Pages

Oktober 30, 2014

RESUME BUKU TERWUJUDNYA SUATU GAGASAN “SEJARAH MASYARAKAT INDONESIA 1900-1950” R.Z. LEIRISSA




BAB I.
SISTEM BIROKRASI KOLONIAL

Pada awal abad ke-20 masyarakat kolonial terbagi beberapa golongan berdasarkan color line atau garis warna kulit. Secara politik dan ekonomi golongan yang menduduki posisi atas adalah orang-orang Belanda. Kekuasaannya berpusat pada seorang Gurbernur Jendral di Batavia yang dibantu suatu Dewan Hindia yang bertindak sebagai kabinetnya. Pejabat-pejabat birokrasi yang terpenting adalah Residen, Asisten Residen, Controleur dan Aspirant Controleur atau yang disebut juga dengan Binnenlands Bestuur (BB). Kota sengaja dibangun demi kepentingan birokrasi dan administrasi ekonomi.
Di kota muncul berbagai lapisan pegawai dari yang berasal dari Belanda, turunan Belanda, Indo-Belanda, kelompok-kelompok yang berasal dari berbagai suku bangsa. China dan Arab menduduki tempat yang khusus dalam kota kolonial karena peranan mereka yag terlepas dari sistem birokrasi kolonial, tetapi berhubungan erat dengan perkembangan perekonomian. Stratigrafi masyarakat kota ditentukan oleh jauh-dekatnya seseorang atau golongan dengan simbol-simbol kekuasaan Barat, di daerah pedesaan hak milik atas tanahlah yang menjadi dasar stratigrafi atau pembagian masyarakat. Faktor yang menimbulkan kelompok baru atau Indonesia adalah Perkembangan birokrasi; Perkembangan ekonomi; dan Perkembangan sistem pendidikan barat.
Perkembangan birokrasi berhubungan erat dengan perluasan kekuasaan Belanda sejak tahun 1870. Masa antara 1870-1900 disebut sebagai Masa Liberal, dimana pemerintah melepaskan peranan-peranan ekonominya dan menyerahkan eksploitasi ekonomi kepada modal swasta. Pemerintah hanya bertindak sebagai wasit atau penjaga keamanan yang dilakukan melalui birokrasi tentaranya (NKIL). Pada periode 1870-1900 wilayah kekuasaan Hindia-Belanda meluas dari Sabang sampai Merauke, perluasan wilayah ini ada hubungannya dengan tuntutan pihak swasta untuk eluaskan jaringan eksploitasinya, maupun tuntutan keamanan, serta saingan negara Barat lainnya.
Untuk melukiskan perbedaan jangkauan kekuasaan tersebut dikenal istilah direct-rule dan indirect-rule. Direct-rule jelas nampak di Kepulauan Ambon yang tidak mengenal sistem kerajaan dan di mana pejabat-pejabat Hindia Belanda langsung berhadapan dengan kepala-kepala desa. Dan Indirect-rulei adalah sistem pemerintahan Hindia Belanda di wilayah-wilayah yang telah memiliki sistem politiknya sendiri sejak berabad-abad sebelum kedatangan Belanda. Birokrasi tradisional di kerajaan Indonesia berubah sejak abad ke 18. Pejabat birokrasi tradisional di Jawa dinamakan priyayi.
Dalam proses interaksi kaum priyayi dengan penguasa Belanda timbul suatu jaringan, priyayi yang sebelumnya merupakan alat kekuasaan dari para sultan di keraton berubah menjadi alat perantara dari pihak Belanda. Birokrasi beralih dari keraton ke para residen, yang dimulai dengan ketentuan bahwa Patih di keraton harus tunduk pada Batavia dan para Bupati (priyayi) di kabupaten-kabupaten pesisir juga demikian. Priyayi harus menjamin agar perdagangan antara Batavia dan daerah pedalaman tetap berjalan dengan lancar. Kekuasaan priyayi berada di tangan kompeni, pengangkatan dan pemecatan mereka dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan kompeni.
Sekalipun hubungan dengan keraton terputus, namun kebudayaan keraton tetap sebagai inti dari alam pikiran golongan ini. Cara memerintah berdasarkan hubungan pribadi  antara priyayi dan petani (hubungan patron-client). Hubungan ini sangat kokoh karena adanya suatu alam kepercayaan dalam masyarakat yang meningkatkan para penguasa dan rakyat. Dengan adanya Sistem Tanam Paksa tahun 1830 dasar hubungan priyayi dan birokrasi Belanda tetap dipertahankan, walau priyayi beralih menjadi pengawas perkebunan.
Pengerahan tenaga untuk melaksanakan Sistem Tanam Paksa dilakukan secara tradisional menurut kewajiban-kewajiban petani pada priyayi yanng sudah ada sebelumnya. Ada segi-segi baru, yaitu para petani berkenalan dengan pejabat-pejabat Belanda yang ditempatkan di daerah-daerah (controleur), para priyayi dan controleur mempunyai kepentingan dalam menyukseskan sistem itu karena mereka menikmati cultuurprocent atau presentase tertentu dari jumlah hasil yang diserahkan kepada rakyat. Kaum priyayi kini hanya menjadi bagian dari birokrasi Hindia Belanda, menjalankan fungsi sebagai penguasa-penguasa daerah (bupati, dll) namun untuk kepentingan asing.
Perkembangan 1870, jaringan komunikasi (jalan) lebih mendekatkan desa dengan pusat-pusat administrasi. Belanda juga semakin sering dilihat di lingkungan pedesaan dan jaringan administrasi semakin diperketat. Elite birokrasi Binnenlands Bestuur (BB) yang terdiri dari orang Belanda makin memaksakan cara pemerintahan mereka dan mengabaikan nilai-nilai lama yang berlaku pada masa sebelumnya ketika para priyayi diberi kelonggaran dalam memerintah. Sikap birokrasi Belanda ini disebut juga politik etika. Tahap berikutnya dari perkembangan birokrasi berkaitan dengan pendidikan, menciptakan suatu golongan baru yang sering dinamakan pegawai pemerintah dengan keahlian tertentu.
Kebanyakan berasal dari lingkungan bangsawan, mula-mula putra dan putri kedua atau ketiga dari kaum bangsawan setempat yang tidak mungkin menggantikan orang tuanya sebagai pejabat pemerintahan (bupati, dll) memasuki bidang baru ini untuk meneruskan peranan mereka dalam masyarakat. Tugas pemerintahan Belanda (pejabat Belanda dan priyayi) hanya menyangkut soal-soal pengawasan ketentraman, pengadilan, dan perkebunan (Tanam Paksa), kini birokrasi itu dibebani untuk memeliharan kesejahteraan penduduk.
Untuk melaksanakan kesejahteraan itu dijalankan berbagai cara dengan timbullah departemen-departemen di Batavia dengan kedinasan yang tercabang ke daerah-daerah. Selain departemen pendidikan yang diciptakan tahun 1892 muncul departemen pertanian, departemen industri dan perdagangan. Dinas-dinas baru seperti Telepon, Telegrap, Kesehatan, dll sangat banyak membutuhkan tenaga-tenaga yang muncul dikalangan priyayi yang terdidik.
Malah pada suatu ketika lulusan-lulusan sekolah Angka dua juga mendapat penyaluran dalam bidang-bidang baru yang sebelumnya  tidak ada dalam lingkungan pedesaan. Pada tahun 1904 pemerintah Hindia  Belanda mendirikan Kantor volks-kredietwezen (kantor kredit rakyat). Maksudnya adalah untuk menggantikan sistem ijon dan sistem riba yang di lakukan oleh golongan-golongan tertentu dalam pedesaan, dan yang oleh Hindia Belanda di anggap sebagai suatu sumber kemelaratan yang utama. Untuk itu di dirikan tiga macam lembaga. Pertama adalah lumbung desa yang menyediakan  kredit bagi penduduk pedesaan dalam bentuk  beras. Tujuannya adalah untuk menjaga keseimbangan harga beras di pedesaan yang sering dikacaukan oleh para tengkulak. Kedua adalah bank desa yang memberi pinjaman berupa uang kepada penduduk desa dengan bunga yang sangat rendah. Ketiga adalah volksbank yang bertujuan memberi pinjaman berbunga rendah pula kepada pengusaha-pengusaha kecil.
Timbulnya golongan terdidik ini merupakan perkembangan baru dalam sejarah Indonesia mereka merupakan bagian dari suatu perkembangan baru sejak awal abad ke-20. Gaya hidup mereka sering mengikuti gaya hidup barat. Umpamanya cara berpakaian, ketergantungan pada uang. Ada tiga macam konsekuensi  yang perlu di perhatikan dengan timbulnya golongan baru ini. Pertama kepegawaian menjadi suatu lapisan masyarakat yang sebelumnya telah menjalankan fungsi-fungsi birokratis (yang di jawa dinamakan golongan priyayi) ini berarti alam pikiran hierarchis (bahwa masyarakat itu bertingkat) di bawa terus dalam perkembangan baru dan situasi baru dari abad-abad ke-20. Kedua sekalipun ada persamaan-persamaan antara pejabat pejabat Belanda dan pejabat-pejabat Indonesia namun rasialisme tetap di pertahankan; orang-orang Belanda di atas, dan orang-orang (pejabat-pejabat) Indonesia ini cenderung di bawah. ketiga golongan baru dalam masyarakat Indonesia ini cenderung menjauh dari rakyat  pada umumnya. Faktor kedua dan ketiga tadi akan menjadi pendorong utama dalam golongan yang kemudian timbul, yaitu kaum pergerakan nasional.
Selain perkembangan birokrasi, perkembangan baru dalam sejarah masyarakat Indonesia adalah perkembangan prasarana. ada dua hal penting dalam hal ini, yaitu perkembangan sistem komunikasi dan perkembangan sistem moneter. Sistem komunikasi dan perkembangan sistem moneter. Sistem komunikasi tradisional berciri kelambanan. Jalan-jalan  darat memang sudah banyak yang dipakai, berupa jalan kuda, jalan kereta, dan lain-lain  pada masa Daenddels di  Jawa sudah ada pula suatu sistem jalan raya yang moderen.  Tetapi yang sangat menonjol dalam bidang komunikasi ini adalah di bangunnya sistem jalan kereta api. Sistem perkereta-apian mulai di Jawa pada tahun 1862 dan di Sumatera pada tahun 1874. Pada akhir abad ke-19 di Jawa sudah ada 1600 km jalan kereta api, dan di Sumatra sudah ada 3500 km.
Kapal uap mulai diintrodusir oleh pihak swasta pada tahun 1859. Sistem ini kemudian ditingkatkan oleh pihak Belanda sendiri (pemerintah) pada tahun 1891 dengan di bentuknya suatu perusahaan pelayaran (Koningklijke paketvaart maatschappy). Untuk hubungan perkapalan dengan sendirinya di butuhkan pelabuhan-pelabuhan yang moderen pula (sebelumnya kapal-kapal layar berlabuh di lepas pantai di muka suatu kota pelabuhan). Pelabuhan tanjung Priok di bangun dari tahun 1873 sampai 1893, pelabuhan Belawan pada tahun 1890, pelabuhan padan pada tahun 1892, lalu pelabuhan-pelabuhan lainnya di kota- kota pelabuhan di pulau-pulau lain di Indonesia.
Akibat dari sistem komunikasi ini adalah timbulnya interaksi yang lebih banyak antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Selain itu timbul pula interaksi antara pulau yang satu dengan pulau yang lain. Terutama antara pulu Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Manusia dan barang dapat diangkut dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang relatif  singkat  dibanding dengan jaman-jaman sebelumnya. Sejak 1870 itu masyarakat kesukuan mulai membaur terutama di daerah perkotaan.
Suatu sistem moneter yang tunggal menggantikan sistem moneter sedaerah yang lama, juga mempunyai  akibat yang sangat besar. Sistem ini menghubungi Indonesia dengan sistem ekonomi dunia. Segi yang paling penting dari sistem moneter baru ini adalah sistem perbankan menghubungkan Indonesia dengan pasaran internasional dan mengurangi  ketergantungan pada sistem ekonomi Belanda yang menjadi ciri sebelumnya. Sistem birokrasi dan sistem ekonomi yang baru itu menimbulkan suatu sikap yang baru di kalangan orang-orang yang berkuasa di Nusantara. Penguasa merupakan jaminan akan keseimbangan ini sehingga malapetaka dan kemelaratan dapat dihindarkan dari rakyat. Dalam sistem baru penguasa (birokrat) harus bertindak/berbuat hal-hal yang telah direncanakan secara rasional untuk menjamin ketentraman dan kesejahteraan rakyat tersebut.


BAB. II
SISTEM PENDIDIKAN KOLONIAL

Perkembangan masyarakat Indonesia abad ke-20 tidak dapat di mengerti tanpa melihat timbulnya sistem pendidikan baru yang di ciptakan sejak awal abad-20. Hasil pendidikan inilah yang memungkinkan munculnya birokrasi seperti yang diuraikan pada bab pertama. Sistem pendidikan ini pulalah yang menciptakan suatu elite baru yang mengembangkan kesadaran kemerdekaan dan persatuan nasional. Mereka inilah yang memiliki idealisme yang tinggi untuk membina suat bangsa dan menciptakan kemakmuran bangsa itu.
Awal perkembangan sistem pendidikan ini tidak dapat di lepas dari suat politik kolonial baru yang di mulai sejak awal abad ke-20 dan yang sering juga dinamakan politik Etika. Politik Etika yang dicanangkan pada tahun 1901 mencoba mengubah sistem liberal menjadi sistem di mana pemerintah Hindia Belanda lebih banyak mencampuri urusan-urusan kemasyarakatan. Kisah mengenai timbulnya sistem baru (sistem etis) ini bisa kita baca dalam pelbagai  buku. Sering orang mengaitkan timbulnya sistem ini dengan tulisan Mr.C.Th  van Deventer dalam majalah De Gids (Nomer, 63, tahun 1899) yang berjudul “Een Eereschuld”  atau terjemahan indonesiannya “Hutang kehormatan”. Ini memang ada kebenarannya. Artikel itu mencetuskan suatu perasaan tanggung jawab yang mulai timbul di kalangan intelektual Belanda yang merasa risau dengan pertumbuhan kapilatisme moderen yang cenderung untuk mengabaikan semua nilai-nilai kemanusiaan. Golongan intelektual itu merasa tanggung jawab  untuk memperingati orang-orang sebangsanya akan bahaya-bahaya dehumanisasi di d daerah jajahan yang ada hubungannya dengan sistem kapitalisme tersebut van Deventer hanys salah seorang diantara mereka  yang mengucapkan perasaan dan tanggung jawab itu sedemikian rupa sehingga di terima oleh pihak pemerintah Belanda dan dijadikan dasar program pemerintahannya bagi  daerah jajahan.
Pada pokoknya uraian van Devanter adalah sebagai berikut: sistem liberal sejak 1870, dan malah sistem tanam paksa sejak 1830, merupakan politik drainage (politik pengeringan atau pengerukan kekayaan). Sistem tanam paksa dan liberal itu  mengeruk segala kekayaan di bumi Indonesia (terutama di Jawa) dan tidak meninggalkan sedikitpun untuk membina kehidupan penduduk. Sebetulnya, menurut Van Deventer, pada tahun 1878 Kerajaan  Belanda telah mengeluarkan Combtabiliteitswet (undang-undang Anggaran Belanja) di mana ditentukan, bahwa sebagian dari pendapatan negara harus disediakan untuk keperluan-keperluan daerah jajahan. Dengan perkataan sejak 1878 seharusnya daerah jajahan mempunyai Anggaran belana sendiri.
Namun hal ini tidak pernah dilakukan; undang-undang itu tidak pernah dijalankan secara konsekwen. Dengan demikian, menurut van Deeventer, Kerajaan  Belanda mempunyai hutang pada Hindia Belanda. Sampai pada tahun  1899 (ketika tulisan itu diterbitkan) jumlah hutang itu, menurut kalkulasi Van Deventer. Sesungguhnya, diterimanya dasar-dasar etis dalam politik kolonial tidak semata-mata karena artikel tersebut saja. Konfigurasi  politik di negeri Belanda juga berperan. kemenangan  adalah 187.000.000 gulden. Hutang inilah yang harus di bayar kembali kepada masyarakat koloni. Ini merupakan suat kewajiban moril dari suat negara yang menganggap dirinya tinggi peradabanya.
Pada tahun 1892 sudah mulai diadakan sistematisasi dalam sistem pendidikan yang berbeda-beda dari satu pulau ke pulau lainnnya. Pada waktu itu semua sekolah dasar dikelompokkan menjadi dua macam. Macam yang pertama dinamakan Eeste School (Sekolah Angka Satu). Sekolah ini hanya menampung murid-murid dari golongan priyayi dan hanya didirikan di ibukota keresidenan. Lama pendidikannya adalah lima tahun, kurikulumnya meliputi membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, menggambar, ilmu alam, danilmu ukur tanah.
Jenis sekolah kedua yang didirikan pada tahun 1892 adalah Tweede School (Sekolah Angka Dua). Sistem sekolah ini ditujukan pada rakyat pada umumnya didaerah pedesaan. Lama pendidikan hanya tiga tahun saja, dan kurikulumnya hanya terdiri dari menulis, membaca dan berhitung. Bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah setempat, atau bila tidak ada Bahasa daerah maka Bahasa Melayu dipakai. Tatkala politik etika dilancarkan timbul dua pendapattentang cara meningkatkan sistem pendidikan dasar untuk penduduk. Pendapat pertama adalah bahwa sistem sekolah Angka Dua tidak tepat dan harus digantikan dengan sekolah desa yang disesuaikan dengan situasi di daerah pedesaan. Pandangan lainnya adalah bahwa sistem yang ada sudah baik, hanya jumlahnya yang perlu ditambah. Pada akhirnya pandangan pertamalah yang dilaksanakan karena berasal dari gubernur jenderal Van Heutz.
Sistem sekolah Desa tersebut mulai dibangun tahun 1907. Sekolah ini didirikan di daerah pedesaan dan masyarakat desa diberi tanggung jawab dalam pembinaannya berupa pendirian dan pemeliharaan gedung sekolahnya. Pembinanya tidak pada Departemen Pendidikan tetapi Departemen Dalam Negeri (sampai tahun 1918). Pada tahun 1914 terjadi tiga hal yang penting dalam sistem pendidikan rendah ini, yaitu:
1)      Pada tahun itu Sekolah Angka Satu, sejak tahun 1907 telah menggunakan Bahasa Belanda sebagai Bahasa pengantar
2)      Pada tahun itu didirikan Sekolah Lanjutan yang dinamakan Meer Uitgebreid Laager Onderwijs (MULO) untuk lulusan Sekolah Angka Satu
3)      Pada tahun itu didirikan Vervolgschool untuk menampung lulusan Sekolah Desa
Selain itu pemerintah Hindia Belanda yang berlainan etis itu mendirikan pula suatu sekolah kedokteran tingkat menengah pada tahun 1902 dengan nama School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Pendidikan di STOVIA mula-mula diberikan dalam Bahasa Melayu dan murid-murid diharuskan menggunakan pakaian daerah. Kemudian Bahasa Belanda dipakai sebagai Bahasa pengantar, sehingga murid-murid harus mengikuti kursus Bahasa selama satu tahun. Pada tahun 1914 STOVIA ditingkatkan lagi karena calon-calonnya harus diambil dari lulusan MULO. Pada tahun itu pula di Surabaya didirikan sekolah jenis dengan nama Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS). Lulusan STOVIA dan NIAS sejak itu memakai gelar Indische Arts.
Perlu disebutkan disini bahwa sekolah-sekolah tinggi kehakiman, teknik dan kedokteran tidak didirikan khusus orang Indonesia seperti sekolah-sekolah kejuruan dasar dan menengah. Pada mulanya malah golongan Belanda dan Cinalah yang lebih menonjol. Ini disebabkan karena sekolah lanjutan atas bagi penduduk  kepulauan Indonesia belum banyak. Calon-calon dari kalangan orang-orang Indonesia makin banyak memasuki sekolah-sekolah tinggi setelah orang-orang Indonesia diperkenankan memasuki sekolah-sekolah menengah atas yang khusus didirikan untuk golongan-golongan Belanda.
Lulusan-lulusan sekolah ini yang memainkan peranan penting dalam pergerakan Nasional. Mula-mula yang memainkan peranan adalah murid-murid sekolah menengah (sekolah-sekolah vak seperti STOVIA, OSVIA, dan Sekolah Pertanian). Berangsur-angsur mahasiswa sekolah tinggipun mengambil bagian. Lulusan-lulusan sekolah menengah maupun sekolah-sekolah tinggi itulah yang merupakan pendorong utama dari perkembangan Bangsa Indonesia dan pergerakan emansipasi kemerdekaannya.

BAB. III
SISTEM PEREKONOMIAN KOLONIAL

Dilihat dari segi sejarah ekonomi, dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 indonesia sedang terlibat dalam suatu perkembangan baru yang berintikan revolusi industri dan revolusi perdagangan. Revolusi industri dan revolusi perdagangan timbul mula-mula di Eropa dalam abad ke-18 dan ke-19,kemudian meluas ke Amerika Serikat dan Jepang. Ciri pokok dari revolusi industri adalah timbulnya sistem kerja tangan. Dengan cara baru itu barang-barang dapat dihasilkan dalam jumlah yang lebih banyak lagi dibanding dengan cara lama. Hal ini lalu menimbulkan pelbagai kegiatan-kegiatan baru seperti perdagangan yang meningkat, hubungan-hubungan baru anatara kota dan desa, dan lain-lain. Dengan sendrinya timbul pula segelintir intelektual yang mencanangkan bahaya-bahaya yang inhern dalam sistem baru tersebut.
Bagi daerah-daerah jajahan manifestasi dari perkembangan ekonomi modern itu tampak dari dua segi pokok.Segi yang pertama adalah dibutuhkannya banyak bahan-bahan ini terutama terdapat di daerah-daerah tropik.Segi kedua adalah diperlukannya pasaran-pasaran baru bagi hasil-hasil industri yang makin perubahan dalam tahun 1860-1870 dengan munculnya sistem liberal di Indonesia. Hal ini antara lain nampak dengan munculnya sistem perkebunan modern di indonesia. Perkembangan perkebunan yang paling menarik adalah di Sumatra timur. Perkembangan baru di Sumatra Timur sering dikaitkan dengan datangnya seorang pengusaha Belanda (Nienhuis) disana.Sebelum itu daerah Sumatra Timur memang sudah dikanal dengan tembakau yang dihasilkan rakyat. Mutu tembakau cukup baik dan Nienhuis memutuskan untuk mengusahakannya sendiri. Pada tahun 1865 ia berhasil dengan panen sebanyak 186 bal yang mudah di jual di negara Belanda.
Keberhasilan Nienhuis segera menarik kaum pengusaha Belanda lainnya.  Malah Nienhuis sendiri berhasil memperluaskan usahanya. Nienhuis diserahkan pimpinan atas suatu perusahaan usahanya, Nienhuis diserahkan pimpinan atas suatu perusahaan baru yang dinamakan Deli Maatschappij yang didirikan oleh NHM (Suatu perusahaan dagang Belanda yang didirikan dalam abad ke-19 oleh raja Willem 1). Modal-modal lain pun bermunculan karena mudahnya memperoleh tanah dengan cara konsensi sari Sultan Deli. Pihak Amerika , Inggris, Belgia masing-masing membuka perkebunan-perkebunan sendriri.
Kelebihan Produksi itu dengan sendirinya  menimbulkan kesulitan. Pada tahun 1891 timbul krisis penjualan hingga harga tembakau turun cepat. Sebagai akibat tinggallah perusahaan-perusahaan yang memang bonavide. Mereka giat mengadakan perbaikan untuk meningkatkan mutu tembakau. Muncullah lembaga penelitian tembakau dan Perkumpulan Pemilik Perkebunan tembakau. Kemudian diadakan perbaikan-perbaikan dalam pemasarab sehingga nama tembakau Deli muncul lagi di dunia.
Yang menarik dari perkebunan-perkebunan tembakau ini adalah kurangnya peranan penduduk setempat. Penduduk yang tidak banyak jumlahnya di sumatra Timur itu tidak menyukai pekerjaan sebagai buruh perkebunan. Sebab itu sejak semula telah diusahakan buruh dari luar negeri. Pada tahun-tahun pertama kekurangan buruh ini dipenuhi dengan mendatangkan birih cina melalui perantara-perantara di Penang dan Singapura. Karena sistem perantara ini ternyata kurang menguntungkan, maka perkumpulan pemilik perkebunan tembakau  deli mencari jalan lain.
Perkumpulan itu mendirikan suatu badan yang bernama biro imigrasi pada tahun 1880 untuk mendatangkan buruh langsung dari cina. Biro ini selain mengurus pemberangkatan calon-calon buruh tersebut juga mengusahakan suatu sistem transfer uang, agar upah-upah buruh tersebut sebagian dapat dikirim kepada keluarga merekan di China. Dengan demikian prospek bekerja sebagai buruh makin menarik bagi mereka. Karena besarnya resiko mendatangkan buruh tersebut, maka dengan sendirinya para pengusaha menyuruh para buruh menandatangani suatu kontrak yang mengikat mereka untuk jangka waktu tertentu. Kemudian buruh asal cina dapat mencari lapangan-lapangan ,sejak 1890 kekurangan buruh itu diambil dari pulau jawa.
Sistem kuli kontrak ini baru dihapus pada tahun 1930. Pada saat itu jumlah penduduk sumatera timur telah meningkat menjadi 1,8 juta. Tidak semua sistemperkebunan di Indonesia mendatangkan buruh dari daerah-daerah lainnya. Salah satu contoh adalah perkebunan tebu di jawa tengah bagian utara, datangkan tenaga dari daerah lain. Agraria yang dikeluarkan pada tahun 1870 juga menjamin hak atas tanah dari para petani. Dengan demikian perkebunan gula maju sangat pesat. Pada tahun 1870 luas areal perkebunan gula maju sangat pesat. Pada tahun 1870 luas areal perkebunan gula adalah 54.176 bahu, perkebunan-perkebunan besar lainnya yang menggunakan buruh lokal adalah perkebunan-perkebunan teh, kopra dan kina.
Akibat timbulnya sistem perkebunan masyarakt pedesaan pada umumnya, menurut ahli sejarah asia,ada tiga hal yang penting. Pertama, masyarakat pedesaan yang tadinya tertutup (self suficient), dipengaruhi oleh sistem ekonomi dunia. Ekonomi uang menembus ke dalam kehidupan pedesaan, barang-barang baru masuk ke dalam rumah tangga-rumah tangga desa (Pakaian, Minyak tanah, sepeda, sabun dan lain-lain). Kedua, politik kolonial mempengaruhi perubahan-perubahan desa.Misalnya dengan dikeluarkannya Undang-undang agraria yang menjamin hak atas tanah pada petani dan melarang kaum pengusaha membeli tanah pedesaan. Ketiga,pertambahan penduduk yang sangat pesat.Ini terutama disebabkan menurutnya angka kematian oleh karena perluasan pemeliharaan kesehatan.
Menurut pendapat sejarawan perubahan-perubahan dalam bidang ekonomi juga ditanggapi oleh para petani dengan cara-cara mereka sendiri yang sedikit banyaknya terikat pada cara-cara lama. Ada tiga macam respons dari pihak penduduk pedesaan. Pertama mereka memberi arti tersendiri kepada uang. Uang bagi mereka bukan merupakan patokan mutlah dalam penilaian, tetapi merupakan alat tambahan saja untuk transaksi ekonomi. Kedua timbul migrasi migrasi ke daerah-daerah perkebunan untuk mencari tambahan uang untuk membayar pajak ataupun membeli barang-barang konsumsi. Ketiga, timbul sistem cash crop di daerah-daerah persawahan tertentu di musim kemarau, atau timbulnya empang-empang dan intensifikasi persawahan. Ini semua merupakan kegiatan-kegiatan baru yang muncul karena masuknya ekonomi uang ke dalam desa.
Dengan munculnya tuntutan-tuntutan baru yang bersumber pada revolusi industri di eropa sebenarnya terbuka peranan-peranan baru dalam bidang ekonomi. Orang-orang Cina sebenarnya sudah banyak di kota-kota pelabuhan sejak abad ke-17. Pihak VOC memang sangat menganjurkan migrasi orang-orang Cina ke kota-kota pelabuhan yang dikuasainya. Mereka dipekerjakan sebagai tukang-tukang dan pedagang, karena para pedagang dan tukang-tukang di indonesia melarikan diri atau tidak diperkenakan di kota-kota pelabuhan itu. Orang-orang Cina ini mendiami perkampungan-perkampungan sendiri yang di atur oleh pihak VOC melalui pemimpin-pemimpin mereka sendiri.
Kelas pedagang Indonesia sebenarnya sudahbada jauh sebelumnya. Mereka sering dinamakan santri sesuai dengan penelitian-penelitian di jawa. Keterkaitan mereka dengan Agama Islam sangat menonjol dalam peristilahan itu. Mereka memang masih memainkan peranan sebagai pedagang tetapi dalam bentuk yang lebih kecil, dan dalam sektor sektor yang tidak menyentuh perkembangan baru dalam bidang ekonomi tersebut. Kegiatan-kegiatan mereka selalu bermuara pada pedagang-pedagang cina yang menjadi pedagang perantara.
Di Jawa keadaan ini tidak banyak berbeda para bupati dalam abad ke 18 lebih banyak merupakan pegawai VOC yang ditugaskan untuk mengawasi agar transaksi dagang berjalan dengan lancar. Dengan pihal sultan di kraton, VOC membuat perjanjian-perjanjian dagang (beras kemudian kopi dll). Pak tunggal untuk menyalurkan beras kepada VOC diberikan kepada para bupati di pantai yant gilirannya hanya bertugas mengatur penyerahannya saja kepada VOC. Demikianpun organisasi penyalur komiditi agraris lainnya yang dibutuhkan VOC seperti kopi,sayuran dll. Inilah yang kemudian dikenal dengan nama verplichte leveratie atau penyerahan wajib. Jadi VOC lah yang menggagalkan peranan ekonomi yang melekat pada kedudukan priyayi.

