Pages

Oktober 20, 2013

PARTISIPASI POLITIK DI KALANGAN RAKYAT MISKIN


A.    Rintangan-rintangan bagi Partisipasi Kaum Miskin
Kaum miskin, baik yang di pedesaan maupun yang di kota pasti menghadapi rintangan rintangan untuk berpartisipasi. Misalnya di daerah-daerah pedesaan, petani dan buruh tani termasuk dalam yang memiliki, menyewa, menggarap atas dasar perjanjian bagi hasil atau dapat memanfaatkan berdasarkan tradisi komunal lahan yang hampir-hampir tidak mencukupi untuk menghidupi kebutuhan diri mereka sendiri beserta keluarganya, dan mereka yang mempunyai lahan lebih kecil atau bahkan tidak mempunyai lahan sama sekali, yang sebagian besar atau seluruh penghasilannya tergantung pada upah yang mereka  peroleh sebagai buruh.
Sedangkan di daerah perkotaan, yang termasuk dalam golongan miskin itu adalah mereka yang berpendidikan atau berketerampilan rendah atau yang tidak berpendidikan atau tidak berketerampilan sama sekali, yang mempunyai pekerjaan yang tidak terjamin dengan upah rendah dan tanpa kemungkinan untuk memperoleh kedudukan yang lebih baik, dan mereka itu sebagian besar bekerja pada perusahaan-perusahaan manufaktur dan jasa kecil-kecilan, atau sebagai pembantu rumah tangga dan tukang jaga, buruh bangunan, kuli angkut dan muat barang, atau sebagai buruh harian lainnya yang tidak memerlukan keterampilan. Juga termasuk di dalamnya mereka yang tidak harus hidup pas-pasan sebagai penjaja kecil-kecilan, sebagai pengumpul dan penjual atau pengelola kembali barang-barang bekas, sebagai pemberi jasa kecil-kecilan (tukang semir sepatu, tukang jaga mobil) atau mereka yang melakukan pekerjaan terlarang secara kecil-kecilan (mencuri, melacurkan diri, minta-minta, membuat tuak, atau yang semacamnya). Orang-orang semacam itu beserta keluarga mereka mungkin merupakan lapisan paling bawah yang meliputi 40 atau 50% dari distribusi penghasilan di kota di kebanyakan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Orang-orang miskin itu biasanya tidak begitu berpartisipasi di dalam politik oleh karena partisipasi sering kali kelihatannya tidak relevan dengan urusan mereka yang pokok, atau tidak ada gunanya, atau kedua-duanya. Bagi banyak orang miskin masalah-masalah yang paling mendesak adalah pekerjaan, pangan, dan bantuan medis untuk hari ini, hari esok, atau minggu depan. Diantara negara-negara yang sedang berkembang, hanya negara-negara komunis dan segelintir diantara negara-negara non-komunis yang lebih maju atau kaya minyak saja yang mempunyai program-program kesejahteraan atau tunjangan pengangguran yang cukup berarti.
Program-program pekerjaan umum untuk mengurangi beban pengangguran lebih lazim namun cenderung bersifat sporadis. Lebih banyak jumlahnya negara-negara yang menyediakan pelayanan medis secara cuma-cuma, meskipun fasilitas-fasilitasnya sering sangat tidak memadai. Pada umumnya, terbatasnya lingkup kegiatan pemerintah yang mempunyai relevansi yang langsung dengan dengan kaum yang sangat miskin berarti bahwa usaha untuk mengadakan kontak secara perorangan dengan badan-badan pemerintah tidak relevan dengan banyak masalah yang mendesak. Dan lebih tidak masuk akal lagi, untuk mengambil tindakan kolektif bersama-sama dengan orang-orang miskin lainnya dalam upaya untuk mempengaruhi pemerintah. Yang terjadi adalah bahwa orang-orang miskin berpaling kepada anggota-anggota keluarga mereka dan kawan-kawan mereka, pendeta atau pemuka-pemuka agama lainnya, pemilik warung, tuan tanah, guru sekolah, majikan atau bekas majikan, atau siapa saja yang lebih baik nasibnya dan dapat membantu mereka.
Tidak saja sifat dari kebanyakan masalah mendesak yang dihadapi orang-orang miskin, akan tetapi juga ketidak tahuan mereka, dapat membuat tindakan kelihatannya tidak relevan lagi bagi mereka. Terutama di daerah-daerah pedesaan, kebanyakan dari mereka mungkin tidak tahu bahwa ada kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program pemerintah. Juga apabila ada informasi, mereka mungkin tidak menyadari hubungan antara kepentingan-kepentingan mereka dan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu yang dijalankan pemerintah, seperti kurs mata uang asing atau insentif-insentif perpajakan yang mendorong investasi-investasi yang pada modal.
Namun demikian, kaum miskin baik di kota maupun di pedesaan, mungkin dapat mencari cara-cara lain dimana kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program pemerintah Indonesia menyangkut kepentingan-kepentingan mereka. Akan tetapi, juga dalam hal-hal dimana pemerintah dipandang relevan, orang-orang miskin cenderung untuk berkesimpulan bahwa upaya-upaya individual dan kolektif untuk mempengaruhi pemerintah tidak ada gunanya.
