(Disusun guna untuk memenuhi tugas
mata kuliah Sejarah Intelektual)
Dosen Pengampu mata kuliah Dr.
Suranto, M.Pd.
Oleh:
Eka Ariska Putri
(120210302005)
Kelompok Kontra Feodalisme
Kelas B
PRODI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
1.
Hakekat
Feodalisme
Istilah feodalisme berasal dari bahasa
Latin yaitu feodum yang
berarti feud, tanah yang
dipinjamkan dan fief atau upeti. Dapat disimpulkan istilah feodalisme secara harfiah berarti suatu
paham dimana masyarakat diatur berdasarkan system fief, dengan kekuasaan legal dan politis
yang menyebar luas di antara orang-orang yang memiliki kekuasaan ekonomi.
System fief itu jika
digambarkan seperti struktur hierarki berbentuk piramida dengan raja berada di
puncak sedangkan tenant, serf, dan slave berada di dasar. Secara formal, raja adalah lord tertinggi yang menguasai semua fief dan semua lahan pada dasarnya
adalah milik raja. Namun berangsur-angsur fief menjadi harta turun temurun dan di sejumlah tempat
seseorang bisa mendapatkan fief
lebih dari satu lord yang
menjadi atasannya. Ini berarti ikrar
pengelola fief nyaris tidak ada
artinya dan kekuasaan nyata sang raja menjadi sangat kecil, sehingga kemudian
kekuasaan terbesar terkonsentrasi pada level tengah dari struktur pyramid.
Ikatan vertical yang berupa pengabdian dan perlindungan digantikan ikatan
horizontal berupa kepentingan bersama. Apa yang semula merupakan sekumpulan lord yang berbeda-beda, yang
masing-masing bertanggung jawab kepada raja lantas menjadi satu kesatuan kelas
atau golongan yang disebut kelas bangsawan.
Foedalisme diartikan sebagai suatu sistem yang ada di
Eropa terjadi pada sekitar abad 9 – 12 yang merupakan dasar pemerintahan lokal,
pembuatan undang-undang, menyusun dan mengatur angkatan perang, dan berbagai
seluk beluk yang berhubungan dengan kekuasaan eksekutif. Dalam doktrin foedal
dikatakan bahwa seluruh tanah kerajaan beserta isinya itu berasal dari raja. Raja
sebagai pemilik tanah-tanah luas terbentang di wilayah kerajaannya.
Di Indonesia sendiri menurut Wijaya,
para ahli bahasa sepakat mengatakan feodalisme
adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada
golongan bangsawan. Namun, tidak secara otomatis daerah yang
berada di bawah kepemimpinan bangsawan akan bersifat feodalistis.
Masyarakat feodal biasanya
ditandai dengan adanya tanah-tanah luas yang dikuasai para bangsawan atau para
tuan tanah, dan tanah tersebut dikerjakan oleh buruh bahkan beberapa budak yang
mengabdi pada pemilik tanah tersebut. Para budak tersebut biasanya mendapat
perlindungan sekaligus bahan kebutuhan hidup dari bangsawan atau tuan tanah itu
sebagai balas jasa atas pekerjaan yang dikerjakannya. Jika budak tersebut
meninggal, maka penguasaan tanah dikembalikan kepada tuan tanah atau ahli waris
budak tersebut yang melanjutkan pekerjaan mendiang. Pemilik tanah atau
bangsawan tersebut merupakan raja kecil (baca: lord) yang berkuasa otonom.
Ciri-ciri pokok dari system
feodalisme ini diantaranya adalah sebagai berikut :
a)
Adanya system
politik-ekonomi pertanian yang bersifat sempit;
b)
Semua tanah
pertanian pada hakikatnya adalah milik raja atau kaum bangsawan dan di bawahnya
ada hierarki;
c)
Kaum
bangsawan yang tertinggi mendapat tanah langsung dari raja, kemudian bangsawan
di bawahnya akan mendapat tanah dari bangsawan tertinggi, dan seterusnya sampai
bangsawan terendah yang hanya menguasai sebidang tanah saja.
Penguasaan tanah tersebut
bersifat pinjaman dan diperoleh pada saat upacara pemberiaan kekuasaan atas
tanah. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak hanya tanah yang dipinjamkan
melainkan juga pangkat dan kedudukan yang lama-kelamaan bersifat turun-temurun.
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan dan sistem sosial yang mengagung-agungkan
pangkat dan jabatan, bukan prestasi kerja.
2.