BAB. IV
MENINGGALKAN SOLIDARITAS KESUKUAN

Perkembangan masyarakat Indonesia abad ke-20 dengan suatu idea politik serta suatu kebudayaan yang khas, mula-mula timbul di kalangan masyarakat kota. Kota dalam masa kolonial mempunyai sifat yang tersendiri, kota-kota kolonial merupakan pusat perekonomian dan perubahan-perubahan kelompok masyarakat. Kota-kota kolonial adalah pula pusat-pusat asministrasi kolonial. Namum, kota-kota juga menjadi pusat perhatian penduduk pedesaan. Selain itu berbagai kelompok sosial lainnya terdapat di kampung-kampung sekeliling pusat-pusat perdagangan dan administrasi itu. Kita ambil saja Jakarta (sebelumnya Batavia) yang terkenal dengan kamoung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, dan lain-lain, yang menunjukkan hasil migrasi berbagai suku bangsa di Nusantara ini dalam masa kolonial itu.
Orang-orang Belanda sebenarnya terdiri dari dua bagian yang berlainan, bagian peratama sering dinamakan trekkers (totok) berupa para pegawai pemerintah maupun swasta yang hanya tinggal sebentar dan kemudian pada masa pendiunnya kembali lagi ke tanah airnya. Bagian kedua sering disebut blijvers (menetap) yang terdiri dari Belanda-Indo. Dalam awal abad ke-20 golongan trekkers sangat merendahkan golongan blijvers yang dianggap sama dengan bumi putra (inlanders) karena banyak mengambil unsur-unsur kebudayaan daerah tempat tinggal.
Dalam situasi demikian tentu timbul ketegangan-ketegangan antara berbagai kelompok tersebut, yang paling penting bagi perkembangan masyarakat Indonesia adalah bahwa kota-kota kolonial itu sering menjadi pusat-pusat pendidikan jurusan, mula-mula taraf menengah kemudian taraf tinggi. Perkembangan sistem pendidikan ini telah diuraikan dalam bagian ini. Di sini hanya perlu ditekankan bahwa pergaulan antara pemuda-pemuda dari berbagai suku bangsa tersebut menimbulkan berbagai perubahan. Pada mulanya ada gejala saling menyendiri dalam pembentukan, umpamanya berbagai organisasi kepemudaan bersifat kedaerahan.
Sesungguhnya perkembangan pertama dengan dibentuknya berbagai organisasi kedaerahan itu menunjukan bahwa berbagai suku bangsa itu mencoba mencari identitasnya sendiri ditengah-tengah masyarakat kota. Hal inilah yang menimbulkan Boedi Oetomo pada tahun 1908 dan kemudian organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Batak, Jong Islam, Jong Ambon dan lain-lain perkumpulan-perkumpulan pemuda.
Organisasi ini seperti telah diketahui didirikan oleh para pelajar STOVIA atas idea bea siswa dari dr. Wahidin Sudirohusodo. Tidak lama sesudah itu muncullah cabang-cabangnya di Bogor, Surabaya, Yogyakarta. Dalam kongres yang pertama di Yogya pada akhir  1908 timbul pertentangan antara golongan muda yang kebanyakan berasal dari Batavia dan golongan tua yang kebanyakan berasal dari Yogya. Golongan muda akhirnya mempersilahkan golongan tua untuk memimpin organisasi ini dalam diri Bupati Karanganyar R.M Tirtokusumo.
Selanjutnya Boedi Oetomo tetap merupakan suatu organisasi yang memberi identitas kepada orang-orang Jawa yang terpelajar. Kebudayaan Jawa dan adat istiadattetap dipertahankan di samping tekanan pada pentingnya oendidikan untuk kemajuan pemuda Jawa. Namun rupanya perbedaan antara priyayi rendahan dan golongan Bupati sudah cukup tinggi dikalangan BO sendiri. Pada tahun 1913 golongan Bupati mendirikan organisasi mereka sendiri terlepas dari BO. Sebelum itu pemuda-pemuda yang kurang setuju dengan arah yang diberikan oleh kaum priyayi rendahan itu pun keluar. Soewardi Soerjaningrat dan Tjipto Mangunkusumo yang sering dinamakan golongan radikal yang menganggap konflik dengan penjajah sebagai masalah utama bergabung dengan Douwes Dekker dalam Indische Partijnya.
Gerakan Douwes Dekker sebenarnya muncul pula dari usaha suatu kelompok tertentu, yaitu kaum Indo-Belanda untuk memperjuangkan nasibnya sendiri. Douwes Dekker berpendapat bahwa kedudukan kaum Indo sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan kedudukan kaum terpelajar Indonesia. Dalam masyarakat kolonial orang-orang pribumi juga merasakan diskriminasi rasial oleh pihak totok Belanda. Sebab itu menurut Douwes Dekker, kepentingan kaum Indo sama dengan bumiputra. Mereka harus sama-sama memperjuangkan kepentingan bersama. Inilah landasan dari Indische Partij yang didirikan pada tahun 1912. Douwes Dekker berpendapat bahwa bumi Indonesia (Indie) seharusnya diperintah oleh mereka yang menjadikannya tanah airnya. Dalam golongan itu termasuk golongan blijvers atau Indo-Belanda. semboyan dari Douwes Dekker adalah “Indie voor de Indier” atau Hindia bagi penduduk Hindia. Formulasi yang diberikan dalam anggaran dasar yang dibentuk pada akhir 1912 adalah sebagai berikut: “Tujuan Indische Partij adalah membangun patriotisme semua Indiers pada tanah yang telah memberi hidup bagi mereka agar mereka didorong untuk bekerja sama atas dasar persamaan dan untuk persiapan ke arah kemerdekaan”.
Jelaslah bahwa Indiesche Partij tidak hanya mengutamakan program pendidikan dan budaya, tetapi jelas-jelas mencanangkan kemerdekaan. Walaupun nasionalisme Indonesia pada saat ini belum lahir, (yang ada hanya nasionalisme Indie) namun sikap PI telah merupakan suatu sikap politik yang menginginkan hapusnya pemerintah kolonial. Dengan sendirinya “nasionalisme Indie” ini tidak diberikan oleh pihak penguasa pada waktu itu. Alasan pemerintah Belanda membubarkan partai ini adalah, pertama karena di Hindia Belanda pada waktu itu tidak dibenarkan adanya partai politik, dan kedua IP mengancam ketentraman umum. Douwes Dekker tidak puas dan berangkat ke negeri Belanda untuk memperjuangkan kepentingan organisasinya. Selama kepergian Douwes Dekker perkembangan meningkat di Indonesia. Menjelang hari ulang tahun ke-100 pembebasan Negeri Belanda dari penjajahan Perancis, di Bandung dibentuk suatu panitia yang dinamakan “Komite Bumiputra”. Komite ini melancarkan propaganda untuk menentang rencana perayaan tersebut. Adapun menurut panitia dari mereka yaitu, bila raykat terjajah harus ikut merayakan hari kemerdekaan penjajahnya, mengenai salah satu pemimpin komite yaitu Soewardi Soerjaningrat yang menjadi anggota Indische Partij yang terlarang. Kemudan dalam kegiatan kepanitian, Soewardi menulis karangan yang berjudul “Als ikeen Nederlander was” (bila saja saya orang Belanda) yang mengancam pemerintah memaksakan pribumi yang tertindas itu merayakan kemerdekaan bangsa yang menindasnya, adapun reaksi Dari Hindia Belanda yaitu membuang Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat ke negeri Belanda, Agustus 1913. Dengan demikian bahwa gerakan-gerakan yang berdasarkan “nasionalisme Indie” tidak berhasil atau gagal dalam mematahkan politik ataupun ekonomi Hindia Belanda.
Keadaan saat itu sedang mengalami pertentangan antara penjajah dan yang dijajajah yang semakin harinya mempengaruhi kehidupan kaum intelektual dikota-kota besar Indonesia. Namun selain itu juga terdapat factor yang lain yaitu adanya ancaman bahaya Perang Dunia I. salah satu organisasi yang ikut serta dalam perbaikan yaitu Boedi Oetomo, namun ternyata Boedi Oetomo tidak dapat menanggulangi atau mencari jalan keluarnya, ternyata permasalahan yang ada tersebut difikirkan oleh golongan-golongan masyarakat atau sekolompok tertentu dalam masyarakat Belanda yang bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain untuk mendirikan suatu panitia di Bandung yaitu “Commite Indie Weerbar” (Panitia Ketahanan Hindia).
Sampai pada tahun 1916, panitia mengirim suatu perutusan ke negeri Belanda yang membicarakan mengenai Milisi menjelang perang. Pada dasarnya, panitia dari pihak Indonesia setujua dengan membentuk milisi di kalangan bumi putra, akan tetapi mereka lebih setuju dengan memilih dewan perwakilan rakyat yang akan membicarakan mengenai milisi tersebut, dan Hindia Belanda menerima tersebut. Sampai pada tahun 1918 Valksraad didirikan oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Adapun prasarat pembentukan Valksraad adalah agar organisasi-organisasi politik di Indonesia ikut serta dalam mendirikan suatu panitia yang berkerja sama dengan pihak Belanda. Akan tetapi pada tahun 1918, Boedi Oetomo menjadi anggota Radikale Consetrantie yang didirikan oleh kaum sosialis, didalam Valksraad. Radikale Consetrantie menuntut pada pihak Belanda agar Valksraad yang badan penasehat saja di ubah menjadi Parlemen yang sesungguhnya. Namun sejak itulah Boedi Oetomo mengambil sikap menentang pemerintah jajahan, dan kemudian tahun 1930-an Boedi Oetomo menganut paham solidaritas bangsa Indonesia, bahkan menggabungkan diri dengan organisasi-organisasi lainnya dan membentuk partai Parindra. Adapun cirri Parindra yaitu membanggakan budaya Asia sebagai tandingan dari budaya Barat yang dianggap merusak.
Muncul pula organisasi yang mempunyai dasar-dasar yang lain sama sekali adalah perkumpulan dagang yang didirikan oleh R.M Titoadisuryo (1909), yang timbul bukan dari kalangan pelajar atau kalangan pemuda, akan tetapi dari kalangan kaum pedagang. R.M Titoadisuryo sendiri berasal dari seorang priyayi rendahan tamatan OSVIA, yang bercita-cita untuk membangun suatu wadah yang dapat membantu pedagang bumi putra yang sudah jelas tidak dapat menyaingi kaum Cina dalam bidang tersebut. Organisasi ini sama sekali tidak berpolitik dan R.M Titoadisuryo merubah nama organisasi tersebut menjadi Sarekat Islam yang tujuannya tidak terbatas pada bidang perdagangan saja. Karena mengalami perkembangan melalui pemuka agama dan pengaruhnya meluas sampai ke daerah pedesaan, maka perkembangan tersebut menimbulkan perhatian pemerintah Belanda.
Dan ketika para pemimpin SI mengajukkan permohonan untuk diakui sebagai organisasi  yang syah oleh pemerintah Belanda, pemerintah Belanda mengambil sikap lebih berhati-hati.  Gubernur Jenderal Idenburgh adalah seorang Etikus yang mendorong usaha-usaha orang-orang Indonesia, akan tetapi panasehatnya menganggap SI sebagai organisasi yang berbahaya, sebab SI tidak diakui sebagai organisasi yang utuh. Dalam perkembangannya SI mengalami perubahan-perubahan dalam sikapnya terhadap pemerintah colonial, seperti halnya dalam kongres SI tahun 1913 R. M Titoadisuryo mengatakan “kami masih bersikap loyal terhadap Gubernemen, kami senang dibawah kekuasaan pemerintah Belanda” namun disamping itu bahwa organisasi terbuka bagi semua orang Indonesia, tidak terbatas pada golongan terpelajar saja.
Dalam kongres 1916 dinamakan kongres Nasional pertma, yang tampak bahwa SI telah mengambil sikap terhadap pemerintah, adapun tuntutan kongres tersebut agar pemerintah member otonomi yang lebih luas pada masyarakat Indonesia. Akan tetapi sebelum tahun 1915, SI telah menjadi Indie Weerbaar yang menuntut adanya Perlemen dan Milisi. Kemudian sekelompok anggota SI terlibat dalam gerakan radikal yang bersumber pada Marxisme. Adapun keterlibatan sejumlah anggota SI dalam gerakan Marxis adalah usaha untuk mempertahankan ciri sebagai organisasi massa. Namun akhrinya SI mengakui solidaritas bangsa Indoensia sehingga namanya pada tahun 1921 diubah menjadi Partai Sarekat Islam dan menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia.

BAB. V
MUNCULNYA PAHAM RADIKALISME

Sebagai suatu organisasi massa, Sarekat islam sangat berhasil yang disebkan karena berbagai faktor, salah satunya Belanda kurang bersimpati kepada organisasi tersebut. Adapun seorang sejarawan pernah menafsirkan bahwa pada tahun 1919 keanggotaan SI berkisar dua juta orang, yang berarti bahwa orang yang terpengaruh pada perjuangan SI meliputi jumlah tersebut. Didalamnnya tidak halnya terdapat pengaruh pengikut-pengikut Islam yang patuh saja, akan tetapi berbagai lapisan masyarakat yang merasa dirinya diwakili dalam Sarekat Islam. Namun karena Heterogenitas menimbulkan perpecahan. Perpecahan tersebut muncul dari kelompok buruh, perkebunan dan kereta api yang terpengaruh oleh cita-cita yang sifatnya lebih radikal dari pada cita-cita Sarekat islam sendiri.
Radikalisme dalam pergerakan  nasional terutama bersumber pada paham komunisme. Paham ini dengan berbagai cara bisa menyusup dalam tbuh berbagai organisasi kemastarakatan. Paham komunisme diperkenalkan pada kalangan pergerakan Nasional Indonesia oleh beberapa orang Belanda di awal abad ke 20. Untuk mendapatkan pengikut di kalangan orang-orang Indonesia, Sneevliet mencari jalan lain karena orang Indonesia menganggap ISDV sebagai organisasi bangsa lain yaitu dengan cara mempengaruhi anggota-anggota Sarekat Islam Senarang untuk ikut menjadi anggota ISDV. Pada masa itu orang lazim memasuki organisasi sekaligus. Ada anggota Budi Utomo yang juga menjadi anggota Sarekat Islam dan menjadi anggota ISDV. ISDV masa radikal setelah berdirinya Soviet Rusia pada tahun 1977. Pada waktu yang bersamaan berangsur-angsur anggota-anggota pengurus Belanda meninggalkan organisasi ini karena dibuang oleh pemerintah Belanda.Tahun 1919 Samaoen dan Darsono diangkat sebagai pimpinan ISDV mengantikan Sneevleit. Sarekat Islam menjadi radikal pula ketika tahun 1918 SDP di Negri Belanda dirubah menjadi Partai Komunis Holand, maka di kalangan ISDV rupanya menimbulkan niat yang sama.
Indonesia dibentuk persatuan pergerakan kemerdekaan rakyat dan terdiri dari PKI dan SI. Tetapi segera tampak bahwa persatuan ini tidak dapat bertahan. Masing-masing organisasi memegang teguh ideologinya sendiri-sendiri. Timbul pula perpecahan antara golongan kanan dan golongan kiri. Pada tahun 1921 Sarekat Islam melarang anggotanya merangkap dalam organisasi lain, sehingga orang-orang PKI dalam sarekat Islam terpaksa keluar dari Sarekat Islam. Pimpinan PKI beralih dari Samaoen yang dibuang ke luar negri karena gerakan-gerakan aksi mogoknya kepada Tan Malaka. Tan Malakalah yang berusaha lagi untuk menarik umat islam ke dalam PKI. Cabang-cabang Sarekat Islam yang pro komunis diubahnya menjadi Sarekat Islam dengan pimpinan Alimin. Sementara itu Samaoen telah kembali ke Indonesia dan mengutamakan aktivis PKI pada kaum buruh. Tetapi, sejalan dengan itu usaha-usaha untuk menarik anggota SI diperluas juga pula.
PKI menjadi lebih kuat dengan kembalinya Darsono dari moskow. Cabang-cabang PKI tersebar sampai ke minangkabau, Aceh, Makasar, Ternate dan Lombok. Tahun 1942 pimpinan PKI melebur Sarekat rakyat dalam tubuh PKI. Sementara itu para pemimpin PKI merencanakan suatu pembrontakan besar-besaran. Tetapi ternyata kemudian nasalah pembrontakan ini menimbulkan perpecahan di kalangan PKI. Selain Radikalisme yang bersumber pada PKI dan komunitern di kalangan mahasiswa Indonesia dinegeri Belanda muncul pula paham radikal mengenai penjajahan. Disana sikap anti penjajahan itu memang sudah terdapat dikalangan penganut-penganut sosialisme yang tergabung dalam gerakan-gerakan sosial demokrat.
Organisasi mahasiswa Indonesia di negri Belanda bernama Perhimpunan Indonesia. Organisasi ini berawal dari Indische Vereenigning, yang dibentuk pada tahun 1908 sebagai suatu wadah dari orang-orang pribumi maupun non pribumi yang berada di Weropa. Praktek demokrasi di negri Belanda sangat mengesankan para mahasiswa Indonesia di negri Belanda. Keadaan ini bertentangan sama sekali dengan keadaan yang mereka saksikan di Hindia Belanda. Tahun 1925 Perhimpunan Indonesia mengganti anggaran dasarnya dan dinyatakan bahwa tujuan perhimpunan Indonesia adalah memperjuangkan kemerdekaan penuh bagi Indonesia. Tujuan ini hanya bisa tercapai bila seluruh bangsa Indonesia bergerak maju serentak. Para nahasiswa Indonesia di Eropa juga menyadari bahwa keadaan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan keadaan dibagian-bagian Asia lainnya. Hubungan yang akrab terjalinlah dengan para mahasiswa dari berbagai penjuru Asia. Perhimpunan Indonesia juga mengirimkan utusan-utusan untuk menghadiri konperasi-konperasi internasional yang menerangi penjajahan.
Anggota-anggota perhimpunan Indonesia yang kembali ke Indonesia meneruskan cita0cita kemerdekaan dan sikap non kooperasi dalam berbagai organisai poliyik, pelajar dan pemuda. Salah satu organisasi itu adalah Algemeene Studie Club yang didirikan oleh Ir. Soekarno di Bandung pada tahun 1925. Soekarno snagat terkesan pada Tjokroaminoto pada Sarekat Islam dan kemudian Ir Soekarno mengikuti perjuangannya. Pandangan Tjokroaminoto bahwa dalam islam pun mengandung ajaran-ajaran Sosialisme, sangat menarik bagi Soerkarno. Pemikiran ini dibukukan oleh tokoh Sarekat Islam itu pada tahun 1924. Gagasan Tjokroaminoto itulah yang kemudian diteruskan Soekarno. Ia berpendapat bahwa Sosialisme dalam Islam harus dapat bekerjasama dengan cita-cita nasionalisme. Tahun 1926, Ir. Soekarno mengeluarkan suatu pamflet mengenai hal ini. Pemikiran inilah yang kemudian dalam tahun 1960an dengan istilah NASAKOM.
Pada tahun 1927 Ir. Soekarno mengubah Algemeene Studie Club menjadi Partai Nasional Indonesia. Tiga bekas anggota Perhimpunan Indonesia hadir dalam rapat pembentukannya, yaitu Mr. Iskak Tjokrohadisuryo, Mr. Budiarto dan Mr.Sunarjo. Cita-cita Partai Perhimpunan Indonesia tidak berbeda jauh dari cita-cita Perhimpunan Indonesia. Nasionalisme yang radikal ditanamkan dengan  cara propaganda agar rakyat menjaadi sadar dengan tujuan tujuan pergerakan. Trilogi Partai Nasional Indonesia yang ditanamkan pada rakyat adalah jiwa nasional (nationaale geest) tekad nasional (nationaale wil) dan tindakan nasional (nationaale daad). Dengan cara ini Partai Nasional Indonesia ingin  mengerahkan rakyat untuk memperbaaiki keadaan politik, ekonomi, dan budaya. Agar kondisi kemelaratan dalan alam penjajahan jelas tertulis dalam benak rakyat, diciptakan pula pandangan sejarah yang khas. Soekarno meelukiskan betapa pada masa lampau bangsa Indonesia pernah mengalami masa yang gemilang dan masa kini penuh kesengsaraan, dan akan tiba saatnya bangsa Indonesia (dengan pemimpin Partai Nasional Indonesia) akan mencapai masa kebesaran lagi.
Persatuan diantara kelompok-kelompok politik yang bermunculan di Indonesia menjadi sasaran pula dari perjuangan Partai Bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1927 Partai Nasional Indonesia mengadakan suatu rapat di Bandung yang dihadir oleh wakil-wakil Partai Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Pasundan, Sumaterane Bond, Kaum Betawi dll. Hadirin sepakat membentuk suatu badan kerjasama yang bernama Permufakatan Perhimpuna-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI).
Dalam kongres I kongres yang diadakan pada tahun 1928 di Surabaya, Nampak adanya penegasan Ideologi. Dalam kongres itu diterima suatu keterangan azas yang menjelaskan pertentangan yang tajam antara pihak yang dijajah dan pihak yang menjajah. Belanda sebagai salah satu kekuatan imperialisme bertujuan mengeruk kekayaan bumi Indonesia dan mengeringkan kekayaan itu daari bumi Indonesia. Kegiatan Belanda itu merusak seluruh tatanan social, ekonomi, dan politik Ind, ekonomi, dan politik Indonesia. Untuk memperbaiki keadaan ini haruslah dicapai kemerdekaan politik.
Pemikiran ini kemudian disebarkan dalam rapat-rapat kursus-kursus dan sekolah-sekolah serta organisasi-organisasi pemuda yang didirikan oleh Partai Nasional Indonesia. Pers PNI yang terdiri dari surat-surat kabar Banteng Priangan (Bandung) dan Persatoean Indonesia (Batavia) juga membantu kearah ini. Dengan demikian kegiatan PNI dengan pesat menarik perhatian massa. Pada tahun 1929 jumlah anggotanya adalah sekitar 10.000 orang dan tersebar di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, Malang, Pekalongan, Cirebon, Serang, Sumatera, Makassar dll.  Sebaliknya dalam pemerintahan colonial makin khawatir. Dalam pidato dimuka Volksraad gubernur jenderal mengharapkan agar rakyat Indonesia mengelakan diri dari nasionalisme yang ekstrim. Malah fraksi konservatif Belanda dalam Volksraad mendirikan organisasi sendiri dengan nama Vederlandsche club (1929) mereka mendesak pemerintahan agar bertindak tegas terhadap PNI. Pers Belanda pun membantu sikap ini.
Pemerintahan Belanda mulai bertindak sejak tahun 1929 itu juga. Kalangan polisi dan tentara (KNIL) dilarang untuk memasuki organisasi ini juga pegawai sipil dari Departemen perang dilarang. Namun PNI berkembang terus. Malah Ir. Soekarno menyatakan Indonesia akan mencapai kemerdekaan bila perang pasifik meletus kelak. Kemudian terbentik desas-desus bahwa PNI akan mengadakan pemberontakan. Pemerintah Hindia Belanda mempunyai desas-desus ini dan pada tahun 1930 memerintahkan penangkapan para pemimpin PNI dari pusat sampai kecabang-cabangnya. Empat tokoh PNI yaitu Ir.Soekarno, R. Gatot Mangkoepradja, Maskoem Soemadiredja dan Soepriadinataa diajukan pada pengadilan Bandung. Ir Soekarno kemudian dijatuhi hukuman pembuangan.
Pada bulan April 1931 pimpinan PNI lainnya membubarkan organisasi ini. Tetapi ternyata tidak semua anggota menyetujui organisasi ini. Tetapi ternyata tidak semua anggota menyetujui tindakan ini. Sebagian mendirikan organisasi baru dengan nama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) dengan pimpinan Drs. Muhammad Hatta dan Syahrir, sebagian lagi mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dengan pimpinan Mr. Sartono. Kedua partai ini sepakat bahwa tujuan utama adalah kemerdekaan Indonesia. Tetapi mereka berbeda dalam cara yang harus dipakai. PNI Baru menekankan  perlunya pemimpin-pemimpin yang cakap, berwibawa, dan jujur. Sebaliknya Partindo tetap mementingkan pembentukan kader-kader. Sebaliknya Partindo tetap mementingkan gerakan masal sebagai cara  yang ampuh untuk mencapai maksud tersebut. Betapapun juga, sejak 1920-an nasionalisme yang radikal telah menjadi dasar perjuangan para pemimpin Indonesia.