Ada beberapa hal yang menyebabkan adanya perasaan efektifitas yang rendah ini. Pertama, orang miskin tidak mempunyai sumber-sumber daya untuk berpartisipasi secara efektif iformasi yang memadai. Kedua, di lapisan-lapisan berpenghasilan rendah orang sering terbagi-bagi menurut ras, suku bangsa, agama atau bahasa. Ketiga, orang miskin cenderung untuk beranggapan bahwa permohonan-permohonan atau tekanan-tekanan dari pihak mereka dianggap sepi atau ditolak oleh pihak berwajib.
Rintangan-rintangan bagi partisipasi politik golongan miskin dapat berwujud bentuk-bentuk yang agak berbeda di daerah-daerah pedesaan dan perkotaan. Golongan miskin di pedesaan seringkali lebih rawan terhadap sanksi-sanksi informal jika mereka menuruti kemauan sendiri di bidang politik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di kota, dimana terdapat jauh lebih banyak sumber pekerjaan, kredit, bantuan dalam keadaan darurat, dan jasa perantaraan.
Di kota, hubungan ketergantungan tidak begitu berpusat atau bersifat pribadi, dan orang miskin di kota mungkin berpendidikan lebih baik dan mendapat informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan rekannya di pedesaan. Namun demikian, kegiatan politik yang terorganisasi tetap merupakan hal yang sangat sulit. Angka pergantian tenaga kerja tinggi, banyak orang termasuk pembantu rumah tangga dan pegawai perusahaan-perusahaan manufaktur, reparasi atau jasa yang berukuran kecil, bekerja berhadapan muka dengan majikan. Keadaan-keadaan seperti itu tidak mendorong pertumbuhan organisasi atas dasar kepentingan-kepentingan ekonomi bersama.
Bagi kebanyakan orang miskin dalam kondisi-kondisi yang paling lazim, partisipasi politik baik dulu maupun sekarang secara obyektif merupakan satu cara yang sulit dan mungkin tidak efektif untuk menanggulangi masalah-masalah mereka atau untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka.
Hasil-hasil survei mencerminkan, sebagian kecil dari orang-orang yang berpenghasilan rendah dan berpendidikan sangat rendah, yang mempunyai minat dalam politik, menganggap politik relevan bagi urusan mereka, atau merasa bisa ikut mempengaruhi pihak berwajib. Namun demikian, hambatan-hambatan yang pokok dan ketiadaan rangsangan berakar di dalam fakta-fakta kehidupan, dan tidak ada di dalam sikap golongan-golongan yang berpenghasilan rendah itu.
B.     Pola-Pola Partisipasi Kaum Miskin
Suatu sampel acak dari kasus-kasus dimana golongan-golongan kaum miskin di kota atau pedesaan telah berusaha untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah, atas prakarsa mereka sendiri atau prakarsa orang lain, akan mencakup banyak sekali ragam bentuk-bentuk dan kombinasi-kombinasi yang spesifik.
Berikut merupakan klasifikasi pola-pola dari beberapa partisipasi yang penting oleh golongan-golongan berpenghasilan rendah :
1.      Pola mengadakan kontak khusus (particularized contracting), pimpinan dan tujuan-tujuan para pemimpin tidak dapat diterapkan, tujuan para partisipan berpenghasilan adalah memecahkan masalah-masalah individual yang spesifik, bentuk tindakannya mengajukan petisi, menyuap.
2.      Pola partisipasi yang dimobilisasikan, pimpinan kepada suku/tetua marga atau tuan tanah dan lainnya, tujuan para pemimpin adalah melindungi kepentingan politik dan ekonomi sendiri, tujuan para partisipan berpenghasilan menyenangkan dan memuaskan pemimpin, bentuk tindakannya memberikan suara seperti berkampanye.
3.      Pola golongan kecil dengan kepentingan khusus, pimpinanannya adalah orang-orang setempat yang berpengaruh terhadap penghasilan rendah, tujuan para pemimpin memecahkan masalah sendiri dan komunitas, tujuan para partisipan berpenghasilan memperbaiki masalah sendiri dan keadaan komunitas, bentuk tindakannya kolektif menawarkan suara seluruh kelompok.
4.      Pola silang-kelas (cross-class), pimpinannya politisi kaum elit atau kelas menengah, tujuan para pemimpin memajukan kepentingan nasionalis, tujuan partisipan berpenghasilan sama seperti tujuan para pemimpin mereka, bentuk tindakannya kolektif tapi biasanya menggunakan kekerasan.
5.      Pola orientasi kelas bawah secara besar-besaran, pimpinan kaum elit atau kelas menengah, tujuan para pemimpin komitmen ideologis terhadap persaingan politik, tujuan para partisipan berpenghasilan memperbaiki keadaan materi diri sendiri dan sesama, bentuk tindakannya kolektif yang paling lazim memberikan suara, berkampanye atau berdemonstrasi.