Perkembanagan
Feodalisme
a)
Awal
kemunculan feodalisme
Feodalisme atau sering juga disebut sebagai system feodal berlangsung di
abad pertengahan dari peradaban Barat yang sering disebut dengan The Dark Ages. Keadaan masyarakat
Eropa abad itu yang merupakan penduduk agraris melanggengkan system ini berkembang
pesat. Di masa ini, kaum bangsawan merupakan kelas aristokrasi militer. Disebut
demikian karena didasarkan pada hierarki militer. Para bangsawan yang terdiri
atas para ksatria berikrar untuk mendukung raja, sebagai imbalannya mereka
mendapat sejumlah besar hak otonom istimewa sebagai para lord yang memiliki fief secara turun temurun.
Besarnya kekuasaan kaum bangsawan dari segi ekonomi ini kemudian merambah
ke aspek politik di mana mereka selalu berupaya mengurangi kekuasaan raja
sebagi lord tertinggi untuk
kepentingan mereka sendiri sehingga timbullah perebutan kekuasaan antara raja
dan bangsawan. Di Inggris misalnya, raja dapat dikalahkan bangsawan, sedangkan
di Prancis, raja mengalahkan bangsawan hingga menghasilkan absolute monarkhi
pada masa Louis XIV.
Dalam perkembangannya, akan muncul jurang pemisah yang jelas antara kaum
bangsawan dan pekerja kebanyakan yang terjadi turun temurun sehingga berakibat
pada rusaknya hubungan sosial antar masyarakat. Kaum bangsawan tidak boleh
melakukan pernikahan dengan rakyat kebanyakan sementara peluang untuk menaikkan
derajat mereka sangat kecil. Tidak hanya terjadi banyak ketimpangan social,
bahkan kesewenang-wenangan terjadi di mana-mana. Kaum bangsawan memeras rakyat
demi kepentingan keluarga mereka sendiri, memungut pajak yang besar demi
melanggengkan kekuasaan keluarga dan para pengikut setianya. Para agamawan
turut dilibatkan untuk mendukung posisi kaum aristoktrat ini. Upaya penimbunan
kekayaan terjadi seiring semakin tertindasnya kehidupan rakyat banyak. Terjadi
eksploitasi besar-besaran. Sebagai kelompok yang ditakuti, mereka pun dapat
menjual barang-barang kebutuhan dengan harga mahal dan membayar para petani
atau buruh dengan tarif yang murah.
Feodalisme semakin tumbuh subur dan berkembang, terutama di Negara-negara
yang mengenal system tuan tanah. Sistem ini mengakar kuat dalam peradaban
bangsa Barat abad pertengahan hingga terjadi Revolusi Perancis pada tahun 1789.
Adapun di Jerman, Jepang dan Rusia, system ini masih terus berlanjut hingga
abad 19.
Secara umum dapat dipahami bahwa sistem feodal yang terjadi pada abad
pertengahan merupakan suatu sistem di mana masyarakat terbagi dalam dua kelas
sosial yaitu kelas penguasa atau tuan tanah dan kelas pekerja yakni para
petani, buruh, dan budak belian. Walaupun sering terjadi eksploitasi yang
dilakukan tuan tanah pada pekerjanya, tetapi antar keduanya terlihat suatu
hubungan yang saling menguntungkan di mana masing-masing pihak memberikan
imbalan-imbalan yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan dalam
keadaan dimana organisasi dan stabilitas politik sudah tidak terorganisir lagi.
b)
Perkembangan
Feodalisme di Indonesia
Feodalisme di Indonesai terlahir
dari adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa
Hinduisme telah dominan di Nusantara ini sebelum datangnya Islam dan
kolonialisme, Karena memang kerajaan Hindulah yang tertua berkuasa di Nusantara
ini.Sistem yang melekat dalam kerajaan Hindu adalah sistem feodalisme.
Pengelompokan manusia sesuai dengan derajatnya tersebut.Feodalisme yang terjadi
pada zaman kerajaan Hindu adalah pembagian kasta,dan menguasai Nusantara
sekitar 10 abad lamanya. Feodalisme juga berkembang pada masa Islam yaitu
dalam model adat wakaf.
Pada masa kini, di Indonesia selanjutnya muncul kebudayaan neo-feodalisme.
Neo-feodalisme adalah feodalisme modern. Seperti yang kita ketahui feodalisme
adalah sebuah faham dimana adanya pengakuan sistem kasta,dalam neo-feodalisme
sistem kasta masih dipertahankan namun berubah bentuk menjadi penguasa
dan kaum elite. Di Indonesia neo-feodalisme masih ada dan berkembang dalam
sistem pemerintahan dan telah menjadi budaya yang tak bisa dipisahkan dari
kehidupan Negara kita.
3.
Neo
Feodalisme
Neo-Feodalisme di Indonesia, secara gamblang
dikemukakan oleh pakar politik UGM/mantan Mendiknas, Prof Dr M. Yahya Muhaimin
(1992), dikatakan bahwa Neo Feodalisme tampak didominasi oleh latar
belakang nilai-nilai Jawa. Alasannya, bahwa dominasi budaya Jawa baik di dalam
kehidupan politik maupun birokrasi dikarenakan dari segi demografi orang
Jawa memiliki jumlah penduduk yang lebih besar daripada penduduk-etnik
lainnya di Indonesia, terutama di tingkat suprastruktur pemerintahan dan
politik. Apalagi pusat pemerintahan berada di pulau Jawa.
Sesungguhnya ada dua model yang dapat
digunakan untuk melacak ciri nilai-nilai neo-feodalisme di Indonesia, khususnya
Jawa, diantaranya adala :
a) Model
feodalisme-mataram, dan
b) Model
beambeten-staat.
Feodalisme Mataram yang tampil dan
disanggah oleh konsep beambeten-staat dari pemerintah kolonial Belanda agaknya
tampil sebagai sosok budaya yang paling sistematis dalam masyarakat Jawa. Sosok
budaya Jawa yang juga dikenal sebagai sosok budaya adihulung adalah suatu
sintesis budaya yang dicapai sesudah melewati dialetika budaya antara
sistem-sistem kekuasaan, kepercayaan, kesenian, dan lainnya. Dalam proses
dialektika, sistem-sistem tersebut agaknya merupakan konstruksi sistem
kekuasaan kerajaan Mataram yang ‘monarkhi-absolut’ itu merupakan unsur
dialektika budaya yang kuat sekali pengaruhnya (Umar Kayam 1999).
Disadari atau tidak, feodalisme masih ada dalam sebuah negara demokrasi
seperti Indonesia yaitu Neo Feodalisme. Dalam sebuah negara demokrasi dengan tradisi feodal, ditandai dengan
terbentuknya faksi-faksi, hal ini terlihat jelas dalam pemerintahan yang
didominasi oleh faksi kepentingan elit politik. Elit politik inilah yang
memainkan alur kebijakan, membawa kepentingan kelompoknya dengan
mengatasnamakan kepentingan rakyat.
4.
Pengaruh
Negatif Feodalisme Hingga Zaman Modern
Dalam sejarah feodalisme, sekelompok orang yang disebut bangsawan yang
menguasai suatu wilayah, memiliki hak kuasa atas tanah, hasil produksi dan hak
atas setiap individu dalam wilayah tersebut. Hak-hak yang dimiliki pun terkesan
tak terbatas, kaum bangsawan dapat mengambil keputusan yang merugikan
masyarakat dan tidak dapat diganggu gugat oleh masyarakat tersebut karena kaum
feodal memegang kuasa atas apapun yang berada di wilayahnya. Dengan kata lain,
dalam sistem feodalisme, kedaulatan rakyat berada di tangan satu orang atau
sekelompok orang yang mengambil hak kemerdekaan individual masyarakat dalam
suatu komunitas dan ini bertentangan dengan demokrasi.
Sebagaimana sejarah telah menceritakan tentang kehidupan feodalisme dari
masa ke masa, maka ada beberapa dampak negative yang perlu diperhatikan akibat
dari pelaksanaan system ini dalam masyarakat diantaranya adalah :
a) Bidang politik
Munculnya kekuasaan yang terpusat hanya
pada sekelompok orang tertentu yang memiliki pangkat dan jabatan. Semua urusan pemerintahan dipegang dan dikuasai kelompok ini, rakyat tidak
berhak ikut campur dalam keputusan mereka tetapi harus selalu patuh akan
perintah dan kebijakan mereka.
Kondisi
lain dari masyarakat jawa yang dapat di soroti yaitu mengenai sistem kekuasaan
yang berjalan sampai sekarang ini. Tradisi feodal msyarakat jawa dahulu yang di
bawa sampai sekarang, tidak hanya berpengaruh pada kondisi agama masyarakat
jawa saat ini, akan tetapi juga berpengaruh pada sistem kekuasaan dan
pemerintahan. Tak dapat dipungkiri, jika sistem pemerintahan kita masih
mengadopsi sistem masyarakat feodal dahulu, yaitu monarki atau kerajaan. Hal
ini dapat kita lihat saat ini, mayoritas penguasa saat ini merupakan pihak
pihak yang memiliki kondisi strategis yang memungkinkan untuk berkuasa. Yang
menjadi pejabat atau penguasa tentunya juga bukan dari golongan orang yang
masih muda, akan tetapi, masyarakat Indonesia masih terbayang bayang oleh
pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang yang memiliki karisma atau wibawa,
dan bukan dari kalangan akdemis yang memiliki kapasitas dan pengalaman lebih
daripada sekedar wibawa. Akan tetapi, harapan masyarakat Indonesia tersebut
sesungguhnya menjadi boomerang sendiri bagi masyarakat kita. Para pemimpin yang
dianggap ‘dewasa’ dan mampu menjadi pemimpin kini hanyalah menjadi seorang yang
merugikan bawahannya sendiri, akibat dari prinsip yang menganggap bahwa seorang
pemimpin merupakan seseorang yang harus dihormati dan kebijakannya merupakan
hal yang tidak bisa diganggu gugat, dalam hal ini berarti kepemimpinan yang
dianut pada masyarakat kita merupakan kepemimpinan otoriter.
Potret
birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh politik praktis.
Memasuki awal kemerdekaan, birokrasi telah menjadi objek dan alat politik.
Menurut Fedyani, pemerintahan Sukarno pada era Demokrasi Parlementer tahun
1950-an, sistem kepartaian menggunakan multipartai. Partai politik (parpol)
tampil sebagai aktor sentral dalam sistem politik Indonesia. Sehingga birokrasi
menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh parpol.
Meski demikian, birokrasi Orde Lama masih mewarisi birokrasi jaman kolonial.
b) Agama
Masyarakat feodal sendiri telah
menjadikan kepercayaan animisme dan dinamisme mereka tidak dapat meninggalkan
kebiasaan itu begitu saja. Oleh sebab itu masih banyak kita jumpai agama atau
kepercayaan serupa, yang lebih kita kenal dengan istilah kejawen (hindhu jawa).
Terlebih lagi, masih juga kita jumpai orang orang dengan pola pikir
terbelakang, masih saja menyertakan tradisi tradisi kejawen ke dalam praktik
agama islam. Selain itu, tradisi feodal pada masyarakat kita tidak hanya
berpengaruh pada sendi agama, akan tetapi pada bidang bidang lainnya di
struktur masyarakat kita ini, khususnya pada masyarakat jawa. Salah satunya
yaitu pola pikir masyarakat kita yang cenderung lamban. Masyarakat kita yang
merupakan masyarakat agraris mayoritas tidak terlalu mengedepankan orientasi
waktu. Oleh sebab itu, masyarakat kita terkenal malas untuk bekerja keras, dan
menjunjung tinggi kedisiplinan, sebaliknya, masyarakat kita lebih suk dengan
hal hal yang semu, enjoy artinya dalam menyikapi hidup ini mereka lebih suka bersantai
dan tidak memilikirkannya secara serius.
c) Bidang kebudayaan
Adanya asas setia dan tunduk dalam diri rakyat kepada penguasa. Hal ini membuat daya saing antar rakyat menjadi terbatasi oleh rasa segan dan takut kepada penguasa atau atasan. Rakyat menjadi pasrah dan tidak
suka bekerja keras, karena mereka menganggap dengan menurut kepada atasan,
mereka akan mendapatkan apa yang diinginkan. Maka kemudian, mental penjilat
menjadi tumbuh subur dalam budaya feodalisme dimana mental dan tekad untuk maju begitu sulit diwujudkan karena hanya berharap pada atasan. Masa kolonialisme Belanda, feodalisme sengaja dibiarkan hidup demi membendung
daya kritis, daya kreatif, dan sikap fundamentalisme. Sebab jika daya kritis
dibiarkan hidup maka rakyat akan berontak.
Sekarang ini feodalisme
tercermin dalam bentuk nilai-nilai yang tumbuh di benak masyarakat yang mana terlalu
berorientasi pada atasan, senior, dan kepada
orang – orang yang mempunyai pangkat atau kedudukan yang tinggi. Masyarakat tanpa sadar selalu meminta pertimbangan dan restu setiap kali akan melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Hal ini menunjukkan adanya
indikator ketergantungan masyarakat kepada penguasa secara berlebihan.
Dari
pengaruh feodalisme pada segi budaya yang akhirnya menyebabkan terjadinya Korupsi Kolisi dan Nepotisme,
berikut adalah perinciannya :
Masyarakat kita terutama masyarakat
jawa, sangatlah memiliki prinsip yang lemah, tak hayal, mereka mudah berubah
prinsip, karena hanya mengejar hal hal sesaat, dengan kata lain masyarakat ini
lebih menganut prinsip pragmatis atau mengutamakan hal hal yang mereka butuhkan
saat ini. Oleh karena itu, jika kita melihat, masyarakat kita lemah dalam hal
erkompetisi, mereka lebh senang tergantung dengan orang lain hal itulah yang
kemudian mereka tidak memliki daya saing.
Tradisi memberikan upeti pada penguasa
juga masih dilegalkan pada saat ini. Misal, ketika kita ingin dimudahkan
menjalani sebuah proses dministrasi di salah satu lembaga pemerintah kita harus
memberikan uang ‘pelicin’ agar proses tersebut dapat segera terselesaikan. Hal
tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal menjamurnya budaya korupsi di
Indonesia ini. Lantas masih dapatkah kita berkata bahwa budaya korupsi di
negeri ini dapat luntur, jika kebiasaan kebiasaan sepele tersebut belumlah
hilang dan bahkan menjadi sebuah hal yang dilegalkan. Di wilayah kerajaan
Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) tanah dinyatakan sebagai “keagungan dalem”
(milik sunan atau sultan). Kekuasaan raja atas tanah dan atas orang-orang itu
ke bawah diwakili oleh keluarganya, kaum bangsawan, bupati-bupati sampai kepada
kepala-kepala yang paling bawah yang semuanya adalah alat-alat raja untuk
menarik pungutan dari rakyat. Seringkali alat-alat dan kaki tangan raja ini
berbuat sewenang-wenang dengan atau tanpa nama raja. Di samping keharusan menyerahkan
hasilnya ia juga harus menyerahkan tenaganya untuk keperluan raja tanpa dibayar
(Suwarjo 2003). Dengan demikian, dapat dikatakan faktor nilai-nilai
neo-feodalisme dalam kehidupan birokrasi di negeri ini telah membawa implikasi
terjadinya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Dan perlu kita sadari, jika budaya suap
menyuap telah kita lakukan sejak munculnya masyarakat feodal dan kerajaan di
Indonesia. Dengan menjamurnya budaya budaya suap tersebut, tak dapat dipungkiri
bahwa kita semakin terjerumus pada masalah yang lebih serius yaitu kapitalisme,
yang semakin lama, semakin memperparah kondisi kehidupan di Indonesia. sehingga
dapat kita simpulkan jika tradisi feodal yang selama ini kita pertahankan,
telah sedikit banyak menimbulkan pengaruh pengaruh negatif pada masyarakat kita
saat ini.
Tradisi-tradisi feodal yang ada telah menjadi akar terciptanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Ruang kekuasaan dalam pemerintahan seperti birokrasi dapat dikuasai
dengan mudah, memuluskan jalan penguasaan terhadap pengambilan wewenang dan
kebijakan, memudahkan akses ke sumber-sumber ekonomi seperti proyek-proyek
pemerintah dan usaha-usaha eksploitasi sumber daya alam yang dalam
seluk-beluknya akan menghasilkan korupsi tak berkesudahan.
Jika nilai-nilai feodal ini semakin mempengaruhi
kehidupan berbangsa dan bernegara, tentunya akan menciptakan kelompok-kelompok
yang tidak hanya menguasai pemerintahan, tetapi juga menguasai sumber-sumber
ekonomi. Maka akan terciptanya kelas-kelas dalam masyarakat yang berujung pada
kesenjangan sosial dan ekonomi karena proses wealth distribution (distribusi kekayaan) yang tidak merata dan
kekayaan yang menumpuk hanya pada kelompok-kelompok tertentu.
Kesenjangan sosial dan ekonomi ini tentu akan
menciptakan jurang antar kelas ekonomi, menimbulkan kecemburuan sosial,
meningkatkan tingkat kriminalitas dan pada tahap yang paling berbahaya, dapat
menimbulkan konflik, baik konflik politik yang melibatkan penguasa dan
masyarakat di luar golongan penguasa, maupun konflik sosial-ekonomi, antara
yang kaya dan miskin.
3 komentar:
alangkah baiknya jika sumber di cantumkan :)
terima kasih masukannya gan
alau dulu pedagang atau pengusaha adalah second class. Beda dengan PNS. Makanya hanya etnis China dan keluarga miskin
LukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia
Posting Komentar