BAB. VI
NASIONALISME DI KALANGAN GENERASI MUDA

Pada awal abad 20, dari berbagai penjuru nusantara muncul pemuda-pemuda yang ingin melanjutkan pendidikan untuk mendapat kedudukan baru dalam periode baru. Bagi golongan ini pendidikan Barat merupakan saluran penting untuk memegang jabatan resmi. Status Priyayi masih tetap merupakan cita-cita yang paling diinginkan oleh masyarakat ketika itu, sekalipun priyayi yang lahir karena pendidikan, bukan semata-mata karena keturunan.
Masyarakat pelajar di kota-kota tersebut dengan sendirinya menghadapi keadaan baru dengan berbagai permasalahnya. Problem pokok bagi kebayakan mereka yang bersekolah dalam dasawara pertama abad 20 adalah problem identitas social. Dalam hal ini tidak berbeda dengan organisasi-organisasi lain seperti Boedi Oetomo. Berdarkan dorongan inilah pada tahun 1915 timbul petama di kalangan masyarakat kota dengan nama Tri Koro Dharma. Sumber inspirasi dari organisasi ini adalah suku bangsa jawa dan kebudayaannya. Dalam anggaran dasarnya organisasi ini beridaman untuk membentuk masyarakat Jawa Raya yang meliputi orang jawa (Tengah dn Timur) serta orang Sunda, Madura dan Bali. Namun segera Nampak bahwa cita-cita itu tidak dapat dikejar. Orang- orang Sunda dan Madura tidak merasa betah dan keluar dari organisasi itu. Dengan demikian padaa tahun 1918 organisasi ini mengubah namanya meenjadi Jong Jawa karena hanya terdiri dari pemuda Jawa saja.
Dasar pemikiran atau ideology organisasi inidapat dikatakan bersifat “Nasioanlisme Jawa”. Pada tahun 1917 organisasi ini membentuk “Panitya Nasionalisme Jawa” di Jakarta dengan pemimpin Soerjo Koesoemo, Abdul Rachman dan Satiman. Sekalipun mereka menggunakan bahasa Belanda dalam tulisan-tulisan, mereka yakin bahwa masa depan mereka adalah Jawa seperti masa lampau mereka. Pergaulan dengan suku-suku lain tidak dilarang, namun mereka yakin pemisahan berdasarkan kesukuan adalah lebih baik bagi semua pihak.
Ternyata pengertian Jawa yang dimaksud Jong Java sangat sempit. Jawa Tengah dengan latar belakang Hindunya lebih ditonjolkan. Maka tidak mengherankan kalau pada tahun 1924 terjadi perpecahan lagi. Ketika itu muncul suatu golongan yang mengnginkan agar dasar-dasar Iaslam dimasukan sebagai ideology Jong Java. Tetapi ternyata loyalitas kesukuan tetap lebih kuat, sehingga golongan ini pun akhirnya harus meninggalkan Jong Java. Mereka mendirikan Jong Islamieten Bon dan menyebarkan ide-idenya melalui majalah “El Noer.” Organisasi pemuda Islam ini mengikuti jejak Sarekat Islam dan tidak tetbatas pada masalah-masalah identitas saja. Seperti halnya dengan SI organisasi pemuda ini berpolitik, artinya memasalahkan sistem kolonialisme. Orang-orang lain yang melihat, bahwa “ Nasionalisme  Jawa ” dari Jong Java terlampau sempit, juga meninggalkan organisasi ini. Tjipto Mangunkusumo, seperti halnya dengan Soewardi Soerjaningrat, lebih condong berpendapat, bahwa permasalah pokok adalah perjuangan melawan penjajahan. Itu sebabnya mereka keluar dari Jong Java dan bergabung dengan Indische Partj dari Douwes Dekker.
Setelah munculnya Jong Java muncul pula organisasi dari kelompok-kelompok sukun lainnya di kota besar di Jawa seperti Jong Sumateramen Bond, Pasundan, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batavia, Sekar Rukun, Pemuda Betawi dll. Partai-partai politik kemudian juga mempunyai bagian kepemudaannya masing-masing. Langkah pertama dikalangan pemuda untuk meninggalkan batasan Kesukuan dan membina solidaritas yang luas muncul pada kongres Pemuda Pertama yang diselenggarakan anatar 20 April samapai 2 Mei 1926. Persiapan-persiapannya dilakukan sejak November 1925 dengan mengadakan perundingan antara wakil-wakil dari Jong Java, Jong Suamteranen Bond, Sekar Rukun dll. Merekalah yang membentuk suatu panitia penyelenggara yang dipimpin oleh Tabrani. Dalam kongres itu muncul usul untuk menyatukan (fusi) semua organisasi Pemuda. Usul ini mendapat sambutan baik, sehingga mengalahkan usul lain yang hanya menginginkan suatu Federasi saja.
Setelah kongres itu, wakil-wakil dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Sekar Rukun, Vereeniging Ambosche, studenenden, dan Jong Batak  berkumpul lagi dengan komite  Kongres dan melahirkan suatu gagasan untuk mendirikan organisasi baru yang bernama Jong Indonesia degan tujuan menanamkan Nasionalisme untuk mewujudkan Indonesia Raya. Namun gagasan inipun ternyata tidak berkembang lama. Nama Jong Indonesia diambil alih oleh Algemeene Studi Club bandung organisasi pemudanya setelah terjemahan menjadi Pemuda Indonesia. Tetapi Kongres Pemuda I merupakan dorongan bagi lahirnya organisasi Kemahasiswaan pertama dengan nama Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI). Dengan demikian para mahasiswa Indonesia dari Rechts Hoogoeschool di Jakarta mendapat wadahnya sendiri. Berbeda degan organisasi –organisasi mahasiswa yang ada ketika itu, maupun yang lahir kemudian sejajar degan pertumbuhan sistemperguruan tinggi, PPPI jelas mempelopori solidaritas nasional.
Seorang wanita Indonesia yang pertama kali mendirikan system pendidikan wanita yaitu Raden Dewi Sartika dengan Sekolah Keutamaan Istri di Bandung (1904) yang awalnya bernama raden Dwi School.  Usaha lainnya dalam bidang pendidikan wanita bersumber pada R.A. Kartini dengan bukunya yang berjudul Door Duisternistot Licht. Pada tahun 1912 C.Th. Van Deventer mendirikan Kartini fonds (Dana Kartini) untuk mendirikan sekolah gadis.  Sekolah semacam tersebut kemudian didirikan di Semarang pada tahun 1913, kemudian di Jakarta, Malang, Madiun dan Bogor.  Selain itu juga ada usaha Maria Walanda Maramis yang mendirikan sekolah gadis di Manado yang diasuh oleh PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunan). Di Minangkau juga ada Rohana Kudus yang mempelopori emansipasi wanita. Di Padang ada Karadjinan Amai Setia yang didirikan pada tahun 1914, di Padang Panjang ada Kautamaan Istri, di Gorontalo ada Goorntalosche Mohammadansche Vrouwen Vereeniging. Di Ambo ada Ina Tuni (wanita utama).
Sistem pendidikan nasional yang menyeluruh bagi pribumi pertama kalinya didirikan oleh Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat), tokoh Indische Partij pada tahun 1922 dengan mendirikan Taman Siswa. Azaz pendidikan Taman Siswa pada tahun 1922 adalah panca Dharma yaitu kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaaan, kebangsaan dan kemanusiaan. Sekolahnya berkisar dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah Belanda yang berdiri hampir disetiap kota besar di Jawa serta meluas ke Sumatera dan Kalimantan. Douwes Dekker (Setiabudhi Danuwirya) juga mengikuti langkah Ki Hajar Dewantara.  Ia bekerja sebagai guru dijlan Kebon Kelapa (Bandung) dijadikan Preanger Instituut vande Vereeniging Volksonderwijs atau Lembaga Priangan dari Perkumpulan Pengajaran Rakyat pada 1923. Namun sejak 1924 nama lembaga tersebut berubah menjadi Ksatriyan Instituut. Sekolah tersebut kemudian juga dibuka di Cianjur dan Ciwidey. Ksatriyan Instituut juga membuka sekolah dagang menengah untuk member pelajaran praktis bagi murid-murid yang akan kembali ke masyarakat dan pada tahun 1935 ditambah lagi dengan sekolah guru keguruan untuk mendidik pegawai Pamong Praja.
System pendidikan lain yaitu Indonesisch Nationale School di Kayutan, Sumatera Barat pada tahun 1926 oleh Muhammad Syafei. Ada juga Perguruan Rakyat yang berdiri karena dorongan PNI yang terdiri dari gabungan Pustaka Kita yang diprakarsai oleh Mr. Sunario dan Arnold Mononutu untuk mendirikan perpustakaan dan Perhimpunan Untuk Belajar dari Soedarmoatmojo dan Sarah Thaib yang bertujuan mengajar bahasa asing yang walnya bertujuan mendirikan Volks Universiteit. Sekolah guru ditambah pada tahun 1935 yang dipimpin oleh Dr. Samsi dan Arnold Monomutu dengan dasar nasionalisme, pendidikan jasmani, pembentukan watak, pengetahuan, semangat kemajuan dan kemasyarakatan yang juga bercabang di Jatinegara, Semarang, Surabaya, Bandung, Madiun dan Palembang. Perguruan ini mundur pada tahun 1936. Setelah itu timbul masyarakat baru yaitu masyarakat Indonesia dengan semboyan Indonesia merdeka dengan berbahasa Indonesia yang kemudian menjadi bangsa Indonesia.

BAB VII
MELUASNYA SOLIDARITAS BERBANGSA

Politik kolonial yang sangat menekan elite politik yang baru muncul sejak awal abad 20 sangat terasa ditahun 1930an. Pengawasan sedemikian rupa dan larangan terhadap pers maupun gerakan lainnya demikian keras, sehingga banyak orang beranggapan sejak itu pemerintah Hindia Belanda sudah menjadi diktator yang terselubung. Dengan keadaan itu timbulnya berbagai fusi dikalangan organisasi politik untuk meninggalkan landasan etnis yang sempit ataupun landasan gerak yang terbatas. Dalam proses inilah tampak adanya kemajuan dalam cita-cita persatuan. Proses ini dapat dilihat dalam organisasi politik yang berdiri sebelum 1930an. Organisasi Boedi Oetomo juga melakukan fusi, seperti pada kongres 1932 yang mana Boedi Oetomo yang awalnya gerakan orang Jawa melebar landasannya dengan persatuan berbagai suku bangsa. Pada 1934 usaha tersebut berhasil dengan terjadinya peningkatan Indonesia Studie Club Dr. Soetomo menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). PBI kemudian didekati Boedi Oetomo, sehingga pada 1934 keduanya melakukan perjanjian fusi dan pada Konferensi Yogyakarta bulan Oktober 1935 usaha tersebut berhasil kemudian berganti nama menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra).
Dikalangan Islam, sejak semula hanya ada 1 wadah organisatoris, maka masalah fusi seperti yang dirasakan penting oleh Boedi Oetomo tidak ada.  Semakin hari Boedi Oetomo tidak dapat bekerja dengan pengawasan ketat oleh PID (Politieke Inlichtingen Dienst, Dinas Rahasia), maka pada 1935 H. Agus Salim menganjurkan PSII melepaskan semboyan anti Belanda pada Kongres PSII 1935. Saat itu H. Agu salim kalah dan pimpinan diambil alih oleh Abikoesno. Perpecahan tersebut ditengahi oleh Mr. Moh. Roem di Jakarta, namun Mr. Moh. Roem, A.M. SAngadji, H. Agus Salim dan lainnya dikeluarkan dari PSII. Pada tahun 1940 dibawah pimpinan Kartosoewiryo PSII mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran PSII. Golongan Islam yang kerjasama dengan Belanda dengan cara menjadi anggota Volksraad kemudian membentuk Partai Islam Indonesia (PII).
Selain itu, 2 jalur pokok dalam perkembangan ditahun 1930-an itu, masih ada jalur lain, yaitu gerakan etnis yang tergolong minoritas dalam jumlah anggota yang terbagi menjadi 4 golongan yaitu gerakan yang akhirnya melakukan fusi dengan gerakan nasional, gerakan yang tetap mempertahankan identitasnya dan hanya mengambil symbol gerakan nasional, gerakan yang tetap mempertahankan sifat etnis saja dan gerakan lainnya. Gerakan etnis yang berfusi dengan gerakan nasional seperti Tirtayasa dari Banten dan Kaoem Betawi dari Jakarta bergabung dengan Parindra, Sarekat Madura di Surabaya pada 1930 bergabung dengan Partai Celebes di Makasar menjadi Partai Sarekat Celebes (Paras) pada 1933 dan juga masuk Parindra, Sarekat Sumatera pada 1936 juga bergabung dengan Parindra. Gerakan yang tetap mempertahankan identitasnya dan hanya mengambil simbol gerakan nasional seperti Pasoendan, Perkoempoelan Kawoela Soerakarto, Sarekat Ambon, Hatopan Kristen Batak dan Persatuan Minahasa yang mana gerakan ini selalu turut dalam kegiatan umum partai nasional, namun tidak pernah bergabung. Sedangkan untuk gerakan yang tetap mempertahankan sifat etnisnya antara lain Perkoempoelan Kawoela Ngayogyakarto (1930), Perserikatan Timor (Timors Verbond) dan Moluks Politiek Verbond. Gerakan lain yang mempunyai cirri sendiri yaitu Persatoen Oelama Seloeroeh Aceh (Poesa) pada 1939, Sumatera Thawalib atau Permi.
Untuk golongan orang Kristen muncul organisasi Perserikatan Kaoem Christen (PKC) dan Partai Kaoem Masehi Indonesia (PKMI) dan Perhimpunan Politik Katholik Indonesia (PPKI). Golongan orang China juga demikian. Mereka mengelompokkan dalam 3 golongan yaitu golongan yang tidak terorganisir tapi berada disekitar surat kabar Sin Po yang tidak mengharapkan sesuatu dari struktur colonial namun berpaling ke China, Chung Hwa Hwi dari kapitalis besar yang cuek dengan permasalahan Indonesia, Partai Tionghwa Indonesia (1932) dikalangan peranakan China yang mengambil symbol kebangsaan Indonesia sebagai landasannya. Hal seperti diatas juga terjadi pad orang Arab. Mengenai gerakan wanita, organisasi yang berdiri antara lain Aisyah, Wanita Katholik Wanita Oetomo, Wanita Boedi Sedjati, Peserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (1929) dan Istri Sedar (1930). Gerakan buruh juga termasuk didalamnya. Organisasi buruh pada saat itu antara lain VSTP, Personeel Fabrieks Bond (PFB) dan lain-lain.



BAB. VIII
PERJUANGAN PARLEMENTER

Pembentukan Volksraad oleh pemerintah colonial sebenarnya merupakan bagian dari politik desentralisasi birokrasi yang sudah dimulai sejak dicanangkannya Politik Etika pada tahun 1901. Undang-undang Desentralisasi dikeluarkan pada tahun 1903 dengan maksud mendirikan berbagai dewan penasehat pada tingkat kerasidenan dan kotapraja. Namun demikian tidak banyak yang tercapai, karena dewan-dewan itu tidak mempunyai kekusaan mengambil keputusan. Keputusan-keputusan penting tetap menjadi wewenang para residen dan walikota yang berkebangsaan Belanda. Namun, dewan-dewan ini dianggap penting dalam sejara masyarakat Indonesia karena disinilah untuk pertama kalinya mereka dapat bertemu sesuai dengan prosedur-prosedur modern. Dilihat dari sudut itu dewan-dewan ini merupakan tempat latihan yang penting bagi perkembangan Volksraad yang muncul tahun 1918. Peran Bupati yang mengepalai dewan di daerahnya, serta peran berbagai wakil golongan di kota-kota, merupakan perkembangan baru yang belum ada sebelumnya.
Kemudian timbul kebutuhan untuk membentuk suatu wadah bagi mereka sehingga kegiatan mereka dapat disalurkan oleh pemerintah kolonial. Pembentukan dewan penasehat semacam ini juga penting karena sejak tahun 1912 Anggaran Belanja daerah Hindia Belanda akhirnya dipisahkan dari anggaran kerajaan, sehingga timbul kebutuhan untuk menarik partisipasi masyarakat Indonesia dalam menentukan penggunaannya. Namun  dewan rakyat itu tidak pernah diberi wewenang penuh dalam masalah itu.
Gagasan pokok membentuk Volksraad muncul pada tahun 1912 dengan pertimbangan-pertimbangan pokok yang disebut terakhir diatas. Namun sejak dikeluarkannya gagasan itu kelompok-kelompok dalam masyarakat Indonesia sebagian menyatakan keraguannya. Mereka dapat berpendapat bahwa dewan  yang hanya mempunyai wewenang penasehat saja hanya akan menguntungkan kepentingan-kepentingan kolonial. Kelompok-kelompok yang bertendens radikal menunttagar dewan yang akan dibentuk sungguh-sungguh mewakili kepentingan-kepentingan pemerintah kolonial. Pernyataan secara prosedural masalah itu muncul pertama kalinya dalam masalah milisi. Panitia ketahanan Hindia itulah yang pertamakali menuntut agar dibentuk suatu dewan perwakilan yang sesungguhnya akan memikirkan dan menyusun undang-undang milisi tersebut. Tetapi seperti yang sudah dibentangkan di atas, pemerintah Belanda menjawab bahwa mereka memang sedang memikirkan hal itu. Rencana mereka diterima dalam Parlemen Belanda pada tahun 1916 dan pada tahun 1918 dewan itu terwujud di Jakarta (kini gedung Pejambon).
Dalam sidang Volksraad yang pertama tampak antara lain Tjokroaminoto dan Abdul Muis dari Sarekat Islam. Juga Tjipto Mangunkusumo, yang telah kembali dari Belanda dan tergabung dalam Sarekat Hindia, menjadi wakil bagi organisasinya. Tetapi beberapa bulan kemudian timbul suatu kelompok dalam Volksraad yng menamakan dirinya “Radicale Concentatie”. Mereka menginginkan agar dewan itu diubah menjadi parlemen yang sesungguhnya. Pihak pemerintah menjadikan perubahan dan membentuk suatu panitia untuk mempelajari tunututan itu. Tetapi perubahan-perubahan yang dimaksud tak pernah terwujud, malah sikap pemerintah makin konservatif. Dengan demikian berangsur-angsur tokoh-tokoh Sarekat Islam keluar dari dewan itu. Tinggalah golongan-golongan yang bersedia bekerja bersama-sama dengan pemerintah Hindia Belanda.
Namun dalam masyarakat timbul berbagai macam reaksi. Dalam Volksraad muncul pula tiga macam pendapat yang pertama berasal dari wakil-wakil masyarakat Belanda. Yang menolak petisi tersebut. Pendapat kedua berasal dari kalangan masyarakat Indonesia yang mewakili golongan “Intelektual” dengan pimpinan Soekardjo Wiryopranoto;merekapun menyatakan penolakan. Pendapat ketiga juga dari kalangan masyarakat Indonesia yang disuarakan Soeroso (Golongan Pegawai Negeri) yang juga menolaknya.
Dengan golongan wakli golongan Indo yang menyetujuinya, petisi itu diterima Volksraad dan diteruskan ke Parlemen Belanda. Di Indonesia timbul panitia-panitia yang disebut Comitte Petitie Soetardjo untuk memperjuangkan petisi itu. Gerakan ini menimbulkan perbedaan faham dalam kalangan pergerakan. Parindra yang baru didirikan pada tahun 1935 tidak bersedia ikut dalam panitia tersebut, Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang pro-komunis itu, juga menetang petisi tersebut walaupun bersedia menerima diadakannya konperensi antara Indonesia dan Belanda. Partai Sarekat Islam Indonesia juga tidak menyetujuinya., PNI-baru pun menolaknya. Sokongan datang dari organisasi-organisasi yang lebih kecil, yaitu Persatuan Pegawai Binnenland Bestuur (PBB), IEV (Indo), Chung Hwa Hwi(Cina), PEB (Golongan Pedagang) Penyedar,Pasundan, PPKI,PAI, Sarekat Ambon, Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia, dll. Haji Agoes Salim dan Mr.Sartono juga menyetujuinya.
Di dalam Parlemen Belanda banyak juga menantang. Tetapi belum diadakan pemilihan suara, menteri jajahan mengemukakan bahwa petisi itu tidak perlu karena pemerintah bermaksud meluaskan otonomi dengan memperkuat pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia. Pada bulan November 1938 dikeluarkan pengumuman resmi bahwa petisi ditolak oleh Ratu Belanda.
Gagalnya Petisi Soetarjo menyebabkan Parindra Mengambil langkah-langkah untuk menggabungkan seluruh kekuatan politik yang ada untuk menuntut perbaikan-perbaikan dalam bidang perwakilan. Sebelum itu golongan islam(PSII) pernah pula berusaha untuk menggalakan  seluruh potensi pergerakan nasional dalam suatu wadah federatif. Pada tahun 1938 PSII membentuk Badan Perantara Partai-Partai Politik Indonesia (Bapeppi). Namun usaha ini kurang lancar sehingga kegiatan Parindra tersebut diatas menjadi lebih menonjol dalam masyarakat Indonesia.
Dalam bulan Mei 1938 Parindra mengundang sejumlah partai politik dan organisasi massa untuk berapat di Jakarta. Terbentuklah Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang dipimpin oleh Mohammad Hoesni Thamrin dari Parindra, Mr.Amir Starifoeddin dari Gerindo, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. Dari partai Sarekat Islam Indonesia. Tujuan GAPI adalah memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan persatuan nasional. Kemudian tujuan ini dirumuskan dalam semboyan “ Indonesia Berparlemen” sebab pada dasarnya GAPI tidak menuntut kemerdekaan tetapi partisipasi rakyat dalam pemerintah jajahan. Sikap kurang menekankan kemerdekaan itu disebabkan adanya prihatin atas kemungkinan meletusnya Perang Pasifik. Adanya prihatin atas kemungkinan meletusnya perang pasifik. GAPI beranggapan bahwa bila mereka mengenyampingkan cita-cita kemerdekaan, Belanda akan bersedia memenuhi tuntutan mereka, yaitu parlemen yang sesungguhnya untuk menggantikan Volksraad. GAPI juga mengajak rakyat Belanda bersama-sama menentang Fasisme.
Tetapi dikalangan pergerakan adapula golongan-golongan yang tidak menyetujui GAPI, seperti PNI Baru dan Penyedar, yang menolak sikap meminta minta pada Belanda. GAPI selanjutnya membentuk kongres Rakyat Indonesia yang menjadi Prototip dari parlemen yang diperjuangkan itu. KRI lalu mengesahkan Indonesia raya dan Merah Putih sebagai lagu dan bendera kebangsaan Indonesia. Sekalipun GAPI membentuk komite-komite didaerah-daerah, kegiatan federasi ini kurang berkembang. Mereka memang berhasil memaksakan pemerintah membentuk suatu panitia untuk menyelidiki usaha perubahan tata negarav (Commisie Visman) namun mereka tidak bersedia bekerja sama dengan panitia itu.

BAB. IX
PERANG KEMERDEKAAN

Untuk memahami perang kemerdekaan perlu dilihat perkembangan dalam masa pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, Jepang kekuatan kekuatan terpendam dalam masyarakat mendapat kesempatan untuk muncul ke permukaan. Kekuatan kekuatan itu pada tahun 1930-an behasil dikekang oleh kekuasaan kolonial. Seperti tampak dalam bagian bagian yang mendahului bagian ini, yang paling menentukan dalam masyarakat indonesia pada tahun 1930-an adalah golongan birokrasi beserta golongan politisi yang tidak menganjurkan perlawanan yang radikal terhadap kekuasaan kolonial. Pada masa jepang justru terjadi yang sebaliknya. Untuk kepentingan kepentingan perangnya, jepang memobilisir berbagai unsur dalam masyarakat. Ketika jepang menyerah kalah, unsur-unsur ini tetap bertahan dan memainkan peranan yang menentukan dalam tahun-tahun pertama dari perang kemerdekaan. Kemudian sesudah itu elite politik dari masa pergerakan nasional muncul kembali untuk menyelesaikan revolusi itu.
Pendudukan Jepang
Pada pendudukan Jepang, masyarakat Indonesia dapat dijabarkan sebagai berikut: anggota-anggota berbagai organisasi partai diperkirakan berjumlah 50.000 orang, pembaca surat kabar kira-kira 50.000 orang pula, murid berbagai swasta indonesia diperkirakan berjumlah 130.000 orang, dua kali lebih banyak dari murid-murid sekolah pemerintah, murid murid Muhammadiyah kira kira 20.000 orang. Inilah yang digolongkan sebagai elite Indonesia di antara penduduk yang kira-kira berjumlah 70.000.000 orang.
Golongan tersebut dalam masa pendudukan jepang mendapat peranan yang sangat penting. Mereka dipakai dalam melakukan berbagai pekerjaan rutin birokrasi. Namun, seluruh kegiatan politik yang ada sebelumnya dilarang. Hanya sejumlah organisasi tertentu yang diciptakan oleh jepang untuk kepentingan propaganda dan perangnya yang dibiarkan hidup. Para birokrat lama merasa bahwa cara-cara jepang dalam pemerintahan sangat kaku dan kasar, sehingga timbul perasaan bahwa apa yang dapat mereka buat jauh lebih baik daripada orang-orang jepang.
Pembagian Indonesia dalam dua bagian, yaitu bagian yang dikuasai Angkatan Darat (Jawa, Sumatra) dan bagian yang dikuasai angkatan laut (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Indonesia Timur) mempengaruhi perkembangan masyarakat di kedua bagian itu. Wilayah Angkatan Laut dianggap masih primitif sehingga setiap kegiatan politik dilarang, sampai bulan April 1945. Bagian yang dikuasai angkatan darat dianggap cukup baik untuk dibimbing kearah self goverment. Langkah langkah kearah itu dijawa adalah
1.    1943 dibentuk Masyumi (berupa gabungan MIAI dengan unsur NU dan Muhammadiyah) untuk menampung kegiatan elite Islam.
2.    1943 Ir.Soekarno diizinkan mendirikan PUTERA untuk memberi wadah bagi kaum politisi yang sebelumnya anti-Belanda.
3.    1943 dibentuk dewan penasihat pusat (Chuo Sangi In) yang meliputi seluruh jawa.
4.    PETA dibentuk untuk melatih pemuda pemuda Indonesia dalam taktiknya gerilya melawan Sekutu (Jumlah 40.000 orang) dengan perwira perwira Indonesia sendiri.
Disumatra perkembangannya lebih lambat tetapi kira-kira mencakup bidang bidang yang sama: Gugyun (semacam peta) berjumlah kira kira 30.000 orang; Chuo Sangi In dibentuk pada bulan Juli 1945, tetapi wadah untuk elite islam baru pada tahun 1945, namun wadah untuk menyatukan seluruh elite politik itu di Sumatra tidak dibentuk Di Jawa justru diusahakan agar semua golongan sampai pada tingkat keresidenan kompak bersatu melalui PUTERA. Namun, pendapat bahwa disumatra Jepang melakukan politik adu domba tidak benar. Disana golongan adat dan golongan islam diusahakan agar mendapat perlakuan yang sama dan tidak menganak emaskan salah satu nya, seperti pada masa belanda yang (menganak emaskan golongan adat).
Persiapan Kemerdekaan
Karena di Jawa berbagai golongan diberi kesempatan untuk mengambangkan politik sejak dikeluarkannya “pernyataan koisyo” yang menjanjikan kemerdekaan (September 1943), maka di sinilah kita lihat adanya persiapan persiapan ke arah kemerdekaan yang dijanjikan itu. Janji kemerdekaan ini dikeluarkan dengan maksud untuk menarik simpati berbagai golongan kepada Jepang yang sejak 1943 mulai terdesak dalam medan-medan pertempuran di pasifik. Pembentukan lembaga lembaga dan pasukan pasukan yang disebut di atas dilakukan dalam hubungan ini pula. Dan ketika Okinawa direbut Amerika, pada bulan mei 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPPKI).
Pada tanggal 28 mei 1945 BPPKI mulai brsidang dengan anggota dari jawa berjumlah (62 orang) dipimpin dr.Radjiman. tugasnya adalah untuk menyusun konstitusi dan dasar-dasar ideologi Negara. Sejak awal siding hasil dari siding tersebut kebanyakan di ispirasi oleh elite dari zaman pergerakan national yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Tatkala Rusia bergabung dengan sekutu dan menyerbu jepang dari mancuria, pihak jepang melangkah lagi dan mempercepat tanggal pembentukan Negara boneka tersebut ( yang oleh BPPKI direncakan akan jatuh pada tanggal 17 september 1945). Maka dari itu ir.seokarno, Hatta dan Radjiman dipanggil ke Dalath (Saigon, Vietnam) untuk bertemu Jenderal Terauchi yang akan merestui pembentukan Negara RI. Sekembalinya rombongan pulang dari Dalath pada tanggal 14 agustus, segera dikelurkan pengumuman untuk memanggi para anggota-anggota panitia persiapan kemerdekaan indonesi yang seharusnya bersidang pada tanggal 18 Agustus  sampai 7 september. Kini tanggal proklamasi diajukan pada stangga 16 Agustus jam 10.00.
Namu seluuh rencana itu tidak dapat dilaksanakan karena golongan-golongan yang tidak terwakili dalam wadah yang dibentuk jepang mempunyai rencana lain. Golongan ini terutama dari golongan dari para pemuda yang tidak menyenangi jepang. Sudah lama golongan ini menunjukkan sikap permusuhan terhadap jepang, contohnya pemberontakan PETA Blitar dan contoh lainnya adalah perlawanan pemuda pada bulan juni. Pada waktu itu jepang telah membentuk suatu wadah tunggal untuk golongan para. Dengan harapa dapat menarik mereka ke pihaknya. Organisasi yang bernama Gerakan Rakyat Baru itu bersidang di bandung untuk mengesahkan anggaran dasarnya. Dalam perdebatan pihak jepang mencegah pemasukan istilah “Republik Indonesia” dalam anggaran dasarnya. Para pemuda melawan dan mensabot organisasi saat itu. Kelompok-kelompok lain yang pada waktu itu terdapat dalam masyarakat di jawa adalah
  1. Ikai Dai Gakku (mahasiswa kedokteran di asrama perapatan) yang pro syahrir, seseorang tokoh dari sebelum perang menolak bekerjasama dengan jepang dan melakukan sesuatu ”gerakan bawah tanah” dengan jaringan di seluruh Jawa.
  2. Asrama Menteng 31 yang dipimpin orang-orang yang bekerja pada koantor propaganda jepang ( soekarni, chaerul saleh dan lain-lain).
  3. Asrama Indonesia merdeka dari Mr.soebardjo yang mendapat perlindungan dari Admiral Maeda, dan berhasil memberi kursus-kursus pada kira-kira 100 orang pemuda.
Golongan yang berbeda pandangan inilah yang menyambut Soekarno-Hatta dari Dalath pada tanggal 15 agustus dan mendesak agar proklamasi dikeluarka tanpa sidang PPKI yang dianggap buatan jepang. Alasan sebagian merka adalah agar sekutu yang menang  Perang itu tidak akan mencapai Indonesia sebagai buatan Jepang. Syahrirlah yang memberi bimbingan dalam dalam hari pertama itu. Berbagai rapat yang diselenggarakan para pemuda dan pertemuan-pertemuan dengan Soekarno dan Hatta selalu dilaporkan kepada syahrir.
Namun Soekarno dan Hatta menolak permintaan para pemuda dengan alas an bahwa alat yang ada (PPKI) bisa saja dipakai untuk tujuan yang lebih murni. Selain itu mereka ingin menghindarkan pertarungan senjata dengan jepang. Sebab itu para pemuda mengambil tindakan sendiri, terlepas dari syahrir. Dalam suatu perundingan, diputuskan untuk mengungsikan Soekarno dan Hatta ke rengasdengklok di luar Jakarta darimana kedua tokoh itu bisa mengeluarkan proklamasi kemerdekaan tanpa halangan jepang, dan kemudian akan diadakan revolusi (perebutan kekuasaan dari pihak jepang) dengan bantuan satuan-satuan PETA. Rencana ini mulai dilangsungkan pada tanggal 16 Agustus, namun ternyata PETA menolak tidak bersedia untuk memberontak.
Sementara itu sidang PPKI pada tanggal 16 Agustus gagal dan Mr.soebardjo yang menjabat sekertaris PPKI mulai mencari kedua pemimpin tersebut. Melalui wikana, yang bersama soekarni memimpin peristiwa rengasdengklok itu, soebardjo mengetahui tempat kedua tokoh itu, persoalannya kemudian dimengerti, lalu soebardjo menghubungi Laksamana Maeda, atasannya pada bagian penerangan AL di Jakarta, dan mendapat izin dari peristiwa jepang yang simpati pada perjuangan, untuk menyediakan rumahnya ( di jl. Imam Bonjol NO.1 ) untuk dijadikan tempat rapat para pemimpin Indonesia.
Sidang PPKI dengan ditambah golongan muda (antara lain soekarna dan chaerul saleh) berlangjung mulai jam 03.00 subuh du kediaman Maeda. Sebelumnya soekarno dan Hatta telah menghubungi pihak pemerintahan militer jepang yang ternyata tidak mengizinkan tindakan itu maupun tidak melarangnya. Sebabnya pihak jepang di Jakarta belum mendapatkan berita resmi mengenai menyeluruhnya dari nipo.
Penyusunan naskah proklamasi di jalan Imam Bonjol no. 1 itu dilakukan oleh ir.Soekarno, Drs. M. Hatta dan Mr. A soebardjo, disakasikan oleh sayoeti Malik, soekarni, B. M. Diah dan Soediro. Untuk itu mereka meninggalkan anggota-anggota PPKI dirung tamu kediaman Maeda dan menyendiri di ruang makan. Ir. Soekarno yang mencatat dan Mr. Soebardjo yang mengeluarkan kalimat pertama; “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Kalimat ini berasal dari piagam Jakarta yang berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”. Kalimat ke dua berasal dari Drs. M. Hatta “ hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara yang seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya”. Sayoeti Malik yang ditugaskan mengetik naskah itumengubah “ Tempoh” menjadi “ Tempo” dan “ Wakil bangsa Indonesia” menjadi “ Atas nama Bangsa Indonesia.
Kemudian timbul persoalan penandatanganannya. Pihak pemuda (soekarni) menuntuk agar semua yang hadir menandatanganinya. Ini ditolak oleh PPKI. Akhirnya dicapai kompromi: hanya Soekarno dan Hatta saja yang menandatanganinya. Proklamasi ini dibaca pada keesokan harinya di pegangsaan timur 56 (kediaman Ir. Soekarno)  dengan disaksikan oleh anggota-anggota PPKI, para pemuda dan beberapa anggota peta.
PPKI bersidang lagi pada tanggal 18 Agustus dengan tambahan 9 anggota pemuda hanya Soekarni yang menolak keanggotaannya. Pada sidng ini UUD disempurnakan dan diterima dan Presiden dan Wakilnya dipilih. Keesokan harinya PPKI bersidang lagi dan membentuk delapan provinsi dengan gubernurnya sekaligus. Kemudian juga diumumkan pembentukan komite Nasional Indonesia Pusat yang bertindak sebagai dewan perwakilan rakyat dan meneruskan tugas-tugas PPKI. Juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk menjaga ketentraman umum. Selain itu dikumandangkan pula pembentukan PNI sebagai satu-satunya partai politik yang sah. Pada tanggal 22 Agustus anggota-anggota PPKI kembali ke tempat masing-masing.
Proklamasi sudah terdengar di daerah-daerah sejak tanggal 18 Agustus. Tapi baru tanggal 22 Agustus disiarkan secara resmi dalam Asia Raya (Koran resmi) setelah secara resmi pula Jepang menyatakan kekalahannya. Sejak itu mulai diusahakan untuk merebut kekuasaan dari pihak tentara Jepang. Dan pengambilalihan administrasi pemerintah oleh para pegawai. Tindakan-tindakan ini mulai meningkat sejak bulan September. Di Surabaya diadakan rapat umum untuk mengumumkan proklamasi pada rakyat (11 dan 17 September). Rapat serupa di Jakarta di langsungkan pada 19 september diikuti kira-kira 200.000 orang dilapangan merdeka. Lalu para pemuda mulai membentuk badan –badan perjuangan untuk melakukan perlawanan secara fisik. Perkembangan yng sama terjadi juga di keresidenan-keresidenan di Sumatera, Sulawesi, Maluku, Irian (biak), Kalimantan dan Nusatenggara.
Sekutu Mendarat
Setelah jepang menyerah, pihak sekutu bertanggung jawab untuk memulangkan tentara jepang dan membebaskan tawanan-tawanan perang serta menjaga ketertiban. Daerah Indonesia seluruhnya menjadi tanggung jawab Inggris sejak tanggal 15 Agustus. Tetapi pada tanggal 28 Agustus telah dibuat Anglo-Dutch Civil Affaires Agreement (perjanjian persoalan-persoalan pemerintahan antara Inggris dan Belanda) dimana Inggris yang akan memegang kekuasaan militer, berjanji akan menyerahkan kekuasaan sipil kepada Belanda bila tugasnya telah selesai. Namun dalam melaksankan tugas pemulangan tentara Jepang dan lain-lain itu, Inggris juga bertekat untuk bekerjasama dengan para pemimpin Indonesia.
Tugas Inggris itu paling cepat dilaksanakan di bekas daerah-daerah Angkatan laut Jepang. Disana tugas ini diserahkan kepada Australia yang memang semenjak  beberapa bulan sebelumnya telah menduduki Kalimantan utara dan Irian jaya, kemudian setelah Jepang menyerah, pulau-pulau di Maluku dan Sulawesi secara cepat diduduki. Australia mendapat kenyataan bahwa di daerah-daerah itu sudah ada pemerintahan RI namun mereka melindungi NICA ( Netherlands Indies Civil Administration) yang ikut masuk ke daerah-daerah itu. Di jawa dan sumatera, dimana Inggris sebelumnya tidak berpengaruh, pendaratan dimulai pada bulan Oktober. Disini pun mereka hanya menduduki kota-kota penting seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Palembang, Padang, dan menyerahkan daerah lainnya pada Belanda. Namun usaha Belanda tidak berhasil. Van Mook yang dijadikan Let.Gub. jenderal, mencoba berunding dengan Soekarno, tetapi pemerintah Belanda melarang dengan alasan Soekarno adalah penjahat perang. Perundingan baru mulai pada bulan November, ketika syahrir dijadikan perdana menteri. Ia dianggap tidak bercacat dalam hal ini.
Sementara itu antara September dan februari 1956 para pemuda merupakan faktor terutama dalam perubahan-perubahan. Berbagai badan perjuangan dari berbagai sukubangsa, pelajar, pegawai dan lain-lain kelompok. Gerakan mereka terutama di dalam kota-kota dan sangat anti Jepang maupun anti Inggris dan Belanda. Semboyan mereka adalah “merdeka atau Mati”.
Pergolakan pemuda yang palingbesar terjadi di Surabaya. Sejak semula mereka telah mempunyai persenjataan yang kuat berupa 12 tank dan senjata lainnya untuk satu resimen. Inilah konsentrasi kekuatan senjata yang paling besar di satu tempat selama seluruh perang kemerdeakaan. Insiden meningkat ketika kapten Huyer dari AL Belanda mengadakan provokasi, akhirnya ia mencoba melarikan diri tetapi  ditwan oleh residen. Kemudian tentara Inggris mendarat pada tanggal 25 Oktober dengan pimpinan Jendr.Mallaby. ia lalu melepaskan Huyet dan pengerahkan pasukannya keluar dari tanjung perak, hal ini bertentangan dengan perjanjian dengan Residen. Lalu pertempuran pun meletus. Ketika Inggris hampir dikalahkan, pimpinan mereka memanggil Ir.soekarno, Hatta dan Amir syarifuddin untuk meredam amarah arek-arek Surabaya. Ketiga tokoh tersebut berhasil membuat suatu perjanjian yang menguntungkan pihak Indonesia. Namun pada tanggal 30 Oktober oknum yang tidak bertanggung jawab menembak Mallaby. Penggantinya mencoba membalas dengan mengirim ultimatum agar pasukan Indonesia menyerahkan senjatanya. Ultimatum itu tidak diterima dan tanggal 10 November pecahlah pertempuran yang berlangsung selama tiga minggu. jumlah jumlah 150.000 pemuda Indonesiaberhdapan dengan tentara Inggris yang menyerang dari darat, laut dan udara. Pertempuran Suabaya memberi inspirasi pada pemuda lain untuk melakukan perlawanan juga.
Revolusi Sosial
Di beberapa daerah terjadi pula gejala yang menyimpang dari pola umum tersebut. Di tempat-tempat itu muncul gerakan-gerakan yang dinamakan revolusi sosial untuk menumbangkan golongan adat yang dianggap kaki tangan penjajah sejak Belanda dan Jepang. Dalam hal ini para pemuda terorganisir rapi tetapi sering juga (seperti di Sumatera Timur) menggunakan bdan-badan perjuangan yang dibentuk secara spontan. Faktor ideologi Marxisme di Jakarta tidak mengambil bagian.
Revolusi sosial di Aceh, Sumatera Timur, Tapanuli, Banten, Pekalongan, Surakarta. Di Aceh: sejak zaman Belanda golongan adat (ulebalang) dianak emaskan sebagai penguasa; para pemimpin dari kalangan Islam dikesampingkan karena dianggap berbahaya. Pada masa Jepang kedua golongan itu diperlakukan sama, sepanjang menguntungkan Jepang. Pada awal Revolusi golongan ulebalang muncul lagi dengan perkiraan Belanda akan kembali. Sewaktu hal itu tidak terbukti, golongan elite Islam muncul. Wadah mereka adalah PUSA yang dipimpin oleh Daud Beureuh. Pemberontakan bermula di Pidie. Seluruh ulebalang digulingkan dan diganti oleh para ulama. Kemudian gerakan ini menjalar ke seluruh Aceh dan baru berakhir pertengahan Maret 1946. Sumatera Timur: para raja yang zaman Belanda dianakemaskan pada mulanya juga bangkit dengan harapan Belanda akan kembali. Ketika hal itu tidak terjadi mereka mencoba mendekati pemimpin-pemimpin nasional di Medan untuk mengadakan perubahan dalam sistem pemerintahan kerajaan. Namun golongan marxs tidak menerima hal ini dan melancarkan perlawanan terhadap para raja tersebut. Kebanyakan dibunuh dan ditawan, termasuk penyair Amir Hamzah. Hanya dengan perantaraan pemerintah pusat peristiwa ini bisa diselesaikan. Hal-hal yag sama terjadi di Banten dan daerah pesisir Jawa Tengah.
Perjuangan Syahrir
Sutan Syahrir diawal Perang kemerdekaan berusaha memanfaatkan situasi revolusioner untuk mencapai kekuaasaan, tetapi kemuadian ia malah berusaha mengekang faktor-faktor ini untuk mencapai suatu menyelesaikan diplomatis dengan Belanda. Ia berjasa menciptakan suatu sistem pemerintahan Pralementer sejak bulan November 1945 dengan maksud menghubungkan pemerintah dengan rakyat. Keistimewaannya adalah, ia dapat melihat jauh ke depan seperti dalam tulisannya “Perjuangan Kita”. Ia berpendapat bahwa revolusi Indonesia tidak seluruhnya nasional dan tidak seluruhnya sosialis. Selanjunya, harus ada kerjasama dengan pihak luar negeri untuk membangun Indonesia yang kaya alamnya. Revolusi Indonesia menurut Syahrir adalah revolusi yang demokratis. Mengenai golongan adat yang bekerjasama dengan Belanda sebagai birokrat, ia berpendapat bahwa mereka harus digeser perlahan-lahan dan diberi fungsi penasehat ahli dalam bidang pemerintahan. Selain itu ia setuju bahwa feodalisme harus diakhiri.
Sebab itulah ia berusaha menciptakan lembaga-lembaga parlementer seperti lazimnya terdapat dalam siste politik yang demokratis. Lembaga-lembaga itu adalah:
1.      KNIP yang pada tanggal 16 Oktober 1945 dinyatakan sebagai lembaga legslatif (oleh Hatta) dengan Badan Pekerja (BP) untuk tugas sehari-hari dengan Syahrir sebagai ketuanya;
2.      Partai-partai poltik diizinkan berdiri melalui suatu peraturan tertanggal 3 November 1945
3.      Mengumumkan sebuah “Manifesito Politik” pada 1 November  1945 untuk menjelaskan garis-garis perjuangannya.
4.      KNIP di setiap daerah yang berdiri sejak Agustus 1945 (kelanjutan dari Hokokai) diubah. Untuk itu perlu diadakan pemilihan dan pembentukan badan Pekerja Daerah untuk membantu kepala daerah dalam tugas eksekutif
5.      Pembentukan Kabinet Syahrir yang bertanggung jawab pada KNIP, pada tanggal 4 November 1945, untuk menggantikan kabinet Soekarno yang terbentuk pada tanggal 18 Agustus.
Perubahan-perubahan kelembagaan tersebut ini tidak dicapai melalui prosedur parlementer, tetapi dengan persaingan kekuatan antara tiga pihak yaitu Soekarno-Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka sejak 5 Agustus telah kembali ke Jakarta sesudah merantau di luar negeri bertahun-tahun. Ia mula-mula bertemu dengan Soekarno, lalu membantu Soebarjo dalam kabinet Soekarno. Pada 10 Oktober ia bertemu dengan Soekarno dan memaksakan Soekarno menandatangani suatu surat wasiat yang isinya antara lain menyatakan bahwa jika Inggris menangkap Soekarno, maka Tan Malaka akan menggantikan sebagai Presiden. Karena harapan itu tidak terlaksana, maka Tan Malaka menggalang kekuatan sendiri dan melawan Soearno maupun Syahrir.
Syahrir berusaha menguasai keadaan dalam bulan-bulan itu. Tetapi hubungan dengan masa diserahkan kepada Amir Syarifuddin, menteri pertahanan. Mula-mula Amir Syarifuddin berusaha mendekati pihak TKR (Tentara), namun mereka menentangnya karena ia bersikap anti hal-hal yang berhubungan dengan Jepang (perwira-perwira TKR banyak dari PETA). Malah TKR memilih Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai Menteri Pertahanan. Dengan demikian antara Kabinet Syahrir dan TKR timbul ketegangan, kecuali dengan Divisi Siliwangi, yang dipimpin Kolonel A.H. Nasution.
Untuk menguasai pemuda pada tanggal 10 November pemerintah memprakarsai Kongres Pemuda di Yogya. Namun hanya sebagian dari organisasi pemuda yang menerim gagasan Amir Syarifuddin untuk mendirikan PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia). Sebagian terbesar dari Organisasi pemuda bergabung dalam organisasi tersendiri. Sikap kabinet Syahrir terhadap partai-partai juga sangat selektif. Partai yang pemimpin-pemimpinnya bekerja sama dengan Jepang tidak menyukainya karena sikapnya anti hal-hal yang berbau Jepag.salah satu partai besar yang menentangnya adalah PNI.
Garis perkembangan selama perang kemerdekaan adalah: perbedaan dan pertentangan antara golongan yang memihak pada “diplomasi” (yang dijalankan oleh pemerintah dari golongan manapun) dan garis “perjuangan” yang terutama diperlihatkan oleh para pemuda dalam bulan-bulan Agustus-Desember 1945. Mula-mula Tan Malaka mencoba memainkan kekuatan-kekuatan revolusioner (pemuda) untuk maksud-maksudnya. Pada Januari 1946 ia membentuk suatu wadah yang bernama Persatuan Perjuangan. Semboyannya ialah “merdeka 100%” dan menentang perundingan-perundingan yang dilakukan Syahrir. Kemerdekaan harus diperoleh dengan cara perjuangan senjata. Hamper setiap golongan dan partai, malah TKR melalui panglima Soedirman, menyetujui semboyan ini. Gerakan ini berhasil mengalahkan Syahrir sehingga ia harus meletakkan jabatan pada bulan Januari 1946. Persoalannya adalah perundingan Syahrir dengan Belanda. Masyumi dan PNI mendukung Tan Malaka dalam hal ini. Soekarno muncul dan berpidato dari Banten sampai Malang dan akhirnya mengangkat Syahrir lagi sebagai PM. Soekarno tetap percaya bahwa “diplomasi” adalah jalan yang paling baik, demikianpun banyak pemimpin Indonesia ketika itu.
Dalam masa Revolusi sosial di Surakarta sekali lagi golongan Tan Malaka menjatuhkan Syahrir, ia diculik. Soekarno muncul di radio dengan pidato yang bernada keras dan mengencam tindakan penculikan itu. Tidak lama kemudian para penculik membebaskan Syahrir. Syahrir sekali lagi dipercayakan oleh Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri demi lancarnya diplomasi. Sementara itu usaha-usaha PP hancur sendiri karena mereka mencoba memaksa Soekarno menggantikan kabinet. Inilah dikenal sebagai peristiwa 3 Juli 1946, ketika pihak oposisi mencoba mengadakan perebutan kekuasaan. Ternyata Presiden Soekarno tetap menyokong Syahrir. Usaha itu adalah yang terakhir dari PP.
Perundingan Syahrir dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati (November 1946); Disepakati, bahwa wilyah RI meliputi Jawa, Madura, da Sumatera. Selain itu RI bersama-sama Belanda akan membentuk suatu sistem pemerintahan pusat yang bersifat federal pada awal 1949. Namun sesudah mencapai persetujuan penting itu, kabinet Syahrir bubar karena pertentanganya intern antara Amir Syarifuddin dan Syahrir. Syahrir rupanya mulai mencurigai orang-orang Komunis dalam PSI. Golongan ini lalu keluar dari kabinet sehingga kabinet terpaksa harus dibubarkan.
Sebagai pengganti, Soekarno mengangkat Amir Syarifuddin untuk melanjutkan perundingan. Amir sebagai orang yang anti Jepang tetap diterima di luar  negeri. Namun usaha-usaha Amir berakibat clash dengan Belanda pada Juli 1947. Dengan perantaraan PBB akhirnya dicapai perdamaian dalam bentuk perjanjian Renville (Januari 1948). Tetapi perjanjian ini justru lebih parah dari perjanjian Linggarjati karena wilayah RI dipersempit lagi sehingga hanya meliputi sebagian dari pulau Jawa dan sebagian dari pulau Sumatera. Perjanjian Renville ditentang dengan keras oleh partai-partai besar seperti Masyumi dan PNI. Soekarno kini mengangkat Hatta sebagai Perdan Menteri, diluar dugaan Amir Syarifuddin.
Pemberontakan PKI/Madiun:
Kini Amir Syarifuddin yang merasa dirugikan menggunakan kekuatan-kekuatan revolusioner untuk merebut kekuasaan. Ia berusaha menyatukan seluruh golongan Marxis dalam suatu wadah yang dinamakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada Februari 1948. Ini berarti taktik parlementer diganti dengan taktik gerakan  masa (perjuanagn menggantikan diplomasi). Perlawanan terhadap Hatta meningkat ketika timbul masalah pembukaan hubungan dengan Rusia. Soekarno pernah memerintah agar hubungan dengan Rusia dibuka dan Soepripto (seorang komunis) yang merundingkannya di Praha. Ketika Rusia mengumumkan pembukaan hubungan diplomatik Hatta tidak menjawab kecuali memanggil Soepripto kembali. Ini menimbulkan kemarahan FDR.
Tetapi FDR mendapat saingan dari golongan baru, yaitu golongan Tan Malaka yang muncul dengan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Mereka menentang diplomasi dengan menganjurkan penggunaan senjata. Namun kemampuan mereka tidak sebanding dengan PP, dan semboyan mereka (merdeka 100%) sudah tidak efektif. Akhirnya beralih ke suatu organisasi petani yang bernama Barisan Tani Indonesia (BTI) yang memihak pada Syahrir. Ketika Syahrir-Amir pecah (1948), BTI jatuh ke tangan orang komunis. Pemberontakan Delangu (Mei 1948) terjadi dalam rangka usaha ini. Delangu adalah daerah perkebunan dan pabrik kapas yang dikuasai pemerintah daerah (Badan Tekstil Negara). Pada 19 Mei SARBUPRI (Serikat Buruh Perkebunan RI) demokrasi ke Surakarta untuk menuntut dinaikkan upah namun tidak ditanggapi pemerintah sehingga mereka mogok. Pemerintah lalu memasukkan orang-orang STII Masyumi dengan pengkawalan tentara (Siliwangi), untuk mengerjakan pabrik itu. Karena terjadi perkelahian, BTI melanjutkan usaha pemberontakan petani ke tempat-tempat lain di daerah DR di Jawa.
Dalam suasana ini muncul Soeripto (agustus 1948) yang membawa Moeso. Moeso seorang anggota kawakan PKI yang berdiam di Moskow. Istimewanya ia membawa gari-garis perjuangan baru dari Moskow yang dimuat dalam buku berjudul “Jalan Baru”. Isinya:
1.      Agar kaum komunis membentuk satu partai saja;
2.      Agar diadakan nasionalisasi dan landreform;
3.      Agar politik diplomasi dari pemerintah dilawan.
Tokoh Marxis Amir Syarifuddin bergabung dengan PKI, demikian pula Pesindo, BTI dan sisa-sisa FDR lainnya. Kekacauan di wilayah pedesaan makin meluas di Kedu dan Yogyakarta. Ini adalah awal dari pemberontakan PKI di Madiun.
Tetapi tidak terdapat bukti-bukti yang nyata, bahwa PKI yang menyulut pemberontakan di madiun. Rencana mereka adalah awl 1949, bila Belanda telah melemahkan RI. Pemberontakan itu dimulai karena suatu golongan tertentu menculi perwira yang dituduh memihak PKI. Pasukan yang memihak PKI lalu menuduh Siliwangi yang melakukannya dan membalas sehingga 30 orang Siliwangi gugur. Pertempuran-pertempuran kedua pihak membuat Presiden Soekarno menunjuk Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer untuk mengamankannya.
Sementara itu Moeso dan rombongannya sedang mengadakan perjalanan propaganda. Di purwodadimereka mendengar berita tentang peristiwa di Madiun yang meletuspada 7 September 1948, dan segera di Madiun. Moeso menyalahkan Soekarno dan memakinya di radio. Ternyata inikesalahan besar, sebab Presiden Soekarno kemudian membalas melalui radio. Kolonel Gatot Soebroto lalu memerintahkan Siliwangi untuk menghancurkan kubu-kubu Moeso di Madiun, sementara Presiden Soekarno mengangkat Kolonel Soengkono sebagai Gubernur Militer untuk Jawa Timur dengan maksud menyerang Madiun dari arah itu. Beberapa saat Belanda menyerang RI pada Desember 1948, Moeso ditembak mati oleh TNI. Sebagian dari pengikut-pengikutnya yang tertangkap juga ditembak di tempat. Jumlah golongan komunis yang ditawan ketika itu adalah sekitar 35.000 orang. Sebagian besar kemudian, berhasil melarikan diri ketika Belanda menduduki Yogyakarta. Di antaranya terdapat D.M. Aidit yang berhasil menyusup ke Jakarta. Aiditlah yang dalam tahun-yahun 1950-an membangkitkan kembali organisasi PKI, yang sejarahnya berakhir pada tahun 1966.
Konferensi Meja Bundar
Setelah perjanjian Renville pihak Belanda meneruskan polotik federasinya tanpa suatu arah yang pasti. Mereka memaksakan pembentukan RIS tanpa mengikutsertakan RI dalam perundingan-perundingannya. Negara-negara bagian diikutsertakan melalui suatu badan baru yang bernama Bijeen-komst voor Federaal Overleg (BFO). Rencana pembentukan RIS ditetapkan akhir 1948 dan meliputi seluruh indonesia, termasuk Jawa dan Sumatera (wilayah RI). Persoalannya adalah bagaimana membentuk pemerintah peralihannya. Untuk menyelesaikan hal itu Hatta didekati. Perdana menteri Hatta tetap tidak dapat menyetujui rencana itu, terutama masalah pembentukan tentara federal. Hatta tidak setuju TNI digabungkan dengan KNIL.
Macetnya perundingan ini menyebabkan Belanda mengambil langkah lain dan menjalanka politik agresinya. Sejak 13 Desember Perdana Menteri Belanda telah minta izin pada Parlemen untuk menyerang Indonesia. Serangan itu ternyata dilancarkan pada tanggal 18 Desember 1948. Tetapi Indonesia pun sudah siap pula, sehingga bisa menghadapi pasukan Belanda. Sebelumnya telah disempurnakan susunan ketentaraan. Keseluruhan tentara dibagi dua bagian, yaitu Komando Jawa dibawah pimpinan Kolonel Nasution, dan Komando Sumatera yang kemudian dipercayakan kepada Kolonel Hidayat, keduanya dari Siliwangi. Panglima Tertinggi tetap di tangan Jenderal Soedirman. Pasuka-pasukan diperintahkan untuk menjalankan perang gerilya dalam unit-unit kecil dan membina masyarakat pada tingkat kecamatan. Segera setelah tentara Belanda maju, pasukan-pasukan TNI mengundurkan diri ke pedesaan. Walaupun Belanda dapat menguasai seluruh kota-kota di Jawa dan Sumatera, tetapi daerah pedesaan tetap pada tangan TNI. Camat dan Lurah dimiliterisasi dan seluruh rakyat dikerahkan. Perpaduan inilah yang menyebabkan RI bisa bertahan, sebab pimpinan pusat ketika itu sudah menyerahkan diri karena bertekad untuk melanjutkan “diplomasi”.
Ada golongan-golongan yang mencoba menyaingi kekompakan itu.pertama Tan Malaka lagi. Sgera setelah Soekarno-Hatta tertangkap ia menyerukan agar rakyat mengikuti pimpinannya. Namun TNI menganggap berbahaya sehingga ia dikejar-kejar dan akhirnya tertembak pula di Jawa Timur. Oposisi yang kedua adalah S.M. Kartosoewiryo yang sejak Linggarjati menentang pemerintah yang berpolitik diplomasi itu. Di Garut ia membentuk suatu kekuatan yang dinamakan Darul Islam dengan ia sendiri sebagai Imam (1948). Kemudian ia membentuk Tentara Islam Indonesia (TII) sebagai organisasi bersenjatanya. Tetapi kekuasaannya waktu itu hanya meliputi Garut-Tasikmalaya, Tegal-Brebes, dan Banyumas.
Saat terjadinya pertempuran, pihak PBB memaksakan Belanda untuk menghentikan perang dan mengadakan perundingan lagi dengan RI. Soekarno dan Hatta dibebaskan dari Bangka dan dikembaikan ke Yogya. Perintah ceasefire dikeluarkan oleh Soekarno dan Jendral. Spoor. Namun Jendral Soedirman tidak dapat menerima sikap para pemimpin tersebut dan mengundurkan diri (beliau meninggal 1950 karena penyakit paru-paru). Perundingan-perundingan di Den Haag dalam bulan Agustus sampai November 1949, melahirkan sistem pemerintahan baru, yaitu Republik Indonesia Serikat.
Namun bentuk pemerintah federal itu ternyata tidak disenangi oleh pihak nasionalis dalam negara-negara bagian buatan Belanda. Satu persatu mereka membubarkan diri dan masuk dalam RI. Pada Agustus 1950 seluruh negara bagian telah bubar sehingga muncul kembali negara kesatuan RI. Persoalan-persoalan yang menyangkut dekolonisasi masih terdapat disana sini seperti peristiwa Westerling/APRA di Bandung, Peristiwa Andi Aziz di Makassar (Ujung Pandang), danperistiwa “RMS” di Ambon. Inipun dapat diatasi dengan cepat dalam tahun 1950. Hanya masalah Kartosoewiryo baru diselesaikan dalam tahun-tahun 1960-an. Dengan demikian selesailah suatu periode sejarah yang berawal dari perjuangann perwujudan suatu Bangsa Indonesia dengan cita-cita kemerdekaan dan cita politik itu dalam tahun-tahun 1945-1950.

RESUME BUKU TERWUJUDNYA SUATU GAGASAN “SEJARAH MASYARAKAT INDONESIA 1900-1950” R.Z. LEIRISSA




BAB I.
SISTEM BIROKRASI KOLONIAL

Pada awal abad ke-20 masyarakat kolonial terbagi beberapa golongan berdasarkan color line atau garis warna kulit. Secara politik dan ekonomi golongan yang menduduki posisi atas adalah orang-orang Belanda. Kekuasaannya berpusat pada seorang Gurbernur Jendral di Batavia yang dibantu suatu Dewan Hindia yang bertindak sebagai kabinetnya. Pejabat-pejabat birokrasi yang terpenting adalah Residen, Asisten Residen, Controleur dan Aspirant Controleur atau yang disebut juga dengan Binnenlands Bestuur (BB). Kota sengaja dibangun demi kepentingan birokrasi dan administrasi ekonomi.
Di kota muncul berbagai lapisan pegawai dari yang berasal dari Belanda, turunan Belanda, Indo-Belanda, kelompok-kelompok yang berasal dari berbagai suku bangsa. China dan Arab menduduki tempat yang khusus dalam kota kolonial karena peranan mereka yag terlepas dari sistem birokrasi kolonial, tetapi berhubungan erat dengan perkembangan perekonomian. Stratigrafi masyarakat kota ditentukan oleh jauh-dekatnya seseorang atau golongan dengan simbol-simbol kekuasaan Barat, di daerah pedesaan hak milik atas tanahlah yang menjadi dasar stratigrafi atau pembagian masyarakat. Faktor yang menimbulkan kelompok baru atau Indonesia adalah Perkembangan birokrasi; Perkembangan ekonomi; dan Perkembangan sistem pendidikan barat.
Perkembangan birokrasi berhubungan erat dengan perluasan kekuasaan Belanda sejak tahun 1870. Masa antara 1870-1900 disebut sebagai Masa Liberal, dimana pemerintah melepaskan peranan-peranan ekonominya dan menyerahkan eksploitasi ekonomi kepada modal swasta. Pemerintah hanya bertindak sebagai wasit atau penjaga keamanan yang dilakukan melalui birokrasi tentaranya (NKIL). Pada periode 1870-1900 wilayah kekuasaan Hindia-Belanda meluas dari Sabang sampai Merauke, perluasan wilayah ini ada hubungannya dengan tuntutan pihak swasta untuk eluaskan jaringan eksploitasinya, maupun tuntutan keamanan, serta saingan negara Barat lainnya.
Untuk melukiskan perbedaan jangkauan kekuasaan tersebut dikenal istilah direct-rule dan indirect-rule. Direct-rule jelas nampak di Kepulauan Ambon yang tidak mengenal sistem kerajaan dan di mana pejabat-pejabat Hindia Belanda langsung berhadapan dengan kepala-kepala desa. Dan Indirect-rulei adalah sistem pemerintahan Hindia Belanda di wilayah-wilayah yang telah memiliki sistem politiknya sendiri sejak berabad-abad sebelum kedatangan Belanda. Birokrasi tradisional di kerajaan Indonesia berubah sejak abad ke 18. Pejabat birokrasi tradisional di Jawa dinamakan priyayi.
Dalam proses interaksi kaum priyayi dengan penguasa Belanda timbul suatu jaringan, priyayi yang sebelumnya merupakan alat kekuasaan dari para sultan di keraton berubah menjadi alat perantara dari pihak Belanda. Birokrasi beralih dari keraton ke para residen, yang dimulai dengan ketentuan bahwa Patih di keraton harus tunduk pada Batavia dan para Bupati (priyayi) di kabupaten-kabupaten pesisir juga demikian. Priyayi harus menjamin agar perdagangan antara Batavia dan daerah pedalaman tetap berjalan dengan lancar. Kekuasaan priyayi berada di tangan kompeni, pengangkatan dan pemecatan mereka dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan kompeni.
Sekalipun hubungan dengan keraton terputus, namun kebudayaan keraton tetap sebagai inti dari alam pikiran golongan ini. Cara memerintah berdasarkan hubungan pribadi  antara priyayi dan petani (hubungan patron-client). Hubungan ini sangat kokoh karena adanya suatu alam kepercayaan dalam masyarakat yang meningkatkan para penguasa dan rakyat. Dengan adanya Sistem Tanam Paksa tahun 1830 dasar hubungan priyayi dan birokrasi Belanda tetap dipertahankan, walau priyayi beralih menjadi pengawas perkebunan.
Pengerahan tenaga untuk melaksanakan Sistem Tanam Paksa dilakukan secara tradisional menurut kewajiban-kewajiban petani pada priyayi yanng sudah ada sebelumnya. Ada segi-segi baru, yaitu para petani berkenalan dengan pejabat-pejabat Belanda yang ditempatkan di daerah-daerah (controleur), para priyayi dan controleur mempunyai kepentingan dalam menyukseskan sistem itu karena mereka menikmati cultuurprocent atau presentase tertentu dari jumlah hasil yang diserahkan kepada rakyat. Kaum priyayi kini hanya menjadi bagian dari birokrasi Hindia Belanda, menjalankan fungsi sebagai penguasa-penguasa daerah (bupati, dll) namun untuk kepentingan asing.
Perkembangan 1870, jaringan komunikasi (jalan) lebih mendekatkan desa dengan pusat-pusat administrasi. Belanda juga semakin sering dilihat di lingkungan pedesaan dan jaringan administrasi semakin diperketat. Elite birokrasi Binnenlands Bestuur (BB) yang terdiri dari orang Belanda makin memaksakan cara pemerintahan mereka dan mengabaikan nilai-nilai lama yang berlaku pada masa sebelumnya ketika para priyayi diberi kelonggaran dalam memerintah. Sikap birokrasi Belanda ini disebut juga politik etika. Tahap berikutnya dari perkembangan birokrasi berkaitan dengan pendidikan, menciptakan suatu golongan baru yang sering dinamakan pegawai pemerintah dengan keahlian tertentu.
Kebanyakan berasal dari lingkungan bangsawan, mula-mula putra dan putri kedua atau ketiga dari kaum bangsawan setempat yang tidak mungkin menggantikan orang tuanya sebagai pejabat pemerintahan (bupati, dll) memasuki bidang baru ini untuk meneruskan peranan mereka dalam masyarakat. Tugas pemerintahan Belanda (pejabat Belanda dan priyayi) hanya menyangkut soal-soal pengawasan ketentraman, pengadilan, dan perkebunan (Tanam Paksa), kini birokrasi itu dibebani untuk memeliharan kesejahteraan penduduk.
Untuk melaksanakan kesejahteraan itu dijalankan berbagai cara dengan timbullah departemen-departemen di Batavia dengan kedinasan yang tercabang ke daerah-daerah. Selain departemen pendidikan yang diciptakan tahun 1892 muncul departemen pertanian, departemen industri dan perdagangan. Dinas-dinas baru seperti Telepon, Telegrap, Kesehatan, dll sangat banyak membutuhkan tenaga-tenaga yang muncul dikalangan priyayi yang terdidik.
Malah pada suatu ketika lulusan-lulusan sekolah Angka dua juga mendapat penyaluran dalam bidang-bidang baru yang sebelumnya  tidak ada dalam lingkungan pedesaan. Pada tahun 1904 pemerintah Hindia  Belanda mendirikan Kantor volks-kredietwezen (kantor kredit rakyat). Maksudnya adalah untuk menggantikan sistem ijon dan sistem riba yang di lakukan oleh golongan-golongan tertentu dalam pedesaan, dan yang oleh Hindia Belanda di anggap sebagai suatu sumber kemelaratan yang utama. Untuk itu di dirikan tiga macam lembaga. Pertama adalah lumbung desa yang menyediakan  kredit bagi penduduk pedesaan dalam bentuk  beras. Tujuannya adalah untuk menjaga keseimbangan harga beras di pedesaan yang sering dikacaukan oleh para tengkulak. Kedua adalah bank desa yang memberi pinjaman berupa uang kepada penduduk desa dengan bunga yang sangat rendah. Ketiga adalah volksbank yang bertujuan memberi pinjaman berbunga rendah pula kepada pengusaha-pengusaha kecil.
Timbulnya golongan terdidik ini merupakan perkembangan baru dalam sejarah Indonesia mereka merupakan bagian dari suatu perkembangan baru sejak awal abad ke-20. Gaya hidup mereka sering mengikuti gaya hidup barat. Umpamanya cara berpakaian, ketergantungan pada uang. Ada tiga macam konsekuensi  yang perlu di perhatikan dengan timbulnya golongan baru ini. Pertama kepegawaian menjadi suatu lapisan masyarakat yang sebelumnya telah menjalankan fungsi-fungsi birokratis (yang di jawa dinamakan golongan priyayi) ini berarti alam pikiran hierarchis (bahwa masyarakat itu bertingkat) di bawa terus dalam perkembangan baru dan situasi baru dari abad-abad ke-20. Kedua sekalipun ada persamaan-persamaan antara pejabat pejabat Belanda dan pejabat-pejabat Indonesia namun rasialisme tetap di pertahankan; orang-orang Belanda di atas, dan orang-orang (pejabat-pejabat) Indonesia ini cenderung di bawah. ketiga golongan baru dalam masyarakat Indonesia ini cenderung menjauh dari rakyat  pada umumnya. Faktor kedua dan ketiga tadi akan menjadi pendorong utama dalam golongan yang kemudian timbul, yaitu kaum pergerakan nasional.
Selain perkembangan birokrasi, perkembangan baru dalam sejarah masyarakat Indonesia adalah perkembangan prasarana. ada dua hal penting dalam hal ini, yaitu perkembangan sistem komunikasi dan perkembangan sistem moneter. Sistem komunikasi dan perkembangan sistem moneter. Sistem komunikasi tradisional berciri kelambanan. Jalan-jalan  darat memang sudah banyak yang dipakai, berupa jalan kuda, jalan kereta, dan lain-lain  pada masa Daenddels di  Jawa sudah ada pula suatu sistem jalan raya yang moderen.  Tetapi yang sangat menonjol dalam bidang komunikasi ini adalah di bangunnya sistem jalan kereta api. Sistem perkereta-apian mulai di Jawa pada tahun 1862 dan di Sumatera pada tahun 1874. Pada akhir abad ke-19 di Jawa sudah ada 1600 km jalan kereta api, dan di Sumatra sudah ada 3500 km.
Kapal uap mulai diintrodusir oleh pihak swasta pada tahun 1859. Sistem ini kemudian ditingkatkan oleh pihak Belanda sendiri (pemerintah) pada tahun 1891 dengan di bentuknya suatu perusahaan pelayaran (Koningklijke paketvaart maatschappy). Untuk hubungan perkapalan dengan sendirinya di butuhkan pelabuhan-pelabuhan yang moderen pula (sebelumnya kapal-kapal layar berlabuh di lepas pantai di muka suatu kota pelabuhan). Pelabuhan tanjung Priok di bangun dari tahun 1873 sampai 1893, pelabuhan Belawan pada tahun 1890, pelabuhan padan pada tahun 1892, lalu pelabuhan-pelabuhan lainnya di kota- kota pelabuhan di pulau-pulau lain di Indonesia.
Akibat dari sistem komunikasi ini adalah timbulnya interaksi yang lebih banyak antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Selain itu timbul pula interaksi antara pulau yang satu dengan pulau yang lain. Terutama antara pulu Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Manusia dan barang dapat diangkut dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang relatif  singkat  dibanding dengan jaman-jaman sebelumnya. Sejak 1870 itu masyarakat kesukuan mulai membaur terutama di daerah perkotaan.
Suatu sistem moneter yang tunggal menggantikan sistem moneter sedaerah yang lama, juga mempunyai  akibat yang sangat besar. Sistem ini menghubungi Indonesia dengan sistem ekonomi dunia. Segi yang paling penting dari sistem moneter baru ini adalah sistem perbankan menghubungkan Indonesia dengan pasaran internasional dan mengurangi  ketergantungan pada sistem ekonomi Belanda yang menjadi ciri sebelumnya. Sistem birokrasi dan sistem ekonomi yang baru itu menimbulkan suatu sikap yang baru di kalangan orang-orang yang berkuasa di Nusantara. Penguasa merupakan jaminan akan keseimbangan ini sehingga malapetaka dan kemelaratan dapat dihindarkan dari rakyat. Dalam sistem baru penguasa (birokrat) harus bertindak/berbuat hal-hal yang telah direncanakan secara rasional untuk menjamin ketentraman dan kesejahteraan rakyat tersebut.


BAB. II
SISTEM PENDIDIKAN KOLONIAL

Perkembangan masyarakat Indonesia abad ke-20 tidak dapat di mengerti tanpa melihat timbulnya sistem pendidikan baru yang di ciptakan sejak awal abad-20. Hasil pendidikan inilah yang memungkinkan munculnya birokrasi seperti yang diuraikan pada bab pertama. Sistem pendidikan ini pulalah yang menciptakan suatu elite baru yang mengembangkan kesadaran kemerdekaan dan persatuan nasional. Mereka inilah yang memiliki idealisme yang tinggi untuk membina suat bangsa dan menciptakan kemakmuran bangsa itu.
Awal perkembangan sistem pendidikan ini tidak dapat di lepas dari suat politik kolonial baru yang di mulai sejak awal abad ke-20 dan yang sering juga dinamakan politik Etika. Politik Etika yang dicanangkan pada tahun 1901 mencoba mengubah sistem liberal menjadi sistem di mana pemerintah Hindia Belanda lebih banyak mencampuri urusan-urusan kemasyarakatan. Kisah mengenai timbulnya sistem baru (sistem etis) ini bisa kita baca dalam pelbagai  buku. Sering orang mengaitkan timbulnya sistem ini dengan tulisan Mr.C.Th  van Deventer dalam majalah De Gids (Nomer, 63, tahun 1899) yang berjudul “Een Eereschuld”  atau terjemahan indonesiannya “Hutang kehormatan”. Ini memang ada kebenarannya. Artikel itu mencetuskan suatu perasaan tanggung jawab yang mulai timbul di kalangan intelektual Belanda yang merasa risau dengan pertumbuhan kapilatisme moderen yang cenderung untuk mengabaikan semua nilai-nilai kemanusiaan. Golongan intelektual itu merasa tanggung jawab  untuk memperingati orang-orang sebangsanya akan bahaya-bahaya dehumanisasi di d daerah jajahan yang ada hubungannya dengan sistem kapitalisme tersebut van Deventer hanys salah seorang diantara mereka  yang mengucapkan perasaan dan tanggung jawab itu sedemikian rupa sehingga di terima oleh pihak pemerintah Belanda dan dijadikan dasar program pemerintahannya bagi  daerah jajahan.
Pada pokoknya uraian van Devanter adalah sebagai berikut: sistem liberal sejak 1870, dan malah sistem tanam paksa sejak 1830, merupakan politik drainage (politik pengeringan atau pengerukan kekayaan). Sistem tanam paksa dan liberal itu  mengeruk segala kekayaan di bumi Indonesia (terutama di Jawa) dan tidak meninggalkan sedikitpun untuk membina kehidupan penduduk. Sebetulnya, menurut Van Deventer, pada tahun 1878 Kerajaan  Belanda telah mengeluarkan Combtabiliteitswet (undang-undang Anggaran Belanja) di mana ditentukan, bahwa sebagian dari pendapatan negara harus disediakan untuk keperluan-keperluan daerah jajahan. Dengan perkataan sejak 1878 seharusnya daerah jajahan mempunyai Anggaran belana sendiri.
Namun hal ini tidak pernah dilakukan; undang-undang itu tidak pernah dijalankan secara konsekwen. Dengan demikian, menurut van Deeventer, Kerajaan  Belanda mempunyai hutang pada Hindia Belanda. Sampai pada tahun  1899 (ketika tulisan itu diterbitkan) jumlah hutang itu, menurut kalkulasi Van Deventer. Sesungguhnya, diterimanya dasar-dasar etis dalam politik kolonial tidak semata-mata karena artikel tersebut saja. Konfigurasi  politik di negeri Belanda juga berperan. kemenangan  adalah 187.000.000 gulden. Hutang inilah yang harus di bayar kembali kepada masyarakat koloni. Ini merupakan suat kewajiban moril dari suat negara yang menganggap dirinya tinggi peradabanya.
Pada tahun 1892 sudah mulai diadakan sistematisasi dalam sistem pendidikan yang berbeda-beda dari satu pulau ke pulau lainnnya. Pada waktu itu semua sekolah dasar dikelompokkan menjadi dua macam. Macam yang pertama dinamakan Eeste School (Sekolah Angka Satu). Sekolah ini hanya menampung murid-murid dari golongan priyayi dan hanya didirikan di ibukota keresidenan. Lama pendidikannya adalah lima tahun, kurikulumnya meliputi membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, menggambar, ilmu alam, danilmu ukur tanah.
Jenis sekolah kedua yang didirikan pada tahun 1892 adalah Tweede School (Sekolah Angka Dua). Sistem sekolah ini ditujukan pada rakyat pada umumnya didaerah pedesaan. Lama pendidikan hanya tiga tahun saja, dan kurikulumnya hanya terdiri dari menulis, membaca dan berhitung. Bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah setempat, atau bila tidak ada Bahasa daerah maka Bahasa Melayu dipakai. Tatkala politik etika dilancarkan timbul dua pendapattentang cara meningkatkan sistem pendidikan dasar untuk penduduk. Pendapat pertama adalah bahwa sistem sekolah Angka Dua tidak tepat dan harus digantikan dengan sekolah desa yang disesuaikan dengan situasi di daerah pedesaan. Pandangan lainnya adalah bahwa sistem yang ada sudah baik, hanya jumlahnya yang perlu ditambah. Pada akhirnya pandangan pertamalah yang dilaksanakan karena berasal dari gubernur jenderal Van Heutz.
Sistem sekolah Desa tersebut mulai dibangun tahun 1907. Sekolah ini didirikan di daerah pedesaan dan masyarakat desa diberi tanggung jawab dalam pembinaannya berupa pendirian dan pemeliharaan gedung sekolahnya. Pembinanya tidak pada Departemen Pendidikan tetapi Departemen Dalam Negeri (sampai tahun 1918). Pada tahun 1914 terjadi tiga hal yang penting dalam sistem pendidikan rendah ini, yaitu:
1)      Pada tahun itu Sekolah Angka Satu, sejak tahun 1907 telah menggunakan Bahasa Belanda sebagai Bahasa pengantar
2)      Pada tahun itu didirikan Sekolah Lanjutan yang dinamakan Meer Uitgebreid Laager Onderwijs (MULO) untuk lulusan Sekolah Angka Satu
3)      Pada tahun itu didirikan Vervolgschool untuk menampung lulusan Sekolah Desa
Selain itu pemerintah Hindia Belanda yang berlainan etis itu mendirikan pula suatu sekolah kedokteran tingkat menengah pada tahun 1902 dengan nama School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Pendidikan di STOVIA mula-mula diberikan dalam Bahasa Melayu dan murid-murid diharuskan menggunakan pakaian daerah. Kemudian Bahasa Belanda dipakai sebagai Bahasa pengantar, sehingga murid-murid harus mengikuti kursus Bahasa selama satu tahun. Pada tahun 1914 STOVIA ditingkatkan lagi karena calon-calonnya harus diambil dari lulusan MULO. Pada tahun itu pula di Surabaya didirikan sekolah jenis dengan nama Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS). Lulusan STOVIA dan NIAS sejak itu memakai gelar Indische Arts.
Perlu disebutkan disini bahwa sekolah-sekolah tinggi kehakiman, teknik dan kedokteran tidak didirikan khusus orang Indonesia seperti sekolah-sekolah kejuruan dasar dan menengah. Pada mulanya malah golongan Belanda dan Cinalah yang lebih menonjol. Ini disebabkan karena sekolah lanjutan atas bagi penduduk  kepulauan Indonesia belum banyak. Calon-calon dari kalangan orang-orang Indonesia makin banyak memasuki sekolah-sekolah tinggi setelah orang-orang Indonesia diperkenankan memasuki sekolah-sekolah menengah atas yang khusus didirikan untuk golongan-golongan Belanda.
Lulusan-lulusan sekolah ini yang memainkan peranan penting dalam pergerakan Nasional. Mula-mula yang memainkan peranan adalah murid-murid sekolah menengah (sekolah-sekolah vak seperti STOVIA, OSVIA, dan Sekolah Pertanian). Berangsur-angsur mahasiswa sekolah tinggipun mengambil bagian. Lulusan-lulusan sekolah menengah maupun sekolah-sekolah tinggi itulah yang merupakan pendorong utama dari perkembangan Bangsa Indonesia dan pergerakan emansipasi kemerdekaannya.

BAB. III
SISTEM PEREKONOMIAN KOLONIAL

Dilihat dari segi sejarah ekonomi, dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 indonesia sedang terlibat dalam suatu perkembangan baru yang berintikan revolusi industri dan revolusi perdagangan. Revolusi industri dan revolusi perdagangan timbul mula-mula di Eropa dalam abad ke-18 dan ke-19,kemudian meluas ke Amerika Serikat dan Jepang. Ciri pokok dari revolusi industri adalah timbulnya sistem kerja tangan. Dengan cara baru itu barang-barang dapat dihasilkan dalam jumlah yang lebih banyak lagi dibanding dengan cara lama. Hal ini lalu menimbulkan pelbagai kegiatan-kegiatan baru seperti perdagangan yang meningkat, hubungan-hubungan baru anatara kota dan desa, dan lain-lain. Dengan sendrinya timbul pula segelintir intelektual yang mencanangkan bahaya-bahaya yang inhern dalam sistem baru tersebut.
Bagi daerah-daerah jajahan manifestasi dari perkembangan ekonomi modern itu tampak dari dua segi pokok.Segi yang pertama adalah dibutuhkannya banyak bahan-bahan ini terutama terdapat di daerah-daerah tropik.Segi kedua adalah diperlukannya pasaran-pasaran baru bagi hasil-hasil industri yang makin perubahan dalam tahun 1860-1870 dengan munculnya sistem liberal di Indonesia. Hal ini antara lain nampak dengan munculnya sistem perkebunan modern di indonesia. Perkembangan perkebunan yang paling menarik adalah di Sumatra timur. Perkembangan baru di Sumatra Timur sering dikaitkan dengan datangnya seorang pengusaha Belanda (Nienhuis) disana.Sebelum itu daerah Sumatra Timur memang sudah dikanal dengan tembakau yang dihasilkan rakyat. Mutu tembakau cukup baik dan Nienhuis memutuskan untuk mengusahakannya sendiri. Pada tahun 1865 ia berhasil dengan panen sebanyak 186 bal yang mudah di jual di negara Belanda.
Keberhasilan Nienhuis segera menarik kaum pengusaha Belanda lainnya.  Malah Nienhuis sendiri berhasil memperluaskan usahanya. Nienhuis diserahkan pimpinan atas suatu perusahaan usahanya, Nienhuis diserahkan pimpinan atas suatu perusahaan baru yang dinamakan Deli Maatschappij yang didirikan oleh NHM (Suatu perusahaan dagang Belanda yang didirikan dalam abad ke-19 oleh raja Willem 1). Modal-modal lain pun bermunculan karena mudahnya memperoleh tanah dengan cara konsensi sari Sultan Deli. Pihak Amerika , Inggris, Belgia masing-masing membuka perkebunan-perkebunan sendriri.
Kelebihan Produksi itu dengan sendirinya  menimbulkan kesulitan. Pada tahun 1891 timbul krisis penjualan hingga harga tembakau turun cepat. Sebagai akibat tinggallah perusahaan-perusahaan yang memang bonavide. Mereka giat mengadakan perbaikan untuk meningkatkan mutu tembakau. Muncullah lembaga penelitian tembakau dan Perkumpulan Pemilik Perkebunan tembakau. Kemudian diadakan perbaikan-perbaikan dalam pemasarab sehingga nama tembakau Deli muncul lagi di dunia.
Yang menarik dari perkebunan-perkebunan tembakau ini adalah kurangnya peranan penduduk setempat. Penduduk yang tidak banyak jumlahnya di sumatra Timur itu tidak menyukai pekerjaan sebagai buruh perkebunan. Sebab itu sejak semula telah diusahakan buruh dari luar negeri. Pada tahun-tahun pertama kekurangan buruh ini dipenuhi dengan mendatangkan birih cina melalui perantara-perantara di Penang dan Singapura. Karena sistem perantara ini ternyata kurang menguntungkan, maka perkumpulan pemilik perkebunan tembakau  deli mencari jalan lain.
Perkumpulan itu mendirikan suatu badan yang bernama biro imigrasi pada tahun 1880 untuk mendatangkan buruh langsung dari cina. Biro ini selain mengurus pemberangkatan calon-calon buruh tersebut juga mengusahakan suatu sistem transfer uang, agar upah-upah buruh tersebut sebagian dapat dikirim kepada keluarga merekan di China. Dengan demikian prospek bekerja sebagai buruh makin menarik bagi mereka. Karena besarnya resiko mendatangkan buruh tersebut, maka dengan sendirinya para pengusaha menyuruh para buruh menandatangani suatu kontrak yang mengikat mereka untuk jangka waktu tertentu. Kemudian buruh asal cina dapat mencari lapangan-lapangan ,sejak 1890 kekurangan buruh itu diambil dari pulau jawa.
Sistem kuli kontrak ini baru dihapus pada tahun 1930. Pada saat itu jumlah penduduk sumatera timur telah meningkat menjadi 1,8 juta. Tidak semua sistemperkebunan di Indonesia mendatangkan buruh dari daerah-daerah lainnya. Salah satu contoh adalah perkebunan tebu di jawa tengah bagian utara, datangkan tenaga dari daerah lain. Agraria yang dikeluarkan pada tahun 1870 juga menjamin hak atas tanah dari para petani. Dengan demikian perkebunan gula maju sangat pesat. Pada tahun 1870 luas areal perkebunan gula maju sangat pesat. Pada tahun 1870 luas areal perkebunan gula adalah 54.176 bahu, perkebunan-perkebunan besar lainnya yang menggunakan buruh lokal adalah perkebunan-perkebunan teh, kopra dan kina.
Akibat timbulnya sistem perkebunan masyarakt pedesaan pada umumnya, menurut ahli sejarah asia,ada tiga hal yang penting. Pertama, masyarakat pedesaan yang tadinya tertutup (self suficient), dipengaruhi oleh sistem ekonomi dunia. Ekonomi uang menembus ke dalam kehidupan pedesaan, barang-barang baru masuk ke dalam rumah tangga-rumah tangga desa (Pakaian, Minyak tanah, sepeda, sabun dan lain-lain). Kedua, politik kolonial mempengaruhi perubahan-perubahan desa.Misalnya dengan dikeluarkannya Undang-undang agraria yang menjamin hak atas tanah pada petani dan melarang kaum pengusaha membeli tanah pedesaan. Ketiga,pertambahan penduduk yang sangat pesat.Ini terutama disebabkan menurutnya angka kematian oleh karena perluasan pemeliharaan kesehatan.
Menurut pendapat sejarawan perubahan-perubahan dalam bidang ekonomi juga ditanggapi oleh para petani dengan cara-cara mereka sendiri yang sedikit banyaknya terikat pada cara-cara lama. Ada tiga macam respons dari pihak penduduk pedesaan. Pertama mereka memberi arti tersendiri kepada uang. Uang bagi mereka bukan merupakan patokan mutlah dalam penilaian, tetapi merupakan alat tambahan saja untuk transaksi ekonomi. Kedua timbul migrasi migrasi ke daerah-daerah perkebunan untuk mencari tambahan uang untuk membayar pajak ataupun membeli barang-barang konsumsi. Ketiga, timbul sistem cash crop di daerah-daerah persawahan tertentu di musim kemarau, atau timbulnya empang-empang dan intensifikasi persawahan. Ini semua merupakan kegiatan-kegiatan baru yang muncul karena masuknya ekonomi uang ke dalam desa.
Dengan munculnya tuntutan-tuntutan baru yang bersumber pada revolusi industri di eropa sebenarnya terbuka peranan-peranan baru dalam bidang ekonomi. Orang-orang Cina sebenarnya sudah banyak di kota-kota pelabuhan sejak abad ke-17. Pihak VOC memang sangat menganjurkan migrasi orang-orang Cina ke kota-kota pelabuhan yang dikuasainya. Mereka dipekerjakan sebagai tukang-tukang dan pedagang, karena para pedagang dan tukang-tukang di indonesia melarikan diri atau tidak diperkenakan di kota-kota pelabuhan itu. Orang-orang Cina ini mendiami perkampungan-perkampungan sendiri yang di atur oleh pihak VOC melalui pemimpin-pemimpin mereka sendiri.
Kelas pedagang Indonesia sebenarnya sudahbada jauh sebelumnya. Mereka sering dinamakan santri sesuai dengan penelitian-penelitian di jawa. Keterkaitan mereka dengan Agama Islam sangat menonjol dalam peristilahan itu. Mereka memang masih memainkan peranan sebagai pedagang tetapi dalam bentuk yang lebih kecil, dan dalam sektor sektor yang tidak menyentuh perkembangan baru dalam bidang ekonomi tersebut. Kegiatan-kegiatan mereka selalu bermuara pada pedagang-pedagang cina yang menjadi pedagang perantara.
Di Jawa keadaan ini tidak banyak berbeda para bupati dalam abad ke 18 lebih banyak merupakan pegawai VOC yang ditugaskan untuk mengawasi agar transaksi dagang berjalan dengan lancar. Dengan pihal sultan di kraton, VOC membuat perjanjian-perjanjian dagang (beras kemudian kopi dll). Pak tunggal untuk menyalurkan beras kepada VOC diberikan kepada para bupati di pantai yant gilirannya hanya bertugas mengatur penyerahannya saja kepada VOC. Demikianpun organisasi penyalur komiditi agraris lainnya yang dibutuhkan VOC seperti kopi,sayuran dll. Inilah yang kemudian dikenal dengan nama verplichte leveratie atau penyerahan wajib. Jadi VOC lah yang menggagalkan peranan ekonomi yang melekat pada kedudukan priyayi.

BAB. IV
MENINGGALKAN SOLIDARITAS KESUKUAN

Perkembangan masyarakat Indonesia abad ke-20 dengan suatu idea politik serta suatu kebudayaan yang khas, mula-mula timbul di kalangan masyarakat kota. Kota dalam masa kolonial mempunyai sifat yang tersendiri, kota-kota kolonial merupakan pusat perekonomian dan perubahan-perubahan kelompok masyarakat. Kota-kota kolonial adalah pula pusat-pusat asministrasi kolonial. Namum, kota-kota juga menjadi pusat perhatian penduduk pedesaan. Selain itu berbagai kelompok sosial lainnya terdapat di kampung-kampung sekeliling pusat-pusat perdagangan dan administrasi itu. Kita ambil saja Jakarta (sebelumnya Batavia) yang terkenal dengan kamoung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, dan lain-lain, yang menunjukkan hasil migrasi berbagai suku bangsa di Nusantara ini dalam masa kolonial itu.
Orang-orang Belanda sebenarnya terdiri dari dua bagian yang berlainan, bagian peratama sering dinamakan trekkers (totok) berupa para pegawai pemerintah maupun swasta yang hanya tinggal sebentar dan kemudian pada masa pendiunnya kembali lagi ke tanah airnya. Bagian kedua sering disebut blijvers (menetap) yang terdiri dari Belanda-Indo. Dalam awal abad ke-20 golongan trekkers sangat merendahkan golongan blijvers yang dianggap sama dengan bumi putra (inlanders) karena banyak mengambil unsur-unsur kebudayaan daerah tempat tinggal.
Dalam situasi demikian tentu timbul ketegangan-ketegangan antara berbagai kelompok tersebut, yang paling penting bagi perkembangan masyarakat Indonesia adalah bahwa kota-kota kolonial itu sering menjadi pusat-pusat pendidikan jurusan, mula-mula taraf menengah kemudian taraf tinggi. Perkembangan sistem pendidikan ini telah diuraikan dalam bagian ini. Di sini hanya perlu ditekankan bahwa pergaulan antara pemuda-pemuda dari berbagai suku bangsa tersebut menimbulkan berbagai perubahan. Pada mulanya ada gejala saling menyendiri dalam pembentukan, umpamanya berbagai organisasi kepemudaan bersifat kedaerahan.
Sesungguhnya perkembangan pertama dengan dibentuknya berbagai organisasi kedaerahan itu menunjukan bahwa berbagai suku bangsa itu mencoba mencari identitasnya sendiri ditengah-tengah masyarakat kota. Hal inilah yang menimbulkan Boedi Oetomo pada tahun 1908 dan kemudian organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Batak, Jong Islam, Jong Ambon dan lain-lain perkumpulan-perkumpulan pemuda.
Organisasi ini seperti telah diketahui didirikan oleh para pelajar STOVIA atas idea bea siswa dari dr. Wahidin Sudirohusodo. Tidak lama sesudah itu muncullah cabang-cabangnya di Bogor, Surabaya, Yogyakarta. Dalam kongres yang pertama di Yogya pada akhir  1908 timbul pertentangan antara golongan muda yang kebanyakan berasal dari Batavia dan golongan tua yang kebanyakan berasal dari Yogya. Golongan muda akhirnya mempersilahkan golongan tua untuk memimpin organisasi ini dalam diri Bupati Karanganyar R.M Tirtokusumo.
Selanjutnya Boedi Oetomo tetap merupakan suatu organisasi yang memberi identitas kepada orang-orang Jawa yang terpelajar. Kebudayaan Jawa dan adat istiadattetap dipertahankan di samping tekanan pada pentingnya oendidikan untuk kemajuan pemuda Jawa. Namun rupanya perbedaan antara priyayi rendahan dan golongan Bupati sudah cukup tinggi dikalangan BO sendiri. Pada tahun 1913 golongan Bupati mendirikan organisasi mereka sendiri terlepas dari BO. Sebelum itu pemuda-pemuda yang kurang setuju dengan arah yang diberikan oleh kaum priyayi rendahan itu pun keluar. Soewardi Soerjaningrat dan Tjipto Mangunkusumo yang sering dinamakan golongan radikal yang menganggap konflik dengan penjajah sebagai masalah utama bergabung dengan Douwes Dekker dalam Indische Partijnya.
Gerakan Douwes Dekker sebenarnya muncul pula dari usaha suatu kelompok tertentu, yaitu kaum Indo-Belanda untuk memperjuangkan nasibnya sendiri. Douwes Dekker berpendapat bahwa kedudukan kaum Indo sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan kedudukan kaum terpelajar Indonesia. Dalam masyarakat kolonial orang-orang pribumi juga merasakan diskriminasi rasial oleh pihak totok Belanda. Sebab itu menurut Douwes Dekker, kepentingan kaum Indo sama dengan bumiputra. Mereka harus sama-sama memperjuangkan kepentingan bersama. Inilah landasan dari Indische Partij yang didirikan pada tahun 1912. Douwes Dekker berpendapat bahwa bumi Indonesia (Indie) seharusnya diperintah oleh mereka yang menjadikannya tanah airnya. Dalam golongan itu termasuk golongan blijvers atau Indo-Belanda. semboyan dari Douwes Dekker adalah “Indie voor de Indier” atau Hindia bagi penduduk Hindia. Formulasi yang diberikan dalam anggaran dasar yang dibentuk pada akhir 1912 adalah sebagai berikut: “Tujuan Indische Partij adalah membangun patriotisme semua Indiers pada tanah yang telah memberi hidup bagi mereka agar mereka didorong untuk bekerja sama atas dasar persamaan dan untuk persiapan ke arah kemerdekaan”.
Jelaslah bahwa Indiesche Partij tidak hanya mengutamakan program pendidikan dan budaya, tetapi jelas-jelas mencanangkan kemerdekaan. Walaupun nasionalisme Indonesia pada saat ini belum lahir, (yang ada hanya nasionalisme Indie) namun sikap PI telah merupakan suatu sikap politik yang menginginkan hapusnya pemerintah kolonial. Dengan sendirinya “nasionalisme Indie” ini tidak diberikan oleh pihak penguasa pada waktu itu. Alasan pemerintah Belanda membubarkan partai ini adalah, pertama karena di Hindia Belanda pada waktu itu tidak dibenarkan adanya partai politik, dan kedua IP mengancam ketentraman umum. Douwes Dekker tidak puas dan berangkat ke negeri Belanda untuk memperjuangkan kepentingan organisasinya. Selama kepergian Douwes Dekker perkembangan meningkat di Indonesia. Menjelang hari ulang tahun ke-100 pembebasan Negeri Belanda dari penjajahan Perancis, di Bandung dibentuk suatu panitia yang dinamakan “Komite Bumiputra”. Komite ini melancarkan propaganda untuk menentang rencana perayaan tersebut. Adapun menurut panitia dari mereka yaitu, bila raykat terjajah harus ikut merayakan hari kemerdekaan penjajahnya, mengenai salah satu pemimpin komite yaitu Soewardi Soerjaningrat yang menjadi anggota Indische Partij yang terlarang. Kemudan dalam kegiatan kepanitian, Soewardi menulis karangan yang berjudul “Als ikeen Nederlander was” (bila saja saya orang Belanda) yang mengancam pemerintah memaksakan pribumi yang tertindas itu merayakan kemerdekaan bangsa yang menindasnya, adapun reaksi Dari Hindia Belanda yaitu membuang Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat ke negeri Belanda, Agustus 1913. Dengan demikian bahwa gerakan-gerakan yang berdasarkan “nasionalisme Indie” tidak berhasil atau gagal dalam mematahkan politik ataupun ekonomi Hindia Belanda.
Keadaan saat itu sedang mengalami pertentangan antara penjajah dan yang dijajajah yang semakin harinya mempengaruhi kehidupan kaum intelektual dikota-kota besar Indonesia. Namun selain itu juga terdapat factor yang lain yaitu adanya ancaman bahaya Perang Dunia I. salah satu organisasi yang ikut serta dalam perbaikan yaitu Boedi Oetomo, namun ternyata Boedi Oetomo tidak dapat menanggulangi atau mencari jalan keluarnya, ternyata permasalahan yang ada tersebut difikirkan oleh golongan-golongan masyarakat atau sekolompok tertentu dalam masyarakat Belanda yang bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain untuk mendirikan suatu panitia di Bandung yaitu “Commite Indie Weerbar” (Panitia Ketahanan Hindia).
Sampai pada tahun 1916, panitia mengirim suatu perutusan ke negeri Belanda yang membicarakan mengenai Milisi menjelang perang. Pada dasarnya, panitia dari pihak Indonesia setujua dengan membentuk milisi di kalangan bumi putra, akan tetapi mereka lebih setuju dengan memilih dewan perwakilan rakyat yang akan membicarakan mengenai milisi tersebut, dan Hindia Belanda menerima tersebut. Sampai pada tahun 1918 Valksraad didirikan oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Adapun prasarat pembentukan Valksraad adalah agar organisasi-organisasi politik di Indonesia ikut serta dalam mendirikan suatu panitia yang berkerja sama dengan pihak Belanda. Akan tetapi pada tahun 1918, Boedi Oetomo menjadi anggota Radikale Consetrantie yang didirikan oleh kaum sosialis, didalam Valksraad. Radikale Consetrantie menuntut pada pihak Belanda agar Valksraad yang badan penasehat saja di ubah menjadi Parlemen yang sesungguhnya. Namun sejak itulah Boedi Oetomo mengambil sikap menentang pemerintah jajahan, dan kemudian tahun 1930-an Boedi Oetomo menganut paham solidaritas bangsa Indonesia, bahkan menggabungkan diri dengan organisasi-organisasi lainnya dan membentuk partai Parindra. Adapun cirri Parindra yaitu membanggakan budaya Asia sebagai tandingan dari budaya Barat yang dianggap merusak.
Muncul pula organisasi yang mempunyai dasar-dasar yang lain sama sekali adalah perkumpulan dagang yang didirikan oleh R.M Titoadisuryo (1909), yang timbul bukan dari kalangan pelajar atau kalangan pemuda, akan tetapi dari kalangan kaum pedagang. R.M Titoadisuryo sendiri berasal dari seorang priyayi rendahan tamatan OSVIA, yang bercita-cita untuk membangun suatu wadah yang dapat membantu pedagang bumi putra yang sudah jelas tidak dapat menyaingi kaum Cina dalam bidang tersebut. Organisasi ini sama sekali tidak berpolitik dan R.M Titoadisuryo merubah nama organisasi tersebut menjadi Sarekat Islam yang tujuannya tidak terbatas pada bidang perdagangan saja. Karena mengalami perkembangan melalui pemuka agama dan pengaruhnya meluas sampai ke daerah pedesaan, maka perkembangan tersebut menimbulkan perhatian pemerintah Belanda.
Dan ketika para pemimpin SI mengajukkan permohonan untuk diakui sebagai organisasi  yang syah oleh pemerintah Belanda, pemerintah Belanda mengambil sikap lebih berhati-hati.  Gubernur Jenderal Idenburgh adalah seorang Etikus yang mendorong usaha-usaha orang-orang Indonesia, akan tetapi panasehatnya menganggap SI sebagai organisasi yang berbahaya, sebab SI tidak diakui sebagai organisasi yang utuh. Dalam perkembangannya SI mengalami perubahan-perubahan dalam sikapnya terhadap pemerintah colonial, seperti halnya dalam kongres SI tahun 1913 R. M Titoadisuryo mengatakan “kami masih bersikap loyal terhadap Gubernemen, kami senang dibawah kekuasaan pemerintah Belanda” namun disamping itu bahwa organisasi terbuka bagi semua orang Indonesia, tidak terbatas pada golongan terpelajar saja.
Dalam kongres 1916 dinamakan kongres Nasional pertma, yang tampak bahwa SI telah mengambil sikap terhadap pemerintah, adapun tuntutan kongres tersebut agar pemerintah member otonomi yang lebih luas pada masyarakat Indonesia. Akan tetapi sebelum tahun 1915, SI telah menjadi Indie Weerbaar yang menuntut adanya Perlemen dan Milisi. Kemudian sekelompok anggota SI terlibat dalam gerakan radikal yang bersumber pada Marxisme. Adapun keterlibatan sejumlah anggota SI dalam gerakan Marxis adalah usaha untuk mempertahankan ciri sebagai organisasi massa. Namun akhrinya SI mengakui solidaritas bangsa Indoensia sehingga namanya pada tahun 1921 diubah menjadi Partai Sarekat Islam dan menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia.

BAB. V
MUNCULNYA PAHAM RADIKALISME

Sebagai suatu organisasi massa, Sarekat islam sangat berhasil yang disebkan karena berbagai faktor, salah satunya Belanda kurang bersimpati kepada organisasi tersebut. Adapun seorang sejarawan pernah menafsirkan bahwa pada tahun 1919 keanggotaan SI berkisar dua juta orang, yang berarti bahwa orang yang terpengaruh pada perjuangan SI meliputi jumlah tersebut. Didalamnnya tidak halnya terdapat pengaruh pengikut-pengikut Islam yang patuh saja, akan tetapi berbagai lapisan masyarakat yang merasa dirinya diwakili dalam Sarekat Islam. Namun karena Heterogenitas menimbulkan perpecahan. Perpecahan tersebut muncul dari kelompok buruh, perkebunan dan kereta api yang terpengaruh oleh cita-cita yang sifatnya lebih radikal dari pada cita-cita Sarekat islam sendiri.
Radikalisme dalam pergerakan  nasional terutama bersumber pada paham komunisme. Paham ini dengan berbagai cara bisa menyusup dalam tbuh berbagai organisasi kemastarakatan. Paham komunisme diperkenalkan pada kalangan pergerakan Nasional Indonesia oleh beberapa orang Belanda di awal abad ke 20. Untuk mendapatkan pengikut di kalangan orang-orang Indonesia, Sneevliet mencari jalan lain karena orang Indonesia menganggap ISDV sebagai organisasi bangsa lain yaitu dengan cara mempengaruhi anggota-anggota Sarekat Islam Senarang untuk ikut menjadi anggota ISDV. Pada masa itu orang lazim memasuki organisasi sekaligus. Ada anggota Budi Utomo yang juga menjadi anggota Sarekat Islam dan menjadi anggota ISDV. ISDV masa radikal setelah berdirinya Soviet Rusia pada tahun 1977. Pada waktu yang bersamaan berangsur-angsur anggota-anggota pengurus Belanda meninggalkan organisasi ini karena dibuang oleh pemerintah Belanda.Tahun 1919 Samaoen dan Darsono diangkat sebagai pimpinan ISDV mengantikan Sneevleit. Sarekat Islam menjadi radikal pula ketika tahun 1918 SDP di Negri Belanda dirubah menjadi Partai Komunis Holand, maka di kalangan ISDV rupanya menimbulkan niat yang sama.
Indonesia dibentuk persatuan pergerakan kemerdekaan rakyat dan terdiri dari PKI dan SI. Tetapi segera tampak bahwa persatuan ini tidak dapat bertahan. Masing-masing organisasi memegang teguh ideologinya sendiri-sendiri. Timbul pula perpecahan antara golongan kanan dan golongan kiri. Pada tahun 1921 Sarekat Islam melarang anggotanya merangkap dalam organisasi lain, sehingga orang-orang PKI dalam sarekat Islam terpaksa keluar dari Sarekat Islam. Pimpinan PKI beralih dari Samaoen yang dibuang ke luar negri karena gerakan-gerakan aksi mogoknya kepada Tan Malaka. Tan Malakalah yang berusaha lagi untuk menarik umat islam ke dalam PKI. Cabang-cabang Sarekat Islam yang pro komunis diubahnya menjadi Sarekat Islam dengan pimpinan Alimin. Sementara itu Samaoen telah kembali ke Indonesia dan mengutamakan aktivis PKI pada kaum buruh. Tetapi, sejalan dengan itu usaha-usaha untuk menarik anggota SI diperluas juga pula.
PKI menjadi lebih kuat dengan kembalinya Darsono dari moskow. Cabang-cabang PKI tersebar sampai ke minangkabau, Aceh, Makasar, Ternate dan Lombok. Tahun 1942 pimpinan PKI melebur Sarekat rakyat dalam tubuh PKI. Sementara itu para pemimpin PKI merencanakan suatu pembrontakan besar-besaran. Tetapi ternyata kemudian nasalah pembrontakan ini menimbulkan perpecahan di kalangan PKI. Selain Radikalisme yang bersumber pada PKI dan komunitern di kalangan mahasiswa Indonesia dinegeri Belanda muncul pula paham radikal mengenai penjajahan. Disana sikap anti penjajahan itu memang sudah terdapat dikalangan penganut-penganut sosialisme yang tergabung dalam gerakan-gerakan sosial demokrat.
Organisasi mahasiswa Indonesia di negri Belanda bernama Perhimpunan Indonesia. Organisasi ini berawal dari Indische Vereenigning, yang dibentuk pada tahun 1908 sebagai suatu wadah dari orang-orang pribumi maupun non pribumi yang berada di Weropa. Praktek demokrasi di negri Belanda sangat mengesankan para mahasiswa Indonesia di negri Belanda. Keadaan ini bertentangan sama sekali dengan keadaan yang mereka saksikan di Hindia Belanda. Tahun 1925 Perhimpunan Indonesia mengganti anggaran dasarnya dan dinyatakan bahwa tujuan perhimpunan Indonesia adalah memperjuangkan kemerdekaan penuh bagi Indonesia. Tujuan ini hanya bisa tercapai bila seluruh bangsa Indonesia bergerak maju serentak. Para nahasiswa Indonesia di Eropa juga menyadari bahwa keadaan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan keadaan dibagian-bagian Asia lainnya. Hubungan yang akrab terjalinlah dengan para mahasiswa dari berbagai penjuru Asia. Perhimpunan Indonesia juga mengirimkan utusan-utusan untuk menghadiri konperasi-konperasi internasional yang menerangi penjajahan.
Anggota-anggota perhimpunan Indonesia yang kembali ke Indonesia meneruskan cita0cita kemerdekaan dan sikap non kooperasi dalam berbagai organisai poliyik, pelajar dan pemuda. Salah satu organisasi itu adalah Algemeene Studie Club yang didirikan oleh Ir. Soekarno di Bandung pada tahun 1925. Soekarno snagat terkesan pada Tjokroaminoto pada Sarekat Islam dan kemudian Ir Soekarno mengikuti perjuangannya. Pandangan Tjokroaminoto bahwa dalam islam pun mengandung ajaran-ajaran Sosialisme, sangat menarik bagi Soerkarno. Pemikiran ini dibukukan oleh tokoh Sarekat Islam itu pada tahun 1924. Gagasan Tjokroaminoto itulah yang kemudian diteruskan Soekarno. Ia berpendapat bahwa Sosialisme dalam Islam harus dapat bekerjasama dengan cita-cita nasionalisme. Tahun 1926, Ir. Soekarno mengeluarkan suatu pamflet mengenai hal ini. Pemikiran inilah yang kemudian dalam tahun 1960an dengan istilah NASAKOM.
Pada tahun 1927 Ir. Soekarno mengubah Algemeene Studie Club menjadi Partai Nasional Indonesia. Tiga bekas anggota Perhimpunan Indonesia hadir dalam rapat pembentukannya, yaitu Mr. Iskak Tjokrohadisuryo, Mr. Budiarto dan Mr.Sunarjo. Cita-cita Partai Perhimpunan Indonesia tidak berbeda jauh dari cita-cita Perhimpunan Indonesia. Nasionalisme yang radikal ditanamkan dengan  cara propaganda agar rakyat menjaadi sadar dengan tujuan tujuan pergerakan. Trilogi Partai Nasional Indonesia yang ditanamkan pada rakyat adalah jiwa nasional (nationaale geest) tekad nasional (nationaale wil) dan tindakan nasional (nationaale daad). Dengan cara ini Partai Nasional Indonesia ingin  mengerahkan rakyat untuk memperbaaiki keadaan politik, ekonomi, dan budaya. Agar kondisi kemelaratan dalan alam penjajahan jelas tertulis dalam benak rakyat, diciptakan pula pandangan sejarah yang khas. Soekarno meelukiskan betapa pada masa lampau bangsa Indonesia pernah mengalami masa yang gemilang dan masa kini penuh kesengsaraan, dan akan tiba saatnya bangsa Indonesia (dengan pemimpin Partai Nasional Indonesia) akan mencapai masa kebesaran lagi.
Persatuan diantara kelompok-kelompok politik yang bermunculan di Indonesia menjadi sasaran pula dari perjuangan Partai Bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1927 Partai Nasional Indonesia mengadakan suatu rapat di Bandung yang dihadir oleh wakil-wakil Partai Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Pasundan, Sumaterane Bond, Kaum Betawi dll. Hadirin sepakat membentuk suatu badan kerjasama yang bernama Permufakatan Perhimpuna-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI).
Dalam kongres I kongres yang diadakan pada tahun 1928 di Surabaya, Nampak adanya penegasan Ideologi. Dalam kongres itu diterima suatu keterangan azas yang menjelaskan pertentangan yang tajam antara pihak yang dijajah dan pihak yang menjajah. Belanda sebagai salah satu kekuatan imperialisme bertujuan mengeruk kekayaan bumi Indonesia dan mengeringkan kekayaan itu daari bumi Indonesia. Kegiatan Belanda itu merusak seluruh tatanan social, ekonomi, dan politik Ind, ekonomi, dan politik Indonesia. Untuk memperbaiki keadaan ini haruslah dicapai kemerdekaan politik.
Pemikiran ini kemudian disebarkan dalam rapat-rapat kursus-kursus dan sekolah-sekolah serta organisasi-organisasi pemuda yang didirikan oleh Partai Nasional Indonesia. Pers PNI yang terdiri dari surat-surat kabar Banteng Priangan (Bandung) dan Persatoean Indonesia (Batavia) juga membantu kearah ini. Dengan demikian kegiatan PNI dengan pesat menarik perhatian massa. Pada tahun 1929 jumlah anggotanya adalah sekitar 10.000 orang dan tersebar di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, Malang, Pekalongan, Cirebon, Serang, Sumatera, Makassar dll.  Sebaliknya dalam pemerintahan colonial makin khawatir. Dalam pidato dimuka Volksraad gubernur jenderal mengharapkan agar rakyat Indonesia mengelakan diri dari nasionalisme yang ekstrim. Malah fraksi konservatif Belanda dalam Volksraad mendirikan organisasi sendiri dengan nama Vederlandsche club (1929) mereka mendesak pemerintahan agar bertindak tegas terhadap PNI. Pers Belanda pun membantu sikap ini.
Pemerintahan Belanda mulai bertindak sejak tahun 1929 itu juga. Kalangan polisi dan tentara (KNIL) dilarang untuk memasuki organisasi ini juga pegawai sipil dari Departemen perang dilarang. Namun PNI berkembang terus. Malah Ir. Soekarno menyatakan Indonesia akan mencapai kemerdekaan bila perang pasifik meletus kelak. Kemudian terbentik desas-desus bahwa PNI akan mengadakan pemberontakan. Pemerintah Hindia Belanda mempunyai desas-desus ini dan pada tahun 1930 memerintahkan penangkapan para pemimpin PNI dari pusat sampai kecabang-cabangnya. Empat tokoh PNI yaitu Ir.Soekarno, R. Gatot Mangkoepradja, Maskoem Soemadiredja dan Soepriadinataa diajukan pada pengadilan Bandung. Ir Soekarno kemudian dijatuhi hukuman pembuangan.
Pada bulan April 1931 pimpinan PNI lainnya membubarkan organisasi ini. Tetapi ternyata tidak semua anggota menyetujui organisasi ini. Tetapi ternyata tidak semua anggota menyetujui tindakan ini. Sebagian mendirikan organisasi baru dengan nama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) dengan pimpinan Drs. Muhammad Hatta dan Syahrir, sebagian lagi mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dengan pimpinan Mr. Sartono. Kedua partai ini sepakat bahwa tujuan utama adalah kemerdekaan Indonesia. Tetapi mereka berbeda dalam cara yang harus dipakai. PNI Baru menekankan  perlunya pemimpin-pemimpin yang cakap, berwibawa, dan jujur. Sebaliknya Partindo tetap mementingkan pembentukan kader-kader. Sebaliknya Partindo tetap mementingkan gerakan masal sebagai cara  yang ampuh untuk mencapai maksud tersebut. Betapapun juga, sejak 1920-an nasionalisme yang radikal telah menjadi dasar perjuangan para pemimpin Indonesia.


BAB. VI
NASIONALISME DI KALANGAN GENERASI MUDA

Pada awal abad 20, dari berbagai penjuru nusantara muncul pemuda-pemuda yang ingin melanjutkan pendidikan untuk mendapat kedudukan baru dalam periode baru. Bagi golongan ini pendidikan Barat merupakan saluran penting untuk memegang jabatan resmi. Status Priyayi masih tetap merupakan cita-cita yang paling diinginkan oleh masyarakat ketika itu, sekalipun priyayi yang lahir karena pendidikan, bukan semata-mata karena keturunan.
Masyarakat pelajar di kota-kota tersebut dengan sendirinya menghadapi keadaan baru dengan berbagai permasalahnya. Problem pokok bagi kebayakan mereka yang bersekolah dalam dasawara pertama abad 20 adalah problem identitas social. Dalam hal ini tidak berbeda dengan organisasi-organisasi lain seperti Boedi Oetomo. Berdarkan dorongan inilah pada tahun 1915 timbul petama di kalangan masyarakat kota dengan nama Tri Koro Dharma. Sumber inspirasi dari organisasi ini adalah suku bangsa jawa dan kebudayaannya. Dalam anggaran dasarnya organisasi ini beridaman untuk membentuk masyarakat Jawa Raya yang meliputi orang jawa (Tengah dn Timur) serta orang Sunda, Madura dan Bali. Namun segera Nampak bahwa cita-cita itu tidak dapat dikejar. Orang- orang Sunda dan Madura tidak merasa betah dan keluar dari organisasi itu. Dengan demikian padaa tahun 1918 organisasi ini mengubah namanya meenjadi Jong Jawa karena hanya terdiri dari pemuda Jawa saja.
Dasar pemikiran atau ideology organisasi inidapat dikatakan bersifat “Nasioanlisme Jawa”. Pada tahun 1917 organisasi ini membentuk “Panitya Nasionalisme Jawa” di Jakarta dengan pemimpin Soerjo Koesoemo, Abdul Rachman dan Satiman. Sekalipun mereka menggunakan bahasa Belanda dalam tulisan-tulisan, mereka yakin bahwa masa depan mereka adalah Jawa seperti masa lampau mereka. Pergaulan dengan suku-suku lain tidak dilarang, namun mereka yakin pemisahan berdasarkan kesukuan adalah lebih baik bagi semua pihak.
Ternyata pengertian Jawa yang dimaksud Jong Java sangat sempit. Jawa Tengah dengan latar belakang Hindunya lebih ditonjolkan. Maka tidak mengherankan kalau pada tahun 1924 terjadi perpecahan lagi. Ketika itu muncul suatu golongan yang mengnginkan agar dasar-dasar Iaslam dimasukan sebagai ideology Jong Java. Tetapi ternyata loyalitas kesukuan tetap lebih kuat, sehingga golongan ini pun akhirnya harus meninggalkan Jong Java. Mereka mendirikan Jong Islamieten Bon dan menyebarkan ide-idenya melalui majalah “El Noer.” Organisasi pemuda Islam ini mengikuti jejak Sarekat Islam dan tidak tetbatas pada masalah-masalah identitas saja. Seperti halnya dengan SI organisasi pemuda ini berpolitik, artinya memasalahkan sistem kolonialisme. Orang-orang lain yang melihat, bahwa “ Nasionalisme  Jawa ” dari Jong Java terlampau sempit, juga meninggalkan organisasi ini. Tjipto Mangunkusumo, seperti halnya dengan Soewardi Soerjaningrat, lebih condong berpendapat, bahwa permasalah pokok adalah perjuangan melawan penjajahan. Itu sebabnya mereka keluar dari Jong Java dan bergabung dengan Indische Partj dari Douwes Dekker.
Setelah munculnya Jong Java muncul pula organisasi dari kelompok-kelompok sukun lainnya di kota besar di Jawa seperti Jong Sumateramen Bond, Pasundan, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batavia, Sekar Rukun, Pemuda Betawi dll. Partai-partai politik kemudian juga mempunyai bagian kepemudaannya masing-masing. Langkah pertama dikalangan pemuda untuk meninggalkan batasan Kesukuan dan membina solidaritas yang luas muncul pada kongres Pemuda Pertama yang diselenggarakan anatar 20 April samapai 2 Mei 1926. Persiapan-persiapannya dilakukan sejak November 1925 dengan mengadakan perundingan antara wakil-wakil dari Jong Java, Jong Suamteranen Bond, Sekar Rukun dll. Merekalah yang membentuk suatu panitia penyelenggara yang dipimpin oleh Tabrani. Dalam kongres itu muncul usul untuk menyatukan (fusi) semua organisasi Pemuda. Usul ini mendapat sambutan baik, sehingga mengalahkan usul lain yang hanya menginginkan suatu Federasi saja.
Setelah kongres itu, wakil-wakil dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Sekar Rukun, Vereeniging Ambosche, studenenden, dan Jong Batak  berkumpul lagi dengan komite  Kongres dan melahirkan suatu gagasan untuk mendirikan organisasi baru yang bernama Jong Indonesia degan tujuan menanamkan Nasionalisme untuk mewujudkan Indonesia Raya. Namun gagasan inipun ternyata tidak berkembang lama. Nama Jong Indonesia diambil alih oleh Algemeene Studi Club bandung organisasi pemudanya setelah terjemahan menjadi Pemuda Indonesia. Tetapi Kongres Pemuda I merupakan dorongan bagi lahirnya organisasi Kemahasiswaan pertama dengan nama Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI). Dengan demikian para mahasiswa Indonesia dari Rechts Hoogoeschool di Jakarta mendapat wadahnya sendiri. Berbeda degan organisasi –organisasi mahasiswa yang ada ketika itu, maupun yang lahir kemudian sejajar degan pertumbuhan sistemperguruan tinggi, PPPI jelas mempelopori solidaritas nasional.
Seorang wanita Indonesia yang pertama kali mendirikan system pendidikan wanita yaitu Raden Dewi Sartika dengan Sekolah Keutamaan Istri di Bandung (1904) yang awalnya bernama raden Dwi School.  Usaha lainnya dalam bidang pendidikan wanita bersumber pada R.A. Kartini dengan bukunya yang berjudul Door Duisternistot Licht. Pada tahun 1912 C.Th. Van Deventer mendirikan Kartini fonds (Dana Kartini) untuk mendirikan sekolah gadis.  Sekolah semacam tersebut kemudian didirikan di Semarang pada tahun 1913, kemudian di Jakarta, Malang, Madiun dan Bogor.  Selain itu juga ada usaha Maria Walanda Maramis yang mendirikan sekolah gadis di Manado yang diasuh oleh PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunan). Di Minangkau juga ada Rohana Kudus yang mempelopori emansipasi wanita. Di Padang ada Karadjinan Amai Setia yang didirikan pada tahun 1914, di Padang Panjang ada Kautamaan Istri, di Gorontalo ada Goorntalosche Mohammadansche Vrouwen Vereeniging. Di Ambo ada Ina Tuni (wanita utama).
Sistem pendidikan nasional yang menyeluruh bagi pribumi pertama kalinya didirikan oleh Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat), tokoh Indische Partij pada tahun 1922 dengan mendirikan Taman Siswa. Azaz pendidikan Taman Siswa pada tahun 1922 adalah panca Dharma yaitu kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaaan, kebangsaan dan kemanusiaan. Sekolahnya berkisar dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah Belanda yang berdiri hampir disetiap kota besar di Jawa serta meluas ke Sumatera dan Kalimantan. Douwes Dekker (Setiabudhi Danuwirya) juga mengikuti langkah Ki Hajar Dewantara.  Ia bekerja sebagai guru dijlan Kebon Kelapa (Bandung) dijadikan Preanger Instituut vande Vereeniging Volksonderwijs atau Lembaga Priangan dari Perkumpulan Pengajaran Rakyat pada 1923. Namun sejak 1924 nama lembaga tersebut berubah menjadi Ksatriyan Instituut. Sekolah tersebut kemudian juga dibuka di Cianjur dan Ciwidey. Ksatriyan Instituut juga membuka sekolah dagang menengah untuk member pelajaran praktis bagi murid-murid yang akan kembali ke masyarakat dan pada tahun 1935 ditambah lagi dengan sekolah guru keguruan untuk mendidik pegawai Pamong Praja.
System pendidikan lain yaitu Indonesisch Nationale School di Kayutan, Sumatera Barat pada tahun 1926 oleh Muhammad Syafei. Ada juga Perguruan Rakyat yang berdiri karena dorongan PNI yang terdiri dari gabungan Pustaka Kita yang diprakarsai oleh Mr. Sunario dan Arnold Mononutu untuk mendirikan perpustakaan dan Perhimpunan Untuk Belajar dari Soedarmoatmojo dan Sarah Thaib yang bertujuan mengajar bahasa asing yang walnya bertujuan mendirikan Volks Universiteit. Sekolah guru ditambah pada tahun 1935 yang dipimpin oleh Dr. Samsi dan Arnold Monomutu dengan dasar nasionalisme, pendidikan jasmani, pembentukan watak, pengetahuan, semangat kemajuan dan kemasyarakatan yang juga bercabang di Jatinegara, Semarang, Surabaya, Bandung, Madiun dan Palembang. Perguruan ini mundur pada tahun 1936. Setelah itu timbul masyarakat baru yaitu masyarakat Indonesia dengan semboyan Indonesia merdeka dengan berbahasa Indonesia yang kemudian menjadi bangsa Indonesia.

BAB VII
MELUASNYA SOLIDARITAS BERBANGSA

Politik kolonial yang sangat menekan elite politik yang baru muncul sejak awal abad 20 sangat terasa ditahun 1930an. Pengawasan sedemikian rupa dan larangan terhadap pers maupun gerakan lainnya demikian keras, sehingga banyak orang beranggapan sejak itu pemerintah Hindia Belanda sudah menjadi diktator yang terselubung. Dengan keadaan itu timbulnya berbagai fusi dikalangan organisasi politik untuk meninggalkan landasan etnis yang sempit ataupun landasan gerak yang terbatas. Dalam proses inilah tampak adanya kemajuan dalam cita-cita persatuan. Proses ini dapat dilihat dalam organisasi politik yang berdiri sebelum 1930an. Organisasi Boedi Oetomo juga melakukan fusi, seperti pada kongres 1932 yang mana Boedi Oetomo yang awalnya gerakan orang Jawa melebar landasannya dengan persatuan berbagai suku bangsa. Pada 1934 usaha tersebut berhasil dengan terjadinya peningkatan Indonesia Studie Club Dr. Soetomo menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). PBI kemudian didekati Boedi Oetomo, sehingga pada 1934 keduanya melakukan perjanjian fusi dan pada Konferensi Yogyakarta bulan Oktober 1935 usaha tersebut berhasil kemudian berganti nama menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra).
Dikalangan Islam, sejak semula hanya ada 1 wadah organisatoris, maka masalah fusi seperti yang dirasakan penting oleh Boedi Oetomo tidak ada.  Semakin hari Boedi Oetomo tidak dapat bekerja dengan pengawasan ketat oleh PID (Politieke Inlichtingen Dienst, Dinas Rahasia), maka pada 1935 H. Agus Salim menganjurkan PSII melepaskan semboyan anti Belanda pada Kongres PSII 1935. Saat itu H. Agu salim kalah dan pimpinan diambil alih oleh Abikoesno. Perpecahan tersebut ditengahi oleh Mr. Moh. Roem di Jakarta, namun Mr. Moh. Roem, A.M. SAngadji, H. Agus Salim dan lainnya dikeluarkan dari PSII. Pada tahun 1940 dibawah pimpinan Kartosoewiryo PSII mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran PSII. Golongan Islam yang kerjasama dengan Belanda dengan cara menjadi anggota Volksraad kemudian membentuk Partai Islam Indonesia (PII).
Selain itu, 2 jalur pokok dalam perkembangan ditahun 1930-an itu, masih ada jalur lain, yaitu gerakan etnis yang tergolong minoritas dalam jumlah anggota yang terbagi menjadi 4 golongan yaitu gerakan yang akhirnya melakukan fusi dengan gerakan nasional, gerakan yang tetap mempertahankan identitasnya dan hanya mengambil symbol gerakan nasional, gerakan yang tetap mempertahankan sifat etnis saja dan gerakan lainnya. Gerakan etnis yang berfusi dengan gerakan nasional seperti Tirtayasa dari Banten dan Kaoem Betawi dari Jakarta bergabung dengan Parindra, Sarekat Madura di Surabaya pada 1930 bergabung dengan Partai Celebes di Makasar menjadi Partai Sarekat Celebes (Paras) pada 1933 dan juga masuk Parindra, Sarekat Sumatera pada 1936 juga bergabung dengan Parindra. Gerakan yang tetap mempertahankan identitasnya dan hanya mengambil simbol gerakan nasional seperti Pasoendan, Perkoempoelan Kawoela Soerakarto, Sarekat Ambon, Hatopan Kristen Batak dan Persatuan Minahasa yang mana gerakan ini selalu turut dalam kegiatan umum partai nasional, namun tidak pernah bergabung. Sedangkan untuk gerakan yang tetap mempertahankan sifat etnisnya antara lain Perkoempoelan Kawoela Ngayogyakarto (1930), Perserikatan Timor (Timors Verbond) dan Moluks Politiek Verbond. Gerakan lain yang mempunyai cirri sendiri yaitu Persatoen Oelama Seloeroeh Aceh (Poesa) pada 1939, Sumatera Thawalib atau Permi.
Untuk golongan orang Kristen muncul organisasi Perserikatan Kaoem Christen (PKC) dan Partai Kaoem Masehi Indonesia (PKMI) dan Perhimpunan Politik Katholik Indonesia (PPKI). Golongan orang China juga demikian. Mereka mengelompokkan dalam 3 golongan yaitu golongan yang tidak terorganisir tapi berada disekitar surat kabar Sin Po yang tidak mengharapkan sesuatu dari struktur colonial namun berpaling ke China, Chung Hwa Hwi dari kapitalis besar yang cuek dengan permasalahan Indonesia, Partai Tionghwa Indonesia (1932) dikalangan peranakan China yang mengambil symbol kebangsaan Indonesia sebagai landasannya. Hal seperti diatas juga terjadi pad orang Arab. Mengenai gerakan wanita, organisasi yang berdiri antara lain Aisyah, Wanita Katholik Wanita Oetomo, Wanita Boedi Sedjati, Peserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (1929) dan Istri Sedar (1930). Gerakan buruh juga termasuk didalamnya. Organisasi buruh pada saat itu antara lain VSTP, Personeel Fabrieks Bond (PFB) dan lain-lain.



BAB. VIII
PERJUANGAN PARLEMENTER

Pembentukan Volksraad oleh pemerintah colonial sebenarnya merupakan bagian dari politik desentralisasi birokrasi yang sudah dimulai sejak dicanangkannya Politik Etika pada tahun 1901. Undang-undang Desentralisasi dikeluarkan pada tahun 1903 dengan maksud mendirikan berbagai dewan penasehat pada tingkat kerasidenan dan kotapraja. Namun demikian tidak banyak yang tercapai, karena dewan-dewan itu tidak mempunyai kekusaan mengambil keputusan. Keputusan-keputusan penting tetap menjadi wewenang para residen dan walikota yang berkebangsaan Belanda. Namun, dewan-dewan ini dianggap penting dalam sejara masyarakat Indonesia karena disinilah untuk pertama kalinya mereka dapat bertemu sesuai dengan prosedur-prosedur modern. Dilihat dari sudut itu dewan-dewan ini merupakan tempat latihan yang penting bagi perkembangan Volksraad yang muncul tahun 1918. Peran Bupati yang mengepalai dewan di daerahnya, serta peran berbagai wakil golongan di kota-kota, merupakan perkembangan baru yang belum ada sebelumnya.
Kemudian timbul kebutuhan untuk membentuk suatu wadah bagi mereka sehingga kegiatan mereka dapat disalurkan oleh pemerintah kolonial. Pembentukan dewan penasehat semacam ini juga penting karena sejak tahun 1912 Anggaran Belanja daerah Hindia Belanda akhirnya dipisahkan dari anggaran kerajaan, sehingga timbul kebutuhan untuk menarik partisipasi masyarakat Indonesia dalam menentukan penggunaannya. Namun  dewan rakyat itu tidak pernah diberi wewenang penuh dalam masalah itu.
Gagasan pokok membentuk Volksraad muncul pada tahun 1912 dengan pertimbangan-pertimbangan pokok yang disebut terakhir diatas. Namun sejak dikeluarkannya gagasan itu kelompok-kelompok dalam masyarakat Indonesia sebagian menyatakan keraguannya. Mereka dapat berpendapat bahwa dewan  yang hanya mempunyai wewenang penasehat saja hanya akan menguntungkan kepentingan-kepentingan kolonial. Kelompok-kelompok yang bertendens radikal menunttagar dewan yang akan dibentuk sungguh-sungguh mewakili kepentingan-kepentingan pemerintah kolonial. Pernyataan secara prosedural masalah itu muncul pertama kalinya dalam masalah milisi. Panitia ketahanan Hindia itulah yang pertamakali menuntut agar dibentuk suatu dewan perwakilan yang sesungguhnya akan memikirkan dan menyusun undang-undang milisi tersebut. Tetapi seperti yang sudah dibentangkan di atas, pemerintah Belanda menjawab bahwa mereka memang sedang memikirkan hal itu. Rencana mereka diterima dalam Parlemen Belanda pada tahun 1916 dan pada tahun 1918 dewan itu terwujud di Jakarta (kini gedung Pejambon).
Dalam sidang Volksraad yang pertama tampak antara lain Tjokroaminoto dan Abdul Muis dari Sarekat Islam. Juga Tjipto Mangunkusumo, yang telah kembali dari Belanda dan tergabung dalam Sarekat Hindia, menjadi wakil bagi organisasinya. Tetapi beberapa bulan kemudian timbul suatu kelompok dalam Volksraad yng menamakan dirinya “Radicale Concentatie”. Mereka menginginkan agar dewan itu diubah menjadi parlemen yang sesungguhnya. Pihak pemerintah menjadikan perubahan dan membentuk suatu panitia untuk mempelajari tunututan itu. Tetapi perubahan-perubahan yang dimaksud tak pernah terwujud, malah sikap pemerintah makin konservatif. Dengan demikian berangsur-angsur tokoh-tokoh Sarekat Islam keluar dari dewan itu. Tinggalah golongan-golongan yang bersedia bekerja bersama-sama dengan pemerintah Hindia Belanda.
Namun dalam masyarakat timbul berbagai macam reaksi. Dalam Volksraad muncul pula tiga macam pendapat yang pertama berasal dari wakil-wakil masyarakat Belanda. Yang menolak petisi tersebut. Pendapat kedua berasal dari kalangan masyarakat Indonesia yang mewakili golongan “Intelektual” dengan pimpinan Soekardjo Wiryopranoto;merekapun menyatakan penolakan. Pendapat ketiga juga dari kalangan masyarakat Indonesia yang disuarakan Soeroso (Golongan Pegawai Negeri) yang juga menolaknya.
Dengan golongan wakli golongan Indo yang menyetujuinya, petisi itu diterima Volksraad dan diteruskan ke Parlemen Belanda. Di Indonesia timbul panitia-panitia yang disebut Comitte Petitie Soetardjo untuk memperjuangkan petisi itu. Gerakan ini menimbulkan perbedaan faham dalam kalangan pergerakan. Parindra yang baru didirikan pada tahun 1935 tidak bersedia ikut dalam panitia tersebut, Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang pro-komunis itu, juga menetang petisi tersebut walaupun bersedia menerima diadakannya konperensi antara Indonesia dan Belanda. Partai Sarekat Islam Indonesia juga tidak menyetujuinya., PNI-baru pun menolaknya. Sokongan datang dari organisasi-organisasi yang lebih kecil, yaitu Persatuan Pegawai Binnenland Bestuur (PBB), IEV (Indo), Chung Hwa Hwi(Cina), PEB (Golongan Pedagang) Penyedar,Pasundan, PPKI,PAI, Sarekat Ambon, Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia, dll. Haji Agoes Salim dan Mr.Sartono juga menyetujuinya.
Di dalam Parlemen Belanda banyak juga menantang. Tetapi belum diadakan pemilihan suara, menteri jajahan mengemukakan bahwa petisi itu tidak perlu karena pemerintah bermaksud meluaskan otonomi dengan memperkuat pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia. Pada bulan November 1938 dikeluarkan pengumuman resmi bahwa petisi ditolak oleh Ratu Belanda.
Gagalnya Petisi Soetarjo menyebabkan Parindra Mengambil langkah-langkah untuk menggabungkan seluruh kekuatan politik yang ada untuk menuntut perbaikan-perbaikan dalam bidang perwakilan. Sebelum itu golongan islam(PSII) pernah pula berusaha untuk menggalakan  seluruh potensi pergerakan nasional dalam suatu wadah federatif. Pada tahun 1938 PSII membentuk Badan Perantara Partai-Partai Politik Indonesia (Bapeppi). Namun usaha ini kurang lancar sehingga kegiatan Parindra tersebut diatas menjadi lebih menonjol dalam masyarakat Indonesia.
Dalam bulan Mei 1938 Parindra mengundang sejumlah partai politik dan organisasi massa untuk berapat di Jakarta. Terbentuklah Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang dipimpin oleh Mohammad Hoesni Thamrin dari Parindra, Mr.Amir Starifoeddin dari Gerindo, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. Dari partai Sarekat Islam Indonesia. Tujuan GAPI adalah memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan persatuan nasional. Kemudian tujuan ini dirumuskan dalam semboyan “ Indonesia Berparlemen” sebab pada dasarnya GAPI tidak menuntut kemerdekaan tetapi partisipasi rakyat dalam pemerintah jajahan. Sikap kurang menekankan kemerdekaan itu disebabkan adanya prihatin atas kemungkinan meletusnya Perang Pasifik. Adanya prihatin atas kemungkinan meletusnya perang pasifik. GAPI beranggapan bahwa bila mereka mengenyampingkan cita-cita kemerdekaan, Belanda akan bersedia memenuhi tuntutan mereka, yaitu parlemen yang sesungguhnya untuk menggantikan Volksraad. GAPI juga mengajak rakyat Belanda bersama-sama menentang Fasisme.
Tetapi dikalangan pergerakan adapula golongan-golongan yang tidak menyetujui GAPI, seperti PNI Baru dan Penyedar, yang menolak sikap meminta minta pada Belanda. GAPI selanjutnya membentuk kongres Rakyat Indonesia yang menjadi Prototip dari parlemen yang diperjuangkan itu. KRI lalu mengesahkan Indonesia raya dan Merah Putih sebagai lagu dan bendera kebangsaan Indonesia. Sekalipun GAPI membentuk komite-komite didaerah-daerah, kegiatan federasi ini kurang berkembang. Mereka memang berhasil memaksakan pemerintah membentuk suatu panitia untuk menyelidiki usaha perubahan tata negarav (Commisie Visman) namun mereka tidak bersedia bekerja sama dengan panitia itu.

BAB. IX
PERANG KEMERDEKAAN

Untuk memahami perang kemerdekaan perlu dilihat perkembangan dalam masa pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, Jepang kekuatan kekuatan terpendam dalam masyarakat mendapat kesempatan untuk muncul ke permukaan. Kekuatan kekuatan itu pada tahun 1930-an behasil dikekang oleh kekuasaan kolonial. Seperti tampak dalam bagian bagian yang mendahului bagian ini, yang paling menentukan dalam masyarakat indonesia pada tahun 1930-an adalah golongan birokrasi beserta golongan politisi yang tidak menganjurkan perlawanan yang radikal terhadap kekuasaan kolonial. Pada masa jepang justru terjadi yang sebaliknya. Untuk kepentingan kepentingan perangnya, jepang memobilisir berbagai unsur dalam masyarakat. Ketika jepang menyerah kalah, unsur-unsur ini tetap bertahan dan memainkan peranan yang menentukan dalam tahun-tahun pertama dari perang kemerdekaan. Kemudian sesudah itu elite politik dari masa pergerakan nasional muncul kembali untuk menyelesaikan revolusi itu.
Pendudukan Jepang
Pada pendudukan Jepang, masyarakat Indonesia dapat dijabarkan sebagai berikut: anggota-anggota berbagai organisasi partai diperkirakan berjumlah 50.000 orang, pembaca surat kabar kira-kira 50.000 orang pula, murid berbagai swasta indonesia diperkirakan berjumlah 130.000 orang, dua kali lebih banyak dari murid-murid sekolah pemerintah, murid murid Muhammadiyah kira kira 20.000 orang. Inilah yang digolongkan sebagai elite Indonesia di antara penduduk yang kira-kira berjumlah 70.000.000 orang.
Golongan tersebut dalam masa pendudukan jepang mendapat peranan yang sangat penting. Mereka dipakai dalam melakukan berbagai pekerjaan rutin birokrasi. Namun, seluruh kegiatan politik yang ada sebelumnya dilarang. Hanya sejumlah organisasi tertentu yang diciptakan oleh jepang untuk kepentingan propaganda dan perangnya yang dibiarkan hidup. Para birokrat lama merasa bahwa cara-cara jepang dalam pemerintahan sangat kaku dan kasar, sehingga timbul perasaan bahwa apa yang dapat mereka buat jauh lebih baik daripada orang-orang jepang.
Pembagian Indonesia dalam dua bagian, yaitu bagian yang dikuasai Angkatan Darat (Jawa, Sumatra) dan bagian yang dikuasai angkatan laut (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Indonesia Timur) mempengaruhi perkembangan masyarakat di kedua bagian itu. Wilayah Angkatan Laut dianggap masih primitif sehingga setiap kegiatan politik dilarang, sampai bulan April 1945. Bagian yang dikuasai angkatan darat dianggap cukup baik untuk dibimbing kearah self goverment. Langkah langkah kearah itu dijawa adalah
1.    1943 dibentuk Masyumi (berupa gabungan MIAI dengan unsur NU dan Muhammadiyah) untuk menampung kegiatan elite Islam.
2.    1943 Ir.Soekarno diizinkan mendirikan PUTERA untuk memberi wadah bagi kaum politisi yang sebelumnya anti-Belanda.
3.    1943 dibentuk dewan penasihat pusat (Chuo Sangi In) yang meliputi seluruh jawa.
4.    PETA dibentuk untuk melatih pemuda pemuda Indonesia dalam taktiknya gerilya melawan Sekutu (Jumlah 40.000 orang) dengan perwira perwira Indonesia sendiri.
Disumatra perkembangannya lebih lambat tetapi kira-kira mencakup bidang bidang yang sama: Gugyun (semacam peta) berjumlah kira kira 30.000 orang; Chuo Sangi In dibentuk pada bulan Juli 1945, tetapi wadah untuk elite islam baru pada tahun 1945, namun wadah untuk menyatukan seluruh elite politik itu di Sumatra tidak dibentuk Di Jawa justru diusahakan agar semua golongan sampai pada tingkat keresidenan kompak bersatu melalui PUTERA. Namun, pendapat bahwa disumatra Jepang melakukan politik adu domba tidak benar. Disana golongan adat dan golongan islam diusahakan agar mendapat perlakuan yang sama dan tidak menganak emaskan salah satu nya, seperti pada masa belanda yang (menganak emaskan golongan adat).
Persiapan Kemerdekaan
Karena di Jawa berbagai golongan diberi kesempatan untuk mengambangkan politik sejak dikeluarkannya “pernyataan koisyo” yang menjanjikan kemerdekaan (September 1943), maka di sinilah kita lihat adanya persiapan persiapan ke arah kemerdekaan yang dijanjikan itu. Janji kemerdekaan ini dikeluarkan dengan maksud untuk menarik simpati berbagai golongan kepada Jepang yang sejak 1943 mulai terdesak dalam medan-medan pertempuran di pasifik. Pembentukan lembaga lembaga dan pasukan pasukan yang disebut di atas dilakukan dalam hubungan ini pula. Dan ketika Okinawa direbut Amerika, pada bulan mei 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPPKI).
Pada tanggal 28 mei 1945 BPPKI mulai brsidang dengan anggota dari jawa berjumlah (62 orang) dipimpin dr.Radjiman. tugasnya adalah untuk menyusun konstitusi dan dasar-dasar ideologi Negara. Sejak awal siding hasil dari siding tersebut kebanyakan di ispirasi oleh elite dari zaman pergerakan national yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Tatkala Rusia bergabung dengan sekutu dan menyerbu jepang dari mancuria, pihak jepang melangkah lagi dan mempercepat tanggal pembentukan Negara boneka tersebut ( yang oleh BPPKI direncakan akan jatuh pada tanggal 17 september 1945). Maka dari itu ir.seokarno, Hatta dan Radjiman dipanggil ke Dalath (Saigon, Vietnam) untuk bertemu Jenderal Terauchi yang akan merestui pembentukan Negara RI. Sekembalinya rombongan pulang dari Dalath pada tanggal 14 agustus, segera dikelurkan pengumuman untuk memanggi para anggota-anggota panitia persiapan kemerdekaan indonesi yang seharusnya bersidang pada tanggal 18 Agustus  sampai 7 september. Kini tanggal proklamasi diajukan pada stangga 16 Agustus jam 10.00.
Namu seluuh rencana itu tidak dapat dilaksanakan karena golongan-golongan yang tidak terwakili dalam wadah yang dibentuk jepang mempunyai rencana lain. Golongan ini terutama dari golongan dari para pemuda yang tidak menyenangi jepang. Sudah lama golongan ini menunjukkan sikap permusuhan terhadap jepang, contohnya pemberontakan PETA Blitar dan contoh lainnya adalah perlawanan pemuda pada bulan juni. Pada waktu itu jepang telah membentuk suatu wadah tunggal untuk golongan para. Dengan harapa dapat menarik mereka ke pihaknya. Organisasi yang bernama Gerakan Rakyat Baru itu bersidang di bandung untuk mengesahkan anggaran dasarnya. Dalam perdebatan pihak jepang mencegah pemasukan istilah “Republik Indonesia” dalam anggaran dasarnya. Para pemuda melawan dan mensabot organisasi saat itu. Kelompok-kelompok lain yang pada waktu itu terdapat dalam masyarakat di jawa adalah
  1. Ikai Dai Gakku (mahasiswa kedokteran di asrama perapatan) yang pro syahrir, seseorang tokoh dari sebelum perang menolak bekerjasama dengan jepang dan melakukan sesuatu ”gerakan bawah tanah” dengan jaringan di seluruh Jawa.
  2. Asrama Menteng 31 yang dipimpin orang-orang yang bekerja pada koantor propaganda jepang ( soekarni, chaerul saleh dan lain-lain).
  3. Asrama Indonesia merdeka dari Mr.soebardjo yang mendapat perlindungan dari Admiral Maeda, dan berhasil memberi kursus-kursus pada kira-kira 100 orang pemuda.
Golongan yang berbeda pandangan inilah yang menyambut Soekarno-Hatta dari Dalath pada tanggal 15 agustus dan mendesak agar proklamasi dikeluarka tanpa sidang PPKI yang dianggap buatan jepang. Alasan sebagian merka adalah agar sekutu yang menang  Perang itu tidak akan mencapai Indonesia sebagai buatan Jepang. Syahrirlah yang memberi bimbingan dalam dalam hari pertama itu. Berbagai rapat yang diselenggarakan para pemuda dan pertemuan-pertemuan dengan Soekarno dan Hatta selalu dilaporkan kepada syahrir.
Namun Soekarno dan Hatta menolak permintaan para pemuda dengan alas an bahwa alat yang ada (PPKI) bisa saja dipakai untuk tujuan yang lebih murni. Selain itu mereka ingin menghindarkan pertarungan senjata dengan jepang. Sebab itu para pemuda mengambil tindakan sendiri, terlepas dari syahrir. Dalam suatu perundingan, diputuskan untuk mengungsikan Soekarno dan Hatta ke rengasdengklok di luar Jakarta darimana kedua tokoh itu bisa mengeluarkan proklamasi kemerdekaan tanpa halangan jepang, dan kemudian akan diadakan revolusi (perebutan kekuasaan dari pihak jepang) dengan bantuan satuan-satuan PETA. Rencana ini mulai dilangsungkan pada tanggal 16 Agustus, namun ternyata PETA menolak tidak bersedia untuk memberontak.
Sementara itu sidang PPKI pada tanggal 16 Agustus gagal dan Mr.soebardjo yang menjabat sekertaris PPKI mulai mencari kedua pemimpin tersebut. Melalui wikana, yang bersama soekarni memimpin peristiwa rengasdengklok itu, soebardjo mengetahui tempat kedua tokoh itu, persoalannya kemudian dimengerti, lalu soebardjo menghubungi Laksamana Maeda, atasannya pada bagian penerangan AL di Jakarta, dan mendapat izin dari peristiwa jepang yang simpati pada perjuangan, untuk menyediakan rumahnya ( di jl. Imam Bonjol NO.1 ) untuk dijadikan tempat rapat para pemimpin Indonesia.
Sidang PPKI dengan ditambah golongan muda (antara lain soekarna dan chaerul saleh) berlangjung mulai jam 03.00 subuh du kediaman Maeda. Sebelumnya soekarno dan Hatta telah menghubungi pihak pemerintahan militer jepang yang ternyata tidak mengizinkan tindakan itu maupun tidak melarangnya. Sebabnya pihak jepang di Jakarta belum mendapatkan berita resmi mengenai menyeluruhnya dari nipo.
Penyusunan naskah proklamasi di jalan Imam Bonjol no. 1 itu dilakukan oleh ir.Soekarno, Drs. M. Hatta dan Mr. A soebardjo, disakasikan oleh sayoeti Malik, soekarni, B. M. Diah dan Soediro. Untuk itu mereka meninggalkan anggota-anggota PPKI dirung tamu kediaman Maeda dan menyendiri di ruang makan. Ir. Soekarno yang mencatat dan Mr. Soebardjo yang mengeluarkan kalimat pertama; “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Kalimat ini berasal dari piagam Jakarta yang berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”. Kalimat ke dua berasal dari Drs. M. Hatta “ hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara yang seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya”. Sayoeti Malik yang ditugaskan mengetik naskah itumengubah “ Tempoh” menjadi “ Tempo” dan “ Wakil bangsa Indonesia” menjadi “ Atas nama Bangsa Indonesia.
Kemudian timbul persoalan penandatanganannya. Pihak pemuda (soekarni) menuntuk agar semua yang hadir menandatanganinya. Ini ditolak oleh PPKI. Akhirnya dicapai kompromi: hanya Soekarno dan Hatta saja yang menandatanganinya. Proklamasi ini dibaca pada keesokan harinya di pegangsaan timur 56 (kediaman Ir. Soekarno)  dengan disaksikan oleh anggota-anggota PPKI, para pemuda dan beberapa anggota peta.
PPKI bersidang lagi pada tanggal 18 Agustus dengan tambahan 9 anggota pemuda hanya Soekarni yang menolak keanggotaannya. Pada sidng ini UUD disempurnakan dan diterima dan Presiden dan Wakilnya dipilih. Keesokan harinya PPKI bersidang lagi dan membentuk delapan provinsi dengan gubernurnya sekaligus. Kemudian juga diumumkan pembentukan komite Nasional Indonesia Pusat yang bertindak sebagai dewan perwakilan rakyat dan meneruskan tugas-tugas PPKI. Juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk menjaga ketentraman umum. Selain itu dikumandangkan pula pembentukan PNI sebagai satu-satunya partai politik yang sah. Pada tanggal 22 Agustus anggota-anggota PPKI kembali ke tempat masing-masing.
Proklamasi sudah terdengar di daerah-daerah sejak tanggal 18 Agustus. Tapi baru tanggal 22 Agustus disiarkan secara resmi dalam Asia Raya (Koran resmi) setelah secara resmi pula Jepang menyatakan kekalahannya. Sejak itu mulai diusahakan untuk merebut kekuasaan dari pihak tentara Jepang. Dan pengambilalihan administrasi pemerintah oleh para pegawai. Tindakan-tindakan ini mulai meningkat sejak bulan September. Di Surabaya diadakan rapat umum untuk mengumumkan proklamasi pada rakyat (11 dan 17 September). Rapat serupa di Jakarta di langsungkan pada 19 september diikuti kira-kira 200.000 orang dilapangan merdeka. Lalu para pemuda mulai membentuk badan –badan perjuangan untuk melakukan perlawanan secara fisik. Perkembangan yng sama terjadi juga di keresidenan-keresidenan di Sumatera, Sulawesi, Maluku, Irian (biak), Kalimantan dan Nusatenggara.
Sekutu Mendarat
Setelah jepang menyerah, pihak sekutu bertanggung jawab untuk memulangkan tentara jepang dan membebaskan tawanan-tawanan perang serta menjaga ketertiban. Daerah Indonesia seluruhnya menjadi tanggung jawab Inggris sejak tanggal 15 Agustus. Tetapi pada tanggal 28 Agustus telah dibuat Anglo-Dutch Civil Affaires Agreement (perjanjian persoalan-persoalan pemerintahan antara Inggris dan Belanda) dimana Inggris yang akan memegang kekuasaan militer, berjanji akan menyerahkan kekuasaan sipil kepada Belanda bila tugasnya telah selesai. Namun dalam melaksankan tugas pemulangan tentara Jepang dan lain-lain itu, Inggris juga bertekat untuk bekerjasama dengan para pemimpin Indonesia.
Tugas Inggris itu paling cepat dilaksanakan di bekas daerah-daerah Angkatan laut Jepang. Disana tugas ini diserahkan kepada Australia yang memang semenjak  beberapa bulan sebelumnya telah menduduki Kalimantan utara dan Irian jaya, kemudian setelah Jepang menyerah, pulau-pulau di Maluku dan Sulawesi secara cepat diduduki. Australia mendapat kenyataan bahwa di daerah-daerah itu sudah ada pemerintahan RI namun mereka melindungi NICA ( Netherlands Indies Civil Administration) yang ikut masuk ke daerah-daerah itu. Di jawa dan sumatera, dimana Inggris sebelumnya tidak berpengaruh, pendaratan dimulai pada bulan Oktober. Disini pun mereka hanya menduduki kota-kota penting seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Palembang, Padang, dan menyerahkan daerah lainnya pada Belanda. Namun usaha Belanda tidak berhasil. Van Mook yang dijadikan Let.Gub. jenderal, mencoba berunding dengan Soekarno, tetapi pemerintah Belanda melarang dengan alasan Soekarno adalah penjahat perang. Perundingan baru mulai pada bulan November, ketika syahrir dijadikan perdana menteri. Ia dianggap tidak bercacat dalam hal ini.
Sementara itu antara September dan februari 1956 para pemuda merupakan faktor terutama dalam perubahan-perubahan. Berbagai badan perjuangan dari berbagai sukubangsa, pelajar, pegawai dan lain-lain kelompok. Gerakan mereka terutama di dalam kota-kota dan sangat anti Jepang maupun anti Inggris dan Belanda. Semboyan mereka adalah “merdeka atau Mati”.
Pergolakan pemuda yang palingbesar terjadi di Surabaya. Sejak semula mereka telah mempunyai persenjataan yang kuat berupa 12 tank dan senjata lainnya untuk satu resimen. Inilah konsentrasi kekuatan senjata yang paling besar di satu tempat selama seluruh perang kemerdeakaan. Insiden meningkat ketika kapten Huyer dari AL Belanda mengadakan provokasi, akhirnya ia mencoba melarikan diri tetapi  ditwan oleh residen. Kemudian tentara Inggris mendarat pada tanggal 25 Oktober dengan pimpinan Jendr.Mallaby. ia lalu melepaskan Huyet dan pengerahkan pasukannya keluar dari tanjung perak, hal ini bertentangan dengan perjanjian dengan Residen. Lalu pertempuran pun meletus. Ketika Inggris hampir dikalahkan, pimpinan mereka memanggil Ir.soekarno, Hatta dan Amir syarifuddin untuk meredam amarah arek-arek Surabaya. Ketiga tokoh tersebut berhasil membuat suatu perjanjian yang menguntungkan pihak Indonesia. Namun pada tanggal 30 Oktober oknum yang tidak bertanggung jawab menembak Mallaby. Penggantinya mencoba membalas dengan mengirim ultimatum agar pasukan Indonesia menyerahkan senjatanya. Ultimatum itu tidak diterima dan tanggal 10 November pecahlah pertempuran yang berlangsung selama tiga minggu. jumlah jumlah 150.000 pemuda Indonesiaberhdapan dengan tentara Inggris yang menyerang dari darat, laut dan udara. Pertempuran Suabaya memberi inspirasi pada pemuda lain untuk melakukan perlawanan juga.
Revolusi Sosial
Di beberapa daerah terjadi pula gejala yang menyimpang dari pola umum tersebut. Di tempat-tempat itu muncul gerakan-gerakan yang dinamakan revolusi sosial untuk menumbangkan golongan adat yang dianggap kaki tangan penjajah sejak Belanda dan Jepang. Dalam hal ini para pemuda terorganisir rapi tetapi sering juga (seperti di Sumatera Timur) menggunakan bdan-badan perjuangan yang dibentuk secara spontan. Faktor ideologi Marxisme di Jakarta tidak mengambil bagian.
Revolusi sosial di Aceh, Sumatera Timur, Tapanuli, Banten, Pekalongan, Surakarta. Di Aceh: sejak zaman Belanda golongan adat (ulebalang) dianak emaskan sebagai penguasa; para pemimpin dari kalangan Islam dikesampingkan karena dianggap berbahaya. Pada masa Jepang kedua golongan itu diperlakukan sama, sepanjang menguntungkan Jepang. Pada awal Revolusi golongan ulebalang muncul lagi dengan perkiraan Belanda akan kembali. Sewaktu hal itu tidak terbukti, golongan elite Islam muncul. Wadah mereka adalah PUSA yang dipimpin oleh Daud Beureuh. Pemberontakan bermula di Pidie. Seluruh ulebalang digulingkan dan diganti oleh para ulama. Kemudian gerakan ini menjalar ke seluruh Aceh dan baru berakhir pertengahan Maret 1946. Sumatera Timur: para raja yang zaman Belanda dianakemaskan pada mulanya juga bangkit dengan harapan Belanda akan kembali. Ketika hal itu tidak terjadi mereka mencoba mendekati pemimpin-pemimpin nasional di Medan untuk mengadakan perubahan dalam sistem pemerintahan kerajaan. Namun golongan marxs tidak menerima hal ini dan melancarkan perlawanan terhadap para raja tersebut. Kebanyakan dibunuh dan ditawan, termasuk penyair Amir Hamzah. Hanya dengan perantaraan pemerintah pusat peristiwa ini bisa diselesaikan. Hal-hal yag sama terjadi di Banten dan daerah pesisir Jawa Tengah.
Perjuangan Syahrir
Sutan Syahrir diawal Perang kemerdekaan berusaha memanfaatkan situasi revolusioner untuk mencapai kekuaasaan, tetapi kemuadian ia malah berusaha mengekang faktor-faktor ini untuk mencapai suatu menyelesaikan diplomatis dengan Belanda. Ia berjasa menciptakan suatu sistem pemerintahan Pralementer sejak bulan November 1945 dengan maksud menghubungkan pemerintah dengan rakyat. Keistimewaannya adalah, ia dapat melihat jauh ke depan seperti dalam tulisannya “Perjuangan Kita”. Ia berpendapat bahwa revolusi Indonesia tidak seluruhnya nasional dan tidak seluruhnya sosialis. Selanjunya, harus ada kerjasama dengan pihak luar negeri untuk membangun Indonesia yang kaya alamnya. Revolusi Indonesia menurut Syahrir adalah revolusi yang demokratis. Mengenai golongan adat yang bekerjasama dengan Belanda sebagai birokrat, ia berpendapat bahwa mereka harus digeser perlahan-lahan dan diberi fungsi penasehat ahli dalam bidang pemerintahan. Selain itu ia setuju bahwa feodalisme harus diakhiri.
Sebab itulah ia berusaha menciptakan lembaga-lembaga parlementer seperti lazimnya terdapat dalam siste politik yang demokratis. Lembaga-lembaga itu adalah:
1.      KNIP yang pada tanggal 16 Oktober 1945 dinyatakan sebagai lembaga legslatif (oleh Hatta) dengan Badan Pekerja (BP) untuk tugas sehari-hari dengan Syahrir sebagai ketuanya;
2.      Partai-partai poltik diizinkan berdiri melalui suatu peraturan tertanggal 3 November 1945
3.      Mengumumkan sebuah “Manifesito Politik” pada 1 November  1945 untuk menjelaskan garis-garis perjuangannya.
4.      KNIP di setiap daerah yang berdiri sejak Agustus 1945 (kelanjutan dari Hokokai) diubah. Untuk itu perlu diadakan pemilihan dan pembentukan badan Pekerja Daerah untuk membantu kepala daerah dalam tugas eksekutif
5.      Pembentukan Kabinet Syahrir yang bertanggung jawab pada KNIP, pada tanggal 4 November 1945, untuk menggantikan kabinet Soekarno yang terbentuk pada tanggal 18 Agustus.
Perubahan-perubahan kelembagaan tersebut ini tidak dicapai melalui prosedur parlementer, tetapi dengan persaingan kekuatan antara tiga pihak yaitu Soekarno-Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka sejak 5 Agustus telah kembali ke Jakarta sesudah merantau di luar negeri bertahun-tahun. Ia mula-mula bertemu dengan Soekarno, lalu membantu Soebarjo dalam kabinet Soekarno. Pada 10 Oktober ia bertemu dengan Soekarno dan memaksakan Soekarno menandatangani suatu surat wasiat yang isinya antara lain menyatakan bahwa jika Inggris menangkap Soekarno, maka Tan Malaka akan menggantikan sebagai Presiden. Karena harapan itu tidak terlaksana, maka Tan Malaka menggalang kekuatan sendiri dan melawan Soearno maupun Syahrir.
Syahrir berusaha menguasai keadaan dalam bulan-bulan itu. Tetapi hubungan dengan masa diserahkan kepada Amir Syarifuddin, menteri pertahanan. Mula-mula Amir Syarifuddin berusaha mendekati pihak TKR (Tentara), namun mereka menentangnya karena ia bersikap anti hal-hal yang berhubungan dengan Jepang (perwira-perwira TKR banyak dari PETA). Malah TKR memilih Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai Menteri Pertahanan. Dengan demikian antara Kabinet Syahrir dan TKR timbul ketegangan, kecuali dengan Divisi Siliwangi, yang dipimpin Kolonel A.H. Nasution.
Untuk menguasai pemuda pada tanggal 10 November pemerintah memprakarsai Kongres Pemuda di Yogya. Namun hanya sebagian dari organisasi pemuda yang menerim gagasan Amir Syarifuddin untuk mendirikan PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia). Sebagian terbesar dari Organisasi pemuda bergabung dalam organisasi tersendiri. Sikap kabinet Syahrir terhadap partai-partai juga sangat selektif. Partai yang pemimpin-pemimpinnya bekerja sama dengan Jepang tidak menyukainya karena sikapnya anti hal-hal yang berbau Jepag.salah satu partai besar yang menentangnya adalah PNI.
Garis perkembangan selama perang kemerdekaan adalah: perbedaan dan pertentangan antara golongan yang memihak pada “diplomasi” (yang dijalankan oleh pemerintah dari golongan manapun) dan garis “perjuangan” yang terutama diperlihatkan oleh para pemuda dalam bulan-bulan Agustus-Desember 1945. Mula-mula Tan Malaka mencoba memainkan kekuatan-kekuatan revolusioner (pemuda) untuk maksud-maksudnya. Pada Januari 1946 ia membentuk suatu wadah yang bernama Persatuan Perjuangan. Semboyannya ialah “merdeka 100%” dan menentang perundingan-perundingan yang dilakukan Syahrir. Kemerdekaan harus diperoleh dengan cara perjuangan senjata. Hamper setiap golongan dan partai, malah TKR melalui panglima Soedirman, menyetujui semboyan ini. Gerakan ini berhasil mengalahkan Syahrir sehingga ia harus meletakkan jabatan pada bulan Januari 1946. Persoalannya adalah perundingan Syahrir dengan Belanda. Masyumi dan PNI mendukung Tan Malaka dalam hal ini. Soekarno muncul dan berpidato dari Banten sampai Malang dan akhirnya mengangkat Syahrir lagi sebagai PM. Soekarno tetap percaya bahwa “diplomasi” adalah jalan yang paling baik, demikianpun banyak pemimpin Indonesia ketika itu.
Dalam masa Revolusi sosial di Surakarta sekali lagi golongan Tan Malaka menjatuhkan Syahrir, ia diculik. Soekarno muncul di radio dengan pidato yang bernada keras dan mengencam tindakan penculikan itu. Tidak lama kemudian para penculik membebaskan Syahrir. Syahrir sekali lagi dipercayakan oleh Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri demi lancarnya diplomasi. Sementara itu usaha-usaha PP hancur sendiri karena mereka mencoba memaksa Soekarno menggantikan kabinet. Inilah dikenal sebagai peristiwa 3 Juli 1946, ketika pihak oposisi mencoba mengadakan perebutan kekuasaan. Ternyata Presiden Soekarno tetap menyokong Syahrir. Usaha itu adalah yang terakhir dari PP.
Perundingan Syahrir dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati (November 1946); Disepakati, bahwa wilyah RI meliputi Jawa, Madura, da Sumatera. Selain itu RI bersama-sama Belanda akan membentuk suatu sistem pemerintahan pusat yang bersifat federal pada awal 1949. Namun sesudah mencapai persetujuan penting itu, kabinet Syahrir bubar karena pertentanganya intern antara Amir Syarifuddin dan Syahrir. Syahrir rupanya mulai mencurigai orang-orang Komunis dalam PSI. Golongan ini lalu keluar dari kabinet sehingga kabinet terpaksa harus dibubarkan.
Sebagai pengganti, Soekarno mengangkat Amir Syarifuddin untuk melanjutkan perundingan. Amir sebagai orang yang anti Jepang tetap diterima di luar  negeri. Namun usaha-usaha Amir berakibat clash dengan Belanda pada Juli 1947. Dengan perantaraan PBB akhirnya dicapai perdamaian dalam bentuk perjanjian Renville (Januari 1948). Tetapi perjanjian ini justru lebih parah dari perjanjian Linggarjati karena wilayah RI dipersempit lagi sehingga hanya meliputi sebagian dari pulau Jawa dan sebagian dari pulau Sumatera. Perjanjian Renville ditentang dengan keras oleh partai-partai besar seperti Masyumi dan PNI. Soekarno kini mengangkat Hatta sebagai Perdan Menteri, diluar dugaan Amir Syarifuddin.
Pemberontakan PKI/Madiun:
Kini Amir Syarifuddin yang merasa dirugikan menggunakan kekuatan-kekuatan revolusioner untuk merebut kekuasaan. Ia berusaha menyatukan seluruh golongan Marxis dalam suatu wadah yang dinamakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada Februari 1948. Ini berarti taktik parlementer diganti dengan taktik gerakan  masa (perjuanagn menggantikan diplomasi). Perlawanan terhadap Hatta meningkat ketika timbul masalah pembukaan hubungan dengan Rusia. Soekarno pernah memerintah agar hubungan dengan Rusia dibuka dan Soepripto (seorang komunis) yang merundingkannya di Praha. Ketika Rusia mengumumkan pembukaan hubungan diplomatik Hatta tidak menjawab kecuali memanggil Soepripto kembali. Ini menimbulkan kemarahan FDR.
Tetapi FDR mendapat saingan dari golongan baru, yaitu golongan Tan Malaka yang muncul dengan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Mereka menentang diplomasi dengan menganjurkan penggunaan senjata. Namun kemampuan mereka tidak sebanding dengan PP, dan semboyan mereka (merdeka 100%) sudah tidak efektif. Akhirnya beralih ke suatu organisasi petani yang bernama Barisan Tani Indonesia (BTI) yang memihak pada Syahrir. Ketika Syahrir-Amir pecah (1948), BTI jatuh ke tangan orang komunis. Pemberontakan Delangu (Mei 1948) terjadi dalam rangka usaha ini. Delangu adalah daerah perkebunan dan pabrik kapas yang dikuasai pemerintah daerah (Badan Tekstil Negara). Pada 19 Mei SARBUPRI (Serikat Buruh Perkebunan RI) demokrasi ke Surakarta untuk menuntut dinaikkan upah namun tidak ditanggapi pemerintah sehingga mereka mogok. Pemerintah lalu memasukkan orang-orang STII Masyumi dengan pengkawalan tentara (Siliwangi), untuk mengerjakan pabrik itu. Karena terjadi perkelahian, BTI melanjutkan usaha pemberontakan petani ke tempat-tempat lain di daerah DR di Jawa.
Dalam suasana ini muncul Soeripto (agustus 1948) yang membawa Moeso. Moeso seorang anggota kawakan PKI yang berdiam di Moskow. Istimewanya ia membawa gari-garis perjuangan baru dari Moskow yang dimuat dalam buku berjudul “Jalan Baru”. Isinya:
1.      Agar kaum komunis membentuk satu partai saja;
2.      Agar diadakan nasionalisasi dan landreform;
3.      Agar politik diplomasi dari pemerintah dilawan.
Tokoh Marxis Amir Syarifuddin bergabung dengan PKI, demikian pula Pesindo, BTI dan sisa-sisa FDR lainnya. Kekacauan di wilayah pedesaan makin meluas di Kedu dan Yogyakarta. Ini adalah awal dari pemberontakan PKI di Madiun.
Tetapi tidak terdapat bukti-bukti yang nyata, bahwa PKI yang menyulut pemberontakan di madiun. Rencana mereka adalah awl 1949, bila Belanda telah melemahkan RI. Pemberontakan itu dimulai karena suatu golongan tertentu menculi perwira yang dituduh memihak PKI. Pasukan yang memihak PKI lalu menuduh Siliwangi yang melakukannya dan membalas sehingga 30 orang Siliwangi gugur. Pertempuran-pertempuran kedua pihak membuat Presiden Soekarno menunjuk Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer untuk mengamankannya.
Sementara itu Moeso dan rombongannya sedang mengadakan perjalanan propaganda. Di purwodadimereka mendengar berita tentang peristiwa di Madiun yang meletuspada 7 September 1948, dan segera di Madiun. Moeso menyalahkan Soekarno dan memakinya di radio. Ternyata inikesalahan besar, sebab Presiden Soekarno kemudian membalas melalui radio. Kolonel Gatot Soebroto lalu memerintahkan Siliwangi untuk menghancurkan kubu-kubu Moeso di Madiun, sementara Presiden Soekarno mengangkat Kolonel Soengkono sebagai Gubernur Militer untuk Jawa Timur dengan maksud menyerang Madiun dari arah itu. Beberapa saat Belanda menyerang RI pada Desember 1948, Moeso ditembak mati oleh TNI. Sebagian dari pengikut-pengikutnya yang tertangkap juga ditembak di tempat. Jumlah golongan komunis yang ditawan ketika itu adalah sekitar 35.000 orang. Sebagian besar kemudian, berhasil melarikan diri ketika Belanda menduduki Yogyakarta. Di antaranya terdapat D.M. Aidit yang berhasil menyusup ke Jakarta. Aiditlah yang dalam tahun-yahun 1950-an membangkitkan kembali organisasi PKI, yang sejarahnya berakhir pada tahun 1966.
Konferensi Meja Bundar
Setelah perjanjian Renville pihak Belanda meneruskan polotik federasinya tanpa suatu arah yang pasti. Mereka memaksakan pembentukan RIS tanpa mengikutsertakan RI dalam perundingan-perundingannya. Negara-negara bagian diikutsertakan melalui suatu badan baru yang bernama Bijeen-komst voor Federaal Overleg (BFO). Rencana pembentukan RIS ditetapkan akhir 1948 dan meliputi seluruh indonesia, termasuk Jawa dan Sumatera (wilayah RI). Persoalannya adalah bagaimana membentuk pemerintah peralihannya. Untuk menyelesaikan hal itu Hatta didekati. Perdana menteri Hatta tetap tidak dapat menyetujui rencana itu, terutama masalah pembentukan tentara federal. Hatta tidak setuju TNI digabungkan dengan KNIL.
Macetnya perundingan ini menyebabkan Belanda mengambil langkah lain dan menjalanka politik agresinya. Sejak 13 Desember Perdana Menteri Belanda telah minta izin pada Parlemen untuk menyerang Indonesia. Serangan itu ternyata dilancarkan pada tanggal 18 Desember 1948. Tetapi Indonesia pun sudah siap pula, sehingga bisa menghadapi pasukan Belanda. Sebelumnya telah disempurnakan susunan ketentaraan. Keseluruhan tentara dibagi dua bagian, yaitu Komando Jawa dibawah pimpinan Kolonel Nasution, dan Komando Sumatera yang kemudian dipercayakan kepada Kolonel Hidayat, keduanya dari Siliwangi. Panglima Tertinggi tetap di tangan Jenderal Soedirman. Pasuka-pasukan diperintahkan untuk menjalankan perang gerilya dalam unit-unit kecil dan membina masyarakat pada tingkat kecamatan. Segera setelah tentara Belanda maju, pasukan-pasukan TNI mengundurkan diri ke pedesaan. Walaupun Belanda dapat menguasai seluruh kota-kota di Jawa dan Sumatera, tetapi daerah pedesaan tetap pada tangan TNI. Camat dan Lurah dimiliterisasi dan seluruh rakyat dikerahkan. Perpaduan inilah yang menyebabkan RI bisa bertahan, sebab pimpinan pusat ketika itu sudah menyerahkan diri karena bertekad untuk melanjutkan “diplomasi”.
Ada golongan-golongan yang mencoba menyaingi kekompakan itu.pertama Tan Malaka lagi. Sgera setelah Soekarno-Hatta tertangkap ia menyerukan agar rakyat mengikuti pimpinannya. Namun TNI menganggap berbahaya sehingga ia dikejar-kejar dan akhirnya tertembak pula di Jawa Timur. Oposisi yang kedua adalah S.M. Kartosoewiryo yang sejak Linggarjati menentang pemerintah yang berpolitik diplomasi itu. Di Garut ia membentuk suatu kekuatan yang dinamakan Darul Islam dengan ia sendiri sebagai Imam (1948). Kemudian ia membentuk Tentara Islam Indonesia (TII) sebagai organisasi bersenjatanya. Tetapi kekuasaannya waktu itu hanya meliputi Garut-Tasikmalaya, Tegal-Brebes, dan Banyumas.
Saat terjadinya pertempuran, pihak PBB memaksakan Belanda untuk menghentikan perang dan mengadakan perundingan lagi dengan RI. Soekarno dan Hatta dibebaskan dari Bangka dan dikembaikan ke Yogya. Perintah ceasefire dikeluarkan oleh Soekarno dan Jendral. Spoor. Namun Jendral Soedirman tidak dapat menerima sikap para pemimpin tersebut dan mengundurkan diri (beliau meninggal 1950 karena penyakit paru-paru). Perundingan-perundingan di Den Haag dalam bulan Agustus sampai November 1949, melahirkan sistem pemerintahan baru, yaitu Republik Indonesia Serikat.
Namun bentuk pemerintah federal itu ternyata tidak disenangi oleh pihak nasionalis dalam negara-negara bagian buatan Belanda. Satu persatu mereka membubarkan diri dan masuk dalam RI. Pada Agustus 1950 seluruh negara bagian telah bubar sehingga muncul kembali negara kesatuan RI. Persoalan-persoalan yang menyangkut dekolonisasi masih terdapat disana sini seperti peristiwa Westerling/APRA di Bandung, Peristiwa Andi Aziz di Makassar (Ujung Pandang), danperistiwa “RMS” di Ambon. Inipun dapat diatasi dengan cepat dalam tahun 1950. Hanya masalah Kartosoewiryo baru diselesaikan dalam tahun-tahun 1960-an. Dengan demikian selesailah suatu periode sejarah yang berawal dari perjuangann perwujudan suatu Bangsa Indonesia dengan cita-cita kemerdekaan dan cita politik itu dalam tahun-tahun 1945-1950.