Dari beberapa pola diatas, pola yang kedua, yakni mencari kontak yang khusus, sangat jelas dan mudah dibedakan dari yang lainnya. Sisanya secara konsepsial dapat dibedakan satu sama lain, namun dalam kenyataannya batas-batas di antara mereka kadang-kadang kabur.
Kemudian akan dijelaskan secara singkat tentang partisipasi yang dimobilisasikan. Orang-orang miskin di kota dan di pedesaan di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia sangat besar kemungkinannya untuk melakukan partisipasi yang dimobilisasikan dan bukan yang otonom. Beberapa kategori hubungan pemimpin-pengikut yang berbeda satu sam lain memberikan satu landasan untuk mobilisasi. Tiga diantaranya yang paling penting adalah: ikatan antara pemimpin-pemimpin tradisional dan pengikut-pengikut mereka, hubungan patron klien, dan political machine (alat partai politik). Di dalam ketiga kategori itu, hubungan antara yang melakukan mobilisasi dan yang dimobilisasikan cenderung untuk hubungan tatap muka dan seringkali didasarkan atas manfaat-manfaat yang khusus bagi si pengikut (berbeda dengan hubungan seorang pemimpin yang kharismatik dengan pengikut-pengikutnya).
Partisipasi yang dimobilisasikan juga mempunyai efek. Meskipun partisipan-partisipan yang dimobilisasikan tidak pertama-tama bertujuan untuk mempengaruhi pemerintah, partisipasi mereka mempunyai implikasi politik juga bagi sikap dan kesejahteraan mereka sendiri dan bagi sistem politik yang lebih luas.
Ketiga jenis partisipasi yang dimobilisasikan telah dilukiskan sebagai jembatan untuk mengantarkan golongan-golongan yang tadinya berpandangan sempit atau tidak menaruh minat terhadap politik (apolitik) memasuki gelanggang politik modern pada tingkatan dan nasional. Imbauan-imbauan (yang positif dan negatif) yang digunakan oleh pemimpin-pemimpin yang sudah dikenal dan dapat dipahami oleh mereka yang pernah mendapatkan pendidikan sekadarnya atau sudah mempunyai pengalaman politik, terutama bagi mereka yang tinggal atau yang berasal dari pedesaan. Yang belum ada dan memang dihalang-halangi oleh pola mobilisasi ini adalah pengertian tentang tindakan kolektif bersama-sama dengan orang-orang senasib untuk mempengaruhi pemerintah.
Ditambah pula partisipasi yang dimobilisasikan cenderung untuk mengarahkan perhatian kepada manfaat-manfaat yang konkret dan dapat dinikmati dengan segera, seperti pekerjaan, beasiswa, fasilitas-fasilitas umum kecilan dan tidak kepda keputusan-keputusan legislatif atau eksekutif yang lebih luas yang memberi bentuk kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program.
Apabila pengikut yang dimobilisasikan itu lebih berpengalaman (sophisticated), ia mungkin akan melihat manfaat-manfaat itu sebagai hal-hal yang mengalir langsung dari pemerintah, dan tidak dari atau melalui pemimpin-pemimpinnya. Akan tetapi manfaat-manfaat yang diberikan itu terbatas jumlahnya, adalah wajar (dan biasanya tepat dalam jangka pendek) apabila ia menganggap dirinya bersaing dengan orang-orang sesame golongannya untuk memperoleh manfaat-manfaat yang langka itu sehingga tidak akan terpikir olehnya untuk berusaha memperbesar persediaan manfaat-manfaat itu melalui tindakan bersama.
Meskipun lingkup manfaat-manfaat itu terbatas, ikatan-ikatan patron-klien dan machine politics (alat politik) ternyata telah membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan kaum miskin yang paling mendesak.
Selanjutnya adalah pola golongan kecil dengan kepentingan khusus, yang dimaksudkan disini adalah organisasi-organisasi kepentingan khusus di kalangan orang-orang yang berpenghasilan rendah mengandung banyak logika dari kegiatan mengadakan kontak khusus. Manfaat-manfaat yang dicari oleh organisasi-organisasi semacam itu biasanya bersifat khusus, dianggap sebagai benar-benar berada dalam lingkungan tanggung jawab pemerintah dan seringkali tidak memerlukan tindak lanjut. Dan organisasi tersebut seringkali membubarkan diri begitu mereka telah mencapai tujuan mereka.
Yang berikutnya adalah partisipasi silang-kelas (cross-class participation) oleh kaum miskin mencerminkan satu campuran antara mobilisasi, kepentingan materi untuk diri sendiri, dan loyalitas komunal. Pimpinan politik baik di dalam masyarakat yang terbagi-bagi maupun yang di dalam masyarakat yang homogen, hampir seluruhnya berada di tangan kelas-kelas menengah dan atas.
Sesuai dengan definisinya, partisipasi silang kelas tidak ditujukan kepada kebutuhan-kebutuhan yang hanya terdapat di kalangan kaum miskin. Namun demikian, orang-orang yang mengorganisasikan partai-partai atau gerakan-gerakan yang berdasarkan tema-tema silang-kelas seringkali mengarahkan imbauan mereka kepada golongan-golongan berpenghasilan rendahbukan saja atas dasar patriotisme yang mempersatukan mereka, tetapi juga dengan mengemukakan alas an bahwa lawan-lawan atau saingan-saingan mereka tidak mau mengakui hak golongan mereka atas kesempatan-kesempatan di bidang ekonomi dan sosial. Partisipasi silang-kelas mungkin lebih mempengaruhi sikap-sikap politik para partisipan yang miskin daripada kesejahteraan mereka.
Pola-pola diatas tidak hanya berlaku untuk orang-orang miskin saja, akan tetapi orang-orang miskin lebih kemungkinannya untuk berpartisipasi dengan pola-pola ini daripada dengan pola-pola yang lain. Oleh karena itu masing-masing pola sudah dengan sendirinya mengandung suatu mekanisme untuk menanggulangi rintangan-rintangan yang dihadapi kaum miskin. Lebih khususnya lagi, setiap pola mecakup cara yang berbeda untuk memperbesar relevansi dan memperkuat potensi perasaan efektifitas para partisipannya. Ketiga pola yang melibatkan tindakan kolektif juga mempunyai cara-cara untuk menanggulangi rintangan-rintangan terhadap kerjasama dan kepercayaan.
Pola mobilisasi sesungguhnya tidak mengatasi rintangan bagi partisipasi politik, ia hanya memperluas rintangan-rintangan itu dengan jalan mendefinisikan kembali tujuan tindakan. Apabila si miskin memandang pemberian suaranya kegiatan kampanye, atau tindakan lainnya sebagai satu cara untuk melunakkan hati seseorang pemimpin yang ditakuti atau untuk menyatakan loyalitasnya dan rasa hormatnya terhadap seorang kepala tradisional, pemimipin agama, atau patron yang ia perlukan, ia tidak perlu memikirkan apakah pemerintah relevan bagi kebutuhan-kebutuhannya atau apakah tindakannya mungkin akan mempengaruhi pemerintah. Dengan tindakannya itu ia dapat mencapai tujuannya dengan segera dan langsung, tidak peduli apa dampaknya terhadap pemerintah. Oleh karena itu ia bertindak sebagai perorangan, tanpa memikirkan sesamanya yang miskin, maka tidak timbul soal percaya dan kerjasama diantara mereka.
Orang-orang miskin seringkali memasuki gelanggang politik atas dasar persoalan-persoalan atau loyalitas-loyalitas yang memotong garis-garis batas kelas. Misalnya, kecemasan mengenai inflasi yang melibatkan orang-orang miskin bersama-sama dengan serikat-serikat buruh dan kelompok-kelompok kelas menengah bawah.
Bagi orang-orang miskin, persoalan-persoalan atau loyalitas-loyalitas semacam itu meringankan masalah-masalah relevansi dan efektifitas karena menggabungkan kepentingan-kepentingan mereka sendiri dengan kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok yang berkedudukan lebih baik dan mempunyai pengaruh lebih besar.
Dibandingkan dengan pola-pola partisipasi lainnya, maka partai-partai, serikat-serikat, atau gerakan-gerakan yang berukuran besar, yang mencari dukungan dari orang-orang miskin melalui imbauan-imbauan yang berorientasi kepada kelas, harus melalui upaya-upaya yang lebih eksplisit dan lebih sadar untuk mengatasi rintangan-rintangan bagi partisipasi. Oleh karena itu, mereka mencari dukungan yang luas dan yang berlangsung lama, mereka tidak dapat merasa puas hanya dengan tindakan yang dimobilisasikan sekitar satu persoalan tunggal yang berlingkup sempit (terkecuali, mungkin, sebagai permulaan saja). Begitu pula mereka tidak dapat hanya mengandalkan loyatitas-loyalitas etnik atau hubungan tatap muka suatu kelompok kecil untuk menciptakan kepercayaan dan suatu kemampuan untuk melakukan tindakan kolektif (meskipun mereka dapat dan kadang-kadang memang mencoba menggunakan struktur-struktur sel setempat untuk maksud itu).
Oleh karena itu, mereka harus mencari dukungan melalui organisasi, pendidikan, penyaringan dan penahapan tujuan-tujuan secara cerdik, dan perbuatan-perbuatan yang efektif. Dan mereka harus melakukan itu semua sementara mereka berusaha menanggulangi kepentingan-kepentingan dan prasangka-prasangka yang berbeda dan kadang-kadang saling bertentangan dari pemilih-pemilih mereka yang tidak miskin.
Jadi, orang-orang miskin bisa menjadi aktif di bidang politik melalui berbagai macam saluran untuk mengejar tujuan-tujuan yang berbeda, menggunakan macam-macam oraganisasi yang berbeda (atau tidak menggunakan organisasi sama sekali), dan mempunyai implikasi-implikasi yang sangat berlainan bagi kesejahteraan mereka sendiri dan bagi system politik yang lebih luas. Ada baiknya kita menjajagi secara lebih rinci lagi kondisi-kondisi yang menumbuhkan dan membentuk tiap pola serta varian-varian.

Tidak ada komentar:

PARTISIPASI POLITIK DI KALANGAN RAKYAT MISKIN


A.    Rintangan-rintangan bagi Partisipasi Kaum Miskin
Kaum miskin, baik yang di pedesaan maupun yang di kota pasti menghadapi rintangan rintangan untuk berpartisipasi. Misalnya di daerah-daerah pedesaan, petani dan buruh tani termasuk dalam yang memiliki, menyewa, menggarap atas dasar perjanjian bagi hasil atau dapat memanfaatkan berdasarkan tradisi komunal lahan yang hampir-hampir tidak mencukupi untuk menghidupi kebutuhan diri mereka sendiri beserta keluarganya, dan mereka yang mempunyai lahan lebih kecil atau bahkan tidak mempunyai lahan sama sekali, yang sebagian besar atau seluruh penghasilannya tergantung pada upah yang mereka  peroleh sebagai buruh.
Sedangkan di daerah perkotaan, yang termasuk dalam golongan miskin itu adalah mereka yang berpendidikan atau berketerampilan rendah atau yang tidak berpendidikan atau tidak berketerampilan sama sekali, yang mempunyai pekerjaan yang tidak terjamin dengan upah rendah dan tanpa kemungkinan untuk memperoleh kedudukan yang lebih baik, dan mereka itu sebagian besar bekerja pada perusahaan-perusahaan manufaktur dan jasa kecil-kecilan, atau sebagai pembantu rumah tangga dan tukang jaga, buruh bangunan, kuli angkut dan muat barang, atau sebagai buruh harian lainnya yang tidak memerlukan keterampilan. Juga termasuk di dalamnya mereka yang tidak harus hidup pas-pasan sebagai penjaja kecil-kecilan, sebagai pengumpul dan penjual atau pengelola kembali barang-barang bekas, sebagai pemberi jasa kecil-kecilan (tukang semir sepatu, tukang jaga mobil) atau mereka yang melakukan pekerjaan terlarang secara kecil-kecilan (mencuri, melacurkan diri, minta-minta, membuat tuak, atau yang semacamnya). Orang-orang semacam itu beserta keluarga mereka mungkin merupakan lapisan paling bawah yang meliputi 40 atau 50% dari distribusi penghasilan di kota di kebanyakan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Orang-orang miskin itu biasanya tidak begitu berpartisipasi di dalam politik oleh karena partisipasi sering kali kelihatannya tidak relevan dengan urusan mereka yang pokok, atau tidak ada gunanya, atau kedua-duanya. Bagi banyak orang miskin masalah-masalah yang paling mendesak adalah pekerjaan, pangan, dan bantuan medis untuk hari ini, hari esok, atau minggu depan. Diantara negara-negara yang sedang berkembang, hanya negara-negara komunis dan segelintir diantara negara-negara non-komunis yang lebih maju atau kaya minyak saja yang mempunyai program-program kesejahteraan atau tunjangan pengangguran yang cukup berarti.
Program-program pekerjaan umum untuk mengurangi beban pengangguran lebih lazim namun cenderung bersifat sporadis. Lebih banyak jumlahnya negara-negara yang menyediakan pelayanan medis secara cuma-cuma, meskipun fasilitas-fasilitasnya sering sangat tidak memadai. Pada umumnya, terbatasnya lingkup kegiatan pemerintah yang mempunyai relevansi yang langsung dengan dengan kaum yang sangat miskin berarti bahwa usaha untuk mengadakan kontak secara perorangan dengan badan-badan pemerintah tidak relevan dengan banyak masalah yang mendesak. Dan lebih tidak masuk akal lagi, untuk mengambil tindakan kolektif bersama-sama dengan orang-orang miskin lainnya dalam upaya untuk mempengaruhi pemerintah. Yang terjadi adalah bahwa orang-orang miskin berpaling kepada anggota-anggota keluarga mereka dan kawan-kawan mereka, pendeta atau pemuka-pemuka agama lainnya, pemilik warung, tuan tanah, guru sekolah, majikan atau bekas majikan, atau siapa saja yang lebih baik nasibnya dan dapat membantu mereka.
Tidak saja sifat dari kebanyakan masalah mendesak yang dihadapi orang-orang miskin, akan tetapi juga ketidak tahuan mereka, dapat membuat tindakan kelihatannya tidak relevan lagi bagi mereka. Terutama di daerah-daerah pedesaan, kebanyakan dari mereka mungkin tidak tahu bahwa ada kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program pemerintah. Juga apabila ada informasi, mereka mungkin tidak menyadari hubungan antara kepentingan-kepentingan mereka dan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu yang dijalankan pemerintah, seperti kurs mata uang asing atau insentif-insentif perpajakan yang mendorong investasi-investasi yang pada modal.
Namun demikian, kaum miskin baik di kota maupun di pedesaan, mungkin dapat mencari cara-cara lain dimana kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program pemerintah Indonesia menyangkut kepentingan-kepentingan mereka. Akan tetapi, juga dalam hal-hal dimana pemerintah dipandang relevan, orang-orang miskin cenderung untuk berkesimpulan bahwa upaya-upaya individual dan kolektif untuk mempengaruhi pemerintah tidak ada gunanya.
Ada beberapa hal yang menyebabkan adanya perasaan efektifitas yang rendah ini. Pertama, orang miskin tidak mempunyai sumber-sumber daya untuk berpartisipasi secara efektif iformasi yang memadai. Kedua, di lapisan-lapisan berpenghasilan rendah orang sering terbagi-bagi menurut ras, suku bangsa, agama atau bahasa. Ketiga, orang miskin cenderung untuk beranggapan bahwa permohonan-permohonan atau tekanan-tekanan dari pihak mereka dianggap sepi atau ditolak oleh pihak berwajib.
Rintangan-rintangan bagi partisipasi politik golongan miskin dapat berwujud bentuk-bentuk yang agak berbeda di daerah-daerah pedesaan dan perkotaan. Golongan miskin di pedesaan seringkali lebih rawan terhadap sanksi-sanksi informal jika mereka menuruti kemauan sendiri di bidang politik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di kota, dimana terdapat jauh lebih banyak sumber pekerjaan, kredit, bantuan dalam keadaan darurat, dan jasa perantaraan.
Di kota, hubungan ketergantungan tidak begitu berpusat atau bersifat pribadi, dan orang miskin di kota mungkin berpendidikan lebih baik dan mendapat informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan rekannya di pedesaan. Namun demikian, kegiatan politik yang terorganisasi tetap merupakan hal yang sangat sulit. Angka pergantian tenaga kerja tinggi, banyak orang termasuk pembantu rumah tangga dan pegawai perusahaan-perusahaan manufaktur, reparasi atau jasa yang berukuran kecil, bekerja berhadapan muka dengan majikan. Keadaan-keadaan seperti itu tidak mendorong pertumbuhan organisasi atas dasar kepentingan-kepentingan ekonomi bersama.
Bagi kebanyakan orang miskin dalam kondisi-kondisi yang paling lazim, partisipasi politik baik dulu maupun sekarang secara obyektif merupakan satu cara yang sulit dan mungkin tidak efektif untuk menanggulangi masalah-masalah mereka atau untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka.
Hasil-hasil survei mencerminkan, sebagian kecil dari orang-orang yang berpenghasilan rendah dan berpendidikan sangat rendah, yang mempunyai minat dalam politik, menganggap politik relevan bagi urusan mereka, atau merasa bisa ikut mempengaruhi pihak berwajib. Namun demikian, hambatan-hambatan yang pokok dan ketiadaan rangsangan berakar di dalam fakta-fakta kehidupan, dan tidak ada di dalam sikap golongan-golongan yang berpenghasilan rendah itu.
B.     Pola-Pola Partisipasi Kaum Miskin
Suatu sampel acak dari kasus-kasus dimana golongan-golongan kaum miskin di kota atau pedesaan telah berusaha untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah, atas prakarsa mereka sendiri atau prakarsa orang lain, akan mencakup banyak sekali ragam bentuk-bentuk dan kombinasi-kombinasi yang spesifik.
Berikut merupakan klasifikasi pola-pola dari beberapa partisipasi yang penting oleh golongan-golongan berpenghasilan rendah :
1.      Pola mengadakan kontak khusus (particularized contracting), pimpinan dan tujuan-tujuan para pemimpin tidak dapat diterapkan, tujuan para partisipan berpenghasilan adalah memecahkan masalah-masalah individual yang spesifik, bentuk tindakannya mengajukan petisi, menyuap.
2.      Pola partisipasi yang dimobilisasikan, pimpinan kepada suku/tetua marga atau tuan tanah dan lainnya, tujuan para pemimpin adalah melindungi kepentingan politik dan ekonomi sendiri, tujuan para partisipan berpenghasilan menyenangkan dan memuaskan pemimpin, bentuk tindakannya memberikan suara seperti berkampanye.
3.      Pola golongan kecil dengan kepentingan khusus, pimpinanannya adalah orang-orang setempat yang berpengaruh terhadap penghasilan rendah, tujuan para pemimpin memecahkan masalah sendiri dan komunitas, tujuan para partisipan berpenghasilan memperbaiki masalah sendiri dan keadaan komunitas, bentuk tindakannya kolektif menawarkan suara seluruh kelompok.
4.      Pola silang-kelas (cross-class), pimpinannya politisi kaum elit atau kelas menengah, tujuan para pemimpin memajukan kepentingan nasionalis, tujuan partisipan berpenghasilan sama seperti tujuan para pemimpin mereka, bentuk tindakannya kolektif tapi biasanya menggunakan kekerasan.
5.      Pola orientasi kelas bawah secara besar-besaran, pimpinan kaum elit atau kelas menengah, tujuan para pemimpin komitmen ideologis terhadap persaingan politik, tujuan para partisipan berpenghasilan memperbaiki keadaan materi diri sendiri dan sesama, bentuk tindakannya kolektif yang paling lazim memberikan suara, berkampanye atau berdemonstrasi.

Dari beberapa pola diatas, pola yang kedua, yakni mencari kontak yang khusus, sangat jelas dan mudah dibedakan dari yang lainnya. Sisanya secara konsepsial dapat dibedakan satu sama lain, namun dalam kenyataannya batas-batas di antara mereka kadang-kadang kabur.
Kemudian akan dijelaskan secara singkat tentang partisipasi yang dimobilisasikan. Orang-orang miskin di kota dan di pedesaan di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia sangat besar kemungkinannya untuk melakukan partisipasi yang dimobilisasikan dan bukan yang otonom. Beberapa kategori hubungan pemimpin-pengikut yang berbeda satu sam lain memberikan satu landasan untuk mobilisasi. Tiga diantaranya yang paling penting adalah: ikatan antara pemimpin-pemimpin tradisional dan pengikut-pengikut mereka, hubungan patron klien, dan political machine (alat partai politik). Di dalam ketiga kategori itu, hubungan antara yang melakukan mobilisasi dan yang dimobilisasikan cenderung untuk hubungan tatap muka dan seringkali didasarkan atas manfaat-manfaat yang khusus bagi si pengikut (berbeda dengan hubungan seorang pemimpin yang kharismatik dengan pengikut-pengikutnya).
Partisipasi yang dimobilisasikan juga mempunyai efek. Meskipun partisipan-partisipan yang dimobilisasikan tidak pertama-tama bertujuan untuk mempengaruhi pemerintah, partisipasi mereka mempunyai implikasi politik juga bagi sikap dan kesejahteraan mereka sendiri dan bagi sistem politik yang lebih luas.
Ketiga jenis partisipasi yang dimobilisasikan telah dilukiskan sebagai jembatan untuk mengantarkan golongan-golongan yang tadinya berpandangan sempit atau tidak menaruh minat terhadap politik (apolitik) memasuki gelanggang politik modern pada tingkatan dan nasional. Imbauan-imbauan (yang positif dan negatif) yang digunakan oleh pemimpin-pemimpin yang sudah dikenal dan dapat dipahami oleh mereka yang pernah mendapatkan pendidikan sekadarnya atau sudah mempunyai pengalaman politik, terutama bagi mereka yang tinggal atau yang berasal dari pedesaan. Yang belum ada dan memang dihalang-halangi oleh pola mobilisasi ini adalah pengertian tentang tindakan kolektif bersama-sama dengan orang-orang senasib untuk mempengaruhi pemerintah.
Ditambah pula partisipasi yang dimobilisasikan cenderung untuk mengarahkan perhatian kepada manfaat-manfaat yang konkret dan dapat dinikmati dengan segera, seperti pekerjaan, beasiswa, fasilitas-fasilitas umum kecilan dan tidak kepda keputusan-keputusan legislatif atau eksekutif yang lebih luas yang memberi bentuk kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program.
Apabila pengikut yang dimobilisasikan itu lebih berpengalaman (sophisticated), ia mungkin akan melihat manfaat-manfaat itu sebagai hal-hal yang mengalir langsung dari pemerintah, dan tidak dari atau melalui pemimpin-pemimpinnya. Akan tetapi manfaat-manfaat yang diberikan itu terbatas jumlahnya, adalah wajar (dan biasanya tepat dalam jangka pendek) apabila ia menganggap dirinya bersaing dengan orang-orang sesame golongannya untuk memperoleh manfaat-manfaat yang langka itu sehingga tidak akan terpikir olehnya untuk berusaha memperbesar persediaan manfaat-manfaat itu melalui tindakan bersama.
Meskipun lingkup manfaat-manfaat itu terbatas, ikatan-ikatan patron-klien dan machine politics (alat politik) ternyata telah membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan kaum miskin yang paling mendesak.
Selanjutnya adalah pola golongan kecil dengan kepentingan khusus, yang dimaksudkan disini adalah organisasi-organisasi kepentingan khusus di kalangan orang-orang yang berpenghasilan rendah mengandung banyak logika dari kegiatan mengadakan kontak khusus. Manfaat-manfaat yang dicari oleh organisasi-organisasi semacam itu biasanya bersifat khusus, dianggap sebagai benar-benar berada dalam lingkungan tanggung jawab pemerintah dan seringkali tidak memerlukan tindak lanjut. Dan organisasi tersebut seringkali membubarkan diri begitu mereka telah mencapai tujuan mereka.
Yang berikutnya adalah partisipasi silang-kelas (cross-class participation) oleh kaum miskin mencerminkan satu campuran antara mobilisasi, kepentingan materi untuk diri sendiri, dan loyalitas komunal. Pimpinan politik baik di dalam masyarakat yang terbagi-bagi maupun yang di dalam masyarakat yang homogen, hampir seluruhnya berada di tangan kelas-kelas menengah dan atas.
Sesuai dengan definisinya, partisipasi silang kelas tidak ditujukan kepada kebutuhan-kebutuhan yang hanya terdapat di kalangan kaum miskin. Namun demikian, orang-orang yang mengorganisasikan partai-partai atau gerakan-gerakan yang berdasarkan tema-tema silang-kelas seringkali mengarahkan imbauan mereka kepada golongan-golongan berpenghasilan rendahbukan saja atas dasar patriotisme yang mempersatukan mereka, tetapi juga dengan mengemukakan alas an bahwa lawan-lawan atau saingan-saingan mereka tidak mau mengakui hak golongan mereka atas kesempatan-kesempatan di bidang ekonomi dan sosial. Partisipasi silang-kelas mungkin lebih mempengaruhi sikap-sikap politik para partisipan yang miskin daripada kesejahteraan mereka.
Pola-pola diatas tidak hanya berlaku untuk orang-orang miskin saja, akan tetapi orang-orang miskin lebih kemungkinannya untuk berpartisipasi dengan pola-pola ini daripada dengan pola-pola yang lain. Oleh karena itu masing-masing pola sudah dengan sendirinya mengandung suatu mekanisme untuk menanggulangi rintangan-rintangan yang dihadapi kaum miskin. Lebih khususnya lagi, setiap pola mecakup cara yang berbeda untuk memperbesar relevansi dan memperkuat potensi perasaan efektifitas para partisipannya. Ketiga pola yang melibatkan tindakan kolektif juga mempunyai cara-cara untuk menanggulangi rintangan-rintangan terhadap kerjasama dan kepercayaan.
Pola mobilisasi sesungguhnya tidak mengatasi rintangan bagi partisipasi politik, ia hanya memperluas rintangan-rintangan itu dengan jalan mendefinisikan kembali tujuan tindakan. Apabila si miskin memandang pemberian suaranya kegiatan kampanye, atau tindakan lainnya sebagai satu cara untuk melunakkan hati seseorang pemimpin yang ditakuti atau untuk menyatakan loyalitasnya dan rasa hormatnya terhadap seorang kepala tradisional, pemimipin agama, atau patron yang ia perlukan, ia tidak perlu memikirkan apakah pemerintah relevan bagi kebutuhan-kebutuhannya atau apakah tindakannya mungkin akan mempengaruhi pemerintah. Dengan tindakannya itu ia dapat mencapai tujuannya dengan segera dan langsung, tidak peduli apa dampaknya terhadap pemerintah. Oleh karena itu ia bertindak sebagai perorangan, tanpa memikirkan sesamanya yang miskin, maka tidak timbul soal percaya dan kerjasama diantara mereka.
Orang-orang miskin seringkali memasuki gelanggang politik atas dasar persoalan-persoalan atau loyalitas-loyalitas yang memotong garis-garis batas kelas. Misalnya, kecemasan mengenai inflasi yang melibatkan orang-orang miskin bersama-sama dengan serikat-serikat buruh dan kelompok-kelompok kelas menengah bawah.
Bagi orang-orang miskin, persoalan-persoalan atau loyalitas-loyalitas semacam itu meringankan masalah-masalah relevansi dan efektifitas karena menggabungkan kepentingan-kepentingan mereka sendiri dengan kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok yang berkedudukan lebih baik dan mempunyai pengaruh lebih besar.
Dibandingkan dengan pola-pola partisipasi lainnya, maka partai-partai, serikat-serikat, atau gerakan-gerakan yang berukuran besar, yang mencari dukungan dari orang-orang miskin melalui imbauan-imbauan yang berorientasi kepada kelas, harus melalui upaya-upaya yang lebih eksplisit dan lebih sadar untuk mengatasi rintangan-rintangan bagi partisipasi. Oleh karena itu, mereka mencari dukungan yang luas dan yang berlangsung lama, mereka tidak dapat merasa puas hanya dengan tindakan yang dimobilisasikan sekitar satu persoalan tunggal yang berlingkup sempit (terkecuali, mungkin, sebagai permulaan saja). Begitu pula mereka tidak dapat hanya mengandalkan loyatitas-loyalitas etnik atau hubungan tatap muka suatu kelompok kecil untuk menciptakan kepercayaan dan suatu kemampuan untuk melakukan tindakan kolektif (meskipun mereka dapat dan kadang-kadang memang mencoba menggunakan struktur-struktur sel setempat untuk maksud itu).
Oleh karena itu, mereka harus mencari dukungan melalui organisasi, pendidikan, penyaringan dan penahapan tujuan-tujuan secara cerdik, dan perbuatan-perbuatan yang efektif. Dan mereka harus melakukan itu semua sementara mereka berusaha menanggulangi kepentingan-kepentingan dan prasangka-prasangka yang berbeda dan kadang-kadang saling bertentangan dari pemilih-pemilih mereka yang tidak miskin.
Jadi, orang-orang miskin bisa menjadi aktif di bidang politik melalui berbagai macam saluran untuk mengejar tujuan-tujuan yang berbeda, menggunakan macam-macam oraganisasi yang berbeda (atau tidak menggunakan organisasi sama sekali), dan mempunyai implikasi-implikasi yang sangat berlainan bagi kesejahteraan mereka sendiri dan bagi system politik yang lebih luas. Ada baiknya kita menjajagi secara lebih rinci lagi kondisi-kondisi yang menumbuhkan dan membentuk tiap pola serta varian-varian.

Tidak ada komentar: