Pages

Desember 24, 2013

MAKALAH STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT KOLONIAL PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL



STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT KOLONIAL PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL
(Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia III)
Dosen Pengampu mata kuliah Dr. Nurul Umamah., M.Pd





Disusun oleh:

Eka Ariska Putri (120210302005)
Kelompok 10




PRODI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013


KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas taufiq dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah  ini dengan lancar. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi akhir zaman yang telah menunjukkan kita ke jalan yang diridhoi Allah SWT.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Sejarah Nasional Indonesia III dengan judul “Stratifikasi Sosial Masyarakat Kolonial Pada Masa Pergerakan Nasional”di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Jember. Kami berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kami dalam penyusunan makalah ini. Namun sebagai manusia biasa, kami tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan.
Kami mengucapakan terima kasih kepada dosen pembina serta beberapa kerabat yang memberi  masukan yang bermanfaat dalam penyususnan makalah  ini, meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi kelancaran penyusunan makalah ini.
Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi  kita semua. Kami sangat menyadari dari hasil makalah ini masih kurang sempurna, oleh karena itu kami  mengharapkan saran serta kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun.

                                                                                                   
Jember,    September 2013
                                                                       
Penyusun


DAFTAR ISI
                                                            Halaman
Halaman Judul............................................................................................. 1
Kata Pengantar ...........................................................................................  2
Daftar Isi ......................................................................................................  3
Bab I Pendahuluan .....................................................................................  4
1.1.Latar Belakang ........................................................................................  4
1.2.Rumusan Masalah ...................................................................................  5
1.3.Tujuan .....................................................................................................  5
Bab II Pembahasan ....................................................................................  6
2.1. Stratifikasi Sosial ...................................................................................  6
2.2. Masyarakat Kolonial ..............................................................................  7
2.3. Stratifikasi Sosial Sebelum Datangnya Bangsa Barat ...........................  9
2.4. Stratifikasi Sosial Masa Pergerakan Nasional ........................................  14
2.5. Peranan Pendidikan ...............................................................................  19
2.6. Peranan Pemerintah Hindia Belanda .....................................................  25
Bab III Penutup ..........................................................................................  27
1.1.Kesimpulan .............................................................................................  27
Daftar Pustaka ............................................................................................  29




BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sebelum datangnya bangsa Belanda di Indonesia, hierarki stratifikasi sosial sudah mulai terlihat yaitu pada zaman kerajaan yang menggolongkan masyarakat kedalam beberapa lapisan. Paul B Horton dan Chester L Hunt (1992:5) berpendapat bahwa, “stratifikasi sosial merupakan sistem peringkat status dalam masyarakat”. Peringkat memberitahukan kepada kita adanya dimensi vertikal dalam status sosial yang ada dalam masyarakat. Biasanya stratifikasi didasarkan pada kedudukan yang diperoleh melalui serangkain usaha perjuangan.
Dapat dikatakan bahwa adanya birokrasi modern dan pendidikan modern yang mempercepat terjadinya proses strstifikasi sosial dalam masyarakat. Aspek pendidikan modern ini merupakan jalan yang paling banyak digunakan dalam mewujudkan kemajuan sosila di kalangan masyarakat kolonial di Jawa. Adanya birokrasi modern secara langsung menjadikan pendidikan sebagai aspek penting dalam mobilitas sosial, baik dari pekerjaan maupun penghasilan. Dalam kenyataannya pendidikan merupakan harga mati untuk dapat memperoleh suatu pekerjaan yang terpandang dengan kategori lebih tinggi yang memiliki penghasilan yang besar.
Sudah menjadi rahasia umun bahwa, kesempatan belajar pada zaman kolonial sangat terbatas. Pendidikan Barat pada masa kalonial hanya dapat dirasakan oleh beberapa gelintir orang dengan syarat yang sangat sulit. Pendidikan Barat ini erat kaitannya dengan status sosila yang tinggi dan menjadi lambang prestise. Untuk masyarakat bumiputra yang dapat mengenyam pendidikan Barat biasannya berasal dari golongan birokrat atas maupun bangsawan dan tidak diperkenankan bagi kalangan masyarakat bumiputra pada umumnya.


1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan pada rincian yang telah dikemukakan sebelumnya, yang menjadi pokok penulisan pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Jelaskan tentang pengertian stratifikasi sosial ?
2.      Jelaskan tentang masyarakat kolonial ?
3.      Bagaimana stratifikasi sosial masyarakat sebelum datangnya Bangsa Barat ?
4.      Bagaimana stratifikasi sosial masyarakat kolonial masa pergerakan nasional ?
5.      Bagaimana peranan pendidikan dalam membentuk stratifikasi sosial masyarakat kolonial pada masa pergerakan nasional ?
6.      Bagaimana peranan pemerintah Hindia Belanda dalam pembentukan stratifikasi sosial masyarakat kolonial pada masa pergerakakn nasional ?

1.3 Tujuan
1.    Untuk mengetahui dan memahami hakekat dari stratifikasi sosila.
2.    Untuk mengetahui dan memahami hakekat masyarakat kolonial.
3.    Untuk mengetahui dan memahami keadaan stratifikasi sosisal masyarakat sebelum datangnya bangsa Barat.
4.    Untuk mengetahui dan memahami keadaan stratifikasi sosial masyarakat kolonial pada masa pergerakan nasional.
5.    Untuk mengetahui dan memahami pengaruh pari peranan pendidikan dalam membentuk stratifikasi sosial masyarakat kolonial pada masa pergerakan nasional.
6.    Untuk mengetahui dan memahami peranan pemerintah Hindia Belanda dalam pembentukan stratifikasi sosial masyarakat kolonial pada masa pergerakan nasional.



BAB 2. PEMBAHASAN



2.1 Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yakni stratum, yang berarti lapisan atau tingkatan dan socius yang berarti teman atau masyarakat. Jadi, secara umum stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaan atau pengelompokan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan atau kelas - kelas secara bertingkat atau hierarki. Stratifikasi sosial merupakan gejal sosial yang sifatnya umum pada setiap masyarakat. Pada zaman Yunani Kuno, Aristoteles (384–322 SM) telah menyatakan bahwa pada setiap negara selalu terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. Berikut adalah pendapat dari para ahli mengenani hakekat dari stratifikasi sosial :
a.    Pitirim A. Sorokin (1959)
Stratifikasi sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat. Setiap lapisan itu disebut dengan strata sosial. Selain itu, stratifikasi sosial merupakan ciri yang tetap pada setiap kelompok sosial yang teratur.
b.    Paul B. Horton dan Chester L.Hunt ( 1992: 5 )
Stratifikasi sosial merupakan sistem peringkat status dalam masyarakat. Peringkat memberitahukan kepada kita adanya demensi vertikal dalam status sosial yang ada dalam masyarakat.
c.       Soerjono Soekanto (1981: 133)
Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas - kelas secara bertingkat atau system berlapis - lapis dalam masyarakat. Stratifikasi sosial merupakan konsep sosiologi, dalam artian kita tidak akan menemukan masyararakat seperti kue lapis; tetapi pelapisan adalah suatu konsep untuk menyatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan secara vertikal menjadi kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan kriteria tertentu.
d.   Max Weber
Stratifikasi sosial merupakan penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege dan prestise.
e.    Bruce J. Cohen
Stratifikasi sosial adalah sistem yang menempatkan seseorang sesuai dengan kualitas yang dimiliki dan menempatkan mereka pada kelas sosial yang sesuai.
f.     Astried S. susanto
Stratifikasi sosial adalah hasil kebiasaan hubungan antarmanusia secara teratur dan tersusun sehingga setiap orang mempunyai situasi yang menentukan hubungan dengan orang secara vertical maupun horizontal dalam masyarakatnya.
g.      Mosca
Stratifikasi sosial adalah pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya.
h.      P.J. Bouman
Stratifikasi sosial adalah golongan manusia dengan ditandai suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa yang tertentu dan karena itu menuntut gengsi kemasyarakatan.
           

2.2 Masyarakat Kolonial
Sebelum datangnya bangsa Barat di wilayah Indonesia, masyarakat Indonesia berada di dalam kehidupan politik bentuk kerajaan atau kesultanan. Masyarakat kerajaan ini lebih tersusun atas jabatan dan kekuasaan yang hampir seluruhnya menerima pengaruh agama islam. Masyarakatnya mengenal garis keturunan hierarki yaitu garis keturunan raja dan ningrat dengan hak politik turun temurun. Kemudian masyarakat biasa sangat bergantung pada kebijakan kerajaan walaupun tidak terintegrasi secara utuh atau sepenuhnya.
Ketika negara Hindia Belanda mulai menanamkan kekuasaannya, berlangsung perubahan. Disepanjang abad ke 19 perubahan luas dan mendalam terjadi pada masyarakat pulau Jawa. Pamor kekuasaan kerajaan - kerajaan merosot, baik dijadikan sebagai bagian pemerintahan jajahan maupun mengalami pembatasan. Kerajaan yang menjadi bagian pemerintah kolonial kehilangan kekuasaan politik dan menjadi tidak lebih sebagai simbol budaya masyarakat. Daerah kekuasaan kerajaan ini semakin di persempit oleh pemerintah jajahan. Di daerah – daerah yang dikuasai oleh pemerintah jajahan itu, Bupati dan jajarannya menerima kaula mereka. Masyarakat Jawa dikenakan pemungutan langsung berupa pajak oleh pemerintah kolonial. Dengan adanya kegiatan sesmacam ini menyebabkan masyarakat pedesaan yang semakin terseret arus perekonomian yang membawanya kedalam perekonomian global dunia.
Kehidupan masyarakat kolonial mengenal adanya kehidupan perkotaan yang bersifat majemuk sekaligus tidak langsung bergantung pada kegiatan ekonomi pertanian. Sebagian kota - kota yang berkembang adalah tempat- tempat bermukim dan kota pelabuhan yang telah ada sebelumnya. Lalulintas ekonomi yang tinggi mendorong perkembangan kota - kota itu menjadi modern. Pusat perekonomian yang di tandai oleh keberadaan kantor perusahaan dan peredaran uang menciptakan pengelompokan sosial. Pada umumnya penduduk kota adalah kalangan masyarakat Eropa, Indo Eropa dan masyarakat asing lainnya. Sebagian masyarakat pribumi terlibat dalam kegiatan kota selain para pegawai dan profsional adalah kalangan pedangang kecil dan pekerja rendah lainnya. Kebutuhan kota akan tenaga terampil mendorong pendirian sekolah - sekolah lanjutan yang kemudian menghasilkan kelompok berpendidikan yang mencari  lapangan kerja dan ruang gerak dalam kehidupan mereka. Disamping perkembangan fisik, seperti fasilitas ekonomi, sosial, prasarana perhubungan dan pemukiman, perkembangan perkotaan menyentuh masalah kemajuan masyarakat dan budaya seperti kehadiran pers yang mengintensifkan pertukaran informasi melampaui jarak dan pelapisan sasial.

2.3 Stratifikasi Sosial Masyarakat Sebelum Datangnya Bangsa Barat
            Latar belakang tradisional ini apabila dilihat dari aspek sejarah maka, yang paling menonjol adalah struktur kelas masyarakat Jawa. Dimana perubahan struktur sosial yang terjadi sangat sedikit selama beberapa abad lamanya, dikarenakan sistem dari stratifikasi sosial pada saat itu adalah stratifikasi sosial tertutup.  Stratifikasi sosial tertutup merupakan bentuk strata yang anggotanya sulit mengadakan mobilitas vertikal. Mobilitas hanya terbatas pada mobilitas horizontal karena bersifat diskriminatif. Sebelum datangnya bangsa Belanda di Indonesia, hierarki stratifikasi sosial sudah mulai terlihat yaitu pada zaman kerajaan yang menggolongkan masyarakat kedalam beberapa kelas, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Kelas teratas diduduki oleh kelas dari golongan keluarga Raja yang memegang pemerintahan secara turun-temurun langsung dari aristokrasi yang sedang berkuasa. Keluarga Raja menduduki kelas tertinggi dalam stratifikasi sosial dan mendapatkan perlakuan istimewa yang dapat menuntut pengabdian dari rakyatnya. Seseorang bangsawan istana dapat menuntut untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dengan menunjukan pertalian saudara yang dekat dengan Raja yang sedang berkuasa. Sedangkan untuk kaum bangsawan daerah dihubungkan dengan dinasti raja menurut garis cabang keturunan yang dimulai dari pemerintahanan salah seorang raja dari dinasti itu. Sedangkan untuk kaum bangsawan rendahan mungkin sekali keturunan keluarga - keluarga raja terdahulu. Kerabat raja yang terkemuka biasanya disebut dengan ksatriya. Para ksatriya ini mempunyai beberapa nama yang diperoleh bedasarkan atas umur dan fungsi mereka dalam masyarakat.
b.      Kelas pejabat - pejabat tinggi yang diduduki oleh para pengikut dari Raja, termasuk didalamnya adalah para pejabat - pejabat militer, sipil, agama, dan kehakiman. Kecuali para ulama istana. Mereka mendapat sebutan sebagai mantri atau mandari, dimana jabatan yang mereka pegang tidak bersifat turun temurun dan untuk kaum bangsawan tidak dapat menduduki jabatan ini. Para pengikut Raja ini mendapatakan kekuasaan legal dari Raja termasuk dalam elit politik.
c.       Kelas yang diduduki oleh para masyarakat pada umumnya, yaitu masyarakat kecil yang memiliki pekerjaan sebagai petani kecil, buruh angkut, kuli kontarak dan berbagai pekerjaan kasar lainnya.
Adanya pembagian masyarakat kedalam kelas – kelas sosial ini karena kekayaan yang diawasi secara turun - temurun, yang dijadikan poin sebagai ukuran dari stratifikasi sosial ini adalah mengenai kedudukan, jabatan dan pemerintahan. Pembagian masyarakat kedalam pangkat dan jabatan ini disesuaikan dengan posisi dari hierarki kekuasaan yang dimiliki, sedangkan mengenai kekayaan hanya menjadi determinasi sekunder dalam stratifikasi sosial tersebut.
            Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa, aspek yang dijadikan sebagai pengolongan masyarakat adalah jabatan kerajaan. Golongan yang memiliki status tertinggi adalah golongan pemegang jabatan kerajaan. Merupakan sebuah demokrasi antara kelas pemegang kekuasaan dan kelas masyarakat kebanyakan. Hubunan antara pangkat dan jabatan yang tidak dapat dipisahkan satusama lain ini mengakibatkan susunan pangkat menyesuaikan dengan hierarki birokrasi tersebut dimana kelas tertinggi dipegang oleh keluarga kerajaan. Maka dapat dikatakan secara tegas bahwa stratifikasi sosial itu dapat ditentukan berdasarkan garis birokrasi tersebut yang merupakan hal tipis dalam masyarakat tradisional di wilayah Jawa.
Golongan – golongan sosial di luar dari kelas pemegang pemerintahan terdiri atas kepala – kepala daerah (akawu) dan pembesar – pembesar daerah (anden). Selain itu juga terdapat para pemuka agama atau apinghay, para petani – petani bebas, dan para hamba sayaha atau bertya. Merupakan golongan – golongan terbesar dalam penduduk di seluruh wilyah. Adanya rakyat kota dan rakya desa mengakibatkan struktur sosial tersendiri. Perbedaan diantara keduanya ini tersirat secara jelas, dimana masyarakat desa lebih keterbelakang apabila di bandingkan dengan masyarakat kota kerajaan. Selain itu juga karena pada masyarakat kota kerajaan merupakan pusat dari pemerintahan kerajaan dimana terdapat tempat kediaman dari Raja. Perbedaan diantara keduanya dalam hal cara hidup melahirkan adanya dua unsur kebudayaan yang berbeda. Dimana cara hidup masyarakat desa lebih condong pada kebudayaan rakyat dengan tradisi kecil. Berbeda dengan masyarakat kota kerajaan yang lebih condong pada kebudayaan kota dengan tradisi besarnya.
Perbedaaan cara hidup ini merupakan suatu tanda yang nyata dari status kebangsawanan dengan penduduk desa pada umumnya. Selain itu, pejabat -pejabat istana tingkat rendah seperti kepala - kepala bawahan (tanda), pengawal - pengawal (gusti), dan pelayan-pelayan (wadya haji) termasuk sebagai pendukung kebudayaan kota, namun mereka tidak secara langsung diakui sebagai golongan bangsawan. Disebabkan karena kedudukakan dan jabatan mereka yang rendah pada stratifikasi sosial yang ada. Hanya kepala – kepala dari masing – masing bagianlah yang memperoleh statusnya secara resmi, sedangkan untuk pegawai –pegawai bawahannya, seperti pemungut pajak atau pegawai-pegawai pajak hanya memperoleleh gelar kebangsawanannya degan status setengah resmi. Sedangkan untuk seniman – seniman, pedangang – pedangang, tukang – tukang, budak – budak dan para orang asing berada di luar kelas – kelas pemerintahan.
Kerajaan Jawa pada abad ke-17 mengalami perkembangan yang pesat dalam hal birokrasi, hal ini mengakibatkan lahirkan stratifikasi status sosial yang cakupan bidangnya lebih luas dan personal hierarki sosialnya lebih beraneka warna. Karena masyarakat saat itu terisolasi dengan hingar - bingar pusat perdagangan internasional, maka menyebabkan watak kerajaan agraris itu semakin kuat, sehingga menimbulkan pengumpulan dan distribusi barang relatif stabil dan stratifikasi sosial menurut status menjadi lebih kuat.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan tinggi rendaahnya kedudukan seseorang dalam masyarakat, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Pertama prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan Raja yang sedang berkuasa.
b.      Kedua prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh posisi seseorang didalam hierarki birokratis.
Apabila seseorang memiliki paling tidak salah satu atau bahkan semuanya dari kedua persyaratan tadi, mereka dianggap telah masuk dalam golongan elit. Sebaliknya apabila mereka tidak tergolong dalam kedua persyaratan tadi maka dianggap sebagai rakyat pada umumnya. Tingkatan - tingkatan yang ada pada kalangan bangsawan yaitu mengenai sistem pangkat yang bertinggkat - tinggkat itu di utamakan. Dapat dikatakan bahwa, kerabat raja ditempatkan pada tempat yang tinggi, karena hubungan pertalianya pada kerajaan menurut raja terakhir yang sedang memegang pemerintahan. Pertalian yang berasal dari raja-raja yang memerintah lebih dahulu di tempatkan pada tingkatan yang lebih rendah. Tingkatan kerajaan itu sangat luas, maksudnya adalah siapapun kalau memang dapat menunjukan pertaliannya dengan sorang raja yang pernah memerintah, diberi gelar sebagai tanda kebangsawanan. Tapi sebenarya inti kebangsawanan itu hanya terjadi atas anak cucu raja sampai generasi yang kelima.
Sebagai indeks tingkat, gelar dan nama masyarakat Jawa mempunyai nilai tinggi sekali. Tidak ada seorang pejabat yang dikenal denga namanya sendiri, mereka lebih  dikenal dengan nama gelar dan nama resminya yang berhubungan dengan jabatan yang didudukinya. Kaum elit birokrasi ini (priyayi) menduduki posisi penting dalam hieraki status tradisional.
            Asal mula dari priyayi ini sebenarnya terdiri dari orang-orang yang diberi kewenangan oleh penguasa karena kekerabatan atau karena pengabdian tradisional atau karena kecakapan dan menunjukan kesetiaan kepada kepentingan penguasa. Dengan berbagai jalan golongan elit ini mempertahankan diri mereka sendiri dan memperbesar pengaruh mereka. Priyayi dapat meningkatkan dirinya pada kaum bangsawan melalui perkawianan, apabila dilihat dari rumah meniru kebudayaan dan  tradisi keraton. Mereka mempunyai keharusan untuk hidup melalui cara-cara yang baik. Para priyayi ini di bedakan dengan penduduk kebanyakan berdasarkan tempat tinggalnya, termasuk di dalamnya letak, ukuran dan susunannya. Mereka memelihara sejumlah besar abdi, sedang perbedaan pakaian dan beberapa lambang menambah perbedaan mereka dengan rakyat kebanyakan. Mereka dengan sungguh – sungguh mempertahankan perbendaan yang  ada antara mereka dan rakyat kebanyakan itu.
            Dengan demikian maka, priyayi mempunyai keyakinan bahwa, mereka merupakan segala hal lebih jika dibandingkan dengan kelas di bawah kelas mereka.  Hal ini dapat dianggap bahwa posisi otoritas yang ada pada mereka itu disebabkan oleh keadaan mereka. Semua pekerjaan kasar pantang bagi mereka. Karena bagi kalangan priyayi pekerjaan kasar merupakan suatu hal yang rendah termasuk kegiatan – kegiatan yang bersifat ekonomis. Ini sangat jelas jika dilihat dari gaya hidup kalangan priyayai yang lebih mengutamakan nilai - nilai spiritual dan luhur bersih dari masalah keduniawian. Sebagian besar dari kalangan priyayi merupakan kalangan birokrat, maka priyayi - priyayi itu membangun budaya - budaya mereka berdasarkan kepentingan yang sangat kuat untuk statusnya, sikap sopan santun yang berlebih - lebihan dan untuk seni yang murni. Para kalangan priyayi ini merupakan pendukung sekaligus pelindung bagi seni  adat kebiasaan menurut pola - pola yang ada dalam kehidupan aristokratis.


2.4 Stratifikasi Sosial Mayarakat Kolonial Masa Pergerakan Nasional
Hubungan sosial yang terjadi pada masyarakat kolonial saat itu lebih didasarkan pada sistem kelas sesuai dengan struktur sosial yang ada. Suatu struktur, yang terjadi atas bangsa asing, dibagun dengan adanya hubungan kolonial itu. Hubunagan yang dimaksud diantarannya adalah hubungan yang bersifat superordinasi dan hubungan yang bersifat subordinasi.
Masyarakat kolonial saat itu distratifikasikan kedalam beberapa lapisan dengan kriteria yang dipergunakan untuk menempatkan seseorang kedalam struktur sosial, yang diantaranya adalah sebagai berikut :

1.      Stratifikasi sosial berdasarkan pembedaan ras.
Ciri sosial yang mencolok pada masyarakat jajahan di Jawa adalah masyarakat kolonial yang dapat dikatakan seperti masyarakat kasta, dimana dalam penggolongananya tersusun atas dua golongan yang saling berdampingan. Pertama adalah keanggotaan yang ada pada satau – satunya komunitas tersebut ditentukan atas dasar faktor kelahiran. Selanjutnya adalah penggolongan masyarakat kolonial yang berdasarkan atas perbedaan ras. Dapat ditarik kesimpulan bahwa, diskriminasi berdasarkan ras hampir terjadi di seluruh sendi kehidupan sosial. Pembatasan - pembatasan jabatan yang tajam ditentukan atas dasar rasial dan mobilitasnya ke atas ditentukan batas-batasnya sampai pada tingkat - tingkat tertentu. Diskriminasi ras ini ditandai dengan kaum bumiputra yang berkutat pada jabatan - jabatan rendah dan pada lapisan atas yang tipis terdiri atas golongan Eropa. Perbedaan status ekonomi antara golongan kecil penduduk kulit putih dan masyarakat bumiputra di bagian yang paling bawah.
Selain itu, adanya pembatasan-pembatasan pergaulan sosial antara ras - ras. Tidak adanya kontak sosial dan adanya pemisahan-pemisahan fisik yang sangat mencolok. Masyarakat Jawa dengan keras dilarang memasuki perkumpulan - perkumpulan, lapangan - lapangan olahraga, sekolah - sekolah, tempat-tempat umum dan daerah tempat dimana kediaman bangsa Belanda. Bentuk lahiriah wilayah Indonesia pada saat ini masih menjadi bukti adanya pemisahan - pemisahan pada zaman kolonial itu. Anggota - anggota sosial yang dominan yang sebagian besar terdiri dari orang - orang Eropa, di kota – kota mereka mempunyai daerah - daerah tempat tinggal yang khusus dan di bagian kota yang baik. Karena pergaulan hidup antara golongan - golongan itu tertutup, maka apabila tidak ada kontak yang perlu, golongan golongan itu berusaha menjauhkan diri satu sama lainnya. Dapat dinyatakan lebih konkrit, mereka hidup, bekerja dan membangun pada jalan yang sama sekali berbeda, dan mereka mempunyai kepentingan - kepentingan, kemampuan - kemampuan dan ideal - ideal yang tidak sama. Hanya pada hubungan - hubungan formal, seperti hubungan majikan dengan buruh atau hubungan tuan dengan hamba, terjadilah kontak tetapi kontak yang menunjukan ketidaksamaan tersebut. Bilamana kontak sosial tidak dapat di hindari, maka jarak sosial itu diterbitkan dan di lambangi dengan berbagai macam etiket dan berbagai macam mekanisme untuk melindungi diri sendiri. Semua bentuk pemisahan  yang mencolok itu di institusionalisasikan untuk mencegah kontak sosial pada tingkat - tingkatan dimana ada kesamaan sosial atau keakraban. Dilihat dari segi ini, maka masyarakat kolonial itu sunggun -sungguh menyerupai masyarakat yang berkasta.
Tahun 1930 jumlah seluruh penduduk bumiputra di Jawa hampir mendekati 41.000.000 sedangkan untuk jumlah penduduk Eropa hampir 200.000. Berarti jumlah penduduk Eropa hanya sebesar 0,5% dari penduduk bumiputra. Penduduk yang sedikit banyak boleh dikatakan penduduk kota hanya 3.500.000 atau 8,5% dari seluruh penduduk Jawa. Dari jumlah itu golonga Eropa seluruhnya berjumlah 650.000. 64,5%. dalam waktu 30 tahun jumlah mereka bertambah tiga kalilipat. Kenaikan jumlah masyarakat Eropa ini dikarenakan karena adanya perluasan aparatur pemerintah dan perusahaan - perusahaan Barat. Sesuatu hal yang menarik perhatian bahwa pada periode itu juga pendudukan dan pekerjan terbuka lebih besar bagi bangsa Indonesia. Meskipun bagsa Indonesia dapat diangkat pada fungsi-fungsi taraf menengah, tapi bagian-bagian tingginya sebagian diisi oleh orang-orang Eropa, yaitu Indo Eropa atau mereka yang di datangkan ke Jawa dari negeri Belanda. Dari sini dapat ditemukan adanya prinsip diskriminasi ras. Statistik 1938 menunjukan pertalian dari proporsi itu, dimana Panitia studi perubahan - perubahan politik membuat suatu gambaran diantaranya adalah :
a.    92,2% dari pegawai - pegawai tinggi pada dinas - dinas pemerintah adalah orang Eropa. Pada berbagai cabang fungsi - fungsi golongan administratif golongan Eropa menjadi mayoritasnya, misalnya 77% dalam staf teknis, 83% dalam staf pengawasan, dan 67% dalam sataf keuangan.
b.    Sedangkan 6,4% bangsa Indonesia.

2.      Stratifikasi sosial berdasarkan segi jabatan
Salah satu hal yang khas dari masyarakat kolonial adalah adanya perbedaan pokok antara pekerjaan - pekerjaan Eropa dan non-Eropa. Pengangkatan - pengangkatan yang terjadi dalam kategori pekerjaan - pekerjaan Eropa erat kaitannya dengan skala gaji khusus, yang dicocokan dengan taraf hidup yang tinggi dari golongan Eropa. Hal ini yang dinamakan dengan golongan penghasilan skala C, untuk skala B pengetahuan tentang bahasa Belanda diwajibkan, sedangkan skala A meliputi beberapa pekerjaan dimana bahasa Belanda diwajibkan, dan beberapa pekerjaan bagi mereka yang berpendidikan dasar dengan bahasa bumiputra. Selain itu juga ditemui golongah upahan yang tergolong dalam skala upahan bumiputra. Posisi pada dinas - dinas pemerintah di mana bahasa Belanda diwajibkan berjumlah 19.6% sedang pada perusahaan partikelir 17%.
Sejak diberlakukannya peraturan kepegawaian yang berdasar pada background pendidikan, dalam hal ini dilihat pada sekolah - sekolah model Barat pada umumnya, dan pengetahuan mereka tentang bahasa Belanda khususnya, maka pembagian jabatan menunjukan gambaran sebagai berikut:
1.      Pertama golongan yang bergaji kurang dari f 50 yang termasuk golongan Eropa hanya 0.49% dan 92,61% adalah golongan bumiputra, sedang kategori pegawai dengan gaji f 250 atau lebih golongan Eropanya meliputi 82,65% dan golongan bumiputranya hanya 7,35%.
2.      Kedua, dintara 8.303 orang pejabat pada dinas - dinas pemerintah hanya ada 189 orang bumiputra.
3.      Ketiga, personel administrasi dari kelas B prosentase pegawai-pegawai bumiputra makin keatas makin menurun.
Berdasarkan data tersebut, 66,9% dari pos - pos tulis kelas dua diduduki oleh golongan bumiputra, 52%  pada pos - pos juru tulis kelas satu, 47% pada pos - pos ajung-komis, 30,2%  pos komis kelas satu, 0,7% pada komis tingkat kepala, dan tidak ada sama sekali pada pos kepala kantor. Angka-angka yang menunjukan prosentase pegawai Eropa sebaliknya, yaitu menanjak keatas dari 31% dan berakhir pada 100%.
Secara umun dapat disimpulkan bahwa, aspek pembedaan penghasilan itu sebaian besar disesuaikan dengan dengan perbedaan ras, dengan pengolongan rata – rata sedikit golongan Eropa di bagian atas dan banyak sekali golongan bumiputra di bagian bawah. Terpencarnya golongan bumiputra di dalam stratifikasi jabatan pada masyarakat Jawa dan diteruskan pembedaan warna dapat digambarkan dengan suatu diagram yang berbentuk limas. Diagram ini mengambarkan, bahwa terdapat ketidak seimbangan pada penempatan masyarakat kolonial Jawa, dikarenakan diskriminasi ras dan faktor pendidikan yang minim pada masyarakat kolonial Jawa. Dalam stratifikasi sosial tersebut juga pada lapisan tengahnya terlampau sedikit atau tidak ada sama sekali dari masyarakat kolonial. Apalagi pada lapisan atas, tidak ditemukannya masyarakat dari golongan kolonial Jawa. Lapisan atas dan tengah cenderung diduduki oleh masyarakat Belanda dan Indo Belanda. Baru pada lapisan bawah banyak ditemui masyarakat kolonial Jawa.

3.      Stratifikasi sosial berdasarkan tipe tempat tinggal
Selain digolongkan berdasarkan kriteria diskriminasi ras dan penggolongan jabatannya, stratifikasi sosial yang terjadi dalam kalangan masyarakat kolonial ini dapat digolongkan berdasarkan tipe tempat tinggal. Tahun 1930 jumlah penghuni rumah rata - rata 4 orang bagi golongan Eropa dan 4,7 orang bagi bangsa Jawa. Dan hanya 2% dari penduduk Eropa di Jawa yang berdiam di rumah yang dibuat dari material yang tidak permanen, sedangkan untuk golongan bumiputra 40%. Jumlah rumah batu yang didiami golongan Eropa berjumlah 35.890 buah, sedangkan yang didiami golongan bumuputra berjumlah 352.353 buah.
Rumah dengan gaya modern juga menjadi tanda status kehidupan yang tinggi. Lokasi rumah yang khusus, ukuran besarnya, struktur dan susunannya. Semua itu secara langsung menunjukan status pemiliknya. Rumah - rumah priyayi tinggi berukuran besar, dibuat dari batu seperti halnya rumah - rumah pegawai menengah dan pegawai tinggi sedangkan pegawai - pegawai rendahan bertempat tinggal di rumah - rumah kayu dan penduduk - penduduk desa di rumah -rumah bambu. Namun mengenai hal ini belum dapat dibuat anilisis statistik dari data sosial ekonomi mengenai unsur kebudayaan ini. Selain ini juga ada kriteria lain yang digunakan sebagai penggolongan masyarakat kolonial kedalan struktur sosial, kriteria tersebut adalah sektor pendidikan.

2.5 Peranan Pendidikan
Pendidikan umumnya merupakan alat yang dijadikan untuk menyeleksi dan melatih seseorang dalam rangka untuk memegang posisi - posisi dalam suatu status dalam masyarakat. Pendidikan yang ada di lingkungan masyarakat Jawa sangatlah penting, karena pendidikan dijadikan sebagai salah satu kriteria yang lazim dalam pengangkatan jabatan di berbagai lembaga kedinasan, baik itu lembaga - lembaga pemerintahan ataupun perusahaan - perusahaan swasta. Sebagian besar golongan masyarakat bumiputera yang memperoleh pendidikan Barat mendapatkakn pekerjaan pada dinas - dinas pemerintahan.
Pada tahun 1928, 45% golongan dari bumiputera yang setidaknya memperoleh pendidikan rendah pada sekolah - sekolah bergaya Barat, dipekerjakan sebagai pegawai - pegawai negeri. Dapat dikatakan dari data tersebut bahwa, politik pengajian pemerintah lebih didasarkan pada penyamaan fungsi dengan gaji dan pendidikan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan menegenai daya tarik dari pendidikan Barat adalah karena dengan mengenyam pendidikan ini maka seseorang dapat mendapatkan prioritas untuk memperoleh posisi - posisi sebagai pengawasan dan pemegang kekuasaan. Maka tidak mengherankan, apabila  pendidikan Barat menjadi idam - idaman orang dan orang menghargai mereka yang berpendidikan Barat tanpa mengingat asal - usul mereka. Meskipun demikian, pada mulanya pendidikan Barat sangat terbatas, hanya tersedia bagi anak priyayi tinggi. Selain dari pada itu pengetahuan mengenai Bahasa Belanda di wajibkan dalam pendidikan Barat, sehingga pengetahuan itu lambat laun hampir identik dengan lambang status yang tinggi.
Dalam perkembangan selanjutnya, basis dari pendidikan Barat ini lebih diperluas lagi dan pada prinsipnya menjadi lebih terbuka, yang sebelumnya bersifat tertutup untuk kalangan masyarakat kolonial pada umumnya. Pendidikan Barat ini terbuka baik bagi mereka yang berbakat maupun berbangsa. Meskipun demikian, pada sasarannya pendidikan Barat ini masih dibatasi, oleh karena itu pada dasarnya pendidikan ini tidak sepenuhnya bersifat terbuka, dan relatif hanya segelintir masyarakat kolonial yang dapat mengirimkan anak - anaknya untuk memperoleh pendidikan pada sekolah – sekolah bergaya Barat. 
2.3.1 Perkembangan Sistem Sekolah di Indonesia
Berkaitan dengan perkembangan sistem sekolah di Indonesia, publikasi resmi memcatat bahwa dari 1900 sampai 1928 pelajar - pelajar dari pendidikan rendah dari golongan bumiputera berlipat ganda kira-kira 12 kali lipat atau dengan angka-angka yang mutlak dari 125.444 orang menjadi 1.513.088 orang. Dari jumlah murid yang terakhir ini 65.106 orang disekolah dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. jumlah ini semulanya hanya 6 kali. Kecepatan meluasnya sekolah - sekolah dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan meluasnya sekolah - sekolah dengan bahasa bumiputera jelas menunjukan bahwa golongan sekolah yang pertama ini sangat dibatasi dan sejak semula sangat efektif. Sekolah - sekolah dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar direncanakan untuk menjadi sekolah - sekolah golongan elit atau standen school.  Angka - angka yang mutlak rupanya tidak begitu menarik, karena jumlah pengajar hanya menunjukan 2,93% dari seluruh penduduk luar Jawa.  Mengenai penduduk golongan Eropa presentasinya lebih tinggi yaitu 16,97% dan 13,8%. Dari data - data tersebut maka dapat ditarik kesimpulan secara pasti, bahwa fasilitas - fasilitas pendidikan lebih menguntungkan golongan - golongan Eropa dan elit bumiputera dari pada fasilitas - fasilitas untuk masyarakyat kolonial pada umumnya.
Hal yang sama terjadi pada taraf sekolah menengah, dimana terjadi proses yang sama. Jumlah pelajar mengengah pertama dari golongan bumiputera pada tahun 1900 adalah 25 orang. Sedangkan pada permulan abad ke-20 mencapai jumlah 2.602, pada tahun 1928 jumlahnya 6.468 orang. Pada permulaan abad ini  mayoritas golongan Eropa adalah 95.5% pada 1928 diperkecil menjadi 48,8%. Keadaan semacam ini disebabkan karena adanya sekolah - sekolah tipe baru yang terutama banyak dikunjungi oleh golongan bumiputra untuk memberikan pendidikan kepada anak - anaknya. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa menurut proporsi penduduk meningkanya pelajar - pelajar sekolah menengah bumiputera itu tidaklah begitu berarti.
Sedangkan unutuk perkembangan pendidikan tinggi dapat dipaparkan dengan sangat singkat. Yaitu mengenai pendirian perguruan tinggi yang baru didirikan pada tahun dua puluhan dan pada tahun 1928 jumlah mahasiswanya adalah mencapai 259 orang. Jumlah ini sangatlah sedikit apabila dibandingkan dengan keadaan yang ada di negeri Belanda, dimana pada tahun 1928 jumlah mahasiswanya mencapai 12.619 orang.
Publikasi resmi mengatakan bahwa, bertambahnya golongan bumiputera pada sekolah - sekolah rendah Barat, dalam jangka waktu 30 tahun 22,4 kali pada sekolah menengah 227,7 kali. Perlu diketahui bahwa, angka - angka tersebut dapat menimbulakan kesalah pahaman apabila tidak melihat pada perimbangannya dengan penduduk, cepatnya perluasan pendidikan modern itu sebagai sumber pokok asal golongan elit modern.
2.3.2 Peranan Pendidikan Terhadap Stratifikasi Sosial
Problema dari mobilitas sosial antara generasi ke generasi memiliki penjelasan  yang sangat minim. Kenyataannya dapat ditunjukan adalah 86% dari orang tua murid rendah sekolah barat adalah buruh upahan atau orang gajian. Golongan ini 73,8% terdiri atas pegawai negeri dan 26,3 % pegawai perusahaan swasta. Sebagai perbandingan dapat meninjau angka - angka yang mengenai golongan Timur Asing terutama golongan Cina. 67% orang tua murid sekolah Barat itu bukanlah buruh upahan dan hanya 4,9% pegawai negeri. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, mayoritas golongan ini adalah golongan kelas menengah, tidak termasuk dalam elit birokrat. Mereka umumnya adalah golongan orang berada, majikan perusahaan dan pedangang. Kelas pekerja rendah tidak ada diantara golongan Cina di Jawa.
Pada awal permulaanya syarat-syarat masuk sekolah rendah Barat dilakukan seleksi yang sangat selektif. Seleksi ini didasarkan atas jabatan, asal keturunan, kekayaan atau pendidikan orang tua. Pegawai - pegawai pemerintah paling sedikit berpangkat asisten wedana (camat), mempunyai hak mengirim anak - anaknya ke sekolah - sekolah bergaya Barat. Sebagai kriteria kekayaan adalah penghasilan yang setidaknya mencapai f 100 sebulan. Seiring dengan berjalannya waktu, persyaratan semacam itu sedikit demi sedikit mulai dikurangi dengan sekolah - sekolah rendah Barat tidak lagi mejadi sebuah lembaga – lembaga kemartabatan. Pada tahun 1928 dapat dibedakan mengenai kategorikan orang tua adalah sebagai berikut:
a.       15,89% adalah anak - anak dari orang tua yang paling sedikit berpangkat asisten wedana.
b.      36,50% adalah anak - anak dari orang tua berpenghasilan kurang dari f 100 sebulan.
c.       15,58%  anak - anak dari keluarga berada, dan
d.      29,16% anak - anak berasal dari tingkat bawah.
Para golongan elite tingkat atas menyekolahkan anak - anak mereka disekolah - sekolah rendah untuk golongan Eropa. ketika kebutuhan akan sekolah-sekolah bergaya Barat bertambah, didirikan apa yang dinamakan schakel school (sekolah jembatan), tempat anak - anak dari golongan bumi putra diizinkan masuk. Sebenarnya sekolah tersebut berfungsi sebagai penghubung antara sekolah bumiputra dan sekolah menengah bergaya Barat.
Pada tahun 1928 sekolah - sekolah rendah barat diisi oleh 81.000 orang anak bumiputera, diantara mereka itu kira-kira 11.400 orang anak adalah dari orang tua yang berpenghasilan sebulan f 100 atau lebih. Maka timbulah soal seberapa besar lapisan atas elit Jawa (priyayi) itu. Menurut publikasi dari kantor Dinas Sipil Pemerintah jumlah seluruh pegawai sipil dan anggota dinas militer kolonial yang sebulan berpenghasilan lebih dari f 100 adalah 11.876 orang. Jumlah yang tepat pada kategori in adalah 7.977 orang dan dari jumlah ini 2.533 orang menduduki posisi - posisi tingkat tingi pada pemerintahan daerah dan 189 orang termasuk dalam kelas C. Pada tahun 1928 jumlah wajib pajak dengan penghasilan f 100 atau lebih sebulan adalah 31.618 orang, termasuk didalamnya golongan - golongan tersebut diatas.
Disamping dari wajib - wajib pajak yang berpenghasilan tersebut ada golongan yang berpenghasilan sebulan f 100 atau lebih, yaitu seperti tuan - tuan tanah atau orang - orang yang tinggal didaerah kesultanan yang berpemerintahan sendiri. Diperkirakan bahwa, seluruh orang yang berpenghasilan f 100 kira-kira 99.178 orang, yaitu 0,9% dari seluruh penduduk atau kira - kira 0,9% dari jumlah wajib pajak. Oleh karena itu dapat dikatakan dengan pasti, golongan yang berada merupakan lapisan yang sangat tipis dari masyarakat Indonesia dan dimanapun meraka merupakan minoritas.
Pendidikan Barat yang hanya dapat dinikmati oleh orang Eropa, Timur Asia dan sedikit kalangan atas Bangsawan Indonesia dan tidak diperkenankan untuk dinikmati masyarakat bumiputra pada umumnya menyebabkan terbentuknya stratifikasi sosial pada masa pergerakan nasional yaitu :
a.       Kelas tertinggi diduduki oleh bangsa Eropa.
b.      Kelas menengah diduduki oleh bangsa Timur Asia dan Bangsawan.
c.       Kelas terendah diduduki oleh masyarakat bumiputra pada umumnya.
Kelas - kelas sosial yang berbeda pada masyarakat sosial itu tidak sejalan dengan kemungkina untuk memperoleh pendidikan yang berbeda - beda tipe dan jumlahnya itu. Pendidikan Barat sudah tidak dapat diragukan lagi dalam hal membuka jalannya bagi mobilitas jabatan yang intensif. Namun, pada akhir abad ke-20 keadaan ini menurun dan orang - orang mulai mengatakan adanya overproductie. Kecenderungan bahwa bangsa Indonesia yang berpendidikan modern sebagian besar memperoleh pekerjaan pada dinas - dinas pemerintah. Pada tahun 1928 32.044 orang telah menamatkan sekolah - sekolah model Barat yang mulai diadakan sejak tahun 1900, kira-kira 14.500 orang diantara mereka dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah.
Di Madiun 134 orang adalah pegawai pemerintahan sedang 41 oraang bekerja pada perusahaan - perusahaan swasta. Pada akhir abad ke-20 ini adanya ketidak seimbangan antara jumlah lulusan sekolah - sekolah bergaya Barat dan jumlah posisi yang tersedia pada dinas - dinas pemerintahan, secara otomatis menyebabakan sejumlah orang yang berpendidikan Barat itu tidak dapat diterima pada dinas pemerintah. Keadaan ini membawa akibat - akibat pada peranan sosial kaum integensia modern itu. Karena posisi mereka menurut pendidikan tidak terpenuhi, maka mereka mendirikan suatu organisasi hierarkis yang tidak resmi berdasarkan nilai - nilai sosial yang baru.
Selain itu terdapat fakta - fakta lain yang ditemukan berkaitan dengan menurunnya mobilitas sosial vertikal yang disebabkan karena pendidikan Barat yaitu, dari tahun 1935 persediaan tenaga yang berpendidikan Barat telah melebihi permintaan, terutama pada tingkat jabatan - jabatan rendahan. Diketahui, bahwa pada posisi skala A tidak kurang yang diperlukan. Pada skala B presentasenya 37,8 % , keadaan ini menyebabkan devaluasi pendidikan barat.
Bangsawan birokrat kecil ini  dianggap sebagai orang baru (homines novi).  Ini dikarenakan mereka meniru cara hidup kaum elit lama priyayi itu atau karena perhubungan - perhubungan perkawinan diantara mereka, maka kaum hominis novi itu berhasil menaikan status dan prestise sosial. Golongan elit modern ini memegang peranan penting dalam masa pralihan politik di Indonesia. Penting diketahui bahwa tidak ada data yang cukup untuk mengetahui mengenai generasi nenek mereka. Ini semua dikarenakan kecepatan mobilitas yang disebabkan oleh pendidikan Barat tidak dapat diukur dengan pasti. Memang, tingkat peralihan dari generasi nenek ke generasi ayah terjadi bersamaan dengan meluasnya pendidikan Barat, dan pekerjaan modern lebih strategis dari pada yang lama.
Pada periode itu, sebelum membludaknya jumlah orang yang berpendidikan Barat,  keahlian yang diperoleh dari pendidikan sedikit saja sudah cukup untuk memegang peranan - perana dalam jabatan. Kesempatan yang luas juga disediakan oleh lembaga - lembaga pemerintahan maupun perusahaan -perusahaan swasta yang menyebabkan terjadinya mobilitas jabatan.

2.6 Peranan Pemerintah Belanda Dalam Pembentukan Stratifikasi Sosial pada Mayarakat Kolonial
            Kondisi stratifikasi sosial pada masyarakat Indonesia sebelum datangnya penjajah dalam hal ini adalah bangsa Belanda, terdiri atas golongan kelas atas diduduki oleh para kaum bangwasan, kelas menengah diduduki oleh para kaum birokrat pemerintahan dan pada kelas bawah diduduki oleh para kaum rakyat jelata. Pengolongan ini dilakukan bedasarkan pada faktor kekuasaan dan keturunan yang di pegang oleh kelas pertama yaitu, golongan keluarga Raja.
            Pasca datangnya bangsa Belanda di bumi pertiwi, pengelompokan yang didasarkan atas faktor kekuasaan dari keluarga Raja mengalami perubahan. Pada hakikatnya semua kekuasaan di dalam masyarakat kolonial Jawa dipegang oleh pemerintah Belanda, yang mengawasi semua perlengkapan kekuasaan, baik politik, ekonomi, maupun sosial. Hal yang paling mencolok dari sistem masyarakat kolonial adalah adanya diskriminasi peranan - peranan antara golongan Eropa dan golongan bumiputra. Kategori - kategori jabatan di pisahkan bagi masinng - masing golongan. Dijalankan suatu skala yang berbeda bagi gaji yang dibayar kepada dua golongan itu. Peranan keahlian dan peranan pemimpin nyata - nyata dihalang - halangi bagi golongan bumiputra. Meskipun ada beberapa golongan para ahli yang berpendidikan Barat yang sudah di perguanakan oleh pemerintah kolonial.
            Pada masa kekuasaan Belanda, masyarakat kolonial dikelompokan menjadi beberapa golongan. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa, yang paling mencolok adalah adanya diskriminasi sosial pada masyarakat kolonial Jawa dan masyarakat Eropa. Dengan kekuasaan yang dimilikinya bangsa Belanda mengambil alih kedudukan dari para kaum bangsawan sebagai golongan kelas atas pada saat itu, dimana bangsa Belanda menempatkan dirinya kedalam kelas teratas dalam stratifikasi sosial tersebut. Pada kelas selanjutnya yaitu kelas menengah diduduki oleh para kaum bangsawan dan birokrat pemerintahan yang memiliki hak - hak istimewa untuk memegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan pada kelas terbawah diduduki oleh para kaum rakyat kecil yang kebanyakan bekerja sebagai buruh angkut, petani kecil, kuli kontrak, dan berbagai pekerjaan kasar lainnya.



BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Stratifikasi sosial merupakan suatu gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat yang sifatnya umum. Selain itu dapat juga diartikan sebagai  pembedaan atau pengelompokan anggota masyarakat kedalam lapisan - lapisan atau kelas - kelas secara bertingkat atau hierarki.
Sebelum datangnya bangsa Belanda di Indonesia, hierarki stratifikasi sosial sudah mulai terlihat yaitu pada zaman kerajaan yang menggolongkan masyarakat kedalam beberapa kelas, yaitu golongan keluarga Raja, pejabat - pejabat tingkat tinggi dan pejabat - pejabat tingkat rendah. Ketika negara Hindia Belanda mulai menanamkan kekuasaannya, berlangsung perubahan. Disepanjang abad ke 19 perubahan luas dan mendalam terjadi pada masyarakat pulau Jawa. Pamor kekuasaan kerajaan - kerajaan merosot, baik dijadikan sebagai bagian pemerintahan jajahan maupun mengalami pembatasan.
            Stratifikasi sosial yang terjadi dalam masyarakat kolonial ini di golongkan berdasarkan beberapa kriteria yaitu, adanya diskriminasi sosial, berdasarkan tingkat jabatan, tipe rumah dan tingkatan pendidikan. Penggolongannya dapat disimpulkan menjadi tiga golongan yaitu kaum bangsawan, kaum birokrat pemerintahan dan rakyat kecil.
            Pendidikan pada masa pergerakan nasional merupakan alat yang digunakan untuk menyeleksi dan melatih seseorang dalam rangka memegang posisi - posisi dalam suatu status dalam masyarakat. Pendidikan yang ada di lingkungan masyarakat Jawa dijadikan sebagai salah satu kriteria yang lazim dalam pengangkatan jabatan di berbagai lembaga kedinasan, baik itu lembaga - lembaga pemerintahan ataupun perusahaan – perusahaan swasta. Pendidikan untuk masyarakat pribumi pada umumnya sangat dibatasi, karena persyaratan - persyaratan untuk mengenyam pendidikan Barat sangat sulit diantaranya adalah background keluarga dan pengetahuan bahasa Belanda yang membuat banyak masyarakat bumiputra memilih untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah biasa atau sekolah kelas 2. Sedangkan pendidikan Barat sendiri didominasi oleh anak -anak Eropa, Asia dan sebagian kecil Bangsawan Jawa. Kenyataan ini yang membuat terjadinya mobilitas horizontal, dimana masyarakat bumiputra pada umumnya tetap berada dalam kelas terbawah.
            Bangsa Barat, dalam hal ini adalalah Belanda dengan kekuasaannya mengeser kekuasaan dari kaum kerajaan. Mereka merubah stratifikasi sosial yang sudah berlaku pada masa kerajaan dengan menempatkan dirinya sendiri pada kelas pertama, diikuti oleh kaum bangsawan dan kaum birokrat pemerintahan pada kelas kedua dan pada kelas terakhir diduduki oleh masyarakat kecil.


DAFTAR PUSTAKA
a.    Kartodirjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru :Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
b.    Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, Nugroho. 2011. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta ; Balai Pustaka.


MAKALAH STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT KOLONIAL PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL



STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT KOLONIAL PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL
(Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia III)
Dosen Pengampu mata kuliah Dr. Nurul Umamah., M.Pd





Disusun oleh:

Eka Ariska Putri (120210302005)
Kelompok 10




PRODI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013


KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas taufiq dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah  ini dengan lancar. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi akhir zaman yang telah menunjukkan kita ke jalan yang diridhoi Allah SWT.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Sejarah Nasional Indonesia III dengan judul “Stratifikasi Sosial Masyarakat Kolonial Pada Masa Pergerakan Nasional”di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Jember. Kami berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kami dalam penyusunan makalah ini. Namun sebagai manusia biasa, kami tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan.
Kami mengucapakan terima kasih kepada dosen pembina serta beberapa kerabat yang memberi  masukan yang bermanfaat dalam penyususnan makalah  ini, meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi kelancaran penyusunan makalah ini.
Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi  kita semua. Kami sangat menyadari dari hasil makalah ini masih kurang sempurna, oleh karena itu kami  mengharapkan saran serta kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun.

                                                                                                   
Jember,    September 2013
                                                                       
Penyusun


DAFTAR ISI
                                                            Halaman
Halaman Judul............................................................................................. 1
Kata Pengantar ...........................................................................................  2
Daftar Isi ......................................................................................................  3
Bab I Pendahuluan .....................................................................................  4
1.1.Latar Belakang ........................................................................................  4
1.2.Rumusan Masalah ...................................................................................  5
1.3.Tujuan .....................................................................................................  5
Bab II Pembahasan ....................................................................................  6
2.1. Stratifikasi Sosial ...................................................................................  6
2.2. Masyarakat Kolonial ..............................................................................  7
2.3. Stratifikasi Sosial Sebelum Datangnya Bangsa Barat ...........................  9
2.4. Stratifikasi Sosial Masa Pergerakan Nasional ........................................  14
2.5. Peranan Pendidikan ...............................................................................  19
2.6. Peranan Pemerintah Hindia Belanda .....................................................  25
Bab III Penutup ..........................................................................................  27
1.1.Kesimpulan .............................................................................................  27
Daftar Pustaka ............................................................................................  29




BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sebelum datangnya bangsa Belanda di Indonesia, hierarki stratifikasi sosial sudah mulai terlihat yaitu pada zaman kerajaan yang menggolongkan masyarakat kedalam beberapa lapisan. Paul B Horton dan Chester L Hunt (1992:5) berpendapat bahwa, “stratifikasi sosial merupakan sistem peringkat status dalam masyarakat”. Peringkat memberitahukan kepada kita adanya dimensi vertikal dalam status sosial yang ada dalam masyarakat. Biasanya stratifikasi didasarkan pada kedudukan yang diperoleh melalui serangkain usaha perjuangan.
Dapat dikatakan bahwa adanya birokrasi modern dan pendidikan modern yang mempercepat terjadinya proses strstifikasi sosial dalam masyarakat. Aspek pendidikan modern ini merupakan jalan yang paling banyak digunakan dalam mewujudkan kemajuan sosila di kalangan masyarakat kolonial di Jawa. Adanya birokrasi modern secara langsung menjadikan pendidikan sebagai aspek penting dalam mobilitas sosial, baik dari pekerjaan maupun penghasilan. Dalam kenyataannya pendidikan merupakan harga mati untuk dapat memperoleh suatu pekerjaan yang terpandang dengan kategori lebih tinggi yang memiliki penghasilan yang besar.
Sudah menjadi rahasia umun bahwa, kesempatan belajar pada zaman kolonial sangat terbatas. Pendidikan Barat pada masa kalonial hanya dapat dirasakan oleh beberapa gelintir orang dengan syarat yang sangat sulit. Pendidikan Barat ini erat kaitannya dengan status sosila yang tinggi dan menjadi lambang prestise. Untuk masyarakat bumiputra yang dapat mengenyam pendidikan Barat biasannya berasal dari golongan birokrat atas maupun bangsawan dan tidak diperkenankan bagi kalangan masyarakat bumiputra pada umumnya.


1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan pada rincian yang telah dikemukakan sebelumnya, yang menjadi pokok penulisan pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Jelaskan tentang pengertian stratifikasi sosial ?
2.      Jelaskan tentang masyarakat kolonial ?
3.      Bagaimana stratifikasi sosial masyarakat sebelum datangnya Bangsa Barat ?
4.      Bagaimana stratifikasi sosial masyarakat kolonial masa pergerakan nasional ?
5.      Bagaimana peranan pendidikan dalam membentuk stratifikasi sosial masyarakat kolonial pada masa pergerakan nasional ?
6.      Bagaimana peranan pemerintah Hindia Belanda dalam pembentukan stratifikasi sosial masyarakat kolonial pada masa pergerakakn nasional ?

1.3 Tujuan
1.    Untuk mengetahui dan memahami hakekat dari stratifikasi sosila.
2.    Untuk mengetahui dan memahami hakekat masyarakat kolonial.
3.    Untuk mengetahui dan memahami keadaan stratifikasi sosisal masyarakat sebelum datangnya bangsa Barat.
4.    Untuk mengetahui dan memahami keadaan stratifikasi sosial masyarakat kolonial pada masa pergerakan nasional.
5.    Untuk mengetahui dan memahami pengaruh pari peranan pendidikan dalam membentuk stratifikasi sosial masyarakat kolonial pada masa pergerakan nasional.
6.    Untuk mengetahui dan memahami peranan pemerintah Hindia Belanda dalam pembentukan stratifikasi sosial masyarakat kolonial pada masa pergerakan nasional.



BAB 2. PEMBAHASAN



2.1 Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yakni stratum, yang berarti lapisan atau tingkatan dan socius yang berarti teman atau masyarakat. Jadi, secara umum stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaan atau pengelompokan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan atau kelas - kelas secara bertingkat atau hierarki. Stratifikasi sosial merupakan gejal sosial yang sifatnya umum pada setiap masyarakat. Pada zaman Yunani Kuno, Aristoteles (384–322 SM) telah menyatakan bahwa pada setiap negara selalu terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. Berikut adalah pendapat dari para ahli mengenani hakekat dari stratifikasi sosial :
a.    Pitirim A. Sorokin (1959)
Stratifikasi sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat. Setiap lapisan itu disebut dengan strata sosial. Selain itu, stratifikasi sosial merupakan ciri yang tetap pada setiap kelompok sosial yang teratur.
b.    Paul B. Horton dan Chester L.Hunt ( 1992: 5 )
Stratifikasi sosial merupakan sistem peringkat status dalam masyarakat. Peringkat memberitahukan kepada kita adanya demensi vertikal dalam status sosial yang ada dalam masyarakat.
c.       Soerjono Soekanto (1981: 133)
Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas - kelas secara bertingkat atau system berlapis - lapis dalam masyarakat. Stratifikasi sosial merupakan konsep sosiologi, dalam artian kita tidak akan menemukan masyararakat seperti kue lapis; tetapi pelapisan adalah suatu konsep untuk menyatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan secara vertikal menjadi kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan kriteria tertentu.
d.   Max Weber
Stratifikasi sosial merupakan penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege dan prestise.
e.    Bruce J. Cohen
Stratifikasi sosial adalah sistem yang menempatkan seseorang sesuai dengan kualitas yang dimiliki dan menempatkan mereka pada kelas sosial yang sesuai.
f.     Astried S. susanto
Stratifikasi sosial adalah hasil kebiasaan hubungan antarmanusia secara teratur dan tersusun sehingga setiap orang mempunyai situasi yang menentukan hubungan dengan orang secara vertical maupun horizontal dalam masyarakatnya.
g.      Mosca
Stratifikasi sosial adalah pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya.
h.      P.J. Bouman
Stratifikasi sosial adalah golongan manusia dengan ditandai suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa yang tertentu dan karena itu menuntut gengsi kemasyarakatan.
           

2.2 Masyarakat Kolonial
Sebelum datangnya bangsa Barat di wilayah Indonesia, masyarakat Indonesia berada di dalam kehidupan politik bentuk kerajaan atau kesultanan. Masyarakat kerajaan ini lebih tersusun atas jabatan dan kekuasaan yang hampir seluruhnya menerima pengaruh agama islam. Masyarakatnya mengenal garis keturunan hierarki yaitu garis keturunan raja dan ningrat dengan hak politik turun temurun. Kemudian masyarakat biasa sangat bergantung pada kebijakan kerajaan walaupun tidak terintegrasi secara utuh atau sepenuhnya.
Ketika negara Hindia Belanda mulai menanamkan kekuasaannya, berlangsung perubahan. Disepanjang abad ke 19 perubahan luas dan mendalam terjadi pada masyarakat pulau Jawa. Pamor kekuasaan kerajaan - kerajaan merosot, baik dijadikan sebagai bagian pemerintahan jajahan maupun mengalami pembatasan. Kerajaan yang menjadi bagian pemerintah kolonial kehilangan kekuasaan politik dan menjadi tidak lebih sebagai simbol budaya masyarakat. Daerah kekuasaan kerajaan ini semakin di persempit oleh pemerintah jajahan. Di daerah – daerah yang dikuasai oleh pemerintah jajahan itu, Bupati dan jajarannya menerima kaula mereka. Masyarakat Jawa dikenakan pemungutan langsung berupa pajak oleh pemerintah kolonial. Dengan adanya kegiatan sesmacam ini menyebabkan masyarakat pedesaan yang semakin terseret arus perekonomian yang membawanya kedalam perekonomian global dunia.
Kehidupan masyarakat kolonial mengenal adanya kehidupan perkotaan yang bersifat majemuk sekaligus tidak langsung bergantung pada kegiatan ekonomi pertanian. Sebagian kota - kota yang berkembang adalah tempat- tempat bermukim dan kota pelabuhan yang telah ada sebelumnya. Lalulintas ekonomi yang tinggi mendorong perkembangan kota - kota itu menjadi modern. Pusat perekonomian yang di tandai oleh keberadaan kantor perusahaan dan peredaran uang menciptakan pengelompokan sosial. Pada umumnya penduduk kota adalah kalangan masyarakat Eropa, Indo Eropa dan masyarakat asing lainnya. Sebagian masyarakat pribumi terlibat dalam kegiatan kota selain para pegawai dan profsional adalah kalangan pedangang kecil dan pekerja rendah lainnya. Kebutuhan kota akan tenaga terampil mendorong pendirian sekolah - sekolah lanjutan yang kemudian menghasilkan kelompok berpendidikan yang mencari  lapangan kerja dan ruang gerak dalam kehidupan mereka. Disamping perkembangan fisik, seperti fasilitas ekonomi, sosial, prasarana perhubungan dan pemukiman, perkembangan perkotaan menyentuh masalah kemajuan masyarakat dan budaya seperti kehadiran pers yang mengintensifkan pertukaran informasi melampaui jarak dan pelapisan sasial.

2.3 Stratifikasi Sosial Masyarakat Sebelum Datangnya Bangsa Barat
            Latar belakang tradisional ini apabila dilihat dari aspek sejarah maka, yang paling menonjol adalah struktur kelas masyarakat Jawa. Dimana perubahan struktur sosial yang terjadi sangat sedikit selama beberapa abad lamanya, dikarenakan sistem dari stratifikasi sosial pada saat itu adalah stratifikasi sosial tertutup.  Stratifikasi sosial tertutup merupakan bentuk strata yang anggotanya sulit mengadakan mobilitas vertikal. Mobilitas hanya terbatas pada mobilitas horizontal karena bersifat diskriminatif. Sebelum datangnya bangsa Belanda di Indonesia, hierarki stratifikasi sosial sudah mulai terlihat yaitu pada zaman kerajaan yang menggolongkan masyarakat kedalam beberapa kelas, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Kelas teratas diduduki oleh kelas dari golongan keluarga Raja yang memegang pemerintahan secara turun-temurun langsung dari aristokrasi yang sedang berkuasa. Keluarga Raja menduduki kelas tertinggi dalam stratifikasi sosial dan mendapatkan perlakuan istimewa yang dapat menuntut pengabdian dari rakyatnya. Seseorang bangsawan istana dapat menuntut untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dengan menunjukan pertalian saudara yang dekat dengan Raja yang sedang berkuasa. Sedangkan untuk kaum bangsawan daerah dihubungkan dengan dinasti raja menurut garis cabang keturunan yang dimulai dari pemerintahanan salah seorang raja dari dinasti itu. Sedangkan untuk kaum bangsawan rendahan mungkin sekali keturunan keluarga - keluarga raja terdahulu. Kerabat raja yang terkemuka biasanya disebut dengan ksatriya. Para ksatriya ini mempunyai beberapa nama yang diperoleh bedasarkan atas umur dan fungsi mereka dalam masyarakat.
b.      Kelas pejabat - pejabat tinggi yang diduduki oleh para pengikut dari Raja, termasuk didalamnya adalah para pejabat - pejabat militer, sipil, agama, dan kehakiman. Kecuali para ulama istana. Mereka mendapat sebutan sebagai mantri atau mandari, dimana jabatan yang mereka pegang tidak bersifat turun temurun dan untuk kaum bangsawan tidak dapat menduduki jabatan ini. Para pengikut Raja ini mendapatakan kekuasaan legal dari Raja termasuk dalam elit politik.
c.       Kelas yang diduduki oleh para masyarakat pada umumnya, yaitu masyarakat kecil yang memiliki pekerjaan sebagai petani kecil, buruh angkut, kuli kontarak dan berbagai pekerjaan kasar lainnya.
Adanya pembagian masyarakat kedalam kelas – kelas sosial ini karena kekayaan yang diawasi secara turun - temurun, yang dijadikan poin sebagai ukuran dari stratifikasi sosial ini adalah mengenai kedudukan, jabatan dan pemerintahan. Pembagian masyarakat kedalam pangkat dan jabatan ini disesuaikan dengan posisi dari hierarki kekuasaan yang dimiliki, sedangkan mengenai kekayaan hanya menjadi determinasi sekunder dalam stratifikasi sosial tersebut.
            Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa, aspek yang dijadikan sebagai pengolongan masyarakat adalah jabatan kerajaan. Golongan yang memiliki status tertinggi adalah golongan pemegang jabatan kerajaan. Merupakan sebuah demokrasi antara kelas pemegang kekuasaan dan kelas masyarakat kebanyakan. Hubunan antara pangkat dan jabatan yang tidak dapat dipisahkan satusama lain ini mengakibatkan susunan pangkat menyesuaikan dengan hierarki birokrasi tersebut dimana kelas tertinggi dipegang oleh keluarga kerajaan. Maka dapat dikatakan secara tegas bahwa stratifikasi sosial itu dapat ditentukan berdasarkan garis birokrasi tersebut yang merupakan hal tipis dalam masyarakat tradisional di wilayah Jawa.
Golongan – golongan sosial di luar dari kelas pemegang pemerintahan terdiri atas kepala – kepala daerah (akawu) dan pembesar – pembesar daerah (anden). Selain itu juga terdapat para pemuka agama atau apinghay, para petani – petani bebas, dan para hamba sayaha atau bertya. Merupakan golongan – golongan terbesar dalam penduduk di seluruh wilyah. Adanya rakyat kota dan rakya desa mengakibatkan struktur sosial tersendiri. Perbedaan diantara keduanya ini tersirat secara jelas, dimana masyarakat desa lebih keterbelakang apabila di bandingkan dengan masyarakat kota kerajaan. Selain itu juga karena pada masyarakat kota kerajaan merupakan pusat dari pemerintahan kerajaan dimana terdapat tempat kediaman dari Raja. Perbedaan diantara keduanya dalam hal cara hidup melahirkan adanya dua unsur kebudayaan yang berbeda. Dimana cara hidup masyarakat desa lebih condong pada kebudayaan rakyat dengan tradisi kecil. Berbeda dengan masyarakat kota kerajaan yang lebih condong pada kebudayaan kota dengan tradisi besarnya.
Perbedaaan cara hidup ini merupakan suatu tanda yang nyata dari status kebangsawanan dengan penduduk desa pada umumnya. Selain itu, pejabat -pejabat istana tingkat rendah seperti kepala - kepala bawahan (tanda), pengawal - pengawal (gusti), dan pelayan-pelayan (wadya haji) termasuk sebagai pendukung kebudayaan kota, namun mereka tidak secara langsung diakui sebagai golongan bangsawan. Disebabkan karena kedudukakan dan jabatan mereka yang rendah pada stratifikasi sosial yang ada. Hanya kepala – kepala dari masing – masing bagianlah yang memperoleh statusnya secara resmi, sedangkan untuk pegawai –pegawai bawahannya, seperti pemungut pajak atau pegawai-pegawai pajak hanya memperoleleh gelar kebangsawanannya degan status setengah resmi. Sedangkan untuk seniman – seniman, pedangang – pedangang, tukang – tukang, budak – budak dan para orang asing berada di luar kelas – kelas pemerintahan.
Kerajaan Jawa pada abad ke-17 mengalami perkembangan yang pesat dalam hal birokrasi, hal ini mengakibatkan lahirkan stratifikasi status sosial yang cakupan bidangnya lebih luas dan personal hierarki sosialnya lebih beraneka warna. Karena masyarakat saat itu terisolasi dengan hingar - bingar pusat perdagangan internasional, maka menyebabkan watak kerajaan agraris itu semakin kuat, sehingga menimbulkan pengumpulan dan distribusi barang relatif stabil dan stratifikasi sosial menurut status menjadi lebih kuat.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan tinggi rendaahnya kedudukan seseorang dalam masyarakat, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Pertama prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan Raja yang sedang berkuasa.
b.      Kedua prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh posisi seseorang didalam hierarki birokratis.
Apabila seseorang memiliki paling tidak salah satu atau bahkan semuanya dari kedua persyaratan tadi, mereka dianggap telah masuk dalam golongan elit. Sebaliknya apabila mereka tidak tergolong dalam kedua persyaratan tadi maka dianggap sebagai rakyat pada umumnya. Tingkatan - tingkatan yang ada pada kalangan bangsawan yaitu mengenai sistem pangkat yang bertinggkat - tinggkat itu di utamakan. Dapat dikatakan bahwa, kerabat raja ditempatkan pada tempat yang tinggi, karena hubungan pertalianya pada kerajaan menurut raja terakhir yang sedang memegang pemerintahan. Pertalian yang berasal dari raja-raja yang memerintah lebih dahulu di tempatkan pada tingkatan yang lebih rendah. Tingkatan kerajaan itu sangat luas, maksudnya adalah siapapun kalau memang dapat menunjukan pertaliannya dengan sorang raja yang pernah memerintah, diberi gelar sebagai tanda kebangsawanan. Tapi sebenarya inti kebangsawanan itu hanya terjadi atas anak cucu raja sampai generasi yang kelima.
Sebagai indeks tingkat, gelar dan nama masyarakat Jawa mempunyai nilai tinggi sekali. Tidak ada seorang pejabat yang dikenal denga namanya sendiri, mereka lebih  dikenal dengan nama gelar dan nama resminya yang berhubungan dengan jabatan yang didudukinya. Kaum elit birokrasi ini (priyayi) menduduki posisi penting dalam hieraki status tradisional.
            Asal mula dari priyayi ini sebenarnya terdiri dari orang-orang yang diberi kewenangan oleh penguasa karena kekerabatan atau karena pengabdian tradisional atau karena kecakapan dan menunjukan kesetiaan kepada kepentingan penguasa. Dengan berbagai jalan golongan elit ini mempertahankan diri mereka sendiri dan memperbesar pengaruh mereka. Priyayi dapat meningkatkan dirinya pada kaum bangsawan melalui perkawianan, apabila dilihat dari rumah meniru kebudayaan dan  tradisi keraton. Mereka mempunyai keharusan untuk hidup melalui cara-cara yang baik. Para priyayi ini di bedakan dengan penduduk kebanyakan berdasarkan tempat tinggalnya, termasuk di dalamnya letak, ukuran dan susunannya. Mereka memelihara sejumlah besar abdi, sedang perbedaan pakaian dan beberapa lambang menambah perbedaan mereka dengan rakyat kebanyakan. Mereka dengan sungguh – sungguh mempertahankan perbendaan yang  ada antara mereka dan rakyat kebanyakan itu.
            Dengan demikian maka, priyayi mempunyai keyakinan bahwa, mereka merupakan segala hal lebih jika dibandingkan dengan kelas di bawah kelas mereka.  Hal ini dapat dianggap bahwa posisi otoritas yang ada pada mereka itu disebabkan oleh keadaan mereka. Semua pekerjaan kasar pantang bagi mereka. Karena bagi kalangan priyayi pekerjaan kasar merupakan suatu hal yang rendah termasuk kegiatan – kegiatan yang bersifat ekonomis. Ini sangat jelas jika dilihat dari gaya hidup kalangan priyayai yang lebih mengutamakan nilai - nilai spiritual dan luhur bersih dari masalah keduniawian. Sebagian besar dari kalangan priyayi merupakan kalangan birokrat, maka priyayi - priyayi itu membangun budaya - budaya mereka berdasarkan kepentingan yang sangat kuat untuk statusnya, sikap sopan santun yang berlebih - lebihan dan untuk seni yang murni. Para kalangan priyayi ini merupakan pendukung sekaligus pelindung bagi seni  adat kebiasaan menurut pola - pola yang ada dalam kehidupan aristokratis.


2.4 Stratifikasi Sosial Mayarakat Kolonial Masa Pergerakan Nasional
Hubungan sosial yang terjadi pada masyarakat kolonial saat itu lebih didasarkan pada sistem kelas sesuai dengan struktur sosial yang ada. Suatu struktur, yang terjadi atas bangsa asing, dibagun dengan adanya hubungan kolonial itu. Hubunagan yang dimaksud diantarannya adalah hubungan yang bersifat superordinasi dan hubungan yang bersifat subordinasi.
Masyarakat kolonial saat itu distratifikasikan kedalam beberapa lapisan dengan kriteria yang dipergunakan untuk menempatkan seseorang kedalam struktur sosial, yang diantaranya adalah sebagai berikut :

1.      Stratifikasi sosial berdasarkan pembedaan ras.
Ciri sosial yang mencolok pada masyarakat jajahan di Jawa adalah masyarakat kolonial yang dapat dikatakan seperti masyarakat kasta, dimana dalam penggolongananya tersusun atas dua golongan yang saling berdampingan. Pertama adalah keanggotaan yang ada pada satau – satunya komunitas tersebut ditentukan atas dasar faktor kelahiran. Selanjutnya adalah penggolongan masyarakat kolonial yang berdasarkan atas perbedaan ras. Dapat ditarik kesimpulan bahwa, diskriminasi berdasarkan ras hampir terjadi di seluruh sendi kehidupan sosial. Pembatasan - pembatasan jabatan yang tajam ditentukan atas dasar rasial dan mobilitasnya ke atas ditentukan batas-batasnya sampai pada tingkat - tingkat tertentu. Diskriminasi ras ini ditandai dengan kaum bumiputra yang berkutat pada jabatan - jabatan rendah dan pada lapisan atas yang tipis terdiri atas golongan Eropa. Perbedaan status ekonomi antara golongan kecil penduduk kulit putih dan masyarakat bumiputra di bagian yang paling bawah.
Selain itu, adanya pembatasan-pembatasan pergaulan sosial antara ras - ras. Tidak adanya kontak sosial dan adanya pemisahan-pemisahan fisik yang sangat mencolok. Masyarakat Jawa dengan keras dilarang memasuki perkumpulan - perkumpulan, lapangan - lapangan olahraga, sekolah - sekolah, tempat-tempat umum dan daerah tempat dimana kediaman bangsa Belanda. Bentuk lahiriah wilayah Indonesia pada saat ini masih menjadi bukti adanya pemisahan - pemisahan pada zaman kolonial itu. Anggota - anggota sosial yang dominan yang sebagian besar terdiri dari orang - orang Eropa, di kota – kota mereka mempunyai daerah - daerah tempat tinggal yang khusus dan di bagian kota yang baik. Karena pergaulan hidup antara golongan - golongan itu tertutup, maka apabila tidak ada kontak yang perlu, golongan golongan itu berusaha menjauhkan diri satu sama lainnya. Dapat dinyatakan lebih konkrit, mereka hidup, bekerja dan membangun pada jalan yang sama sekali berbeda, dan mereka mempunyai kepentingan - kepentingan, kemampuan - kemampuan dan ideal - ideal yang tidak sama. Hanya pada hubungan - hubungan formal, seperti hubungan majikan dengan buruh atau hubungan tuan dengan hamba, terjadilah kontak tetapi kontak yang menunjukan ketidaksamaan tersebut. Bilamana kontak sosial tidak dapat di hindari, maka jarak sosial itu diterbitkan dan di lambangi dengan berbagai macam etiket dan berbagai macam mekanisme untuk melindungi diri sendiri. Semua bentuk pemisahan  yang mencolok itu di institusionalisasikan untuk mencegah kontak sosial pada tingkat - tingkatan dimana ada kesamaan sosial atau keakraban. Dilihat dari segi ini, maka masyarakat kolonial itu sunggun -sungguh menyerupai masyarakat yang berkasta.
Tahun 1930 jumlah seluruh penduduk bumiputra di Jawa hampir mendekati 41.000.000 sedangkan untuk jumlah penduduk Eropa hampir 200.000. Berarti jumlah penduduk Eropa hanya sebesar 0,5% dari penduduk bumiputra. Penduduk yang sedikit banyak boleh dikatakan penduduk kota hanya 3.500.000 atau 8,5% dari seluruh penduduk Jawa. Dari jumlah itu golonga Eropa seluruhnya berjumlah 650.000. 64,5%. dalam waktu 30 tahun jumlah mereka bertambah tiga kalilipat. Kenaikan jumlah masyarakat Eropa ini dikarenakan karena adanya perluasan aparatur pemerintah dan perusahaan - perusahaan Barat. Sesuatu hal yang menarik perhatian bahwa pada periode itu juga pendudukan dan pekerjan terbuka lebih besar bagi bangsa Indonesia. Meskipun bagsa Indonesia dapat diangkat pada fungsi-fungsi taraf menengah, tapi bagian-bagian tingginya sebagian diisi oleh orang-orang Eropa, yaitu Indo Eropa atau mereka yang di datangkan ke Jawa dari negeri Belanda. Dari sini dapat ditemukan adanya prinsip diskriminasi ras. Statistik 1938 menunjukan pertalian dari proporsi itu, dimana Panitia studi perubahan - perubahan politik membuat suatu gambaran diantaranya adalah :
a.    92,2% dari pegawai - pegawai tinggi pada dinas - dinas pemerintah adalah orang Eropa. Pada berbagai cabang fungsi - fungsi golongan administratif golongan Eropa menjadi mayoritasnya, misalnya 77% dalam staf teknis, 83% dalam staf pengawasan, dan 67% dalam sataf keuangan.
b.    Sedangkan 6,4% bangsa Indonesia.

2.      Stratifikasi sosial berdasarkan segi jabatan
Salah satu hal yang khas dari masyarakat kolonial adalah adanya perbedaan pokok antara pekerjaan - pekerjaan Eropa dan non-Eropa. Pengangkatan - pengangkatan yang terjadi dalam kategori pekerjaan - pekerjaan Eropa erat kaitannya dengan skala gaji khusus, yang dicocokan dengan taraf hidup yang tinggi dari golongan Eropa. Hal ini yang dinamakan dengan golongan penghasilan skala C, untuk skala B pengetahuan tentang bahasa Belanda diwajibkan, sedangkan skala A meliputi beberapa pekerjaan dimana bahasa Belanda diwajibkan, dan beberapa pekerjaan bagi mereka yang berpendidikan dasar dengan bahasa bumiputra. Selain itu juga ditemui golongah upahan yang tergolong dalam skala upahan bumiputra. Posisi pada dinas - dinas pemerintah di mana bahasa Belanda diwajibkan berjumlah 19.6% sedang pada perusahaan partikelir 17%.
Sejak diberlakukannya peraturan kepegawaian yang berdasar pada background pendidikan, dalam hal ini dilihat pada sekolah - sekolah model Barat pada umumnya, dan pengetahuan mereka tentang bahasa Belanda khususnya, maka pembagian jabatan menunjukan gambaran sebagai berikut:
1.      Pertama golongan yang bergaji kurang dari f 50 yang termasuk golongan Eropa hanya 0.49% dan 92,61% adalah golongan bumiputra, sedang kategori pegawai dengan gaji f 250 atau lebih golongan Eropanya meliputi 82,65% dan golongan bumiputranya hanya 7,35%.
2.      Kedua, dintara 8.303 orang pejabat pada dinas - dinas pemerintah hanya ada 189 orang bumiputra.
3.      Ketiga, personel administrasi dari kelas B prosentase pegawai-pegawai bumiputra makin keatas makin menurun.
Berdasarkan data tersebut, 66,9% dari pos - pos tulis kelas dua diduduki oleh golongan bumiputra, 52%  pada pos - pos juru tulis kelas satu, 47% pada pos - pos ajung-komis, 30,2%  pos komis kelas satu, 0,7% pada komis tingkat kepala, dan tidak ada sama sekali pada pos kepala kantor. Angka-angka yang menunjukan prosentase pegawai Eropa sebaliknya, yaitu menanjak keatas dari 31% dan berakhir pada 100%.
Secara umun dapat disimpulkan bahwa, aspek pembedaan penghasilan itu sebaian besar disesuaikan dengan dengan perbedaan ras, dengan pengolongan rata – rata sedikit golongan Eropa di bagian atas dan banyak sekali golongan bumiputra di bagian bawah. Terpencarnya golongan bumiputra di dalam stratifikasi jabatan pada masyarakat Jawa dan diteruskan pembedaan warna dapat digambarkan dengan suatu diagram yang berbentuk limas. Diagram ini mengambarkan, bahwa terdapat ketidak seimbangan pada penempatan masyarakat kolonial Jawa, dikarenakan diskriminasi ras dan faktor pendidikan yang minim pada masyarakat kolonial Jawa. Dalam stratifikasi sosial tersebut juga pada lapisan tengahnya terlampau sedikit atau tidak ada sama sekali dari masyarakat kolonial. Apalagi pada lapisan atas, tidak ditemukannya masyarakat dari golongan kolonial Jawa. Lapisan atas dan tengah cenderung diduduki oleh masyarakat Belanda dan Indo Belanda. Baru pada lapisan bawah banyak ditemui masyarakat kolonial Jawa.

3.      Stratifikasi sosial berdasarkan tipe tempat tinggal
Selain digolongkan berdasarkan kriteria diskriminasi ras dan penggolongan jabatannya, stratifikasi sosial yang terjadi dalam kalangan masyarakat kolonial ini dapat digolongkan berdasarkan tipe tempat tinggal. Tahun 1930 jumlah penghuni rumah rata - rata 4 orang bagi golongan Eropa dan 4,7 orang bagi bangsa Jawa. Dan hanya 2% dari penduduk Eropa di Jawa yang berdiam di rumah yang dibuat dari material yang tidak permanen, sedangkan untuk golongan bumiputra 40%. Jumlah rumah batu yang didiami golongan Eropa berjumlah 35.890 buah, sedangkan yang didiami golongan bumuputra berjumlah 352.353 buah.
Rumah dengan gaya modern juga menjadi tanda status kehidupan yang tinggi. Lokasi rumah yang khusus, ukuran besarnya, struktur dan susunannya. Semua itu secara langsung menunjukan status pemiliknya. Rumah - rumah priyayi tinggi berukuran besar, dibuat dari batu seperti halnya rumah - rumah pegawai menengah dan pegawai tinggi sedangkan pegawai - pegawai rendahan bertempat tinggal di rumah - rumah kayu dan penduduk - penduduk desa di rumah -rumah bambu. Namun mengenai hal ini belum dapat dibuat anilisis statistik dari data sosial ekonomi mengenai unsur kebudayaan ini. Selain ini juga ada kriteria lain yang digunakan sebagai penggolongan masyarakat kolonial kedalan struktur sosial, kriteria tersebut adalah sektor pendidikan.

2.5 Peranan Pendidikan
Pendidikan umumnya merupakan alat yang dijadikan untuk menyeleksi dan melatih seseorang dalam rangka untuk memegang posisi - posisi dalam suatu status dalam masyarakat. Pendidikan yang ada di lingkungan masyarakat Jawa sangatlah penting, karena pendidikan dijadikan sebagai salah satu kriteria yang lazim dalam pengangkatan jabatan di berbagai lembaga kedinasan, baik itu lembaga - lembaga pemerintahan ataupun perusahaan - perusahaan swasta. Sebagian besar golongan masyarakat bumiputera yang memperoleh pendidikan Barat mendapatkakn pekerjaan pada dinas - dinas pemerintahan.
Pada tahun 1928, 45% golongan dari bumiputera yang setidaknya memperoleh pendidikan rendah pada sekolah - sekolah bergaya Barat, dipekerjakan sebagai pegawai - pegawai negeri. Dapat dikatakan dari data tersebut bahwa, politik pengajian pemerintah lebih didasarkan pada penyamaan fungsi dengan gaji dan pendidikan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan menegenai daya tarik dari pendidikan Barat adalah karena dengan mengenyam pendidikan ini maka seseorang dapat mendapatkan prioritas untuk memperoleh posisi - posisi sebagai pengawasan dan pemegang kekuasaan. Maka tidak mengherankan, apabila  pendidikan Barat menjadi idam - idaman orang dan orang menghargai mereka yang berpendidikan Barat tanpa mengingat asal - usul mereka. Meskipun demikian, pada mulanya pendidikan Barat sangat terbatas, hanya tersedia bagi anak priyayi tinggi. Selain dari pada itu pengetahuan mengenai Bahasa Belanda di wajibkan dalam pendidikan Barat, sehingga pengetahuan itu lambat laun hampir identik dengan lambang status yang tinggi.
Dalam perkembangan selanjutnya, basis dari pendidikan Barat ini lebih diperluas lagi dan pada prinsipnya menjadi lebih terbuka, yang sebelumnya bersifat tertutup untuk kalangan masyarakat kolonial pada umumnya. Pendidikan Barat ini terbuka baik bagi mereka yang berbakat maupun berbangsa. Meskipun demikian, pada sasarannya pendidikan Barat ini masih dibatasi, oleh karena itu pada dasarnya pendidikan ini tidak sepenuhnya bersifat terbuka, dan relatif hanya segelintir masyarakat kolonial yang dapat mengirimkan anak - anaknya untuk memperoleh pendidikan pada sekolah – sekolah bergaya Barat. 
2.3.1 Perkembangan Sistem Sekolah di Indonesia
Berkaitan dengan perkembangan sistem sekolah di Indonesia, publikasi resmi memcatat bahwa dari 1900 sampai 1928 pelajar - pelajar dari pendidikan rendah dari golongan bumiputera berlipat ganda kira-kira 12 kali lipat atau dengan angka-angka yang mutlak dari 125.444 orang menjadi 1.513.088 orang. Dari jumlah murid yang terakhir ini 65.106 orang disekolah dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. jumlah ini semulanya hanya 6 kali. Kecepatan meluasnya sekolah - sekolah dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan meluasnya sekolah - sekolah dengan bahasa bumiputera jelas menunjukan bahwa golongan sekolah yang pertama ini sangat dibatasi dan sejak semula sangat efektif. Sekolah - sekolah dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar direncanakan untuk menjadi sekolah - sekolah golongan elit atau standen school.  Angka - angka yang mutlak rupanya tidak begitu menarik, karena jumlah pengajar hanya menunjukan 2,93% dari seluruh penduduk luar Jawa.  Mengenai penduduk golongan Eropa presentasinya lebih tinggi yaitu 16,97% dan 13,8%. Dari data - data tersebut maka dapat ditarik kesimpulan secara pasti, bahwa fasilitas - fasilitas pendidikan lebih menguntungkan golongan - golongan Eropa dan elit bumiputera dari pada fasilitas - fasilitas untuk masyarakyat kolonial pada umumnya.
Hal yang sama terjadi pada taraf sekolah menengah, dimana terjadi proses yang sama. Jumlah pelajar mengengah pertama dari golongan bumiputera pada tahun 1900 adalah 25 orang. Sedangkan pada permulan abad ke-20 mencapai jumlah 2.602, pada tahun 1928 jumlahnya 6.468 orang. Pada permulaan abad ini  mayoritas golongan Eropa adalah 95.5% pada 1928 diperkecil menjadi 48,8%. Keadaan semacam ini disebabkan karena adanya sekolah - sekolah tipe baru yang terutama banyak dikunjungi oleh golongan bumiputra untuk memberikan pendidikan kepada anak - anaknya. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa menurut proporsi penduduk meningkanya pelajar - pelajar sekolah menengah bumiputera itu tidaklah begitu berarti.
Sedangkan unutuk perkembangan pendidikan tinggi dapat dipaparkan dengan sangat singkat. Yaitu mengenai pendirian perguruan tinggi yang baru didirikan pada tahun dua puluhan dan pada tahun 1928 jumlah mahasiswanya adalah mencapai 259 orang. Jumlah ini sangatlah sedikit apabila dibandingkan dengan keadaan yang ada di negeri Belanda, dimana pada tahun 1928 jumlah mahasiswanya mencapai 12.619 orang.
Publikasi resmi mengatakan bahwa, bertambahnya golongan bumiputera pada sekolah - sekolah rendah Barat, dalam jangka waktu 30 tahun 22,4 kali pada sekolah menengah 227,7 kali. Perlu diketahui bahwa, angka - angka tersebut dapat menimbulakan kesalah pahaman apabila tidak melihat pada perimbangannya dengan penduduk, cepatnya perluasan pendidikan modern itu sebagai sumber pokok asal golongan elit modern.
2.3.2 Peranan Pendidikan Terhadap Stratifikasi Sosial
Problema dari mobilitas sosial antara generasi ke generasi memiliki penjelasan  yang sangat minim. Kenyataannya dapat ditunjukan adalah 86% dari orang tua murid rendah sekolah barat adalah buruh upahan atau orang gajian. Golongan ini 73,8% terdiri atas pegawai negeri dan 26,3 % pegawai perusahaan swasta. Sebagai perbandingan dapat meninjau angka - angka yang mengenai golongan Timur Asing terutama golongan Cina. 67% orang tua murid sekolah Barat itu bukanlah buruh upahan dan hanya 4,9% pegawai negeri. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, mayoritas golongan ini adalah golongan kelas menengah, tidak termasuk dalam elit birokrat. Mereka umumnya adalah golongan orang berada, majikan perusahaan dan pedangang. Kelas pekerja rendah tidak ada diantara golongan Cina di Jawa.
Pada awal permulaanya syarat-syarat masuk sekolah rendah Barat dilakukan seleksi yang sangat selektif. Seleksi ini didasarkan atas jabatan, asal keturunan, kekayaan atau pendidikan orang tua. Pegawai - pegawai pemerintah paling sedikit berpangkat asisten wedana (camat), mempunyai hak mengirim anak - anaknya ke sekolah - sekolah bergaya Barat. Sebagai kriteria kekayaan adalah penghasilan yang setidaknya mencapai f 100 sebulan. Seiring dengan berjalannya waktu, persyaratan semacam itu sedikit demi sedikit mulai dikurangi dengan sekolah - sekolah rendah Barat tidak lagi mejadi sebuah lembaga – lembaga kemartabatan. Pada tahun 1928 dapat dibedakan mengenai kategorikan orang tua adalah sebagai berikut:
a.       15,89% adalah anak - anak dari orang tua yang paling sedikit berpangkat asisten wedana.
b.      36,50% adalah anak - anak dari orang tua berpenghasilan kurang dari f 100 sebulan.
c.       15,58%  anak - anak dari keluarga berada, dan
d.      29,16% anak - anak berasal dari tingkat bawah.
Para golongan elite tingkat atas menyekolahkan anak - anak mereka disekolah - sekolah rendah untuk golongan Eropa. ketika kebutuhan akan sekolah-sekolah bergaya Barat bertambah, didirikan apa yang dinamakan schakel school (sekolah jembatan), tempat anak - anak dari golongan bumi putra diizinkan masuk. Sebenarnya sekolah tersebut berfungsi sebagai penghubung antara sekolah bumiputra dan sekolah menengah bergaya Barat.
Pada tahun 1928 sekolah - sekolah rendah barat diisi oleh 81.000 orang anak bumiputera, diantara mereka itu kira-kira 11.400 orang anak adalah dari orang tua yang berpenghasilan sebulan f 100 atau lebih. Maka timbulah soal seberapa besar lapisan atas elit Jawa (priyayi) itu. Menurut publikasi dari kantor Dinas Sipil Pemerintah jumlah seluruh pegawai sipil dan anggota dinas militer kolonial yang sebulan berpenghasilan lebih dari f 100 adalah 11.876 orang. Jumlah yang tepat pada kategori in adalah 7.977 orang dan dari jumlah ini 2.533 orang menduduki posisi - posisi tingkat tingi pada pemerintahan daerah dan 189 orang termasuk dalam kelas C. Pada tahun 1928 jumlah wajib pajak dengan penghasilan f 100 atau lebih sebulan adalah 31.618 orang, termasuk didalamnya golongan - golongan tersebut diatas.
Disamping dari wajib - wajib pajak yang berpenghasilan tersebut ada golongan yang berpenghasilan sebulan f 100 atau lebih, yaitu seperti tuan - tuan tanah atau orang - orang yang tinggal didaerah kesultanan yang berpemerintahan sendiri. Diperkirakan bahwa, seluruh orang yang berpenghasilan f 100 kira-kira 99.178 orang, yaitu 0,9% dari seluruh penduduk atau kira - kira 0,9% dari jumlah wajib pajak. Oleh karena itu dapat dikatakan dengan pasti, golongan yang berada merupakan lapisan yang sangat tipis dari masyarakat Indonesia dan dimanapun meraka merupakan minoritas.
Pendidikan Barat yang hanya dapat dinikmati oleh orang Eropa, Timur Asia dan sedikit kalangan atas Bangsawan Indonesia dan tidak diperkenankan untuk dinikmati masyarakat bumiputra pada umumnya menyebabkan terbentuknya stratifikasi sosial pada masa pergerakan nasional yaitu :
a.       Kelas tertinggi diduduki oleh bangsa Eropa.
b.      Kelas menengah diduduki oleh bangsa Timur Asia dan Bangsawan.
c.       Kelas terendah diduduki oleh masyarakat bumiputra pada umumnya.
Kelas - kelas sosial yang berbeda pada masyarakat sosial itu tidak sejalan dengan kemungkina untuk memperoleh pendidikan yang berbeda - beda tipe dan jumlahnya itu. Pendidikan Barat sudah tidak dapat diragukan lagi dalam hal membuka jalannya bagi mobilitas jabatan yang intensif. Namun, pada akhir abad ke-20 keadaan ini menurun dan orang - orang mulai mengatakan adanya overproductie. Kecenderungan bahwa bangsa Indonesia yang berpendidikan modern sebagian besar memperoleh pekerjaan pada dinas - dinas pemerintah. Pada tahun 1928 32.044 orang telah menamatkan sekolah - sekolah model Barat yang mulai diadakan sejak tahun 1900, kira-kira 14.500 orang diantara mereka dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah.
Di Madiun 134 orang adalah pegawai pemerintahan sedang 41 oraang bekerja pada perusahaan - perusahaan swasta. Pada akhir abad ke-20 ini adanya ketidak seimbangan antara jumlah lulusan sekolah - sekolah bergaya Barat dan jumlah posisi yang tersedia pada dinas - dinas pemerintahan, secara otomatis menyebabakan sejumlah orang yang berpendidikan Barat itu tidak dapat diterima pada dinas pemerintah. Keadaan ini membawa akibat - akibat pada peranan sosial kaum integensia modern itu. Karena posisi mereka menurut pendidikan tidak terpenuhi, maka mereka mendirikan suatu organisasi hierarkis yang tidak resmi berdasarkan nilai - nilai sosial yang baru.
Selain itu terdapat fakta - fakta lain yang ditemukan berkaitan dengan menurunnya mobilitas sosial vertikal yang disebabkan karena pendidikan Barat yaitu, dari tahun 1935 persediaan tenaga yang berpendidikan Barat telah melebihi permintaan, terutama pada tingkat jabatan - jabatan rendahan. Diketahui, bahwa pada posisi skala A tidak kurang yang diperlukan. Pada skala B presentasenya 37,8 % , keadaan ini menyebabkan devaluasi pendidikan barat.
Bangsawan birokrat kecil ini  dianggap sebagai orang baru (homines novi).  Ini dikarenakan mereka meniru cara hidup kaum elit lama priyayi itu atau karena perhubungan - perhubungan perkawinan diantara mereka, maka kaum hominis novi itu berhasil menaikan status dan prestise sosial. Golongan elit modern ini memegang peranan penting dalam masa pralihan politik di Indonesia. Penting diketahui bahwa tidak ada data yang cukup untuk mengetahui mengenai generasi nenek mereka. Ini semua dikarenakan kecepatan mobilitas yang disebabkan oleh pendidikan Barat tidak dapat diukur dengan pasti. Memang, tingkat peralihan dari generasi nenek ke generasi ayah terjadi bersamaan dengan meluasnya pendidikan Barat, dan pekerjaan modern lebih strategis dari pada yang lama.
Pada periode itu, sebelum membludaknya jumlah orang yang berpendidikan Barat,  keahlian yang diperoleh dari pendidikan sedikit saja sudah cukup untuk memegang peranan - perana dalam jabatan. Kesempatan yang luas juga disediakan oleh lembaga - lembaga pemerintahan maupun perusahaan -perusahaan swasta yang menyebabkan terjadinya mobilitas jabatan.

2.6 Peranan Pemerintah Belanda Dalam Pembentukan Stratifikasi Sosial pada Mayarakat Kolonial
            Kondisi stratifikasi sosial pada masyarakat Indonesia sebelum datangnya penjajah dalam hal ini adalah bangsa Belanda, terdiri atas golongan kelas atas diduduki oleh para kaum bangwasan, kelas menengah diduduki oleh para kaum birokrat pemerintahan dan pada kelas bawah diduduki oleh para kaum rakyat jelata. Pengolongan ini dilakukan bedasarkan pada faktor kekuasaan dan keturunan yang di pegang oleh kelas pertama yaitu, golongan keluarga Raja.
            Pasca datangnya bangsa Belanda di bumi pertiwi, pengelompokan yang didasarkan atas faktor kekuasaan dari keluarga Raja mengalami perubahan. Pada hakikatnya semua kekuasaan di dalam masyarakat kolonial Jawa dipegang oleh pemerintah Belanda, yang mengawasi semua perlengkapan kekuasaan, baik politik, ekonomi, maupun sosial. Hal yang paling mencolok dari sistem masyarakat kolonial adalah adanya diskriminasi peranan - peranan antara golongan Eropa dan golongan bumiputra. Kategori - kategori jabatan di pisahkan bagi masinng - masing golongan. Dijalankan suatu skala yang berbeda bagi gaji yang dibayar kepada dua golongan itu. Peranan keahlian dan peranan pemimpin nyata - nyata dihalang - halangi bagi golongan bumiputra. Meskipun ada beberapa golongan para ahli yang berpendidikan Barat yang sudah di perguanakan oleh pemerintah kolonial.
            Pada masa kekuasaan Belanda, masyarakat kolonial dikelompokan menjadi beberapa golongan. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa, yang paling mencolok adalah adanya diskriminasi sosial pada masyarakat kolonial Jawa dan masyarakat Eropa. Dengan kekuasaan yang dimilikinya bangsa Belanda mengambil alih kedudukan dari para kaum bangsawan sebagai golongan kelas atas pada saat itu, dimana bangsa Belanda menempatkan dirinya kedalam kelas teratas dalam stratifikasi sosial tersebut. Pada kelas selanjutnya yaitu kelas menengah diduduki oleh para kaum bangsawan dan birokrat pemerintahan yang memiliki hak - hak istimewa untuk memegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan pada kelas terbawah diduduki oleh para kaum rakyat kecil yang kebanyakan bekerja sebagai buruh angkut, petani kecil, kuli kontrak, dan berbagai pekerjaan kasar lainnya.



BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Stratifikasi sosial merupakan suatu gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat yang sifatnya umum. Selain itu dapat juga diartikan sebagai  pembedaan atau pengelompokan anggota masyarakat kedalam lapisan - lapisan atau kelas - kelas secara bertingkat atau hierarki.
Sebelum datangnya bangsa Belanda di Indonesia, hierarki stratifikasi sosial sudah mulai terlihat yaitu pada zaman kerajaan yang menggolongkan masyarakat kedalam beberapa kelas, yaitu golongan keluarga Raja, pejabat - pejabat tingkat tinggi dan pejabat - pejabat tingkat rendah. Ketika negara Hindia Belanda mulai menanamkan kekuasaannya, berlangsung perubahan. Disepanjang abad ke 19 perubahan luas dan mendalam terjadi pada masyarakat pulau Jawa. Pamor kekuasaan kerajaan - kerajaan merosot, baik dijadikan sebagai bagian pemerintahan jajahan maupun mengalami pembatasan.
            Stratifikasi sosial yang terjadi dalam masyarakat kolonial ini di golongkan berdasarkan beberapa kriteria yaitu, adanya diskriminasi sosial, berdasarkan tingkat jabatan, tipe rumah dan tingkatan pendidikan. Penggolongannya dapat disimpulkan menjadi tiga golongan yaitu kaum bangsawan, kaum birokrat pemerintahan dan rakyat kecil.
            Pendidikan pada masa pergerakan nasional merupakan alat yang digunakan untuk menyeleksi dan melatih seseorang dalam rangka memegang posisi - posisi dalam suatu status dalam masyarakat. Pendidikan yang ada di lingkungan masyarakat Jawa dijadikan sebagai salah satu kriteria yang lazim dalam pengangkatan jabatan di berbagai lembaga kedinasan, baik itu lembaga - lembaga pemerintahan ataupun perusahaan – perusahaan swasta. Pendidikan untuk masyarakat pribumi pada umumnya sangat dibatasi, karena persyaratan - persyaratan untuk mengenyam pendidikan Barat sangat sulit diantaranya adalah background keluarga dan pengetahuan bahasa Belanda yang membuat banyak masyarakat bumiputra memilih untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah biasa atau sekolah kelas 2. Sedangkan pendidikan Barat sendiri didominasi oleh anak -anak Eropa, Asia dan sebagian kecil Bangsawan Jawa. Kenyataan ini yang membuat terjadinya mobilitas horizontal, dimana masyarakat bumiputra pada umumnya tetap berada dalam kelas terbawah.
            Bangsa Barat, dalam hal ini adalalah Belanda dengan kekuasaannya mengeser kekuasaan dari kaum kerajaan. Mereka merubah stratifikasi sosial yang sudah berlaku pada masa kerajaan dengan menempatkan dirinya sendiri pada kelas pertama, diikuti oleh kaum bangsawan dan kaum birokrat pemerintahan pada kelas kedua dan pada kelas terakhir diduduki oleh masyarakat kecil.


DAFTAR PUSTAKA
a.    Kartodirjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru :Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
b.    Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, Nugroho. 2011. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta ; Balai Pustaka.