Pages

Maret 30, 2014

PERJUANGAN KEMERDEKAAN NAMIBIA


BAB 2. PEMBAHASAN


2.1    Masa Imperialisme Jerman di Afrika Barat Daya
2.1.1        Letak Geografis
Afrika Barat Daya sebelah barat berbatasan dengan Samudra Atlantik, sebelah timur Bechuana Land, sebelah timur laut rudhesia, sebelah utara Anggola, dan sebelah selatan Afrika Selatan dengan luasnya kira-kira 318.216 mil².
Penduduk bumi putera terdiri dari banyak suku yakni Busman, Damara, Nama, Herero, Ovambo, okavango, dan orang-orang Caprivi. Diantara suku-suku yang terdapat diwilayah Afrika Barat Daya, suku Ovambo adalah suku terbesar jumlahnya hampir seperdua dari jumlah penduduk. Suku yang terdapat di Af rika Barat Daya termasuk suku yang agak maju, tetapi masih tetap hidup dikompleks perumahan suku-suku yang dikelilingi dengan ladang-ladang yang ditanami jagung dan kacang-kacangan dan memelihara ternak. Selain suku tersebut juga terdapat orang-orang kulit putih ialah orang Jerman, orang-orang Barat Daya atau Zudwester semula berasal Afrika Selatan dan orang-orang inggris umumnya sebagai pedagang.

2.1.2        Latar Belakang Imperialisme Jerman di Afrika Barat Daya
Jerman telah datang ke Afrika khususnya wilayah Afrika Barat Daya dengan maksud untuk memperoleh tanah jajaha. Dalam sejarah pembentukan imperium bangsa – bangsa Barat di Afrika, maka para pedagang dan penjelajahlah adalah unsur yang paling berperan. Dimana pada kenyataanya bahwa awalnya para pedagang ini hanya bertujuan untuk mencari keuntungan, sebaliknya para penjelajah pada awalnya hanya mencari dan membuktikan ilmu pengetahuan, tetapi setelah mereka sampai di daerah tujuan,  mereka justru telah tinggal di wilayah tersebut dan bahkan menancapkan bendera bangsanya masing-masing, mengklaim bahwa daerah tersebut dalah daerah kekuasaannya yang seolah-olah telah mereka warisi.
Afrika sesungguhnya juga  mempunyai arti yang penting bagi bangsa –bangsa Barat karena potensi yang sangat strategis khususnya bagi prospek industrialisasi Eropa yang sedang mengalami kemajuan pada abad 19. Salah satu alasan dari Jerman melakukan imperialisasi di daerah Namibia adalah karena potensi kekayaan alamnya seperti tembaga, besi, cadmium, germanium, vanadium, uranium, intan, timah, perak dan seng. Selain itu juga tersedia tenaga kerja yang murah. Berpuluh-puluh juta budak sepanjang sejarah telah diangkut ke Amerika dan Eropa untuk dijadikan tenaga kerja pertambangan, perkebunan dan industri strategis. Selain itu juga karena faktor jumlah penduduknya yang sedikit sudah barang tentu dapat diharapkan menjadi tempat untuk memindahkan penduduk – penduduk Eropa.

2.1.3        Masa Imperialisme Jerman
Afrika Barat Daya (South West Afrika) sebagai daerah jajahan Jerman berlangsung dari tahun 1884 – 1919. Pemerintah berkedudukan di Windhoek. Didaerah sekitar ibu kota tersebut sebelum kedatangan orang-orang kulit putih selalu menjadi daerah rebutan bagi suku Nama dan Herero. Guna melindungi keselamatan pejabat-pejabat Jerman dari serangan suku-suku maka pemerintah menganggap perlu menggunakan tindakan-tindakan militer. Tindakan militer tersebut terutama ditunjukan untuk menjamin tercapainya cita-cita pemerintahan.
Kerja paksa, perampasan harta penduduk pribumi yang sering dilakukan oleh pemerintahan Jerman yang berakibat pada terjadi pemberontakan orang –orang Herero pada tahun 1901-1906. Pemberontakan tersebut dimulai ketika Gubernur Leutwein pergi menuju daerah selatan untuk mengatasi orang – orang Hotentot. Seketika itu orang - orang Herero menyerang dan membunuh pegawai kulit putih. Untuk menghukum orang-orang Herero pemerintah jerman menugaskan jendral Von Troth, seorang Prusia yang tidak kenal rasa belas kasihan untuk menghancurkan kaum pemberontak. Penduduk yang di bunuh di perkirakan mencapai 80.000 orang atau seperempat  atau sepertiga penduduk bumi putera.
Dengan terjadinya pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh pemeerintahan Jerman maka, Maherero kepala suku Herero mengirim surat kepada kepala gubernur yang berisi sebab-sebab sukunya menyerang orang kulit putih. Orang orang Herero menyerang orang-orang kulit putih karena banyak orang orang Herero yang dibunuh oleh orang orang kulit putih terutama pedagang pedagang dengan menggunakan senapan atau mati karena di peenjarakan. Pedagang kulit putih juga melakukan perampasan ternak penduduk dengan alasan mengambil alasan mengambil pembayaran kembali atas uang yang mereka pinjamkan. Akan tetapi mereka bertindak dengan kekerasan mengambil dua atau tiga ternak penduduk untuk pinjaman sebesar satu poundsterling. Akibat pemberontakan pemberontakan itu terdapat perubahan perubahan pada sistem pemerintahan kolonial Jerman, dengan mengurangi kekerasan dan mulai memperhatikan kepentingan rakyat di  tanah jajahannya.

2.2    Afrika Barat Daya Dibawah Uni Afrika Selatan
Sejak tahun 1919 setelah Perang Dunia I, Jerman melepaskan koloni Afrika Barat Daya. Kemudian oleh LBB atau Liga Bangsa Bangsa menunjuk Uni Afrika Selatan sebagai mandataris untuk Afrika Barat Daya. Bekas daerah jajahan Jerman ini dijadikan daerah mandat dengan kategori C, karena tingkat kemajuan penduduknya yang masih sederhana.  Sebagai mandataris, Uni Afrika Selatan di beri hak penuh untuk mengatur daerah mandat tersebut, yang dianggap sebagai bagian yang tidak terpisah dari Uni Afrika Selatan dan di perkenankan untuk menerapkan undang-undang Uni Afrika Selatan di daerah tersebut dan Afrika Selatan dikehendaki untuk membangunkan ekonomi serta keadaan sosial di wilayah tersebut. Dengan demikian daerah koloni itu sudah berada dalam kekuasaan Uni Afrika Selatan.
            Pada tahun 1946 sistem mandat yang diberikan oleh LBB kepada Afrika Selatan  atas nama Namibia diubah menjadi sistem perwalian oleh PBB, akan tetapi Afrika selatan manolak menanandatangani suatu persetujuan perwalian dengan PBB, dengan dalih bahwa PBB tidak berhak mengawasi pemerintahan atas Namibia. Dengan demikian negara tersebut menjadi negara sengketa antara Afrika Selatan dengan PBB.
Penolakan Afrika Selatan pada tahun 1946 untuk menyerahkan Afrika Barat Daya itu menjadi daerah perwalian PBB dan pelaksanaan politik Apherteid disana menyebabkan sidang umum PBB tahun 1966 memutuskan untuk menarik mandat yang diberikan tersebut. daerah yang kini bernama Namibia lalu berada di bawah Dewan PBB untuk Namibia, tetap de facto tetap milik Afrika karena Afrika Selatan menolak putusan PBB tersebut.
Pada tahun 1966 majelis umum PBB menerima resolusi bahwa wilayah Namibia akan diambil alih oleh PBB dari Afrika Selatan dan ditempatkan disuatu dewan yang akan di bentuk. Dewan ini dibentuk deangan nama Dewan Namibia, tetapi Afrika Selatan menolak menyerahkan Namibia kepadanya. Karena bermaksud mempertahankan dan meningkatkannya. Sehubungan dengan itu tidak hanya menentang segala usaha PBB untuk mengambil alih pemerintahan atas wilayah Namibia, tetapi juga menindas gerakan kemerdekaan yang dilancarkan oleh kaumnasionalis Namibia.
Pada pertengahan tahun 1968 Afrika Selatan telah menguasai pertahanan, hubungan luar negeri, kepolisian, pemerintahan rakyat kulit hitam, bea cukai, Imigrasi dan pengangkutan. Tahun berikutnya mengundang South Africa Affair Act yang memberikan kekuasaan kepada Afrika Selatan untuk menguasai pendapatan, perdagangan, industri, pemburuhan, pertambangandan kesehatan. Dengan demikian maka Afrika Barat Daya atau Namibia menjadi profinsi kelima dari Afrika Selatan.
Afrika Selatan dalam menjalankan pemerintahan di Namibia hendak menerapkan polotik Apartheid sperti yang telah dilakukan Ruth First, politik Apartheid juga dilaksanakan secara berangsur-angsur di Afrika Barat Daya. Pada tahun 1964 pemerintah melaksanakan usul-usul yang diajukan oleh komisi ( komisi Odendal), yang dua tahun sebelumnya ditugaskan untuk membatasi aspek-aspek geografis, ekonomis dan politik Apertheid di Afrika Barat Daya. Komisi antara lain mengusulkan pembentukan 10 homeland, 8 diantaranya untuk kulit hitam. Homeland-homeland itu disediakan untuk 39,6%  wilayah bagi kulit hitam dan 44,1% bagi golongan kulit putih dan menurut rencana orang kulit hitam akan di paksa pindah sekitar 28,6%. Dari fakta ini dapar dilihat bagaimana kelompok minoritas yaitu penduduk kulit putih mendapatkan bagian yang lebih besar jika dibandingkan dengan penduduk kulit hitam.
            Pemerintah Afrika Selatan berhasil membentuk tiga Homeland atau Bantustan lengkap dengan dewan legeslatif dan kabinet yaitu Ovamboland (1968), Kavangoland (1970) dan caprivi (1978). Kepala suku Ovamboland sangat aktif mendukung politik pemerintahan dan penindasan terhadap SWAPO yang mereka lihat sebagai ancaman bagi supremasi lokal. Pada tahun 1973 beberapa ratus anggota SWAPO (organisasi rakyat Afrika Barat Daya) dicambuki di depan umum atas perintah kepala-kepala suku karena adanya boikot terhadap pemerintah lokal yang dilakukan oleh SWAPO.
Pada masa pemilihan yang dikawal ketat pada tahu 1975 oleh polisi dantentara sekitar 55% pemilih memberikan suaranya yang merupakan suatu pukulan bagi politik SWAPO. Akan tetapi PBB, atas permintaan dewan keamanan  pada bulan juni 1971 mahkamah internasional mengeluarkan suatu keputusan yang menetapkan kehadiran Afrika Selatan di Namibia tidak sah dan bagi negara untuk menarik pemerintahannya serta mengakhiri pendudukannya. Namun respon yang diberikan oleh pihak Afrika Selatan berupa menindak demostran-demonstran yang dilancarkan di Namibia.
Pada 2 Februari 1972 dewan keamanan menugaskan sekjen PBB Kurt Waldheim untuk menghubungi pihak-pihak yang bersangkutan dan mengusahakan agar rakyat Namibia dapat melaksanakan haknya atas penentuan diri dan kemerdekaan, akan tetapi tidak berhasil. Pada tanggal 11 Desember 1973 dewan keamanan memutuskan untuk menghentikan kontak-kontak serupa dan tidak lama kemudian mengeluarkan resolusi yang mengakui SWAPO sebagai “ Otentik Rakyat Namibia” dan mengangkat Sean Macbride sebagai komisaris tinggi untuk Namibia.



2.3    Proses Perjuangan Bangsa Namibia Dalam Meraih Kemerdekaan
2.3.1        Gerakan Nasional Masyarakat Namibia
a.     OPC (Ovamboland People's Congress)
Pada tahun 1957, beberapa pekerja Namibia di Cape Town membentuk Ovamboland People's Congress (OPC). Pemimpin dan penyelenggara utama kongres adalah Andimba Toivo ya Toivo. Ia bekerja sebagai penambang emas dan seorang pekerja kereta api sementara di Afrika Selatan.
OPC berkampanye atas nama para pekerja migran Namibia. Hal ini memiliki hubungan erat dengan ANC dan juga menerima dukungan dari komunis dan liberal. Toivo ya Toivo mampu mengirim pesan ditempel PBB menginformasikan badan internasional tentang kondisi hidup dan kerja dari para pekerja migran. Rezim Afrika Selatan menanggapi dengan mendeportasi dia kembali ke Namibia, di mana ia melanjutkan kegiatan politiknya.
b.    OPO (Ovamboland People’s Organization)
Pada tahun 1959, Ovamboland People’s Organization (OPO), pendahulu SWAPO dibentuk di Namibia. Meskipun namanya, itu berjuang untuk rakyat seluruh Namibia. Akibatnya, itu adalah OPC itu sendiri yang didirikan di dalam Namibia. Presiden pertama OPO itu Sam Nujoma. OPO ini berkampanye di kalangan pekerja kontrak dan mendirikan cabang di kota-kota, pabrik, tambang dan tempat-tempat lain di seluruh Namibia.
Namun, dalam waktu singkat, para pemimpin OPO menyadari bahwa perdagangan aktivisme serikat tidak cukup untuk membebaskan Namibians dari penindasan Afrika Selatan. Sebuah perubahan politik secara keseluruhan, dengan kata lain, kemerdekaan dari Afrika Selatan, dibutuhkan. Oleh karena itu, mereka bergabung dengan beberapa kelompok yang berpikiran sama untuk membentuk South West Africa People's Organization (SWAPO) pada tanggal 19 April 1960, dengan Nujoma sebagai presiden pertama.
c.     SWASB
South West Africa Student Body (SWASB) dimulai oleh mahasiswa Namibia kembali dari studi mereka di Afrika Selatan.
d.      SWAPA
South West Africa Progressive Association (SWAPA) sebagian besar sebuah organisasi budaya yang menerbitkan surat kabar orang-orang kulit hitam pertama di Namibia, South West Berita. Selanjutnya, pada tahun 1959, SWAPA melahirkan apa yang dapat disebut sebagai partai politik pertama di Namibia, South West Africa National Union (SWANU). Partai ini adalah organisasi radikal sangat menganjurkan kemerdekaan.
Namun, SWANU tidak begitu populer atau luas sebagai SWAPO. Berbasis di Windhoek, keanggotaannya tidak pernah mencapai lebih dari beberapa ratus. Ketika SWAPO melancarkan perjuangan bersenjata mereka pada tahun 1966, SWANU kehilangan banyak anggotanya dan menjadi politis tidak signifikan, meskipun partai tersebut masih aktif di Namibia.
e.     SWAPO
Setelah 1966, perjuangan kemerdekaan Namibia dipimpin oleh South West Africa People's Organization (SWAPO). Pada awal tahun 1970, Majelis Umum PBB menyatakan SWAPO untuk menjadi wakil otentik dari orang Namibia. Segera, SWAPO dinyatakan sebagai satu-satunya wakil otentik orang Namibia. Ini menjadi pengamat atau bahkan anggota penuh dalam organisasi internasional.
 Sebagai wadah kerja sama bangsa Namibia, didirikan oleh kaum nasionalis Namibia pada tahun 1958, guna mengadakan perlawanan terhadap ketidak adilan Afrika Selatan. Pada bulan Oktober 1966, setelah Mahkamah Internasional menolak permintaan Ethiopia dan Liberia, agar mengadili politik Apartheid Afrika Selatan di Namibia, SWAPO memutuskan untuk memulai perjuangan bersenjata, karena jalan damai telah dianggap sia-sia. Gerilyawan-gerilyawan mulai melancarkan aksi-aksi dari pangkalan-pangkalan mereka di Zambia, sehingga terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata dengan pasukan-pasukan keamanan Afrika Selatan.



2.3.2        Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Namibia Dibawah SWAPO
            Perjuangan rakyat Namibia mendapat dukungan dari keputusan mahkamah internasional pada 1971 dan resolusi dewan keamanan pada tahun 1973 sehingga menjadi kuat eksitensinya. Hal itu tampaknya tidak dapat dipisahkan dari konflik antara PBB dengan Afrika Selatan atas wilayah Namibia. Pihak SWAPO mendapat pengakuan sebagai wakil rakyat Namibia yang sah, selain itu juga mendapat dukungan dari presiden Anggola dan izinkan menggunakan pangkalan-pangkalan diwilayahnya. 
Pada tahun 1975 Konvensi Nasional Namibia dibentuk oleh anggota-anggota SWAPO dan pemimpin suku-suku yang progresif menjadi fokus perjuangan nasionalis. Perjuangan Namibia ada dua kubu yakni sayap luar negeri yang menggunakan perjuangan bersenjata dan sayap dalam negeri yang menggunakan perjuangan politik.
                Afrika Selatan dihadapkan pada tekanan-tekanan dari pihak-pihak PBB dan OAU (Organization Of African Unity) yang menuntut angkat kaki dari Namibia dan memberikan kemerdekaannya. Dihadapkan pada seruan Dewan Keamanan PBB pada Desember 1974, agar menyatakan bersedia mematuhi resolusi-resolusi PBB atas Namibia dan putusan Mahkamah Internasional 1971 maka,  pada awal tahun 1975 Afrika Selatan menyatakan bersedia memberikan kemerdekaan kepada Namibia dan mensposori perundingan-perudingan multirasial antara pejabat-pejabat Namibia dan pemimpin- Batistuan tetapi perundingan tidak diikuti oleh SWAPO.
Perundingan dimulai bulan September 1975 di Windhoek dan dikenal sebagai Aliansi Demokrasi Thunhalle. SWAPO memboikot tetapi Clenes Kapuno (pemimpin suku Herero dan pemimpin koalisi politik konvensi nasional Namibia pada tahun 1972 yang pernah berselisih dengan SWAPO).  ikut serta dalam delegasi besar, bersama dengan tujuh delegasi kulit hitam lainnya, satu delegasi kulit putih dan dua delegasi kulit berwarna yang diketuai oleh Dirk Mudge. Konferensi menolak menggunakan kekerasan untuk mengubah tertib yang ada dan memutuskan untuk menentukan hari depan melalui kerjasama. Akan menghormati dan memperjuangkan keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan setiap kelompok. ”Mengingat interdependensi kelompok-kelompok penduduk dan kepentingan-kepentingan seluruh Afrika Barat Daya”, konferensi bermaksud “menciptakan suatu bentuk pemerintahan yang akan menjamin maksimum hak-hak suara setiap kelomopok dalam urusannya sendiri maupun nasional dan keadilan kepada semua”.
            Sidang kedua, diadakan pada bulan nopvember 1975 mengangkat empat komisi masing-masing sebelas orang untuk membahas praktek-praktek diskriminasi rasial. Semua penduduk harus membawa tanda pengenal berupa seragam, untuk pengendalian imigrasi akan menggantikan undang-undang pas yang dibenci rakyat kulit hitam dan akan berlaku suatu rencana pensiun tingkat nasional, gaji minimum dan suatu sistem pendidikan yang sama untuk semua. Selain itu juga akan didirikannya Universitas Multirasial.
Tugas pokok konstitusi yang di tandatangani pada sidang keempat pada bulan Mei 1976. Komisi 33 orang membahas kontitusi yang diajukan oleh Clemens Kapuo pada sidang ketiga menyampaikan laporannya, konferensi menginginkan kata sepakat sebelum tanggal 31 Agustus 1976, yang merupakan batas waktu yang diberikan PBB kepada Afrika Selatan untuk mengumumkan rencana kemerdekaan Namibia. Menjelang berakhirnya batas waktu itu Konferensi mengumumkan bahwa Namibia akan merdeka 31 Desember 1978 dan akan segera dibentuk suatu pemerintahan sementara, untuk menyiapkannya pengumuman itu dimaksudkan untuk menempatkan PBB di depan suatu fait accompli dengan harapan akan kebutuhan uranium dan bahan-bahan mineral yang strategis lainnya memaksa Negara-negara barat untuk mengakuinya pula. Akan tetapi perhitungan tersebut meleset. Akibat dari berlarut-larutnya perbedaan pendapat antara 157 wakil Turnhalle kata sepakat atas rancangan konstitusi tidak kunjung datang karena ada dua kelompok yang saling berselisih yaitu kelompok A H Du Plessiss yang menggantikan Dirk Mudge sebagai ketuadelegasi kulit putih dan delegasi-delegasi Ovambo, Kavango dan Kaprivi yang konservatif di satu pihak dan Dirk Mudge dengan delegasi delegasi Herero, Nama, Rehoboth dan berwarna dilain pihak. Pada pihak pertama menghendaki suatu penyelesaian jenis Bantustan pemerintah federal tidak banyak memiliki kekuasaan besar bagi pemerintah sementara.
            Rencana penyelesaian Turnhalle dicapi kata-kata sepakat mengenai garis-garis besar konstitusi, bahwa Namibia akan mempunyai tiga tingkat pemerintahan yaitu pusat, lokal, dan regional. Dasar kontitusi adalah kesukuan walaupun negara yang di maksud sebagai negara kesatuan.
Rencana Turnhalle juga mendapat perlawanan dari SWAPO. Pada tahun 1976 dalam konverensi internasional di Dakar ketua SWAPO Sam Nujuma menggariskan syarat-syarat SWAPO untuk berunding yaitu pengakuan Afrika Selatan terhadap hak rakyat Namibiaatas kemerdekaan, keutuhan wilayah Namibia, kedudukan SWAPO sebagai satu-satunya wakil sejati rakyat Namibia, penarikan seluruh polisi dan pasukan Afrika Selatan,pembebasan semua tahanan politik Namibia, repraterasi semua orang-orang Namibia yang di asingkan. Bahkan SWAPO mengancam akan meningkatkan suatu perang Gerilya.
            Pada periode April 1977 wakil-wakil lima negara barat yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman Barat dan Kanada mengadakan pertemuan dengan pemerintah Afrika Selatan. Mereka juga mengunjungi Windhoek untuk mendengarkan pendapat SWAPO dan organisasi lain baik yang pro maupun yang kontra dengan Turnhalle. Kelompok itu memperjuangkan dua sasaran pokok yaitu menyakinkan pemerintah Voster agar melepaskan rencana Turnhalle dan membujuk agar disetujui dilaksanakannya pemilihan nasional Namibia dibawah pengawasan PBB sebagai langkah pertama menuju kemerdekaan. Meskipun Afrika Selatan akibat tekanan-tekanan bangsa barat dan PBB telah memberikan konsesi-konsesi yaitu membatalkan pembentukan pemerintah sementara 17 orang dari Kompetensi Turnhalle, namun masih belum basa untuk memecakan sejumlah persoalan yang diajukan oleh SWAPO.
SWAPO berpendapat hukum dan tertib tidak dapat dipelihara oleh pasuka-pasukan Afrika Selatan secara evektif dan bahwa kehadiran mereka akan mencegah kemauan bebas rakyat Namibia. Karena alasan itulah SWAPO menuntut agar seluruh pasukan Afrika Selatan ditarik sebelum pemilihan. Selain itu juga menuntut agar PBB tidak hanya hadir tetapi juga mengawasi pemilihan itu sesuai dengan resolusi-resolusi dewan keamanan khusnya resolusi Januari 1976.
            Usul kompromi negara-negara barat pada tanggal 30 Maret 1978 disampaikan kepada pemerintah Afrika Selatan dan SWAPO, akhirnya pemerintah Afrika Selatan menerima pada tanggal 25 April 1978 perdana menteri Voster mengumumkan bahwa pemerintahannya menerimanya. SWAPO juga mendapat tekanan-tekanan dari negara-negara garis depan untuk menerima kompromi tersebut. Pada awal April 1978 secara mendesak Sam Nujuma di panggil presiden Nyerere untuk membicarakannya. Akhirnya SWAPO juga menerima usul tersebut. Dalam kampanye dewan konstituate Aliansi Deklarasi Turnhalle dan SWAPO akan tampil menjadi dua partai terpenting. Sesuai rencana yang telah di setujui pada tanggal 31 Desember 1978 kekuasaan pemerintah akan diserahkan kepada pemerintah peralihan rakyat, dan Namibia mulai hidup sebagai negara yang merdeka. Sesuai dengan resolusi dewan keamana PBB No.435 September 1978.

2.3.3        Keadaan Ekonomi, Sosial Budaya Namibia
Namibia dalam perjalanan menuju Afrika Barat daya (SWA/South West Africa) sejak awal tahun 1980 an dibebani oleh krisis karena periode musim kering, jatuhnya harga barang mentah, dan karena ketergantungan kuat dari penguasa kolonial Africa Selatan. Luas Namibia yaitu 823.168 km2tanpa teluk walfisch sangat heterogen. Sekitar 1,8 juta penduduk adalah orang Ovambo dengan jumlah setengah juta merupakan kelompok etnis terkuat. Selanjutnya, Kavango (sekitar 110.000), Herero (90.000), Damara (89.000), Khu Khun, Caprivan, buschmann, Rehoboth-Baster, dan Himba sekitar 7% adalah orang kulit putih. Diantaranya adalah 20.000 keturunan Jerman.  Pertambahan penduduk yang tinggi (3,2%), selain pertumbuhan penduduk (44% penduduk berumur kurang dari 15 tahun) juga dikarenakan karena arus pengungsi yang datang dari Angola. Sejak tahun 1978 terlihat arus urbanisasi yang semakin meningkat (tingkat urbanisasi tahun 1985: 51%), ibu kota Windhuk tunbuh dari 36.000 penduduk tahun 1969 menjadi 105.100 penduduk tahun 1983. 
Kekurangan air di tanah yang kering itu membatasi pembangunan pertanian, industri, dan pertambangan. Pertambahan pada tahun 1986 sebesar 83% yang dikuasai perusahaan trans nasional berperan penting dalam ekonomi. Intan, berbagai metal dan uran diekspor terutama ke Eropa Barat dan Afrika Selatan. Produk pertania di berbagai padang rumput (semak belukar) yang ekstensif yang mengancam secara ekologi, penting untuk ekspor (80%-90% dari nilai produksi secara keseluruhan) terutama untuk kesempatan kerja. Karena penangkapan ikan yang terlalu berlebihan di laut yang penuh dengan plankton, penangkapan dan industri perikanan terjebak dalam krisis. Selain itu, Afrika Selatan membangun industri pengolahan sejenis  yang menyainginya. Masalah pembangunan terbesar adalah apherteid struktural. Meskipun ada pencabutan beberapa Undang-Undang apherteid (daerah pemukiman, tempat kerja, merusak keturunan), terus berlangsung ketimpangan etnis dan regional antara orang kulit hitam dan kulit putih, terutama dalam bidang pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Sistim pendidikan yang terbagi tiga (kulit putih, kulit berwarna, dan kulit hitam). Dengan syarat merugikan orang kulit hitam menyebabkan setengah kelompok ini mengalami buta aksara. Pertanian komersil sebagian besar dilakukakan oleh orang kulit putih yang sekitar 40% potensi tenaga kerja melakukan kegiatan ekonomi subsitensi. Sementara diantara kulit putih hampi tidak ada pengangguran sedangkan pengangguran antara kulit berwarna dan kulit hitam sangat nyata, terutama di bagian sebelah utara negara itu. Sementara 1/5 angkatan kerja bekerja sebagai buruh pengembara di Afrika Selatan.

2.3.4        Perjanjian Perdamaian
Setelah prakarsa sekjen PBB Ferez De Cuellar mengadakan perjanjian perdamaian antara Anggola, Afrika Selatan dan SWAPO pada bulan Desember 1988, Afrika Selatan merelakan daerah koloni tersebut. Inti dari perjanjian itu dianaranya memuat :
1)      Pasukan Koba yang terdiri 50.000 prajurit yang di tempatkan di Anggola ditarik kembali.
2)      Anggola akan menghentikan pemberian bantuan kepada gerilyawan SWAPO. Sebagai gantinya Afrika Selatan akan membantu kaum pemberontak di Anggola, dan rela melepaskan Namibia.
3)      Kawasan daerah perbatasan antara Anggola dan Namibia harus di kosongkan. Gerilyawan SWAPO harus mundur ke sebelah utara antara 300 km dari tapal batas, begitu juga serdadu afrika Selatan kearah selatan antara 300km.
            Akan tetapi pada kenyataannya kedua belah pihak saling menuduh telah melakukan penyusupan melanggar daerah perbatasan yang dianggap sebagai sebab terjadinya pertempuran kembali. Pada waktu itu semua menunggu datangnya pasukan PBB. Hal itu terjadi tidak lepas dari kepentigan mereka, terutama bagi Afrika Selatan yang merasa keberatan untuk melepaskan wilayah namibia. Selain Namibia memilii kekayaan alam juga mempunyai arti penting bagi Afrika Selatan sebagai tameng untuk membendung pengaruh komunisme. Berdasarkan hal tersebut kemungkinan yang memancing terjadinya pertempuran adalah inisiatif Afrika Selatan.

2.3.5        Pemilihan Umum Pertama Rakyat Namibia
Peruangan rakyat Namibia secara sah di wakili oleh SWAPO walaupun selalu di hadang oleh Afrika Selatan yang selau mersa berat untuk melepaskan Namibia. Hal ini sampai pada periode pemilihan umun yang berada dibawah pengawasan PBB, dimana PBB mengirimkan tim misi pengawasan dengan jumlah tidak kurang dari 7.000 an orang personil.
            Jumlah panduduk Namibia diantara 1,2 juta atau 1,3 juta jiwa. Dalam pemilihan umum Namibia yang pertama kali akan memilih anggota majelis konstuate yang beranggotakan 72 orang yang mengemban tugas menyusun undang-undang dasar sebagai dasar berdirinya negara Namibia Merdeka. Di Namibia terdiri dari 10 partai tetapi ada dua partai yang terbesar adalah SWAPO yang di pimpin oleh Samuel Shafiishuna Nujuma dan aliansi Demokratik Turhalle (DTA) dipimpin oleh Dirk Mudge.
Pemilihan umum yang pertama ini di menangkan oleh SWAPO dengan memperoleh 41 kursi dan dan DTA memperoleh 21 kursi, dan 10 kursi di duduki oleh lima partai. SWAPO tidak dapat menang mutlak ata tidak bisa mencapai dua pertiga suara yang di perlukan. Tetapi SWAPO berhak menyusun jajaran pemerintahan dan pimpinan SWAPO menjadi presiden pertama. Hasil pemilihan umum yang berada di bawah pengawasan PBB, Afrika Selatan tetap berambisi untuk selaueksis di namibia melalui partai yang di dukungnya seperti DTA kurag berhasil. Dengan demikian Namibia mencapai suatu kemerdekaan pada tanggal 21 Maret 1990 yang dipilihsebagai hari kemerdekaanya.
            Menurut Moses Katjuonguo pimpinan front patriotik nasional tanggal 21 maret di pilih karena merupakan tanggal khusus bagi gerakan Apartheid. Pada tanggal itu 30 tahun yang lalu terjadi pembantaian 69 orang kulit hitam di Sharperville (AFSEL) yang di perintah oleh orang kulit putih, tanggalitu juga telah di tetapkan PBB sebagai hari internasional untuk penghapusan Aphartheid. Upacara kemerdekaan Namibia dihadiri oleh presiden afrika Selatan F W De Klerk, pejabat PBB dan sejumlah negara Afrika. Sebagai Presidennya adalah Samuel Shafiishuna Nojuma.
Kemerdekaan Namibia dapat dicapai oleh rakyat yang di wakili secara sah oleh gerilyawan yang bergabung dalam SWAPO yang mendapat pengakuan dari PBB dan akhirnya dapat memimpin kedaulatan negeri sendiri. 

Sistem Pertanahan Masa Thomas Stamford Raffles



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Setelah Indonesia (khususnya Pulau Jawa) jatuh ke tangan Inggris, Indonesia oleh pemerintah Inggris dijadikan bagian dari jajahannya di India.  Gubernur Jenderal East India Company (EIC), Lord Minto yang berkedudukan di Calcuta (India) kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur (wakil gubernur) untuk Indonesia (Jawa).  Raffles didampingi oleh suatu badan penasihat yang disebut Advisory Council.  Tugas utama Raffles adalah mengatur pemerintahan dan meningkatkan perdagangan, serta keuangan.  Sebagai seorang yang beraliran liberal, Raffles menginginkan adanya perubahan dalam pemerintahan di Indonesia (Jawa).  Selain bidang pemerintahan, ia juga melakukan perubahan di bidang ekonomi.  Ia hendak melaksanakan kebijaksaaan ekonomi yang didasarkan kepada dasar-dasar kebebasan sesuai dengan ajaran liberal.  Langkah-langkah yang diambil oleh Raffles dalam bidang pemerintahan dan ekonomi adalah mengadakan penggantian sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi dengan sistem pemerintahan kolonial ala Barat.  Untuk memudahkan sistem administrasi pemerintahan, Pulau Jawa dibagi menjadi 16 kerasidenan.  Para bupati dijadikan pegawai pemerintah sehingga mereka mendapat gaji dan bukan lagi memiliki tanah dengan segala hasilnya.
Dengan demikian, mereka bukan lagi sebagai penguasa daerah, melainkan sebagai pegawai yang menjalankan tugas atas perintah dari atasannya.  Langkah-langkah selanjutnya yaitu menghapus segala bentuk penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi, kemudian rakyat diberi kebebasan untuk menanam tanaman yang dianggap menguntungkan.  Raffles menganggap bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik semua tanah yang ada di daerah tanah jajahan.  Oleh karena itu, Raffles menganggap para penggarap sawah adalah penyewa tanah pemerintah, sehingga para petani mempunyai kewajiban membayar sewa tanah kepada pemerintah.  Sewa tanah atau landrente ini harus diserahkan sebagai suatu pajak atas pemakaian tanah pemerintah oleh penduduk.  Sistem sewa tanah semacam itu oleh pemerintah Inggris dijadikan pegangan dalam menjalankan kebijaksanaan ekonominya selama berkuasa di Indonesia.  Sistem ini kemudian juga diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda setelah Indonesia diserahkan kembali kepada Belanda.



1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menetapkan beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimanakah awal kedatangan Raffles ke nusantara?
1.2.2. Bagaimanakah masa kepemimpinan Raffles di nusantara?
1.2.3. Bagaimanakah sistem pajak pada masa Raffles?
1.2.4. Mengapa sistem sewa tanah pada masa Raffles mengalami kegagalan?

1.3.       Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui awal kedatangan Raffles ke nusantara
1.3.2. Untuk mengetahui masa kepemimpinan Raffles di nusantara
1.3.3. Untuk mengetahui sistem pajak pada masa Raffles
1.3.4. Untuk mengetahui tujuan penerapan sistem sewa tanah pada masa Raffles
1.3.5. Untuk mengetahui penyebab sistem sewa tanah pada masa Raffles mengalami kegagalan



BAB 2. PEMBAHASAN

2.1.   Awal Kedatangan Raffles ke Nusantara
Raffles adalah seorang yang kurang mempunyai karakter hebat tapi cukup bijaksana untuk memilih reputasi dalam sejarah daripada penghasilan material sesaat (Vlekke, 2008).  Raffles bernama lengkap Thomas Stamford Bringley Raffles lahir 6 Juli 1781 berkewarganegaraan Inggris.  Ia adalah seorang Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang terbesar.  Ayahnya meninggal saat Raffles berusia 15 tahun.  Saat itu juga ia mulai bekerja sebagai pegawai di London untuk perusahan Hindia Timur Britania.  Disini dia memulai studinya atas bahasa, adat istiadat dan sejarah Melayu.  Sejak tahun 1800, blokade Inggris terhadap Belanda semakin memuncak.  Kedudukan Belanda yang ada di luar Jawa (hanya Ambon yang agak kuat) diserang Inggris.  Demikianlah Ambon, Gorontalo, Banda dan Ternate praktis dapat dikuasainya.  Namun keadaan tersebut tidak dengan Jawa.  Rupanya pertahanan masih kuat dan memerlukan perhitungan militer yang lebih serius.  Tetapi keputusan itu belum diambil oleh pucuk pimpinan Inggris di India.  Walaupun demikian, persiapan untuk menyerang Jawa telah dilakukan sejak masa-masa sebelumnya (Dekker, 1993).
Pada tahun 1808 mulai berlangsung suatu zaman baru dalam hubungan Jawa-Eropa.  Negeri Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis sejak tahun 1795.  Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang semakin besar, maka Napoleon Bonaperte mengangkat adiknya, Louis Napoleon sebagai penguasa di negeri Belanda pada tahun 1806.  Pada tahun 1808, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur jenderal (1808-1811) dan untuk memperkuat pertahanan Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera Hindia.  Dalam perjalanannya Daendels tidak membawa pasukan baru bersamanya bahkan memakai bendera Amerika untuk menghindari serangan atau hadangan Inggris di India.  Dengan tidak adanya pasukan yang dibawa dia segera membentuk pasukan yang sebagian besar terdiri atas orang-orang Indonesia berjumlah dari 4000 menjadi 18000 orang.
Tekanan blockade Inggris yang berat terhadap Belanda melumpuhkan export kopi yang merupakan salah satu sumber penghasilan yang besar.  Suasana ekonomi di bawah Daendels yang bersifat revolusioner dan diktaktor ini rusak.  Disamping itu kebencian terhadapnya datang dari semua golongan termasuk orang-orang Eropa sendiri.  Maksudnya memberantas penyelewengan dan korupsi yang menyelimuti administrasi Eropa banyak mengalami kegagalan.  Salah satu contoh tindakan Daendels yang hanya menghasilkan kebencian adalah Ambon masih dipertahankan oleh Belanda dalam ukuran kecil.  Disana ditempatkan seorang kolonel Perancis yang bernama Filz.  Akibat serangan Inggris itu Filz menyerah.  Dia dibebaskan oleh Inggris dan kemudian pergi ke Batavia untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.  Hasilnya malah kolonel kemudian dijatuhi hukuman mati (dengan jalan ditembak), itu merupakan perbuatan yang tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh seorang pemimpin seperti Daendels.  Adapun perlawanan diberbagai tempat terhadap Daendels yang serba keras dari bangsa Indonesia antara lain ialah Banten, Cirebon dan Yogyakarta.
Pada 1811, Thomas Stamford Raffles disertakan dalam rombongan ekspedisi ke tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur di bawah perintah Gubernur Jenderal (di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynyn-mond atau yang lebih dikenal dengan nama Lord Minto, hingga 1817.  Lord Minto menyukai Raffles karena kecerdikanya, keterampilan dan kemampuannya dalam berbahasa Melayu sehingga ia dikirim ke Malaka.  Tidak lama setelah tiba di tanah Jawa pasca Perancis menguasai Kerajaan Belanda, Raffles mengatur ekspedisi melawan militer Belanda di Jawa.  Penyerbuan itu dipimpin oleh Admiral Robert Stopford, Jenderal Watherhall, Kolonel Gillespie dan disamping itu ikut juga Jenderal Auchmuty dimana Kapitulasi Tuntang merupakan pertanda secara resmi mengakhiri riwayat Belanda-Perancis di Indonesia.
Isi dari Kapitulasi Tuntang yang di tanda tangani oleh Auchmuty dari pihak Inggris dan Janssen dari pihak Belanda, pada tanggal 18 September 1811 adalah sebagai berikut:
a.    Seluruh Jawa diserahkan kepada Inggris
b.    Semua serdadu menjadi tawanan dan semua pegawai yang mau kerja sama dengan Inggris dapat memegang jabatan terus
c.    Semua hutang-piutang pemerintah belanda yang dulu, tidak akan ditanggung oleh Inggris

2.2.   Masa Kepemimpinan Raffles di Nusantara
Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara.  Kekuasaan Inggris di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Madura dan Sunda Kecil.  Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal.  Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).  Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia.  Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara teoritis mirip dengan pemikiran Dirk van Hogendorp pada tahun 1799.  Inti dari pemikiran kedua orang tersebut adalah kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintahan hanya berhak menarik pajak tanah dari penggarap.  Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum dan kesadaran baru bahwa baik serikat dagang, terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan memeras masyarakatnya.
Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha.  Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda.  Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang.  Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan pemerintah Belanda.  Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.  Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda mengakibatkan matinya daya usaha rakyat.  Oleh karena itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam dan penggunaan hasil usahanya sendiri.  Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.
Tidak adanya kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda telah mengakibatkan terjadinya kekacauan di berbagai daerah.  Tidak adanya perlindungan hukum untuk para penduduk mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para penguasa pribumi.  Tidak adanya jaminan bagi para petani mengakibatkan hilangnya dorongan untuk maju.  Sesuai pernyataan Hogendorf, ia tidak percaya pendapat orang-orang Eropa tentang kemalasan orang Jawa karena apabila diberi kebebasan menanam dan menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk menghasilkan lebih banyak dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda.  Jika kebebasan dan kepastian hukum dapat diwujudkan, untuk mencapai kemakmuran orang-orang Jawa yang dahulunya tertindas akan dapat berkembang.  Masyarakat pun dengan keinginannya sendiri akan menanam tanaman-tanaman yang diperlukan oleh perdagangan di Eropa.  Semua ini pada akhirnya juga akan menguntungkan bagi perekonomian pihak Inggris.  Stelsel yang diterapkan pemerintah Belanda sangat ditentang oleh Raffles, hal ini dikarenakan munculnya penindasan dan menghilangkan dorongan untuk mengembangkan kerajinan.  Secara makro kondisi ini akan menyebabkan rendahnya pendapatan negara atau negara mengalami kerugian.  Pada hakikatnya pemerintahan Raffles menginginkan terciptanya suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan pemerintah Belanda.  Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sistem sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente.
Dalam usahanya untuk melaksanakan sisten sewa tanah ini Raffles berpegang pada tiga azas, yaitu:
a.    Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam
b.    Pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya tanpa perantara bupati-bupati, yang dikerjakan selanjutnya bagi mereka adalah terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum
c.    Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas
Adanya suatu aparatur pemerintahan yang terdiri dari orang-orang Eropa dan mengesampingkan peranan penguasa pribumi (para bupati).  Menurut Raffles hal ini adalah salah satu tindakan penghapusan feodalisme Jawa.  Para bupati dialih fungsinya menjadi pengawas ketertiban dan tidak boleh ikut dalam pemungutan pajak tanah (landrente).  Tentang persewaan tanah, menurut Raffles pemerintah (gubernemen) sebagai pengganti raja-raja Indonesia merupakan pemilik semua tanah-tanah sehingga dengan demikian mereka boleh menyewakan tanah-tanah tersebut yaitu dengan menuntut sewa tanah berupa pajak tanah maka pendapat negara akan baik.
Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu :
a.    Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto
b.    Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga dari hasil bruto
c.    Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto
Selain menerapkan kebijakan landrente, dalam bidang pemerintahan Thomas Stamford Raffles juga menerapkan kebijakannya melalui :
a.    Membagi tanah Jawa ke dalam 16 kerasidenan
b.    Mengurangi jabatan bupati yang berkuasa
c.    Mengangkat Bupati menjadi pegawai negeri yang digaji
d.   Mempraktekkan sistem yuri dalam pengadilan seperti di Inggris
e.    Melarang adanya perbudakan, membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor
f.     Kesultanan Banten dihapuskan, kedaulatan kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada colonial Inggris

2.3.   Pajak Masa Raffles
Dalam sub-bab ini akan dijelaskan mengenai pajak-pajak khususnya pajak tanah pada masa Raffles yang meliputi pelaksanaan dan sistem pajak tanah, tujuan diterapkannya pajak tanah dan kegagalan sistem pajak tanah.
2.3.1. Pelaksanaan dan Sistem Pajak Tanah pada Masa Raffles
 a. Faham yang Mendasari
Gagasan dan cita-cita Liberal adalah hasil pengaruh dari Revolusi Perancis yang dibawa Sir Thomas Stamford Raffles ke Indonesia yakni prinsip kebebasan, persamaan dan persaudaraan dinilai membawa kehidupan rakyat lebih baik.  Kebebasan, Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi yang bebas dari unsur paksaan, penyerahan wajib dan kerja rodi pada masa VOC.  Raffles ingin memberikan kepastian hukum tentang posisi para petani dan rakyat serta kebebasan berusaha dalam menanam tanaman dan perdagangan.  Menurutnya sistem paksaan masa VOC telah mematikan daya usaha rakyat Indonesia sehingga tidak banyak keuntungan yang diperoleh VOC.  Oleh sebab itu masa Raffles diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman yang dikehendaki.  Selain itu terdapat prinsip persamaan dalam hal ini peranan bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai gantinya mereka dijadikan bagian yang integral dari pemerintah kolonial dengan asas-asas pemerintahan model negeri barat.  Pemusatan pada pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk.  Sedangkan dasar kebijakan Raffles yakni berdasarkan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, para petani sebagai penyewa milik pemerintah.  Untuk penyewaan diwajibkan membayar sewa tanah berupa mata uang yang telah ditentukan, sehingga diharapkan produksi pertanian akan bertambah dengan rangsangan penanaman tanaman perdagangan serta pajak yang diterima oleh pemerintah akan bertambah dan menjamin arus pendapatan Negara yang stabil.  Pengenalan sistem administrasi Eropa yang efektif mengenai kejujuran, ekonomi dan keadilan merupakan dasar perubahan sosial budaya kehidupan masyarakat Jawa dicontohkan menggantikan ikatan adat tradisional dengan ikatan kontrak, dihapuskannya peranan bupati sebagai pemungut pajak, dapat dikatakan dari pemerintahan tidak langsung menjadi pemerintahan langsung.  Raffles dalam melaksanakan cita-citanya tidak melihat situasi dan kondisi Tanah Jawa, secara pandangannya disamakan antara Jawa dengan India.  Hal ini membuat ketidak berhasilan sistem.
b. Pelaksana Sistem Sewa Tanah
Sudah lazim setiap datang penguasa baru, hukum dan peraturan baru pun muncul pula.  Demikian pula dalam pelaksanaannya, terjadi perbedaan-perbedaan dan penyimpangan-penyimpangan, meskipun dalam artikel 5 proklamasi 11 September 1811 telah ditentukan bahwa segala macam kekhawatiran akan terjadinya perubahan besar-besaran akan dihindarkan.  Akan tetapi peraturan-peraturan dasar yang menguntungkan bagi Belanda juga dilanjutkan oleh Inggris.
Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles yang banyak menghinpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris.  Sistem pajak tanah yang diperkenalkan oleh Raffles pada masa ia berkuasa di Indonesia, merupakan salah satu realisasi dari gagasan pembaharuan kaum liberal dalam kebijaksanakan politik di tanah jajahan yang besar pengaruhnya terhadap perubahan masyarakat tanah jajahan pada masa kemudian.  Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford Raffles ini pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai Libertie (kebebasan), Egalitie (persamaan) dan Franternitie (persaudaraan).
Pengenalan sistem pajak tanah yang dilancarkan Raffles, merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuannya tentang sistem sewa tanah di tanah jajahan.  Gagasannya itu timbul dari upayanya untuk memperbaiki sistem paksa dari Kompeni (VOC) yang dianggap memberatkan dan merugikan penduduk.  Menurut Raffles sistem penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi akan memberikan peluang tindakan penindasan dan tidak akan mendorong semangat kerja penduduk, karena itu merugikan pendapatan negara.  Maka dari itu Raffles menghendaki perubahan sistem penyerahan paksa dengan sistem pemungutan pajak tanah yang dianggap akan menguntungkan kedua belah pihak baik negara maupun penduduk.
Dalam pengaturan pajak tanah, Raffles dihadapkan pada pemilihan antara penetapan pajak secara sedesa dan secara perseorangan.  Sebelumnya pengumpulan hasil tanaman terutama dari sawah yaitu beras dilakukan melalui sistem penyerahan wajib melalui penguasa pribumi dan dikenakan secara kesatuan desa.  Dalam hal ini para bupati dan kepala desa memiliki keleluasaan untuk mengaturnya.  Akan tetapi Raffles tidak menyukai cara ini karena penetapan pajak per desa akan mengakibatkan ketergantungan penduduk kepada kemurahan para penguasa pribumi dan penindasan terhadap rakyat tidak dapat dihindarkan, maka dari itu Raffles lebih suka memilih penetapan pajak secara perseorangan karena akan lebih menentukan kepastian hukum dalam bidang perpajakan sekalipun tidak mudah.
Seperti yang telah disebutkan diatas, isi pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal.  Penetapan pajak tanah tersebut didasarkan pada klasifikasi kesuburan tanah masing-masing dan terbagi atas tiga klasifikasi yaitu terbaik (I), sedang (II) dan kurang (III).  Rincian penetapan pajak itu sebagai berikut :
·      Pajak Tanah Sawah :
Golongan           I,          1/2        Hasil Panenan
Golongan           II,         2/5        Hasil Panenan
Golongan           III,        1/3        Hasil Panenan
·      Pajak Tanah Tegal :
Golongan           I,          2/5        Hasil Panenan
Golongan           II,         1/3        Hasil Panenan
Golongan           III,        1/4        Hasil Panenan
Pajak dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi atau beras, yang ditarik secara perseorangan dari penduduk tanah jajahan.  Penarikan pajak dilakukan oleh petugas pemungut pajak.  Pelaksanaan pemungutan pajak tanah dilakukan secara bertahap.  Pertama-tama dilakukan percobaan penetapan pajak per distrik di Banten.  Kemudian pada tahun 1813 dilanjutkan dengan penetapan pajak per desa dan baru pada tahun 1814 diperintahkan untuk dilakukan penetapan pajak secara perseorangan.
Apabila dirinci, terdapat tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak tanah :
v Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern
Pergantian dari sistem pemerintahan-pemerintahan yang tidak langsung yang dulu dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa digantikan dengan pemerintahan modern yang tentu saja lebih mendekati kepada liberal karena Raffles sendiri adalah seorang liberal.  Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi ataupun ditiadakan.  Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa.
v Pelaksanaan pemungutan sewa
Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa.  Dalam mengatur pemungutan ini tiap-tiap kepala desa diberikan kebebasan oleh VOC untuk menentukan berapa besar pajak yang harus dibayarkan oleh tiap-tiap kepala keluarga.  Pada masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.
v Penanaman tanaman dagangan untuk di eksport
Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.  Dua hal yang ingin dicapai oleh Raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah :
Ø Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah
Ø Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi dan keadilan
2.3.2. Tujuan Penerapan Sistem Sewa Tanah
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles mengandung tujuan sebagai berikut :
·      Para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya secara bebas untuk memotovasi mereka agar bekerja lebih giat sehingga kesejahteraannya mejadi lebih baik
·      Daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat membeli barang-barang industri Inggris
·      Pemerintah kolonial mempunyai pemasukan negara secara tetap
·      Memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki petani
·      Secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang menjadi ekonomi uang
Perubahan-perubahan yang terjadi dengan dilaksanakannya sistem sewa tanah, dapat dikatakan revolusioner karena mengandung perubahan azasi, yaitu unsur paksaan yang sebelumnya dialami oleh rakyat, digantikan dengan unsur sukarela antara pemerintah dan rakyat.  Jadi, perubahan ini bukan hanya semata-mata perubahan secara ekonomi, tetapi juga perubahan sosial-budaya yang menggantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal, yaitu digantikannya sistem tradisional yang berdasarkan atas hukum feodal menjadi sistem ekonomi yang didasarkan atas kebebasan.
Secara singkat perubahan tersebut, antara lain sebagai berikut :
·      Unsur paksaan digantikan dengan unsur bebas sukarela
·      Ikatan yang didasarkan pada ikatan tradisional, diubah menjadi hubungan yang berdasarkan perjanjian
·      Ikatan adat-istiadat yang telah turun-temurun menjadi semakin longgar akibat pengaruh barat

2.4.       Kegagalan Sistem Sewa Tanah
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan.  Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia.  Sistem sewa tanah tersebut tidak berjalan lama, hal itu disebabkan beberapa faktor dan mendorong sistem tersebut untuk tumbang kemudian gagal dalam peranannya mengembangkan kejayaan kolonisasi Inggris di Indonesia.
Beberapa faktor kegagalan sistem sewa tanah antara lain ialah :
·      Keuangan negara yang terbatas, memberikan dampak pada minimnya pengembangan pertanian
·      Pegawai-pegawai negara yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh para kalangan pemerinah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut
·      Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris.  Dimana pada abad ke-9, masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.  Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksifitas pertaniannya dalam penjualan ke pasar bebas belum disadari betul
·      Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga motifasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari produksifitas hasil pertanian belum disadari betul
·      Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap dan dapat menurunkan produktifitas hasil pertanian
·      Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup
·      Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah
Secara garis besar kegagalan Raffles dalam sistem sewa tanah di Jawa terkendala akan susunan kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri.  Dimana Raffles memberlakukan sistem yang sama antara India yang lebih maju dalam perekonomiannya pada Indonesia yang masa itu masih cukup sederhana dimana sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat self suffcient.  Dalam pelaksanaannya, sistem pemungutan pajak tanah ini tidak semua dapat dilakukan menurut gagasannya karena banyak menghadapi kesulitan dan hambatan yang timbul dari kondisi di tanah jajahan.  Malahan praktek pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan kericuhan dan penyelewengan.  Belum adanya pengukuran luas tanah yang tepat, kepastian hukum dalam hak milik tanah belum ada, hukum adat masih kuat, penduduk belum mengenal ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan pelaksanaan pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak menimbulkan penyelewengan.  Keinginan Raffles untuk memperbaiki kebijakannya ini terhalang oleh terjadinya perubahan politik di Eropa yang membuatnya terpaksa meninggalkan Indonesia.
Kurang berhasilnya sistem pemungutan pajak tanah yang dilancarkan Raffles menyebabkan pemerintah Belanda yang menerima pengembalian tanah jajahan dari Inggris pada tahun 1816 ragu dalam memilih antara sistem pajak dan sistem paksa.  Dihadapkan tuntutan negeni induk yang mendesak pertimbangan terhadap sistem yang lebih menguntungkan negeri induk cenderung selalu yang dipilih.  Demikian pula yang dihadapi para penguasa kolonial pada masa 1816-1830.
Walaupun Inggris hanya berkuasa singkat namun Raffles meninggalkan karya yang bermanfaat bagi rakyat Indonesia diantaranya menulis buku History of Java, merintis pembuatan Kebun Raya Bogor dan penemuan bunga Bangkai (Rafflesia arnoldi).


BAB 3. KESIMPULAN

3.1.   Simpulan
Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara.  Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).  Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia.  Pada masa Raffles masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam dan penggunaan hasil usahanya sendiri.  Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.  Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sistem sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente.  Selain menerapkan kebijakan landrente, dalam bidang pemerintahan Thomas Stamford Raffles juga menerapkan kebijakannya melalui membagi tanah Jawa ke dalam 16 karesidenan, mengurangi jabatan bupati yang berkuasa, mengangkat Bupati menjadi pegawai negeri yang digaji, mempraktekkan sistem yuri dalam pengadilan seperti di Inggris dan melarang adanya perbudakan, serta membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor.  Isi pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal.
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles mengandung tujuan yaitu diantaranya bagi para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya secara bebas untuk memotivasi mereka agar bekerja lebih giat sehingga kesejahteraannya mejadi lebih baik, daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat membeli barang-barang industri Inggris, Pemerintah kolonial mempunyai pemasukan negara secara tetap, memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki petani, secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang menjadi ekonomi uang.  Akan tetapi Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan.  Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA

1.             Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Depdikbud. 1982.
2.             Ahmad Nashih Luthfi.melacak sejarah pemikiran agraria(sumbangan pemikiran mazhad bogor).Jogyakarta.Pustaka Ifada. 2011.
3.             Kartodirjo, Sartono.  Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium sampai Imporium, Jilid 1. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1995.
4.             M.C.Ricklefs. Cetakan lima. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University. 1995.

PERJUANGAN KEMERDEKAAN NAMIBIA


BAB 2. PEMBAHASAN


2.1    Masa Imperialisme Jerman di Afrika Barat Daya
2.1.1        Letak Geografis
Afrika Barat Daya sebelah barat berbatasan dengan Samudra Atlantik, sebelah timur Bechuana Land, sebelah timur laut rudhesia, sebelah utara Anggola, dan sebelah selatan Afrika Selatan dengan luasnya kira-kira 318.216 mil².
Penduduk bumi putera terdiri dari banyak suku yakni Busman, Damara, Nama, Herero, Ovambo, okavango, dan orang-orang Caprivi. Diantara suku-suku yang terdapat diwilayah Afrika Barat Daya, suku Ovambo adalah suku terbesar jumlahnya hampir seperdua dari jumlah penduduk. Suku yang terdapat di Af rika Barat Daya termasuk suku yang agak maju, tetapi masih tetap hidup dikompleks perumahan suku-suku yang dikelilingi dengan ladang-ladang yang ditanami jagung dan kacang-kacangan dan memelihara ternak. Selain suku tersebut juga terdapat orang-orang kulit putih ialah orang Jerman, orang-orang Barat Daya atau Zudwester semula berasal Afrika Selatan dan orang-orang inggris umumnya sebagai pedagang.

2.1.2        Latar Belakang Imperialisme Jerman di Afrika Barat Daya
Jerman telah datang ke Afrika khususnya wilayah Afrika Barat Daya dengan maksud untuk memperoleh tanah jajaha. Dalam sejarah pembentukan imperium bangsa – bangsa Barat di Afrika, maka para pedagang dan penjelajahlah adalah unsur yang paling berperan. Dimana pada kenyataanya bahwa awalnya para pedagang ini hanya bertujuan untuk mencari keuntungan, sebaliknya para penjelajah pada awalnya hanya mencari dan membuktikan ilmu pengetahuan, tetapi setelah mereka sampai di daerah tujuan,  mereka justru telah tinggal di wilayah tersebut dan bahkan menancapkan bendera bangsanya masing-masing, mengklaim bahwa daerah tersebut dalah daerah kekuasaannya yang seolah-olah telah mereka warisi.
Afrika sesungguhnya juga  mempunyai arti yang penting bagi bangsa –bangsa Barat karena potensi yang sangat strategis khususnya bagi prospek industrialisasi Eropa yang sedang mengalami kemajuan pada abad 19. Salah satu alasan dari Jerman melakukan imperialisasi di daerah Namibia adalah karena potensi kekayaan alamnya seperti tembaga, besi, cadmium, germanium, vanadium, uranium, intan, timah, perak dan seng. Selain itu juga tersedia tenaga kerja yang murah. Berpuluh-puluh juta budak sepanjang sejarah telah diangkut ke Amerika dan Eropa untuk dijadikan tenaga kerja pertambangan, perkebunan dan industri strategis. Selain itu juga karena faktor jumlah penduduknya yang sedikit sudah barang tentu dapat diharapkan menjadi tempat untuk memindahkan penduduk – penduduk Eropa.

2.1.3        Masa Imperialisme Jerman
Afrika Barat Daya (South West Afrika) sebagai daerah jajahan Jerman berlangsung dari tahun 1884 – 1919. Pemerintah berkedudukan di Windhoek. Didaerah sekitar ibu kota tersebut sebelum kedatangan orang-orang kulit putih selalu menjadi daerah rebutan bagi suku Nama dan Herero. Guna melindungi keselamatan pejabat-pejabat Jerman dari serangan suku-suku maka pemerintah menganggap perlu menggunakan tindakan-tindakan militer. Tindakan militer tersebut terutama ditunjukan untuk menjamin tercapainya cita-cita pemerintahan.
Kerja paksa, perampasan harta penduduk pribumi yang sering dilakukan oleh pemerintahan Jerman yang berakibat pada terjadi pemberontakan orang –orang Herero pada tahun 1901-1906. Pemberontakan tersebut dimulai ketika Gubernur Leutwein pergi menuju daerah selatan untuk mengatasi orang – orang Hotentot. Seketika itu orang - orang Herero menyerang dan membunuh pegawai kulit putih. Untuk menghukum orang-orang Herero pemerintah jerman menugaskan jendral Von Troth, seorang Prusia yang tidak kenal rasa belas kasihan untuk menghancurkan kaum pemberontak. Penduduk yang di bunuh di perkirakan mencapai 80.000 orang atau seperempat  atau sepertiga penduduk bumi putera.
Dengan terjadinya pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh pemeerintahan Jerman maka, Maherero kepala suku Herero mengirim surat kepada kepala gubernur yang berisi sebab-sebab sukunya menyerang orang kulit putih. Orang orang Herero menyerang orang-orang kulit putih karena banyak orang orang Herero yang dibunuh oleh orang orang kulit putih terutama pedagang pedagang dengan menggunakan senapan atau mati karena di peenjarakan. Pedagang kulit putih juga melakukan perampasan ternak penduduk dengan alasan mengambil alasan mengambil pembayaran kembali atas uang yang mereka pinjamkan. Akan tetapi mereka bertindak dengan kekerasan mengambil dua atau tiga ternak penduduk untuk pinjaman sebesar satu poundsterling. Akibat pemberontakan pemberontakan itu terdapat perubahan perubahan pada sistem pemerintahan kolonial Jerman, dengan mengurangi kekerasan dan mulai memperhatikan kepentingan rakyat di  tanah jajahannya.

2.2    Afrika Barat Daya Dibawah Uni Afrika Selatan
Sejak tahun 1919 setelah Perang Dunia I, Jerman melepaskan koloni Afrika Barat Daya. Kemudian oleh LBB atau Liga Bangsa Bangsa menunjuk Uni Afrika Selatan sebagai mandataris untuk Afrika Barat Daya. Bekas daerah jajahan Jerman ini dijadikan daerah mandat dengan kategori C, karena tingkat kemajuan penduduknya yang masih sederhana.  Sebagai mandataris, Uni Afrika Selatan di beri hak penuh untuk mengatur daerah mandat tersebut, yang dianggap sebagai bagian yang tidak terpisah dari Uni Afrika Selatan dan di perkenankan untuk menerapkan undang-undang Uni Afrika Selatan di daerah tersebut dan Afrika Selatan dikehendaki untuk membangunkan ekonomi serta keadaan sosial di wilayah tersebut. Dengan demikian daerah koloni itu sudah berada dalam kekuasaan Uni Afrika Selatan.
            Pada tahun 1946 sistem mandat yang diberikan oleh LBB kepada Afrika Selatan  atas nama Namibia diubah menjadi sistem perwalian oleh PBB, akan tetapi Afrika selatan manolak menanandatangani suatu persetujuan perwalian dengan PBB, dengan dalih bahwa PBB tidak berhak mengawasi pemerintahan atas Namibia. Dengan demikian negara tersebut menjadi negara sengketa antara Afrika Selatan dengan PBB.
Penolakan Afrika Selatan pada tahun 1946 untuk menyerahkan Afrika Barat Daya itu menjadi daerah perwalian PBB dan pelaksanaan politik Apherteid disana menyebabkan sidang umum PBB tahun 1966 memutuskan untuk menarik mandat yang diberikan tersebut. daerah yang kini bernama Namibia lalu berada di bawah Dewan PBB untuk Namibia, tetap de facto tetap milik Afrika karena Afrika Selatan menolak putusan PBB tersebut.
Pada tahun 1966 majelis umum PBB menerima resolusi bahwa wilayah Namibia akan diambil alih oleh PBB dari Afrika Selatan dan ditempatkan disuatu dewan yang akan di bentuk. Dewan ini dibentuk deangan nama Dewan Namibia, tetapi Afrika Selatan menolak menyerahkan Namibia kepadanya. Karena bermaksud mempertahankan dan meningkatkannya. Sehubungan dengan itu tidak hanya menentang segala usaha PBB untuk mengambil alih pemerintahan atas wilayah Namibia, tetapi juga menindas gerakan kemerdekaan yang dilancarkan oleh kaumnasionalis Namibia.
Pada pertengahan tahun 1968 Afrika Selatan telah menguasai pertahanan, hubungan luar negeri, kepolisian, pemerintahan rakyat kulit hitam, bea cukai, Imigrasi dan pengangkutan. Tahun berikutnya mengundang South Africa Affair Act yang memberikan kekuasaan kepada Afrika Selatan untuk menguasai pendapatan, perdagangan, industri, pemburuhan, pertambangandan kesehatan. Dengan demikian maka Afrika Barat Daya atau Namibia menjadi profinsi kelima dari Afrika Selatan.
Afrika Selatan dalam menjalankan pemerintahan di Namibia hendak menerapkan polotik Apartheid sperti yang telah dilakukan Ruth First, politik Apartheid juga dilaksanakan secara berangsur-angsur di Afrika Barat Daya. Pada tahun 1964 pemerintah melaksanakan usul-usul yang diajukan oleh komisi ( komisi Odendal), yang dua tahun sebelumnya ditugaskan untuk membatasi aspek-aspek geografis, ekonomis dan politik Apertheid di Afrika Barat Daya. Komisi antara lain mengusulkan pembentukan 10 homeland, 8 diantaranya untuk kulit hitam. Homeland-homeland itu disediakan untuk 39,6%  wilayah bagi kulit hitam dan 44,1% bagi golongan kulit putih dan menurut rencana orang kulit hitam akan di paksa pindah sekitar 28,6%. Dari fakta ini dapar dilihat bagaimana kelompok minoritas yaitu penduduk kulit putih mendapatkan bagian yang lebih besar jika dibandingkan dengan penduduk kulit hitam.
            Pemerintah Afrika Selatan berhasil membentuk tiga Homeland atau Bantustan lengkap dengan dewan legeslatif dan kabinet yaitu Ovamboland (1968), Kavangoland (1970) dan caprivi (1978). Kepala suku Ovamboland sangat aktif mendukung politik pemerintahan dan penindasan terhadap SWAPO yang mereka lihat sebagai ancaman bagi supremasi lokal. Pada tahun 1973 beberapa ratus anggota SWAPO (organisasi rakyat Afrika Barat Daya) dicambuki di depan umum atas perintah kepala-kepala suku karena adanya boikot terhadap pemerintah lokal yang dilakukan oleh SWAPO.
Pada masa pemilihan yang dikawal ketat pada tahu 1975 oleh polisi dantentara sekitar 55% pemilih memberikan suaranya yang merupakan suatu pukulan bagi politik SWAPO. Akan tetapi PBB, atas permintaan dewan keamanan  pada bulan juni 1971 mahkamah internasional mengeluarkan suatu keputusan yang menetapkan kehadiran Afrika Selatan di Namibia tidak sah dan bagi negara untuk menarik pemerintahannya serta mengakhiri pendudukannya. Namun respon yang diberikan oleh pihak Afrika Selatan berupa menindak demostran-demonstran yang dilancarkan di Namibia.
Pada 2 Februari 1972 dewan keamanan menugaskan sekjen PBB Kurt Waldheim untuk menghubungi pihak-pihak yang bersangkutan dan mengusahakan agar rakyat Namibia dapat melaksanakan haknya atas penentuan diri dan kemerdekaan, akan tetapi tidak berhasil. Pada tanggal 11 Desember 1973 dewan keamanan memutuskan untuk menghentikan kontak-kontak serupa dan tidak lama kemudian mengeluarkan resolusi yang mengakui SWAPO sebagai “ Otentik Rakyat Namibia” dan mengangkat Sean Macbride sebagai komisaris tinggi untuk Namibia.



2.3    Proses Perjuangan Bangsa Namibia Dalam Meraih Kemerdekaan
2.3.1        Gerakan Nasional Masyarakat Namibia
a.     OPC (Ovamboland People's Congress)
Pada tahun 1957, beberapa pekerja Namibia di Cape Town membentuk Ovamboland People's Congress (OPC). Pemimpin dan penyelenggara utama kongres adalah Andimba Toivo ya Toivo. Ia bekerja sebagai penambang emas dan seorang pekerja kereta api sementara di Afrika Selatan.
OPC berkampanye atas nama para pekerja migran Namibia. Hal ini memiliki hubungan erat dengan ANC dan juga menerima dukungan dari komunis dan liberal. Toivo ya Toivo mampu mengirim pesan ditempel PBB menginformasikan badan internasional tentang kondisi hidup dan kerja dari para pekerja migran. Rezim Afrika Selatan menanggapi dengan mendeportasi dia kembali ke Namibia, di mana ia melanjutkan kegiatan politiknya.
b.    OPO (Ovamboland People’s Organization)
Pada tahun 1959, Ovamboland People’s Organization (OPO), pendahulu SWAPO dibentuk di Namibia. Meskipun namanya, itu berjuang untuk rakyat seluruh Namibia. Akibatnya, itu adalah OPC itu sendiri yang didirikan di dalam Namibia. Presiden pertama OPO itu Sam Nujoma. OPO ini berkampanye di kalangan pekerja kontrak dan mendirikan cabang di kota-kota, pabrik, tambang dan tempat-tempat lain di seluruh Namibia.
Namun, dalam waktu singkat, para pemimpin OPO menyadari bahwa perdagangan aktivisme serikat tidak cukup untuk membebaskan Namibians dari penindasan Afrika Selatan. Sebuah perubahan politik secara keseluruhan, dengan kata lain, kemerdekaan dari Afrika Selatan, dibutuhkan. Oleh karena itu, mereka bergabung dengan beberapa kelompok yang berpikiran sama untuk membentuk South West Africa People's Organization (SWAPO) pada tanggal 19 April 1960, dengan Nujoma sebagai presiden pertama.
c.     SWASB
South West Africa Student Body (SWASB) dimulai oleh mahasiswa Namibia kembali dari studi mereka di Afrika Selatan.
d.      SWAPA
South West Africa Progressive Association (SWAPA) sebagian besar sebuah organisasi budaya yang menerbitkan surat kabar orang-orang kulit hitam pertama di Namibia, South West Berita. Selanjutnya, pada tahun 1959, SWAPA melahirkan apa yang dapat disebut sebagai partai politik pertama di Namibia, South West Africa National Union (SWANU). Partai ini adalah organisasi radikal sangat menganjurkan kemerdekaan.
Namun, SWANU tidak begitu populer atau luas sebagai SWAPO. Berbasis di Windhoek, keanggotaannya tidak pernah mencapai lebih dari beberapa ratus. Ketika SWAPO melancarkan perjuangan bersenjata mereka pada tahun 1966, SWANU kehilangan banyak anggotanya dan menjadi politis tidak signifikan, meskipun partai tersebut masih aktif di Namibia.
e.     SWAPO
Setelah 1966, perjuangan kemerdekaan Namibia dipimpin oleh South West Africa People's Organization (SWAPO). Pada awal tahun 1970, Majelis Umum PBB menyatakan SWAPO untuk menjadi wakil otentik dari orang Namibia. Segera, SWAPO dinyatakan sebagai satu-satunya wakil otentik orang Namibia. Ini menjadi pengamat atau bahkan anggota penuh dalam organisasi internasional.
 Sebagai wadah kerja sama bangsa Namibia, didirikan oleh kaum nasionalis Namibia pada tahun 1958, guna mengadakan perlawanan terhadap ketidak adilan Afrika Selatan. Pada bulan Oktober 1966, setelah Mahkamah Internasional menolak permintaan Ethiopia dan Liberia, agar mengadili politik Apartheid Afrika Selatan di Namibia, SWAPO memutuskan untuk memulai perjuangan bersenjata, karena jalan damai telah dianggap sia-sia. Gerilyawan-gerilyawan mulai melancarkan aksi-aksi dari pangkalan-pangkalan mereka di Zambia, sehingga terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata dengan pasukan-pasukan keamanan Afrika Selatan.



2.3.2        Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Namibia Dibawah SWAPO
            Perjuangan rakyat Namibia mendapat dukungan dari keputusan mahkamah internasional pada 1971 dan resolusi dewan keamanan pada tahun 1973 sehingga menjadi kuat eksitensinya. Hal itu tampaknya tidak dapat dipisahkan dari konflik antara PBB dengan Afrika Selatan atas wilayah Namibia. Pihak SWAPO mendapat pengakuan sebagai wakil rakyat Namibia yang sah, selain itu juga mendapat dukungan dari presiden Anggola dan izinkan menggunakan pangkalan-pangkalan diwilayahnya. 
Pada tahun 1975 Konvensi Nasional Namibia dibentuk oleh anggota-anggota SWAPO dan pemimpin suku-suku yang progresif menjadi fokus perjuangan nasionalis. Perjuangan Namibia ada dua kubu yakni sayap luar negeri yang menggunakan perjuangan bersenjata dan sayap dalam negeri yang menggunakan perjuangan politik.
                Afrika Selatan dihadapkan pada tekanan-tekanan dari pihak-pihak PBB dan OAU (Organization Of African Unity) yang menuntut angkat kaki dari Namibia dan memberikan kemerdekaannya. Dihadapkan pada seruan Dewan Keamanan PBB pada Desember 1974, agar menyatakan bersedia mematuhi resolusi-resolusi PBB atas Namibia dan putusan Mahkamah Internasional 1971 maka,  pada awal tahun 1975 Afrika Selatan menyatakan bersedia memberikan kemerdekaan kepada Namibia dan mensposori perundingan-perudingan multirasial antara pejabat-pejabat Namibia dan pemimpin- Batistuan tetapi perundingan tidak diikuti oleh SWAPO.
Perundingan dimulai bulan September 1975 di Windhoek dan dikenal sebagai Aliansi Demokrasi Thunhalle. SWAPO memboikot tetapi Clenes Kapuno (pemimpin suku Herero dan pemimpin koalisi politik konvensi nasional Namibia pada tahun 1972 yang pernah berselisih dengan SWAPO).  ikut serta dalam delegasi besar, bersama dengan tujuh delegasi kulit hitam lainnya, satu delegasi kulit putih dan dua delegasi kulit berwarna yang diketuai oleh Dirk Mudge. Konferensi menolak menggunakan kekerasan untuk mengubah tertib yang ada dan memutuskan untuk menentukan hari depan melalui kerjasama. Akan menghormati dan memperjuangkan keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan setiap kelompok. ”Mengingat interdependensi kelompok-kelompok penduduk dan kepentingan-kepentingan seluruh Afrika Barat Daya”, konferensi bermaksud “menciptakan suatu bentuk pemerintahan yang akan menjamin maksimum hak-hak suara setiap kelomopok dalam urusannya sendiri maupun nasional dan keadilan kepada semua”.
            Sidang kedua, diadakan pada bulan nopvember 1975 mengangkat empat komisi masing-masing sebelas orang untuk membahas praktek-praktek diskriminasi rasial. Semua penduduk harus membawa tanda pengenal berupa seragam, untuk pengendalian imigrasi akan menggantikan undang-undang pas yang dibenci rakyat kulit hitam dan akan berlaku suatu rencana pensiun tingkat nasional, gaji minimum dan suatu sistem pendidikan yang sama untuk semua. Selain itu juga akan didirikannya Universitas Multirasial.
Tugas pokok konstitusi yang di tandatangani pada sidang keempat pada bulan Mei 1976. Komisi 33 orang membahas kontitusi yang diajukan oleh Clemens Kapuo pada sidang ketiga menyampaikan laporannya, konferensi menginginkan kata sepakat sebelum tanggal 31 Agustus 1976, yang merupakan batas waktu yang diberikan PBB kepada Afrika Selatan untuk mengumumkan rencana kemerdekaan Namibia. Menjelang berakhirnya batas waktu itu Konferensi mengumumkan bahwa Namibia akan merdeka 31 Desember 1978 dan akan segera dibentuk suatu pemerintahan sementara, untuk menyiapkannya pengumuman itu dimaksudkan untuk menempatkan PBB di depan suatu fait accompli dengan harapan akan kebutuhan uranium dan bahan-bahan mineral yang strategis lainnya memaksa Negara-negara barat untuk mengakuinya pula. Akan tetapi perhitungan tersebut meleset. Akibat dari berlarut-larutnya perbedaan pendapat antara 157 wakil Turnhalle kata sepakat atas rancangan konstitusi tidak kunjung datang karena ada dua kelompok yang saling berselisih yaitu kelompok A H Du Plessiss yang menggantikan Dirk Mudge sebagai ketuadelegasi kulit putih dan delegasi-delegasi Ovambo, Kavango dan Kaprivi yang konservatif di satu pihak dan Dirk Mudge dengan delegasi delegasi Herero, Nama, Rehoboth dan berwarna dilain pihak. Pada pihak pertama menghendaki suatu penyelesaian jenis Bantustan pemerintah federal tidak banyak memiliki kekuasaan besar bagi pemerintah sementara.
            Rencana penyelesaian Turnhalle dicapi kata-kata sepakat mengenai garis-garis besar konstitusi, bahwa Namibia akan mempunyai tiga tingkat pemerintahan yaitu pusat, lokal, dan regional. Dasar kontitusi adalah kesukuan walaupun negara yang di maksud sebagai negara kesatuan.
Rencana Turnhalle juga mendapat perlawanan dari SWAPO. Pada tahun 1976 dalam konverensi internasional di Dakar ketua SWAPO Sam Nujuma menggariskan syarat-syarat SWAPO untuk berunding yaitu pengakuan Afrika Selatan terhadap hak rakyat Namibiaatas kemerdekaan, keutuhan wilayah Namibia, kedudukan SWAPO sebagai satu-satunya wakil sejati rakyat Namibia, penarikan seluruh polisi dan pasukan Afrika Selatan,pembebasan semua tahanan politik Namibia, repraterasi semua orang-orang Namibia yang di asingkan. Bahkan SWAPO mengancam akan meningkatkan suatu perang Gerilya.
            Pada periode April 1977 wakil-wakil lima negara barat yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman Barat dan Kanada mengadakan pertemuan dengan pemerintah Afrika Selatan. Mereka juga mengunjungi Windhoek untuk mendengarkan pendapat SWAPO dan organisasi lain baik yang pro maupun yang kontra dengan Turnhalle. Kelompok itu memperjuangkan dua sasaran pokok yaitu menyakinkan pemerintah Voster agar melepaskan rencana Turnhalle dan membujuk agar disetujui dilaksanakannya pemilihan nasional Namibia dibawah pengawasan PBB sebagai langkah pertama menuju kemerdekaan. Meskipun Afrika Selatan akibat tekanan-tekanan bangsa barat dan PBB telah memberikan konsesi-konsesi yaitu membatalkan pembentukan pemerintah sementara 17 orang dari Kompetensi Turnhalle, namun masih belum basa untuk memecakan sejumlah persoalan yang diajukan oleh SWAPO.
SWAPO berpendapat hukum dan tertib tidak dapat dipelihara oleh pasuka-pasukan Afrika Selatan secara evektif dan bahwa kehadiran mereka akan mencegah kemauan bebas rakyat Namibia. Karena alasan itulah SWAPO menuntut agar seluruh pasukan Afrika Selatan ditarik sebelum pemilihan. Selain itu juga menuntut agar PBB tidak hanya hadir tetapi juga mengawasi pemilihan itu sesuai dengan resolusi-resolusi dewan keamanan khusnya resolusi Januari 1976.
            Usul kompromi negara-negara barat pada tanggal 30 Maret 1978 disampaikan kepada pemerintah Afrika Selatan dan SWAPO, akhirnya pemerintah Afrika Selatan menerima pada tanggal 25 April 1978 perdana menteri Voster mengumumkan bahwa pemerintahannya menerimanya. SWAPO juga mendapat tekanan-tekanan dari negara-negara garis depan untuk menerima kompromi tersebut. Pada awal April 1978 secara mendesak Sam Nujuma di panggil presiden Nyerere untuk membicarakannya. Akhirnya SWAPO juga menerima usul tersebut. Dalam kampanye dewan konstituate Aliansi Deklarasi Turnhalle dan SWAPO akan tampil menjadi dua partai terpenting. Sesuai rencana yang telah di setujui pada tanggal 31 Desember 1978 kekuasaan pemerintah akan diserahkan kepada pemerintah peralihan rakyat, dan Namibia mulai hidup sebagai negara yang merdeka. Sesuai dengan resolusi dewan keamana PBB No.435 September 1978.

2.3.3        Keadaan Ekonomi, Sosial Budaya Namibia
Namibia dalam perjalanan menuju Afrika Barat daya (SWA/South West Africa) sejak awal tahun 1980 an dibebani oleh krisis karena periode musim kering, jatuhnya harga barang mentah, dan karena ketergantungan kuat dari penguasa kolonial Africa Selatan. Luas Namibia yaitu 823.168 km2tanpa teluk walfisch sangat heterogen. Sekitar 1,8 juta penduduk adalah orang Ovambo dengan jumlah setengah juta merupakan kelompok etnis terkuat. Selanjutnya, Kavango (sekitar 110.000), Herero (90.000), Damara (89.000), Khu Khun, Caprivan, buschmann, Rehoboth-Baster, dan Himba sekitar 7% adalah orang kulit putih. Diantaranya adalah 20.000 keturunan Jerman.  Pertambahan penduduk yang tinggi (3,2%), selain pertumbuhan penduduk (44% penduduk berumur kurang dari 15 tahun) juga dikarenakan karena arus pengungsi yang datang dari Angola. Sejak tahun 1978 terlihat arus urbanisasi yang semakin meningkat (tingkat urbanisasi tahun 1985: 51%), ibu kota Windhuk tunbuh dari 36.000 penduduk tahun 1969 menjadi 105.100 penduduk tahun 1983. 
Kekurangan air di tanah yang kering itu membatasi pembangunan pertanian, industri, dan pertambangan. Pertambahan pada tahun 1986 sebesar 83% yang dikuasai perusahaan trans nasional berperan penting dalam ekonomi. Intan, berbagai metal dan uran diekspor terutama ke Eropa Barat dan Afrika Selatan. Produk pertania di berbagai padang rumput (semak belukar) yang ekstensif yang mengancam secara ekologi, penting untuk ekspor (80%-90% dari nilai produksi secara keseluruhan) terutama untuk kesempatan kerja. Karena penangkapan ikan yang terlalu berlebihan di laut yang penuh dengan plankton, penangkapan dan industri perikanan terjebak dalam krisis. Selain itu, Afrika Selatan membangun industri pengolahan sejenis  yang menyainginya. Masalah pembangunan terbesar adalah apherteid struktural. Meskipun ada pencabutan beberapa Undang-Undang apherteid (daerah pemukiman, tempat kerja, merusak keturunan), terus berlangsung ketimpangan etnis dan regional antara orang kulit hitam dan kulit putih, terutama dalam bidang pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Sistim pendidikan yang terbagi tiga (kulit putih, kulit berwarna, dan kulit hitam). Dengan syarat merugikan orang kulit hitam menyebabkan setengah kelompok ini mengalami buta aksara. Pertanian komersil sebagian besar dilakukakan oleh orang kulit putih yang sekitar 40% potensi tenaga kerja melakukan kegiatan ekonomi subsitensi. Sementara diantara kulit putih hampi tidak ada pengangguran sedangkan pengangguran antara kulit berwarna dan kulit hitam sangat nyata, terutama di bagian sebelah utara negara itu. Sementara 1/5 angkatan kerja bekerja sebagai buruh pengembara di Afrika Selatan.

2.3.4        Perjanjian Perdamaian
Setelah prakarsa sekjen PBB Ferez De Cuellar mengadakan perjanjian perdamaian antara Anggola, Afrika Selatan dan SWAPO pada bulan Desember 1988, Afrika Selatan merelakan daerah koloni tersebut. Inti dari perjanjian itu dianaranya memuat :
1)      Pasukan Koba yang terdiri 50.000 prajurit yang di tempatkan di Anggola ditarik kembali.
2)      Anggola akan menghentikan pemberian bantuan kepada gerilyawan SWAPO. Sebagai gantinya Afrika Selatan akan membantu kaum pemberontak di Anggola, dan rela melepaskan Namibia.
3)      Kawasan daerah perbatasan antara Anggola dan Namibia harus di kosongkan. Gerilyawan SWAPO harus mundur ke sebelah utara antara 300 km dari tapal batas, begitu juga serdadu afrika Selatan kearah selatan antara 300km.
            Akan tetapi pada kenyataannya kedua belah pihak saling menuduh telah melakukan penyusupan melanggar daerah perbatasan yang dianggap sebagai sebab terjadinya pertempuran kembali. Pada waktu itu semua menunggu datangnya pasukan PBB. Hal itu terjadi tidak lepas dari kepentigan mereka, terutama bagi Afrika Selatan yang merasa keberatan untuk melepaskan wilayah namibia. Selain Namibia memilii kekayaan alam juga mempunyai arti penting bagi Afrika Selatan sebagai tameng untuk membendung pengaruh komunisme. Berdasarkan hal tersebut kemungkinan yang memancing terjadinya pertempuran adalah inisiatif Afrika Selatan.

2.3.5        Pemilihan Umum Pertama Rakyat Namibia
Peruangan rakyat Namibia secara sah di wakili oleh SWAPO walaupun selalu di hadang oleh Afrika Selatan yang selau mersa berat untuk melepaskan Namibia. Hal ini sampai pada periode pemilihan umun yang berada dibawah pengawasan PBB, dimana PBB mengirimkan tim misi pengawasan dengan jumlah tidak kurang dari 7.000 an orang personil.
            Jumlah panduduk Namibia diantara 1,2 juta atau 1,3 juta jiwa. Dalam pemilihan umum Namibia yang pertama kali akan memilih anggota majelis konstuate yang beranggotakan 72 orang yang mengemban tugas menyusun undang-undang dasar sebagai dasar berdirinya negara Namibia Merdeka. Di Namibia terdiri dari 10 partai tetapi ada dua partai yang terbesar adalah SWAPO yang di pimpin oleh Samuel Shafiishuna Nujuma dan aliansi Demokratik Turhalle (DTA) dipimpin oleh Dirk Mudge.
Pemilihan umum yang pertama ini di menangkan oleh SWAPO dengan memperoleh 41 kursi dan dan DTA memperoleh 21 kursi, dan 10 kursi di duduki oleh lima partai. SWAPO tidak dapat menang mutlak ata tidak bisa mencapai dua pertiga suara yang di perlukan. Tetapi SWAPO berhak menyusun jajaran pemerintahan dan pimpinan SWAPO menjadi presiden pertama. Hasil pemilihan umum yang berada di bawah pengawasan PBB, Afrika Selatan tetap berambisi untuk selaueksis di namibia melalui partai yang di dukungnya seperti DTA kurag berhasil. Dengan demikian Namibia mencapai suatu kemerdekaan pada tanggal 21 Maret 1990 yang dipilihsebagai hari kemerdekaanya.
            Menurut Moses Katjuonguo pimpinan front patriotik nasional tanggal 21 maret di pilih karena merupakan tanggal khusus bagi gerakan Apartheid. Pada tanggal itu 30 tahun yang lalu terjadi pembantaian 69 orang kulit hitam di Sharperville (AFSEL) yang di perintah oleh orang kulit putih, tanggalitu juga telah di tetapkan PBB sebagai hari internasional untuk penghapusan Aphartheid. Upacara kemerdekaan Namibia dihadiri oleh presiden afrika Selatan F W De Klerk, pejabat PBB dan sejumlah negara Afrika. Sebagai Presidennya adalah Samuel Shafiishuna Nojuma.
Kemerdekaan Namibia dapat dicapai oleh rakyat yang di wakili secara sah oleh gerilyawan yang bergabung dalam SWAPO yang mendapat pengakuan dari PBB dan akhirnya dapat memimpin kedaulatan negeri sendiri. 

Sistem Pertanahan Masa Thomas Stamford Raffles



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Setelah Indonesia (khususnya Pulau Jawa) jatuh ke tangan Inggris, Indonesia oleh pemerintah Inggris dijadikan bagian dari jajahannya di India.  Gubernur Jenderal East India Company (EIC), Lord Minto yang berkedudukan di Calcuta (India) kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur (wakil gubernur) untuk Indonesia (Jawa).  Raffles didampingi oleh suatu badan penasihat yang disebut Advisory Council.  Tugas utama Raffles adalah mengatur pemerintahan dan meningkatkan perdagangan, serta keuangan.  Sebagai seorang yang beraliran liberal, Raffles menginginkan adanya perubahan dalam pemerintahan di Indonesia (Jawa).  Selain bidang pemerintahan, ia juga melakukan perubahan di bidang ekonomi.  Ia hendak melaksanakan kebijaksaaan ekonomi yang didasarkan kepada dasar-dasar kebebasan sesuai dengan ajaran liberal.  Langkah-langkah yang diambil oleh Raffles dalam bidang pemerintahan dan ekonomi adalah mengadakan penggantian sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi dengan sistem pemerintahan kolonial ala Barat.  Untuk memudahkan sistem administrasi pemerintahan, Pulau Jawa dibagi menjadi 16 kerasidenan.  Para bupati dijadikan pegawai pemerintah sehingga mereka mendapat gaji dan bukan lagi memiliki tanah dengan segala hasilnya.
Dengan demikian, mereka bukan lagi sebagai penguasa daerah, melainkan sebagai pegawai yang menjalankan tugas atas perintah dari atasannya.  Langkah-langkah selanjutnya yaitu menghapus segala bentuk penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi, kemudian rakyat diberi kebebasan untuk menanam tanaman yang dianggap menguntungkan.  Raffles menganggap bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik semua tanah yang ada di daerah tanah jajahan.  Oleh karena itu, Raffles menganggap para penggarap sawah adalah penyewa tanah pemerintah, sehingga para petani mempunyai kewajiban membayar sewa tanah kepada pemerintah.  Sewa tanah atau landrente ini harus diserahkan sebagai suatu pajak atas pemakaian tanah pemerintah oleh penduduk.  Sistem sewa tanah semacam itu oleh pemerintah Inggris dijadikan pegangan dalam menjalankan kebijaksanaan ekonominya selama berkuasa di Indonesia.  Sistem ini kemudian juga diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda setelah Indonesia diserahkan kembali kepada Belanda.



1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menetapkan beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimanakah awal kedatangan Raffles ke nusantara?
1.2.2. Bagaimanakah masa kepemimpinan Raffles di nusantara?
1.2.3. Bagaimanakah sistem pajak pada masa Raffles?
1.2.4. Mengapa sistem sewa tanah pada masa Raffles mengalami kegagalan?

1.3.       Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui awal kedatangan Raffles ke nusantara
1.3.2. Untuk mengetahui masa kepemimpinan Raffles di nusantara
1.3.3. Untuk mengetahui sistem pajak pada masa Raffles
1.3.4. Untuk mengetahui tujuan penerapan sistem sewa tanah pada masa Raffles
1.3.5. Untuk mengetahui penyebab sistem sewa tanah pada masa Raffles mengalami kegagalan



BAB 2. PEMBAHASAN

2.1.   Awal Kedatangan Raffles ke Nusantara
Raffles adalah seorang yang kurang mempunyai karakter hebat tapi cukup bijaksana untuk memilih reputasi dalam sejarah daripada penghasilan material sesaat (Vlekke, 2008).  Raffles bernama lengkap Thomas Stamford Bringley Raffles lahir 6 Juli 1781 berkewarganegaraan Inggris.  Ia adalah seorang Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang terbesar.  Ayahnya meninggal saat Raffles berusia 15 tahun.  Saat itu juga ia mulai bekerja sebagai pegawai di London untuk perusahan Hindia Timur Britania.  Disini dia memulai studinya atas bahasa, adat istiadat dan sejarah Melayu.  Sejak tahun 1800, blokade Inggris terhadap Belanda semakin memuncak.  Kedudukan Belanda yang ada di luar Jawa (hanya Ambon yang agak kuat) diserang Inggris.  Demikianlah Ambon, Gorontalo, Banda dan Ternate praktis dapat dikuasainya.  Namun keadaan tersebut tidak dengan Jawa.  Rupanya pertahanan masih kuat dan memerlukan perhitungan militer yang lebih serius.  Tetapi keputusan itu belum diambil oleh pucuk pimpinan Inggris di India.  Walaupun demikian, persiapan untuk menyerang Jawa telah dilakukan sejak masa-masa sebelumnya (Dekker, 1993).
Pada tahun 1808 mulai berlangsung suatu zaman baru dalam hubungan Jawa-Eropa.  Negeri Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis sejak tahun 1795.  Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang semakin besar, maka Napoleon Bonaperte mengangkat adiknya, Louis Napoleon sebagai penguasa di negeri Belanda pada tahun 1806.  Pada tahun 1808, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur jenderal (1808-1811) dan untuk memperkuat pertahanan Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera Hindia.  Dalam perjalanannya Daendels tidak membawa pasukan baru bersamanya bahkan memakai bendera Amerika untuk menghindari serangan atau hadangan Inggris di India.  Dengan tidak adanya pasukan yang dibawa dia segera membentuk pasukan yang sebagian besar terdiri atas orang-orang Indonesia berjumlah dari 4000 menjadi 18000 orang.
Tekanan blockade Inggris yang berat terhadap Belanda melumpuhkan export kopi yang merupakan salah satu sumber penghasilan yang besar.  Suasana ekonomi di bawah Daendels yang bersifat revolusioner dan diktaktor ini rusak.  Disamping itu kebencian terhadapnya datang dari semua golongan termasuk orang-orang Eropa sendiri.  Maksudnya memberantas penyelewengan dan korupsi yang menyelimuti administrasi Eropa banyak mengalami kegagalan.  Salah satu contoh tindakan Daendels yang hanya menghasilkan kebencian adalah Ambon masih dipertahankan oleh Belanda dalam ukuran kecil.  Disana ditempatkan seorang kolonel Perancis yang bernama Filz.  Akibat serangan Inggris itu Filz menyerah.  Dia dibebaskan oleh Inggris dan kemudian pergi ke Batavia untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.  Hasilnya malah kolonel kemudian dijatuhi hukuman mati (dengan jalan ditembak), itu merupakan perbuatan yang tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh seorang pemimpin seperti Daendels.  Adapun perlawanan diberbagai tempat terhadap Daendels yang serba keras dari bangsa Indonesia antara lain ialah Banten, Cirebon dan Yogyakarta.
Pada 1811, Thomas Stamford Raffles disertakan dalam rombongan ekspedisi ke tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur di bawah perintah Gubernur Jenderal (di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynyn-mond atau yang lebih dikenal dengan nama Lord Minto, hingga 1817.  Lord Minto menyukai Raffles karena kecerdikanya, keterampilan dan kemampuannya dalam berbahasa Melayu sehingga ia dikirim ke Malaka.  Tidak lama setelah tiba di tanah Jawa pasca Perancis menguasai Kerajaan Belanda, Raffles mengatur ekspedisi melawan militer Belanda di Jawa.  Penyerbuan itu dipimpin oleh Admiral Robert Stopford, Jenderal Watherhall, Kolonel Gillespie dan disamping itu ikut juga Jenderal Auchmuty dimana Kapitulasi Tuntang merupakan pertanda secara resmi mengakhiri riwayat Belanda-Perancis di Indonesia.
Isi dari Kapitulasi Tuntang yang di tanda tangani oleh Auchmuty dari pihak Inggris dan Janssen dari pihak Belanda, pada tanggal 18 September 1811 adalah sebagai berikut:
a.    Seluruh Jawa diserahkan kepada Inggris
b.    Semua serdadu menjadi tawanan dan semua pegawai yang mau kerja sama dengan Inggris dapat memegang jabatan terus
c.    Semua hutang-piutang pemerintah belanda yang dulu, tidak akan ditanggung oleh Inggris

2.2.   Masa Kepemimpinan Raffles di Nusantara
Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara.  Kekuasaan Inggris di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Madura dan Sunda Kecil.  Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal.  Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).  Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia.  Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara teoritis mirip dengan pemikiran Dirk van Hogendorp pada tahun 1799.  Inti dari pemikiran kedua orang tersebut adalah kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintahan hanya berhak menarik pajak tanah dari penggarap.  Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum dan kesadaran baru bahwa baik serikat dagang, terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan memeras masyarakatnya.
Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha.  Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda.  Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang.  Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan pemerintah Belanda.  Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.  Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda mengakibatkan matinya daya usaha rakyat.  Oleh karena itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam dan penggunaan hasil usahanya sendiri.  Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.
Tidak adanya kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda telah mengakibatkan terjadinya kekacauan di berbagai daerah.  Tidak adanya perlindungan hukum untuk para penduduk mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para penguasa pribumi.  Tidak adanya jaminan bagi para petani mengakibatkan hilangnya dorongan untuk maju.  Sesuai pernyataan Hogendorf, ia tidak percaya pendapat orang-orang Eropa tentang kemalasan orang Jawa karena apabila diberi kebebasan menanam dan menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk menghasilkan lebih banyak dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda.  Jika kebebasan dan kepastian hukum dapat diwujudkan, untuk mencapai kemakmuran orang-orang Jawa yang dahulunya tertindas akan dapat berkembang.  Masyarakat pun dengan keinginannya sendiri akan menanam tanaman-tanaman yang diperlukan oleh perdagangan di Eropa.  Semua ini pada akhirnya juga akan menguntungkan bagi perekonomian pihak Inggris.  Stelsel yang diterapkan pemerintah Belanda sangat ditentang oleh Raffles, hal ini dikarenakan munculnya penindasan dan menghilangkan dorongan untuk mengembangkan kerajinan.  Secara makro kondisi ini akan menyebabkan rendahnya pendapatan negara atau negara mengalami kerugian.  Pada hakikatnya pemerintahan Raffles menginginkan terciptanya suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan pemerintah Belanda.  Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sistem sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente.
Dalam usahanya untuk melaksanakan sisten sewa tanah ini Raffles berpegang pada tiga azas, yaitu:
a.    Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam
b.    Pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya tanpa perantara bupati-bupati, yang dikerjakan selanjutnya bagi mereka adalah terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum
c.    Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas
Adanya suatu aparatur pemerintahan yang terdiri dari orang-orang Eropa dan mengesampingkan peranan penguasa pribumi (para bupati).  Menurut Raffles hal ini adalah salah satu tindakan penghapusan feodalisme Jawa.  Para bupati dialih fungsinya menjadi pengawas ketertiban dan tidak boleh ikut dalam pemungutan pajak tanah (landrente).  Tentang persewaan tanah, menurut Raffles pemerintah (gubernemen) sebagai pengganti raja-raja Indonesia merupakan pemilik semua tanah-tanah sehingga dengan demikian mereka boleh menyewakan tanah-tanah tersebut yaitu dengan menuntut sewa tanah berupa pajak tanah maka pendapat negara akan baik.
Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu :
a.    Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto
b.    Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga dari hasil bruto
c.    Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto
Selain menerapkan kebijakan landrente, dalam bidang pemerintahan Thomas Stamford Raffles juga menerapkan kebijakannya melalui :
a.    Membagi tanah Jawa ke dalam 16 kerasidenan
b.    Mengurangi jabatan bupati yang berkuasa
c.    Mengangkat Bupati menjadi pegawai negeri yang digaji
d.   Mempraktekkan sistem yuri dalam pengadilan seperti di Inggris
e.    Melarang adanya perbudakan, membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor
f.     Kesultanan Banten dihapuskan, kedaulatan kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada colonial Inggris

2.3.   Pajak Masa Raffles
Dalam sub-bab ini akan dijelaskan mengenai pajak-pajak khususnya pajak tanah pada masa Raffles yang meliputi pelaksanaan dan sistem pajak tanah, tujuan diterapkannya pajak tanah dan kegagalan sistem pajak tanah.
2.3.1. Pelaksanaan dan Sistem Pajak Tanah pada Masa Raffles
 a. Faham yang Mendasari
Gagasan dan cita-cita Liberal adalah hasil pengaruh dari Revolusi Perancis yang dibawa Sir Thomas Stamford Raffles ke Indonesia yakni prinsip kebebasan, persamaan dan persaudaraan dinilai membawa kehidupan rakyat lebih baik.  Kebebasan, Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi yang bebas dari unsur paksaan, penyerahan wajib dan kerja rodi pada masa VOC.  Raffles ingin memberikan kepastian hukum tentang posisi para petani dan rakyat serta kebebasan berusaha dalam menanam tanaman dan perdagangan.  Menurutnya sistem paksaan masa VOC telah mematikan daya usaha rakyat Indonesia sehingga tidak banyak keuntungan yang diperoleh VOC.  Oleh sebab itu masa Raffles diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman yang dikehendaki.  Selain itu terdapat prinsip persamaan dalam hal ini peranan bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai gantinya mereka dijadikan bagian yang integral dari pemerintah kolonial dengan asas-asas pemerintahan model negeri barat.  Pemusatan pada pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk.  Sedangkan dasar kebijakan Raffles yakni berdasarkan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, para petani sebagai penyewa milik pemerintah.  Untuk penyewaan diwajibkan membayar sewa tanah berupa mata uang yang telah ditentukan, sehingga diharapkan produksi pertanian akan bertambah dengan rangsangan penanaman tanaman perdagangan serta pajak yang diterima oleh pemerintah akan bertambah dan menjamin arus pendapatan Negara yang stabil.  Pengenalan sistem administrasi Eropa yang efektif mengenai kejujuran, ekonomi dan keadilan merupakan dasar perubahan sosial budaya kehidupan masyarakat Jawa dicontohkan menggantikan ikatan adat tradisional dengan ikatan kontrak, dihapuskannya peranan bupati sebagai pemungut pajak, dapat dikatakan dari pemerintahan tidak langsung menjadi pemerintahan langsung.  Raffles dalam melaksanakan cita-citanya tidak melihat situasi dan kondisi Tanah Jawa, secara pandangannya disamakan antara Jawa dengan India.  Hal ini membuat ketidak berhasilan sistem.
b. Pelaksana Sistem Sewa Tanah
Sudah lazim setiap datang penguasa baru, hukum dan peraturan baru pun muncul pula.  Demikian pula dalam pelaksanaannya, terjadi perbedaan-perbedaan dan penyimpangan-penyimpangan, meskipun dalam artikel 5 proklamasi 11 September 1811 telah ditentukan bahwa segala macam kekhawatiran akan terjadinya perubahan besar-besaran akan dihindarkan.  Akan tetapi peraturan-peraturan dasar yang menguntungkan bagi Belanda juga dilanjutkan oleh Inggris.
Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles yang banyak menghinpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris.  Sistem pajak tanah yang diperkenalkan oleh Raffles pada masa ia berkuasa di Indonesia, merupakan salah satu realisasi dari gagasan pembaharuan kaum liberal dalam kebijaksanakan politik di tanah jajahan yang besar pengaruhnya terhadap perubahan masyarakat tanah jajahan pada masa kemudian.  Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford Raffles ini pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai Libertie (kebebasan), Egalitie (persamaan) dan Franternitie (persaudaraan).
Pengenalan sistem pajak tanah yang dilancarkan Raffles, merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuannya tentang sistem sewa tanah di tanah jajahan.  Gagasannya itu timbul dari upayanya untuk memperbaiki sistem paksa dari Kompeni (VOC) yang dianggap memberatkan dan merugikan penduduk.  Menurut Raffles sistem penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi akan memberikan peluang tindakan penindasan dan tidak akan mendorong semangat kerja penduduk, karena itu merugikan pendapatan negara.  Maka dari itu Raffles menghendaki perubahan sistem penyerahan paksa dengan sistem pemungutan pajak tanah yang dianggap akan menguntungkan kedua belah pihak baik negara maupun penduduk.
Dalam pengaturan pajak tanah, Raffles dihadapkan pada pemilihan antara penetapan pajak secara sedesa dan secara perseorangan.  Sebelumnya pengumpulan hasil tanaman terutama dari sawah yaitu beras dilakukan melalui sistem penyerahan wajib melalui penguasa pribumi dan dikenakan secara kesatuan desa.  Dalam hal ini para bupati dan kepala desa memiliki keleluasaan untuk mengaturnya.  Akan tetapi Raffles tidak menyukai cara ini karena penetapan pajak per desa akan mengakibatkan ketergantungan penduduk kepada kemurahan para penguasa pribumi dan penindasan terhadap rakyat tidak dapat dihindarkan, maka dari itu Raffles lebih suka memilih penetapan pajak secara perseorangan karena akan lebih menentukan kepastian hukum dalam bidang perpajakan sekalipun tidak mudah.
Seperti yang telah disebutkan diatas, isi pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal.  Penetapan pajak tanah tersebut didasarkan pada klasifikasi kesuburan tanah masing-masing dan terbagi atas tiga klasifikasi yaitu terbaik (I), sedang (II) dan kurang (III).  Rincian penetapan pajak itu sebagai berikut :
·      Pajak Tanah Sawah :
Golongan           I,          1/2        Hasil Panenan
Golongan           II,         2/5        Hasil Panenan
Golongan           III,        1/3        Hasil Panenan
·      Pajak Tanah Tegal :
Golongan           I,          2/5        Hasil Panenan
Golongan           II,         1/3        Hasil Panenan
Golongan           III,        1/4        Hasil Panenan
Pajak dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi atau beras, yang ditarik secara perseorangan dari penduduk tanah jajahan.  Penarikan pajak dilakukan oleh petugas pemungut pajak.  Pelaksanaan pemungutan pajak tanah dilakukan secara bertahap.  Pertama-tama dilakukan percobaan penetapan pajak per distrik di Banten.  Kemudian pada tahun 1813 dilanjutkan dengan penetapan pajak per desa dan baru pada tahun 1814 diperintahkan untuk dilakukan penetapan pajak secara perseorangan.
Apabila dirinci, terdapat tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak tanah :
v Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern
Pergantian dari sistem pemerintahan-pemerintahan yang tidak langsung yang dulu dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa digantikan dengan pemerintahan modern yang tentu saja lebih mendekati kepada liberal karena Raffles sendiri adalah seorang liberal.  Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi ataupun ditiadakan.  Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa.
v Pelaksanaan pemungutan sewa
Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa.  Dalam mengatur pemungutan ini tiap-tiap kepala desa diberikan kebebasan oleh VOC untuk menentukan berapa besar pajak yang harus dibayarkan oleh tiap-tiap kepala keluarga.  Pada masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.
v Penanaman tanaman dagangan untuk di eksport
Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.  Dua hal yang ingin dicapai oleh Raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah :
Ø Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah
Ø Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi dan keadilan
2.3.2. Tujuan Penerapan Sistem Sewa Tanah
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles mengandung tujuan sebagai berikut :
·      Para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya secara bebas untuk memotovasi mereka agar bekerja lebih giat sehingga kesejahteraannya mejadi lebih baik
·      Daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat membeli barang-barang industri Inggris
·      Pemerintah kolonial mempunyai pemasukan negara secara tetap
·      Memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki petani
·      Secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang menjadi ekonomi uang
Perubahan-perubahan yang terjadi dengan dilaksanakannya sistem sewa tanah, dapat dikatakan revolusioner karena mengandung perubahan azasi, yaitu unsur paksaan yang sebelumnya dialami oleh rakyat, digantikan dengan unsur sukarela antara pemerintah dan rakyat.  Jadi, perubahan ini bukan hanya semata-mata perubahan secara ekonomi, tetapi juga perubahan sosial-budaya yang menggantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal, yaitu digantikannya sistem tradisional yang berdasarkan atas hukum feodal menjadi sistem ekonomi yang didasarkan atas kebebasan.
Secara singkat perubahan tersebut, antara lain sebagai berikut :
·      Unsur paksaan digantikan dengan unsur bebas sukarela
·      Ikatan yang didasarkan pada ikatan tradisional, diubah menjadi hubungan yang berdasarkan perjanjian
·      Ikatan adat-istiadat yang telah turun-temurun menjadi semakin longgar akibat pengaruh barat

2.4.       Kegagalan Sistem Sewa Tanah
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan.  Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia.  Sistem sewa tanah tersebut tidak berjalan lama, hal itu disebabkan beberapa faktor dan mendorong sistem tersebut untuk tumbang kemudian gagal dalam peranannya mengembangkan kejayaan kolonisasi Inggris di Indonesia.
Beberapa faktor kegagalan sistem sewa tanah antara lain ialah :
·      Keuangan negara yang terbatas, memberikan dampak pada minimnya pengembangan pertanian
·      Pegawai-pegawai negara yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh para kalangan pemerinah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut
·      Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris.  Dimana pada abad ke-9, masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.  Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksifitas pertaniannya dalam penjualan ke pasar bebas belum disadari betul
·      Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga motifasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari produksifitas hasil pertanian belum disadari betul
·      Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap dan dapat menurunkan produktifitas hasil pertanian
·      Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup
·      Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah
Secara garis besar kegagalan Raffles dalam sistem sewa tanah di Jawa terkendala akan susunan kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri.  Dimana Raffles memberlakukan sistem yang sama antara India yang lebih maju dalam perekonomiannya pada Indonesia yang masa itu masih cukup sederhana dimana sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat self suffcient.  Dalam pelaksanaannya, sistem pemungutan pajak tanah ini tidak semua dapat dilakukan menurut gagasannya karena banyak menghadapi kesulitan dan hambatan yang timbul dari kondisi di tanah jajahan.  Malahan praktek pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan kericuhan dan penyelewengan.  Belum adanya pengukuran luas tanah yang tepat, kepastian hukum dalam hak milik tanah belum ada, hukum adat masih kuat, penduduk belum mengenal ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan pelaksanaan pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak menimbulkan penyelewengan.  Keinginan Raffles untuk memperbaiki kebijakannya ini terhalang oleh terjadinya perubahan politik di Eropa yang membuatnya terpaksa meninggalkan Indonesia.
Kurang berhasilnya sistem pemungutan pajak tanah yang dilancarkan Raffles menyebabkan pemerintah Belanda yang menerima pengembalian tanah jajahan dari Inggris pada tahun 1816 ragu dalam memilih antara sistem pajak dan sistem paksa.  Dihadapkan tuntutan negeni induk yang mendesak pertimbangan terhadap sistem yang lebih menguntungkan negeri induk cenderung selalu yang dipilih.  Demikian pula yang dihadapi para penguasa kolonial pada masa 1816-1830.
Walaupun Inggris hanya berkuasa singkat namun Raffles meninggalkan karya yang bermanfaat bagi rakyat Indonesia diantaranya menulis buku History of Java, merintis pembuatan Kebun Raya Bogor dan penemuan bunga Bangkai (Rafflesia arnoldi).


BAB 3. KESIMPULAN

3.1.   Simpulan
Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara.  Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).  Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia.  Pada masa Raffles masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam dan penggunaan hasil usahanya sendiri.  Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.  Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sistem sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente.  Selain menerapkan kebijakan landrente, dalam bidang pemerintahan Thomas Stamford Raffles juga menerapkan kebijakannya melalui membagi tanah Jawa ke dalam 16 karesidenan, mengurangi jabatan bupati yang berkuasa, mengangkat Bupati menjadi pegawai negeri yang digaji, mempraktekkan sistem yuri dalam pengadilan seperti di Inggris dan melarang adanya perbudakan, serta membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor.  Isi pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal.
Pelaksanaan sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles mengandung tujuan yaitu diantaranya bagi para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya secara bebas untuk memotivasi mereka agar bekerja lebih giat sehingga kesejahteraannya mejadi lebih baik, daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat membeli barang-barang industri Inggris, Pemerintah kolonial mempunyai pemasukan negara secara tetap, memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki petani, secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang menjadi ekonomi uang.  Akan tetapi Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan.  Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA

1.             Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Depdikbud. 1982.
2.             Ahmad Nashih Luthfi.melacak sejarah pemikiran agraria(sumbangan pemikiran mazhad bogor).Jogyakarta.Pustaka Ifada. 2011.
3.             Kartodirjo, Sartono.  Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium sampai Imporium, Jilid 1. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1995.
4.             M.C.Ricklefs. Cetakan lima. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University. 1995.