banyak orang miskin masalah-masalah yang paling mendesak adalah pekerjaan,
pangan, dan bantuan medis untuk hari ini, hari esok, atau minggu depan.
Diantara negara-negara yang sedang berkembang, hanya negara-negara komunis dan
segelintir diantara negara-negara non-komunis yang lebih maju atau kaya minyak
saja yang mempunyai program-program kesejahteraan atau tunjangan pengangguran
yang cukup berarti.
Program-program pekerjaan umum untuk mengurangi
beban pengangguran lebih lazim namun cenderung bersifat sporadis. Lebih banyak
jumlahnya negara-negara yang menyediakan pelayanan medis secara cuma-cuma,
meskipun fasilitas-fasilitasnya sering sangat tidak memadai. Pada umumnya,
terbatasnya lingkup kegiatan pemerintah yang mempunyai relevansi yang langsung
dengan dengan kaum yang sangat miskin berarti bahwa usaha untuk mengadakan
kontak secara perorangan dengan badan-badan pemerintah tidak relevan dengan
banyak masalah yang mendesak. Dan lebih tidak masuk akal lagi, untuk mengambil
tindakan kolektif bersama-sama dengan orang-orang miskin lainnya dalam upaya
untuk mempengaruhi pemerintah. Yang terjadi adalah bahwa orang-orang miskin
berpaling kepada anggota-anggota keluarga mereka dan kawan-kawan mereka,
pendeta atau pemuka-pemuka agama lainnya, pemilik warung, tuan tanah, guru
sekolah, majikan atau bekas majikan, atau siapa saja yang lebih baik nasibnya
dan dapat membantu mereka.
Tidak saja sifat dari kebanyakan masalah mendesak
yang dihadapi orang-orang miskin, akan tetapi juga ketidak tahuan mereka, dapat
membuat tindakan kelihatannya tidak relevan lagi bagi mereka. Terutama di
daerah-daerah pedesaan, kebanyakan dari mereka mungkin tidak tahu bahwa ada
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program pemerintah. Juga apabila ada
informasi, mereka mungkin tidak menyadari hubungan antara
kepentingan-kepentingan mereka dan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu yang
dijalankan pemerintah, seperti kurs mata uang asing atau insentif-insentif
perpajakan yang mendorong investasi-investasi yang pada modal.
Namun demikian, kaum miskin baik di kota maupun di
pedesaan, mungkin dapat mencari cara-cara lain dimana kebijaksanaan-kebijaksanaan
dan program-program pemerintah Indonesia menyangkut kepentingan-kepentingan
mereka. Akan tetapi, juga dalam hal-hal dimana pemerintah dipandang relevan,
orang-orang miskin cenderung untuk berkesimpulan bahwa upaya-upaya individual dan
kolektif untuk mempengaruhi pemerintah tidak ada gunanya.
Ada beberapa hal yang menyebabkan adanya perasaan
efektifitas yang rendah ini. Pertama,
orang miskin tidak mempunyai sumber-sumber daya untuk berpartisipasi secara
efektif iformasi yang memadai. Kedua,
di lapisan-lapisan berpenghasilan rendah orang sering terbagi-bagi menurut ras,
suku bangsa, agama atau bahasa. Ketiga,
orang miskin cenderung untuk beranggapan bahwa permohonan-permohonan atau
tekanan-tekanan dari pihak mereka dianggap sepi atau ditolak oleh pihak
berwajib.
Rintangan-rintangan bagi partisipasi politik
golongan miskin dapat berwujud bentuk-bentuk yang agak berbeda di daerah-daerah
pedesaan dan perkotaan. Golongan miskin di pedesaan seringkali lebih rawan
terhadap sanksi-sanksi informal jika mereka menuruti kemauan sendiri di bidang
politik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di kota, dimana terdapat jauh
lebih banyak sumber pekerjaan, kredit, bantuan dalam keadaan darurat, dan jasa
perantaraan.
Di kota, hubungan ketergantungan tidak begitu
berpusat atau bersifat pribadi, dan orang miskin di kota mungkin berpendidikan
lebih baik dan mendapat informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan
rekannya di pedesaan. Namun demikian, kegiatan politik yang terorganisasi tetap
merupakan hal yang sangat sulit. Angka pergantian tenaga kerja tinggi, banyak
orang termasuk pembantu rumah tangga dan pegawai perusahaan-perusahaan
manufaktur, reparasi atau jasa yang berukuran kecil, bekerja berhadapan muka
dengan majikan. Keadaan-keadaan seperti itu tidak mendorong pertumbuhan
organisasi atas dasar kepentingan-kepentingan ekonomi bersama.
Bagi kebanyakan orang miskin dalam kondisi-kondisi
yang paling lazim, partisipasi politik baik dulu maupun sekarang secara
obyektif merupakan satu cara yang sulit dan mungkin tidak efektif untuk
menanggulangi masalah-masalah mereka atau untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan mereka.
Hasil-hasil survei mencerminkan, sebagian kecil dari
orang-orang yang berpenghasilan rendah dan berpendidikan sangat rendah, yang
mempunyai minat dalam politik, menganggap politik relevan bagi urusan mereka,
atau merasa bisa ikut mempengaruhi pihak berwajib. Namun demikian,
hambatan-hambatan yang pokok dan ketiadaan rangsangan berakar di dalam
fakta-fakta kehidupan, dan tidak ada di dalam sikap golongan-golongan yang
berpenghasilan rendah itu.
B. Pola-Pola
Partisipasi Kaum Miskin
Suatu sampel acak dari kasus-kasus dimana
golongan-golongan kaum miskin di kota atau pedesaan telah berusaha untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah, atas prakarsa mereka sendiri atau
prakarsa orang lain, akan mencakup banyak sekali ragam bentuk-bentuk dan
kombinasi-kombinasi yang spesifik.
Berikut merupakan klasifikasi pola-pola dari
beberapa partisipasi yang penting oleh golongan-golongan berpenghasilan rendah
:
1. Pola mengadakan kontak
khusus (particularized contracting),
pimpinan dan tujuan-tujuan para pemimpin tidak dapat diterapkan, tujuan para
partisipan berpenghasilan adalah memecahkan masalah-masalah individual yang
spesifik, bentuk tindakannya mengajukan petisi, menyuap.
2. Pola partisipasi yang
dimobilisasikan, pimpinan kepada suku/tetua marga
atau tuan tanah dan lainnya, tujuan para pemimpin adalah melindungi kepentingan
politik dan ekonomi sendiri, tujuan para partisipan berpenghasilan menyenangkan
dan memuaskan pemimpin, bentuk tindakannya memberikan suara seperti
berkampanye.
3. Pola golongan kecil
dengan kepentingan khusus, pimpinanannya adalah
orang-orang setempat yang berpengaruh terhadap penghasilan rendah, tujuan para
pemimpin memecahkan masalah sendiri dan komunitas, tujuan para partisipan
berpenghasilan memperbaiki masalah sendiri dan keadaan komunitas, bentuk
tindakannya kolektif menawarkan suara seluruh kelompok.
4. Pola silang-kelas
(cross-class), pimpinannya politisi kaum elit
atau kelas menengah, tujuan para pemimpin memajukan kepentingan nasionalis,
tujuan partisipan berpenghasilan sama seperti tujuan para pemimpin mereka,
bentuk tindakannya kolektif tapi biasanya menggunakan kekerasan.
5. Pola orientasi kelas
bawah secara besar-besaran, pimpinan kaum elit
atau kelas menengah, tujuan para pemimpin komitmen ideologis terhadap
persaingan politik, tujuan para partisipan berpenghasilan memperbaiki keadaan
materi diri sendiri dan sesama, bentuk tindakannya kolektif yang paling lazim
memberikan suara, berkampanye atau berdemonstrasi.
Dari beberapa pola diatas, pola yang kedua, yakni
mencari kontak yang khusus, sangat jelas dan mudah dibedakan dari yang lainnya.
Sisanya secara konsepsial dapat dibedakan satu sama lain, namun dalam
kenyataannya batas-batas di antara mereka kadang-kadang kabur.
Kemudian akan dijelaskan secara singkat tentang partisipasi
yang dimobilisasikan. Orang-orang miskin di kota dan di pedesaan di
negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia sangat besar
kemungkinannya untuk melakukan partisipasi yang dimobilisasikan dan bukan yang
otonom. Beberapa kategori hubungan pemimpin-pengikut yang berbeda satu sam lain
memberikan satu landasan untuk mobilisasi. Tiga diantaranya yang paling penting
adalah: ikatan antara pemimpin-pemimpin tradisional dan pengikut-pengikut
mereka, hubungan patron klien, dan political machine (alat partai politik). Di
dalam ketiga kategori itu, hubungan antara yang melakukan mobilisasi dan yang
dimobilisasikan cenderung untuk hubungan tatap muka dan seringkali didasarkan
atas manfaat-manfaat yang khusus bagi si pengikut (berbeda dengan hubungan
seorang pemimpin yang kharismatik dengan pengikut-pengikutnya).
Partisipasi yang dimobilisasikan juga mempunyai
efek. Meskipun partisipan-partisipan yang dimobilisasikan tidak pertama-tama
bertujuan untuk mempengaruhi pemerintah, partisipasi mereka mempunyai implikasi
politik juga bagi sikap dan kesejahteraan mereka sendiri dan bagi sistem
politik yang lebih luas.
Ketiga jenis partisipasi yang dimobilisasikan telah
dilukiskan sebagai jembatan untuk mengantarkan golongan-golongan yang tadinya
berpandangan sempit atau tidak menaruh minat terhadap politik (apolitik)
memasuki gelanggang politik modern pada tingkatan dan nasional. Imbauan-imbauan
(yang positif dan negatif) yang digunakan oleh pemimpin-pemimpin yang sudah
dikenal dan dapat dipahami oleh mereka yang pernah mendapatkan pendidikan
sekadarnya atau sudah mempunyai pengalaman politik, terutama bagi mereka yang
tinggal atau yang berasal dari pedesaan. Yang belum ada dan memang
dihalang-halangi oleh pola mobilisasi ini adalah pengertian tentang tindakan
kolektif bersama-sama dengan orang-orang senasib untuk mempengaruhi pemerintah.
Ditambah pula partisipasi yang dimobilisasikan
cenderung untuk mengarahkan perhatian kepada manfaat-manfaat yang konkret dan
dapat dinikmati dengan segera, seperti pekerjaan, beasiswa, fasilitas-fasilitas
umum kecilan dan tidak kepda keputusan-keputusan legislatif atau eksekutif yang
lebih luas yang memberi bentuk kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
program-program.
Apabila pengikut yang dimobilisasikan itu lebih
berpengalaman (sophisticated), ia mungkin akan melihat manfaat-manfaat itu
sebagai hal-hal yang mengalir langsung dari pemerintah, dan tidak dari atau
melalui pemimpin-pemimpinnya. Akan tetapi manfaat-manfaat yang diberikan itu
terbatas jumlahnya, adalah wajar (dan biasanya tepat dalam jangka pendek)
apabila ia menganggap dirinya bersaing dengan orang-orang sesame golongannya
untuk memperoleh manfaat-manfaat yang langka itu sehingga tidak akan terpikir
olehnya untuk berusaha memperbesar persediaan manfaat-manfaat itu melalui
tindakan bersama.
Meskipun lingkup manfaat-manfaat itu terbatas,
ikatan-ikatan patron-klien dan machine politics (alat politik) ternyata telah
membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan kaum miskin yang paling mendesak.
Selanjutnya adalah pola golongan kecil dengan
kepentingan khusus, yang dimaksudkan disini adalah organisasi-organisasi
kepentingan khusus di kalangan orang-orang yang berpenghasilan rendah
mengandung banyak logika dari kegiatan mengadakan kontak khusus.
Manfaat-manfaat yang dicari oleh organisasi-organisasi semacam itu biasanya
bersifat khusus, dianggap sebagai benar-benar berada dalam lingkungan tanggung
jawab pemerintah dan seringkali tidak memerlukan tindak lanjut. Dan organisasi
tersebut seringkali membubarkan diri begitu mereka telah mencapai tujuan
mereka.
Yang berikutnya adalah partisipasi silang-kelas
(cross-class participation) oleh kaum miskin mencerminkan satu campuran antara
mobilisasi, kepentingan materi untuk diri sendiri, dan loyalitas komunal.
Pimpinan politik baik di dalam masyarakat yang terbagi-bagi maupun yang di
dalam masyarakat yang homogen, hampir seluruhnya berada di tangan kelas-kelas
menengah dan atas.
Sesuai dengan definisinya, partisipasi
silang kelas tidak ditujukan kepada kebutuhan-kebutuhan yang hanya terdapat di
kalangan kaum miskin. Namun demikian, orang-orang yang mengorganisasikan
partai-partai atau gerakan-gerakan yang berdasarkan tema-tema silang-kelas
seringkali mengarahkan imbauan mereka kepada golongan-golongan berpenghasilan
rendahbukan saja atas dasar patriotisme yang mempersatukan mereka, tetapi juga
dengan mengemukakan alas an bahwa lawan-lawan atau saingan-saingan mereka tidak
mau mengakui hak golongan mereka atas kesempatan-kesempatan di bidang ekonomi
dan sosial. Partisipasi silang-kelas mungkin lebih mempengaruhi sikap-sikap
politik para partisipan yang miskin daripada kesejahteraan mereka.
Pola-pola diatas tidak hanya berlaku untuk
orang-orang miskin saja, akan tetapi orang-orang miskin lebih kemungkinannya
untuk berpartisipasi dengan pola-pola ini daripada dengan pola-pola yang lain.
Oleh karena itu masing-masing pola sudah dengan sendirinya mengandung suatu
mekanisme untuk menanggulangi rintangan-rintangan yang dihadapi kaum miskin.
Lebih khususnya lagi, setiap pola mecakup cara yang berbeda untuk memperbesar
relevansi dan memperkuat potensi perasaan efektifitas para partisipannya.
Ketiga pola yang melibatkan tindakan kolektif juga mempunyai cara-cara untuk
menanggulangi rintangan-rintangan terhadap kerjasama dan kepercayaan.
Pola mobilisasi sesungguhnya tidak mengatasi
rintangan bagi partisipasi politik, ia hanya memperluas rintangan-rintangan itu
dengan jalan mendefinisikan kembali tujuan tindakan. Apabila si miskin memandang
pemberian suaranya kegiatan kampanye, atau tindakan lainnya sebagai satu cara
untuk melunakkan hati seseorang pemimpin yang ditakuti atau untuk menyatakan
loyalitasnya dan rasa hormatnya terhadap seorang kepala tradisional, pemimipin
agama, atau patron yang ia perlukan, ia tidak perlu memikirkan apakah
pemerintah relevan bagi kebutuhan-kebutuhannya atau apakah tindakannya mungkin
akan mempengaruhi pemerintah. Dengan tindakannya itu ia dapat mencapai
tujuannya dengan segera dan langsung, tidak peduli apa dampaknya terhadap
pemerintah. Oleh karena itu ia bertindak sebagai perorangan, tanpa memikirkan
sesamanya yang miskin, maka tidak timbul soal percaya dan kerjasama diantara
mereka.
Orang-orang miskin seringkali memasuki gelanggang
politik atas dasar persoalan-persoalan atau loyalitas-loyalitas yang memotong
garis-garis batas kelas. Misalnya, kecemasan mengenai inflasi yang melibatkan
orang-orang miskin bersama-sama dengan serikat-serikat buruh dan
kelompok-kelompok kelas menengah bawah.
Bagi orang-orang miskin, persoalan-persoalan atau
loyalitas-loyalitas semacam itu meringankan masalah-masalah relevansi dan
efektifitas karena menggabungkan kepentingan-kepentingan mereka sendiri dengan
kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok yang berkedudukan lebih baik dan
mempunyai pengaruh lebih besar.
Dibandingkan dengan pola-pola partisipasi lainnya,
maka partai-partai, serikat-serikat, atau gerakan-gerakan yang berukuran besar,
yang mencari dukungan dari orang-orang miskin melalui imbauan-imbauan yang
berorientasi kepada kelas, harus melalui upaya-upaya yang lebih eksplisit dan
lebih sadar untuk mengatasi rintangan-rintangan bagi partisipasi. Oleh karena
itu, mereka mencari dukungan yang luas dan yang berlangsung lama, mereka tidak
dapat merasa puas hanya dengan tindakan yang dimobilisasikan sekitar satu
persoalan tunggal yang berlingkup sempit (terkecuali, mungkin, sebagai
permulaan saja). Begitu pula mereka tidak dapat hanya mengandalkan
loyatitas-loyalitas etnik atau hubungan tatap muka suatu kelompok kecil untuk
menciptakan kepercayaan dan suatu kemampuan untuk melakukan tindakan kolektif
(meskipun mereka dapat dan kadang-kadang memang mencoba menggunakan
struktur-struktur sel setempat untuk maksud itu).
Oleh karena itu, mereka harus mencari dukungan
melalui organisasi, pendidikan, penyaringan dan penahapan tujuan-tujuan secara
cerdik, dan perbuatan-perbuatan yang efektif. Dan mereka harus melakukan itu
semua sementara mereka berusaha menanggulangi kepentingan-kepentingan dan
prasangka-prasangka yang berbeda dan kadang-kadang saling bertentangan dari
pemilih-pemilih mereka yang tidak miskin.
Jadi, orang-orang miskin bisa menjadi aktif di
bidang politik melalui berbagai macam saluran untuk mengejar tujuan-tujuan yang
berbeda, menggunakan macam-macam oraganisasi yang berbeda (atau tidak
menggunakan organisasi sama sekali), dan mempunyai implikasi-implikasi yang
sangat berlainan bagi kesejahteraan mereka sendiri dan bagi system politik yang
lebih luas. Ada baiknya kita menjajagi secara lebih rinci lagi kondisi-kondisi
yang menumbuhkan dan membentuk tiap pola serta varian-varian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar