BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abad ke-19 menjadi
saksi perubahan drastis tatanan kehidupan di Asia Tenggara, bahkan hampir
diseluruh belahan dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, kedokteran dan
lain sebagainya. Hampir semuanya merupakan keberhasilan dunia barat serta
industrialisasi Eropa yang terjadi pada saat yang bersamaan mendorong
percepatan modernisasi dan globalisasi ke level terkini. Keduannya memang bukan
hal baru didunia tetapi sekarang kondisinya sengaja dipercepat.
Inggris adalah negara pertama yang
memulai industrialisasi sejak abad ke-18. Konsekuensi industrialisasi adalah
meningkatnya permintaan bahan mentah baru yang tentu saja diiringi peningkatan
kuantitas. Rel kereta api, kapal uap, lapisan timah, persenjataan mutakhir di
era industrial dan banyak produk lainnya membuat Eropa melirik Asia Tenggara
sebagaimana eksotika rempah menarik kedatangan mereka di abad ke-16. Bagi
industrialisasi Barat, Asia Tenggara memiliki sejumlah penawaran strategis
termasuk Burma (Myanmar). Asia Tenggara secara tidak langsung disiapkan sebagai
panggung sejarah abad ke 20 dan ke 21. Upaya kekuatan-kekuatan kolonial mematok
perbatasan baru didaratan Asia Tenggara.
Perhatian Inggris atas Asia Tenggara dimuai ketika
pada tahun 1579 penjelajahan F. Drake singgah di Ternate. Ekspedisi lainnya
dikirim kan pada akhir abad XVI dan pada tahun 1600 EIC dibentuk untuk
mengadakan hubungan dagang dengan kepulauan rempah-rempah. Inggris mendapat kesempatan baik untuk
menanamkan kedudukannya di Burma ketika mendapatkan izin dari raja Alaungpaya
mengangkat dirinya sebagai raja di Ava pada tahun 1753-1760. Burma jatuh ketangan Inggris setelah mengalami
3 kali perang yang disebut the Three Burmese Wars. Setelah Burma menjadi
wilayah jajahan Inggris muncul gerakan nasionalisme di Burma. Gerakan-gerakan
dari masyarakat untuk merdeka (gerakan nasionalis) dan melepaskan diri dari
belenggu penjajah. Hal ini dibahas lebih lanjut dalam Bab II pembahasan tentang
awal kedatangan Inggris hingga masa kemerdekaan Burma.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas,
permasalahn yang di angakat dalam makalah ini sebagai berikut :
1). Bagaimana proses masuknya imprealisme Inggris
di Burma ?
2). Bagaimana usaha Inggris dalam penakhlukan
Burma ?
3). Bagaimana masa Imprealisme Inggris di Burma ?
4). Bagaimana gerakan nasionalisme Burma ?
5). Bagaimana berakhirnya kolonialisme Inggris di
Burma dan awal kolonialisme Jepang ?
6). Bagaimana proses perjuangan bangsa Burma
dalam meraih kemerdekaan ?
1.3 Tujuan
Sejalan dengan rumusan
masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini diantaranya sebagai berikut :
1).
Mengetahui proses masuknya imprealisme Inggris di Burma
2).
Mengetahui usaha yang dilakukan Inggris
dalam penakhlukan Burma
3).
Mengetahui masa imprealisme Inggris di Burma
4).
Mengetahui gerakan nasionalisme Burma
5).Mengetahui berakhirnya kolonialisme Inggris dan
masuknya kolonialisme Jepang di Burma
6). Mengetahui proses perjuangan bangsa Burma dalam
meraih kemerdekaan.
1). Bagi mahasiswa makalah ini
dapat mengtahui awal kedatangan Inggris hingga kemerdekaan Burma
2). Bagi pembaca dan penulis dapat
lebih mendalami masa imprealisme Inggris di Burma hingga masa kemerdekaan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Proses Masuknya Imprealisme Inggris di Burma
Tahun 1635
Belanda telah mendirikan vektory dagang di Syiriam dan mulai mengadakan
monopoli dagang di daerah tersebut. Belanda dipandang berhasil dalam mencari
keuntungan di Burma, maka Inggris mengikuti jejak Belanda dengan mendirikan
Victory dagang di Syiriam (1647) yaitu EEIC (English East India Company).
Namun, karena Inggris tidak mampu bersaing dengan Belanda, maka usaha dagang
tersebut tahun 1657 ditutup.
Sementara
itu, di Burma sendiri banyak terjadi kekacauan baik masalah perebutan
kekuasaan, terjadinya pemberontakan bangsa Mon maupun perlawanan terhadap
kedatangan orang-orang asing seperti Belanda dan Inggris ke Burma. Bersamaan
dengan kedatangan orang-orang Barat tersebut, di Burma terjadi perebutan
kekuasaan, muncul pemimpin baru dari dinasti Kenbaung bernama Aungzeya, setelah
berhasil memukul mundur bangsa Mon.
Pihak
Inggris juga bermaksud ingin meluaskan usaha dagangnya dari India ke Pegu. Oleh
karena itulah ketika Alaungpaya minta bantuan Inggris untuk menghadapi bangsa
Mon di Syriam dan Inggris bersedia membantu. Alaungpaya terkenal sebagai
pemimpin besar Burma yang berhasil menyatukan seluruh Burma kedalam
kekuasaannya dengan membantu angkatan perang Burma yang kuat dan ditakuti oleh
negara-negara tetangga.
Dengan bantuan Inggris
pulalah kerajaan Ayut’ia di Ayut’ia tahun 1760 dapat ditakhlukkan. Namun para
penggantinya tidak bisa melanjutkan cita-cita ayahnya, sehingga hubungan dengan
Inggris (EEIC) dengan Burma menjadi renggang bahkan terhenti untuk beberapa
tahun. Pengganti-pengganti Alaungpaya terutama Hsinbyushin (1763-1776) berhasil
memperkuat kedudukannya dan tidak suka diperalat Inggris. Bahkan raja-raja
berikutnya seperti Badawpaya (1782-1819). Beliau mengadakan perlawanan terhadap
Inggris di India. Hal ini oleh Inggris dipandang sebagai ancaman, karena itu
kekuatan Burma harus di hancurkan keadaan demikian itulah yang mendorong
timbulnya konflik dan peperangan antara Inggris dengan Burma yang terjadi
sampai tiga kali, yaitu Perang Burma-Inggris I (1824-1826); Perang
Burma-Inggris II (1852-1853); Perang Burma-Inggris III (1885).
2.2 Penaklukan Burma
Inggris
mendapat kesempatan baik untuk menanamkan kedudukannya di Burma ketika
mendapatkan izin dari raja Alaungpaya mengangkat dirinya sebagai raja di Ava
pada tahun 1753-1760. Inggris mendapatkan tempat tinggal di Nacrais dan
Bassein. Dengan bantuan Inggris Alaungpaya berhasil menguasai seluruh Burma.
Tujuan
Inggris membantu Alaungpaya waktu itu adalah untuk mengkonsolidir Burma sebagai
rintangan terhadap ekspansi Perancis dari Indo Cina ke barat. Tetapi raja-raja
Burma pengganti Alaungpaya makin kuat kedudukannya dan tidak diperalat Inggris.
Bahkan mereka menyerbu Inda meraks besar Inggris. Akibat pecahnya Burma –
Inggris
Para penggantinya Alaungpaya
tidak bisa melanjutkan cita-cita ayahnya, sehingga hubungan dengan Inggris
(EEIC) dengan Burma menjadi renggang bahkan terhenti untuk beberapa tahun.
Pengganti-pengganti Alaungpaya terutama Hsinbyushin (1763-1776) berhasil
memperkuat kedudukannya dan tidak suka diperalat Inggris. Bahkan raja-raja
berikutnya seperti Badawpaya (1782-1819). Beliau mengadakan perlawanan terhadap
Inggris di India. Hal ini oleh Inggris dipandang sebagai ancaman, karena itu
kekuatan Burma harus di hancurkan keadaan demikian itulah yang mendorong
timbulnya konflik dan peperangan antara Inggris dengan Burma yang terjadi
sampai tiga kali, yaitu Perang Burma-Inggris I (1824-1826); Perang
Burma-Inggris II (1852-1853); Perang Burma-Inggris III (1885).
2.2.1 Perang Inggris – Burma I (1824-1826)
Perselisihan
perbatasan yang memicu Perang Inggris-Burma I pada 1824 bermula dari kebijakan
ekspansi Dinasti Konbaung pada abad ke-18. Mereka berupaya mengintegrasikan
zona-zona perbatasan barat ke dalam negara Burma serta pengaruh teritorial
English East India Company (EEIC) yang semakin besar di Asia Tenggara. Pada
awal abad ke-19 kerajaan-kerajaan semi-otonom Arakan, Manipur, dan Assam yang
sebelumnya menjadi daerah penyangga antara wilayah-wilayah EEIC dengan
kerajakan Ava sudah berada di bawah kekuasaan Burma. Situasi ini membuat para
pejabat di London dan Kolkota (Calcutta) merasa posisinya terancam. Mereka lalu
mengerakkan pasukan di sepanjang perbatasan India Inggris untuk menghambat
penetrasi dalam bentuk apa pun yang dilakukan pasuakan Burma. Kecurigaan,
ketidaktahuan dan kepercayaan diri berlebihan dari kedua sisi perbatasan makin
menambah masalah ketika misi-misi diplomatik berupaya mendinginkan situasi yang
semakin memanas ini. Masyarakat di sepanjang perbatasan dan di antara keduanya
mengambil keuntungan dari perselisihan ini. Mereka kerapkali mengadudomba kedua
kekuatan untuk mempertahankan otonominya dan ini turut menambah eskalasi
keteganggan di kawasan tersenut.
Saat
dinobatkan sebagai raja Burma pada 1782 Bodawpaya mengerahkan perhatiannya
untuk mengintegrasikan kembali Arakan ke dalam kekuasaan kekaisaran. Arakan
tergolong etnis Burma dan jika dilihat dari sudut padang keagamaan, rakyatnya
merupakan penganut Budha. Itu sebabnya, Arakan berada dalam orbit budaya Kerajaan
Burma Sekalipun Arakan menikmati derajat otonomi politik tertinggi, tidak
tertutup kesempatan bagi minoritas muslim dan pengaruh India lainnya untuk
menetap disana. Hanya dalam selang waktu tiga tahun kerajaan ini dianeksasi.
Akibatnya, terjadi deportasi besar-besaran, hampir 20.000 orang berpindah ke
Ibukota Burma bersama patung kuno Maha Muni Budha. Pada akhir abad ke-18
bangkitnya kembali negara Siam digaris depan timur Burma mendorong Dinasti
Konbaung untuk sekali lagi fokus pada kerajaan Manipur dan Assam, tepat di
utara Arakan, guna mengamankan garis depan barat mereka. Manipur kabarnya
pernah memiliki hubungan dengan kerajaan Toungoo terkait urusan upeti pada awal
abad ke-19 rajanya tidak lagi mengakui kekuasaan Burma. Pada 1819 tentara Burma
yang dipimpin Jenderal Thado Maha Bandula menduduki kembali lembah Manipur dan
membentuk pemerintahan tidak langsung. Seperti dalam persaingan-persaingan awal
mereka dengan Ayutthaaya, orang Burma tidak terlalu tertarik menguasai wilayah
tertentu. Mereka hanya ingin mendapatkan tenaga kerja baru untuk wajib militer
dikorps pengabdi kerajaan. Situasi ini berujung deportasi para seniman
terlatih, abdi keagamaan dan penasihat India ke Istana Burna.
Perselisihan
suksesi membuat negara tetangga, Assam yang pernah memberi upeti kepada Burma
ini menjadi tidak stabil. Pasukan Burma berkekuatan 8.000 orang mengangkat
seorang pemimpin yang setia kepada Dinasti Konbaung pada 1812 Bodawpaya harus
mengirim kembali pasukan berkekuatan 20.000 orang yang dipimpin Maha Bandula.
Pada 1823 didirikan pangkalan permanen dan Kerajaan Asssam dihapuskan.
Perkembangan-
perkembangan ini, seiring perselisihan yang semakin berkembang di Arakan,
memicu kekhawatiran EEIC karena wilayah India EEIC sekarang berbatasan langsung
dengan Burma. Proyek-proyek infrastruktur dan pekerjaan ekspansi irigasi di
Burma atas menimbulkan bertambahnya permintaan tenaga kerja dari Arakan yang
mendorong eksodus besar-besaran ke wilayah Inggris, eksodus ini disusul dengan
perlawanan. Pasukan Arakan memerangi pasukan pelososk wilayah EEIC. Persetujan
diam-diam EEIC terhadap basis ini di wilayahnya mayakinkan para pejabat Burma
bahwa Inggris tidak dapat dipercaya.
Situasi
pengusngsi yang sama di Manipur menjadi alasan terakhir konfrontasi militer
secara terbuaka. Pendudukan Burma di Manipur pada 1823 yang memicu eksodus
pengungsi ke kantong-kantong wilayah seperti Kachari atau Cachar menbuat
Inggris merasa perlu menjamin keamanan Benggala dan India secara menyeluruh.
Raja Kachari memninta Burma untuk membantu menstabilkan masalah pengungsi
tetati gerak maju tentara Burma ke dalam wilayah tersebut mendorong Calcutta
memprokalmasikannya sebagai protektorat Inggris. Tapi kedatangan pasukan
Inggris untuk mengamankan wilayah tersebut membuat situasi malah semakin memburuk.
Pada 5 Maret 1824
EEIC menyatakan perang kepada Kerajaan Burma. Ini menjadi pertanda dimulainnya
Perang Inggris-Burma I (1824-1826). Kejayaan masa silam awalnya menjadi
semangat bagi Maha Bandula dan pasukannya. Tetapi, kekuatan pasukan ekspedisi Inggris
dan relatif mudahnya mereka bergerak menghadapi pasukan Burma segera menciutkan
optimisme awal. Memperkirakan akan terjadi konfrontasi di Chittagong. Maha
Bandula mengarahkan pasukkannya menyeberangi Sungai Naaf dan mendapat laporan
intelejen bahwa pasukan besar telah tiba di Rangoon (sekarang Yangon). Ia
berupaya mencapai Burma Bawah sementara pusakan lainnya diarahkan ke selatan
dari ibukota tetapi pasukan Burma tidak mampu membantu Rangoon. Pasukan Inggris
merebut kota lalu menembus garis depan pasukan Burma, bergerak ke utara menuju
Prome dan Burma tengah. Maha Bandula tewas dalam pertempuran pada 1825.
Persenjataan yang lebih unggul dan taktik yang lebih baik memungkinkan Inggris
bergerak bergerak menuju Pagan disana pada akhirnya dimulailah perundingan-perundingan
dengan Kerajaan Burma. Pada 24 Februari 1826 Raja Bagyidaw menandatangani
perjanjian damai Yandapo. Dalam perjanjian ini, Burma diminta membayar ganti
rugi dalam jumlah besar serta menyerahkan Assam, Manipur, Arakan dan Tenasserim
kepada Inggris.
Isi Perjanjian Yandabo yaitu :
1.
Penyerangan Arakan, Tenasserim dan Manipur secara resmi kepada Inggris.
2.
Burma harus membayar pampasan perang sebesar satu juta pounsterling kepada
Inggris.
3. Burma harus berjanji mencegah intervensi di negeri-negeri
diperbatasan timur laut British India.
4. Burma harus menerima residen Inggris di Amapura.
5.
Burma harus mengangkat duta di Calcuta.
6. Harus segera diadakan
perundingan untuk mengatur hubungan-hubungan komersial atau dagang.
2.2.2 Perang Inggris-Burma II (1852)
Perjanjian Yandabo mengharuskan
pemeintah Burma membayar ganti rugi sebesar satu juta pounsterling dan menjadi
dasar pertukaran perwakilan diplomatik. Kerajaan Burma berharap bahwa
wilayah-wilayah yang diserahkan akan dikembalikan setelah pembayaran dilunasi
tetapi mereka segera menyadari bahwa di mata Inggris ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian adalah final dan bersifat mengikat. Perang memberikan dampak
signifikan pada kerajaan. Hilangnya wilayah, sumber daya alam dan tenaga kerja segera
dieksploitasi para pengklaim takhta yang mengartikan kehilangan tersebut
sebagai cerminan langsung berkurangnya kecakapan raja dan ketidakmampuannya
untuk memerintah secara efektif. Persepsi Inggris bahwa kerajaan melakukan
tindakan mempersulit semakin diperkuat tingkah laku para pejabat pelabuhan
Burma di Ranggon yang dilaporkan memaksakan peraturan secara kaku. Ini membuat
marah anggota komunitas bisnis asing. Ketika kedua kapal Inggris didenda
Gubernur Rangoon karena menghindari bea pabeam pada Desember 1851, Gubernur
Jenderal Lord Dalhousie memerintakan dua kapal Angkatan Laut Kerajaan
mendatangi pelabuhan dengan ultimatum bahwa denda harus dibatalkan dan gubernur
tersebut diganti. Sadar akan potensi terjadinya perang baru, Raja Burma
menerima permintaan tersebut, tetapi Inggris terus memblokade garis pantai.
Alhasil, Calcutta mengelurkan ultimatum baru yang meminta tebusan satu juta
rupee. Meyakini bahwa perang tidak dapat dihindari walau apa pun tanggapan
Burma, pasukan Inggris mengambilalih Rangoon, Bassein dan Martaban. Pasukan Burma berupaya
mempertahankan wilayah mereka tetapi Inggris berhasil merebut Pegu pada 1852
dan menciptakan Provinsi Burma baru yang mencakup hapir seluruh Burma Bawah di
selatan Prome.
2.2.3 Perang Inggris-Burma III dan Final Aneksasi (1885- 1886)
Pagan Min (1846-1852) tetap
melanjutkan sikap bermusuhan terhadap Inggris. Pagan Min menentang kedatangan
dan perdagangan Inggris di Burma. Serangan Inggris tersebut mengakibatkan
jatuhnya pemerintahan Pagan Min, kemudian digantikan oleh Mindon Min
(1853-1878). Diketahui, bahwa sungai Irawadi merupakan jalur lalulintas
perairan sangat penting bagi Burma. Karena Inggris menguasai jalur lalulintas
sungai Irawadi dengan menduduki Rangun, maka berarti Inggris menguasai seluruh
aktivitas perdagangan di Burma. Akibatnya dari penguasaan Inggris itulah maka
Mindon Min tahun 1857 memindahkan ibukotanya ke Mandalay dan berusaha menjalin
hubungan baik kembali dengan Inggris.
Politik
pemerintahan Mindon Min yang berusaha menjalin hubungan baik dengan Inggris
tidak berhasil dan pada akhirnya tetap terjadi ketegangan antara Burma dengan
Inggris. Hal ini dikarenakan :
1.
Inggris tidak bersedia menyerahkan Pegu
kepada Mindon Min.
2.
Mindon Min kecewa, karena sejak
peristiwa pemberontakan tahun 1866, Inggris
melarang Mindon Min membeli persenjataan dari luar.
3.
Inggris memandang rendah terhadap Mindon
Min.
4.
Mindon Min mengadakan perjanjian
hubungan kerjasama dengan Perancis.
5.
Persoalan Karenni Barat.
Mindon
Min meninggal tahun 1878. Sepeninggal Mindon Min di Istana Mandalay terjadi
kekacauan karena perebutan tahta kerajaan. Tahta kerajaan akhirnya dipegang
oleh Thibaw (1878-1885). Pada masa pemerintahannya timbul kerucuhan anti
Inggris, terjadi beberapa peristiwa yang antara lain :
1.
Pengusiran orang-orang Inggris dari
Mandalay.
2.
Browne (Residen Inggris) di Mandalay
pada bulan Agustus 1879 kembali ke Britis Burma dan menyerahkan tugasnya kepada
pembantunya, yaitu Mr St. Barbe.
3.
Bulan September 1897 Sir Luis Cavagnari
(Residen Inggris di Kabul) mati terbunuh oleh bangsa Afgan. Sedangkan Inggris
khawatir kalau peristiwa ini diikuti oleh Thibaw, sehingga Inggris segera
menarik Barbe dan stafnya dari Mandalay.
Kuatnya kepentingan perniagaan di
Burma sangat mempengaruhi para pengambil kebijakan di Rangoon, Calcutta, dan
London. Ketidakstabilan di Mandalay dipandang buruk bagi industri beras Burma
Bawah yang sedang berkembang pesat dan masalah ini saling-silang dengan urusan
keamanan India. Inggris ingin mengakhiri pemborosan dan kebrutalan negara di
bawah kepemimpinan Raja Thibaw. Selain itu, Inggris menyadari bahwa kendali
langsung terhadap Burma Atas sama artinya dengan menyediakan akses terhadap
sumber daya alam dan pasar Cina baratdaya kepada perusahaan-perusahaan asing,
Menyadari
resiko aneksasi menyeluruh, Kerajaan Burma berupaya menggalang dukungan asing
dengan menandatangani perjanjian persahabatan dengan Prancis pada awal 1885.
Prancis sejak itu tampil sebagi kekuatan utama di Asing Tenggara setelah
kolonisasi mereka terhadap kamboja dan Vietnam. Orang-orang Burma berharap
dapat menggunakan mereka sebagai lawan berat untuk memerangi ambisi Inggris.
Prancis tertarik pada rencana pengembangan sektor transportasi, pendirian bank
baru dan pengelolahan industri rubi atau batu delima. Namun, suara-suara penolakan
dalam pemerintahan Inggris menggambarkan ketertarikan Prancis terhadap Burma
Atas sebagai ancaman potensial bagi India.
Kemunculan
casus belli pada 1885 sekali lagi merupakan akibat pertikaian dagang.
Pemerintahan Burma medenda Bombay Trading Company atas tuduhan illegal logging
: menebang kayu didaerah-daerah yang ada diluar kontrak kesepakatan. Kasus ini
diajukan ke Mandalay yang kemudian dibahas dalam tingkat tertinggi di Hlutdaw. Ketika kasus ini sedang
dibahas, Calcutta mengeluarkan ultimatum yang menuntut agar denda awal
dibatalkan dan semua keputusan yang berkaitan dengan hubungan luar negeri Burma
diserahkan sepenuhnya kepada Calcutta. Raja setuju dan memenuhi hampir semua
tuntutan tetapi menolak menyerahkan kedaulatan dalam urusan luar negeri. Ketika
para duta besar Burma memenuhi para perwakilan Eropa untuk meminta pendapat,
Inggris malah siap perang. Tokoh-tokoh konservatif di India Inggris percaya
bahwa aneksasi Burma sepenuhnya perlu dilakukan karena tidak mungkin mencari
pengganti Thibaw yang dengan mudah diterima masyarakat. Thibaw dianggap tiran
dan penindas rakyat Burma baik dalam lingkaran pejabat maupun di kalangan pers.
Tokoh-tokoh lainnya menolak aneksasi total karena diperkirakan bakal
menghabiskan banyak biaya, rumit dan secara administratif terblang lumayan
menantang akibat lemahnya infrasturktur yang ada. Mereka meyakini bahwa
aneksasi ini akan berujung perlawanan senjata.
Mayor Jenderal Sir Harry Prendergast
diperintahkan menduduki Mandalay secepat mungkin. Di pihak Burma, panglima
operasi di barat laut (Hlethin Atwinwun)
ditugaskan untuk mengorganisasikan pasukan Burma san sebagi perthanan akhir
kerajaan. Dengan memimpin armada bersenjata dan pasukan hampir sebanyak 10.000
orang, Prendergast merebut Bemteng Minhla pada 17 November 1885 dan beberapa
hari kemudian mengalahkan pasukan yang dipimpin Hlethin Atwinwun Raja menyerah tanpa syarat pada 27 November 1885.
Setelah memasuki Mandalay, Kolonel
Edward Sladen memberitahu Thibaw bahwa ia akan diasingkan ke India, tempat ia
wafat pada 1916. Pada 1 Januari 1886 pemerntah Inggris secara resmi mengumumkan
aneksasi Kerajaan Burma. Namun, pada akhir bulan pemrintahan sipil di Burma
Atas hancur dalam perlawanan sengit bersenjata melawan kekuasaan Inggris,
penduduk desa saling bertempur demi memperebutkan pasokan kebutuhan sehari-hari
yang terbatas. Dalam waktu satu bulan, Lord Dufferin (Viceroy India ) menghapuskan Hlutdaw
dan mengumumkan bahwa Burma Atas akan berada di bawah kontril langsung
pemerintahan Inggris. Pada 26 Februari kerajaan ini secara formal dinyatakan
sebagi Provinsi India Inggris.
2.3 Masa Imprealisme Inggris di Burma
Kesalahan terbesar Inggris terhadap Burma adalah mengilkat negeri itu
kepada kerajaan India. Akibat yang tak dapat dihindari yakni standardisasi
pemerintahan Burma menurut model India. Dalam hal ini Burma berstatus salah
satu propinsi British India yaitu suatu wilayah jajahan Inggirs di India yang secara
politis penguasa atas Burma diperlakukan sama dengan India. Semua bentuk dan
tindakan politik, undang – undang dan peraturan Inggris di India berlaku pula
di Burma. Ternyata Inggris tidak memandang atau memperdulikan perbedaan
kondisi, sejarah, adat budaya, soaila ekonomi antara India dan Burma. Meskipun
demikian, dalam praktik pemerintahaan tidak langsung seperti sistem Belanda
yang berlaku di Jawa. Kehidupan warga desa berjalan seperti biasa, sebagian
besar seperti dibawah pemerintahan orang – orang Burma. Sehingga pada tahun
1886 burma kehilangan kemerdekaannya karena berada dibawah kekuasaan
Imperialisme Inggris.
Gabungan beraneka macam faktor membawa perubahan yang mendasar dalam
masalah kenegaraan ini. Pertama proses standardisasi menurut model Inndia
mendapat benih – benih yang penting daari usaha – usaha yang harus dalakukan
untuk menindas kekacauan setelah terjadi aneksasi tahun 1886. Politik kuno
Laissezfaire telah ditinggalkan dan bentuk – bentuk baru campur tangan
pemerintahan, yang bertujuan memperbaiki efisiensi atau kesejahteraan sosial
mulai dijalankan.
Masalah yang penting setelah
aneksasi itu adalah kekacauan. Pasukan Burma tanpa memperdulikan perintah untuk
menyerah kabur kehutan – hutan desa dengan senjatanya melakukan perang geriliya
di daerah yang kuas. Thungyi – thungyi, yan merupaka tulang punggung sistem
pemerintahan distrik Burma, menjasi pemimpin – pemimpin gerakan perlawan itu.
Diperlukan waktu 5 tahun perjuangan berata untuk menundukkan negeri itu.
Sur Charles Crosthwaite, yang datang
dengan pikiran kuat dan pasti tentang pemerintahan India, sengan membawa konsep
rencana yang telah siap untuk menjadikan desa, seperti di India, sebagai basis
unit politik dan sosial. Teorinya adalah bahwa kalangan kepala kampung dalam pemerintahan
sebelumnya, yang kenal sebagai Myothungyi, menurut istilah “mengungguli dan
merampas hak kekuasaan penuh kepala desa”.
Politik itu dijalankan dengan
peraturan desa Burma Udik tahun 1887 dan undang – undang desa Burma 1889, yagn
diperlakukan diseluruh negeri itu. Kedua langkah – langkah ini memberikan tugas
– tugas yang bersifat hukum yang berhubungan dengan pemeliharaan ketertiban dan
pengumpulan pendapatan atas kepala kampung dan desa. Mr. J. S. Furnivall,
seorang administrator di Burma telah mencermati sistem Myothungyi itu. Pertam
a- tama ia menulis, bahwa desa – desa mempunyai tugas – tugas yang dibebankan
padanya tanoa hak – hka kompensasi apapun. Kedua, agar mempersamakan tugas-
tugas kepala kampung seperti untuk menggabungkan pendapatan yang mencukupi
dengan pemerintahan yang efisien. Ketiga, dengan lenyapnya kebiasaan myothungyi
menyukai perselisihan yang serius antara desa – desa berdekatan dengan
keputusannya “dengan demikian akan sampai pada suatu kompromi sesuia dengan
adat yang sudah terkenal”. Kesimpulan umumnya adalah bahwa “ zaman pemerintahan
sendiri rakyat Burma telah digantikan oleh sistem hukum asing”.
Hubungan antara Burma dan India
mempunyai akibat – akibat yang tidak menguntungkan. Burma dengan British India
ini adalah mengakibatkan terjadinya gelombang migarasi bangsa India ke Burma
secara besar – besaran, sehingga menimbulkan tekanan ekonomi rakyat Burma. Lagi
pula, hubungan India yang diletakkan oleh administrator – administrator Inggris
di Burma bersikap negatif terhadap agama negeri itu. Sekarang Budhisme bukan
hanya sekedar agama rakyat tetapi juga menjadi agama negara, dan hal tersebut
terjadi sejak saat pemerintahan Anawrahta di Pagan (1044 - 1077). Karena itu
penghapusan raja membangkitkan masalah penting mengenai posisi organisasi
Buddhis di bawah pemerinyahan baru itu. Kondisi demikian itulah yang menjadi
penyebab timbulnya kebencian rakyat Burma terhadap orang – orang India dan
Inggris.
Reformasi pemerintahan dimulai pada
1887 di bawah pimpinan Kepala Komisioner
Sir Charles Crosthwaite yang ditugaskan untuk menilai kelemahan
pemerintahan lokal. Sebagian besar persoalan disebabkan oleh gagalnya para
pejabat Inggris mencermati kebiasaan-kebiasaan monoarki dalam mengelolah urusan
keagamaan yang merupakan jantung identitas dan realitas konseptual etnis Burma.
Tugas raja sebagai pelindung patron Sangha (ondo vihara) Buddha dan dhamma
(hukum) adalah kunci kehidupan rakyat Burma yang tidak mampu dipahami
pemerintahan sekuler kolonial. Menghindari keterlibatan dalam urusan keagamaan
adalah prinsip penguasa kolonial. Namun prinsip itu malah secara langsung mempengaruhi
pandangan terhadap pemerintahan baru tersebut. Dengan menolak mengakui
kewenangan thathanabaing (kepala ordo vihara yang sebelumnya diangkat oleh
raja), Inggris kehilangan kesempatan untuk memenangkan hati orang Burma sejak
awal.
Bagi Crosthwaite masalah utama yang
terdapat di tingkat desa harus ditangani para pejabat lokal (myothuyi dan
taikthugyi) dengan kewenangan nyata dalam urusan finansial, yudisial, dan
kebijakan. Setelah dikeluarkannya Upper Burma Regulation Act (UU Regulasi Burma
Atas) darurat 1887 dan Burma Village Act (UU Desa Burma) 1889, proses
pengangkatan thugyi untuk setiap desa Burma yang berjumlah sekitar
17.000-18.000 dimulai dengan penuh semangat. Pada dasarnya, kepala desa baru
akan membolehkan unit desa untuk menjadi fondasi seluruh pemerintahan provinsi
dengan tugas-tugas bervariasi mulai dari mengumpulkan pajak hingga pertahanan,
pemeliharaan jalan, persiapan, menjaga kebersihan dan menjadi tuan rumah para
pejabat distrik yang berkunjun. Pada praktiknya, sistem baru ini menghadapi
banyak masalah baik dari kritikus merasa bahwa sedikit sekali kandidat lokal
yang dapat dipercaya memengang kekuasaan semacam itu. Sebaliknya para penduduk
desa tidak mempercayai orang-orang yang kewenangannya berasal dari pengangkatan
langsung rezim kolonial dan bukan berasal dari hubungan timbal balik personal
yang sejak lama.
Peralihan dari otoritas personal
menjadi pemerintahan impersonal oleh pemerintah Rangoon semakin diperkuat
dengan diperkenalkannya pejabat permukiman pada 1872. Posisi baru ini
bertanggung jawab memetakan lanskap geografi, topografi, dan budaya Burma untuk
menilai potensi ekonomi negara ini. Survei permukiman secara berkala dilakukan
dengan pendirian Departemen Arsip Pertahanan pada 1900 dan teras dampaknya
karena nilai pajak ditetapkan berdasarkan temuan laporan-laporan ini. Dengan
ini, pembayaran uang tunai diharapkan dapat dilakukan secara berkala dan
dikumpulkan oleh para kepala desa, walikota, dan pejabat distrik. Kenyataan ini
semakin jauh bergeser dari sistem yang lebih flexsibel sebagaimana ditawarkan
myothugy tradisonal kepada para konstituennya.
Lembaga-lembaga pemerintah lainnya
meningkatkan perhatian negara dalam urusan lokal melalui Departemen Pekerjaaan
Umum (1870-an), Departemen Pertanian (1906, Departemen Kesehatan Masyarakat dan
Kedokteran Hewan (1906) dan koperasi-kopearasi di perkotaan.
Tahun 1900 seorang Komisaris Straits
Settlements dan pendaftar – pandaftar tanah diangkat untuk lebih efisien
mengenai masalah – masalah pajak pendapatan tanah. Dari tahun 1900 juga
pengawasan yang lebihh dekat dilakukan atas pendidikan telah dilembagakan dan
perluasan yang luar biasa pendidikan negeri telah dimulai.
Laporan Monague, yang menjadi dasar
Undang – Undang pemerintahan India tahun 1919, memintah masalah Burma ditangguhkan
dengan pertimbangan khusus, karena rakyatnya dari jenis bangsa yang berbeda,
pada tingkatan perkemabngan politik yang berbeda, dengan semua masalah yang
berbeda.
Adapun langkah-langkah yang
dijalankan Inggris selama masa imprelismenya di Burma dalam bidang pendidikan. Prioritas
negara kolonial adalah mendidik masyarakat lokal untuk menghasilkan juru tulis
yang bisa berbahasa Inggris, diangkat sebagai pegawai negeri dan bisa juga
mendukung manajemen disektor swasta. Tidak seperti pendidikan prakolonial yang
dikelola vihara-vihara desa dan karenanya menjalar ke kehidupan ritual dan
sosial setempat, progam sekolah kolonial tumbuh dari kepentingan impereum
Inggris dan prioritas ekonomi hendak dikembangkannnya. Sekolah-sekolah
misionaris dan sekolah yang disponsori pemerintahan menyedihkan pendidikan
elite. Namun perekembangannya lambat karena hanya ada sekitar 900 sekolah
semacam itu pada awal 1890-an. Tetapi pada 1917 jumlahnya telah mbludak menjadi
hampir 5.000. Sejak saat itu lebih banyak siswa menmpuh pendidikan menengah dan
tinggi daripada sebelumnya. Menyebaran
pendidikan model Inggris semakin maju hal ini tidak merata dikalangan orang
biasa. Komunitas-komunitas non-Pribumi menganggap pendidikan sebagai pintu masuk
migrasi, menetap dan bersaing menduduki pos-pos menguntungkan dalam
pemerintahan sipil kolonial. Walaupun orang Burma Pribumi tetap merupakan siswa
mayoritas di Universitas-kualifikasi penting untuk pekerjaan dibidang bisnis
dan pemerintahn baru setelah dibukanya Universitas Rangoon pada 1920 dan
sekolah-sekplah tinggi profesional lainnya barulah mereka mendominasi
pendidikan tinggi.
Namun tidak dalam hal
ekonomi, Ekonomi Burma tetap saja buruk. Tekanan ekonomi akibat tidakan Inggris
dan migrasi orang-orang India di Burma, menyebabkan penderitaan luar biasa bagi
rakyat Burma. Eksploitasi beras secara besar-besaran di daerah lembah Irawadi,
Pegu dan Arakan oleh Inggris sejak tahun 1852, mengakibatkan bangsa Burma tidak
mempunyai kesempatan lagi mengekspor beras. Pengembangan kota Rangoon sebagai
pusat perdagangan, menyebabkan terjadinya migrasi penduduk (didatangkan oleh
Inggris) ke daerah tersebut untuk meningkatkan penanaman padi. Pemerintah
Inggris memaksa atau melibatkan Burma untuk mengisi kekosongan atau kekurangan
ekspor beras dengan cara penguasaan tanah-tanah subur. Kedatangan para migran
India yang rata-rata mencapai 250.000 jiwa tiap tahun dan penggunaan tenaga
kerja orang-orang Burma menambah depresi ekonomi Burma.Akumulasi dari
peristiwa-peristiwa itulah yang pada akhirnya menimbulkan nasionalisme Burma
dan gerakan menentang imperialisme Inggris.
Pada awal abad XX
gerakan koperasi diresmikan sebagai tindak lanjut untuk memerangi keburukan
ekonomi Burma. Suatu departemen koperasi telah didirikan untuk memajukan
masyarakat petani yang dibiayai oleh bank-bank tananhnya. Tahun 1937 ketika
Burma telah berpisah dengan India dan telah mendapatkan pengawasan lengkap atas
masalah-masalah dalam negerinya, salah satu tindakan pertama dari badan
legeslatif barunya adalah mengeluarkan Burma Tenancy Bill untuk melindungi para
penyewa tanah, menentang oposisi kuat para Chettyar. Usaha-usaha industri
secara besar-besaran lain dikembangkan oleh modal dan keterampilan teknik
Inggris di Burma adalah tambang peraklead Bawdwin di Negara-negara Shan Utara, dikerjakan
oleh Burma Corporation, pertambangan Mawchi di Karenni, yang menghasilkan ½
produksi timah dan wolfram di Burma; dan tambang timah dan wolfram lain ada di
Tenasserim. Sebelum penaklukan oleh Inggris, transportasi utama Burma adalah
memulai sungai-sungai besar dan sejumlah anak-anak sungai. Ini yang pertama
akan dikembangkan oleh perusahaan Inggris, dan Irrawaddy Flotilla Company yang
didirikan tahun 1865, mengoperasikan armada kapal yang di abad sekarang. Armada
itu melayari Irrawaddy sampai ke Bhamo, Chindwin sampai ke Homalin, dan
kota-kota besar delta. Kemudian datang expansi besar yaitu jalan kereta api.
2.4 Gerakan Nasionalisme Burma
Terdapat kemajuan penting dalam
pendidikan dan kesehatan umum, tetapi problem besar dalam bidang ekonomi dan rasial
tetap jauh dari pemecahan masalah. Hal tersebut yang menimbulkan gerakan
nasionalisme Burma ini bersamaan dengan berdirinya organisasi – organisasi yang
bersifat anti kolonialisme Inggris.
Burma telah berkembang dengan modal
asing. India, Cina dan Eropa memiliki semua pabrik-pabrik besar dan concern
industri, sebagian hutang umum Burma adalah ditangan asing, dan Chetti India
tahun 1930 telah menginvestasikan 750 juta rupee di daerah padi di delta.
Gerakan nasional Burma dimulai pada
tahun 1906 yang ditandai dengan pembentukan
YMBA (Young Man Budhis Asociation) atau Persatuan Pemuda Birma. Mula-mula organisasi tersebut bergerak dalam
bidang agama dan sosial, sehingga belum bercorak politik,
tetapi lebih banyak
bergerak dalam bidang pendidikan.
Faktor
pendorong timbulnya nasionalisme di Myanmar Nasionalisme di Myanmar pada
umumnya timbul karena hal – hal berikkut :
1. Pada
hakekatnya bangsa Myanmar (baru tahun 1886 menjadi jajahan) belum pernah hilang
rasa kebangsaan. Kolonial Inggris belum sempat menaruh sedalam-dalamnya di
Myanmar, karena Myanmar pada saat itu menjadi bagian dari India.
2. Kemanangan
Jepang dalam perang Jepang Rusia tahun 1905 yang mempperkuat nasionalisme di
India, yang juga menimbulkan rasa nasionalisme di Myanmar.
3. Perundang-undangan
dalam perjanjian Versailles di man Wilson memperjuangkan hak-hak menentukan
nasib sendiri bagi bangsa-bangsa yang belum merdeka.
4. Montagu-Chemsford
Reform, yang oleh Inggris di tentukan untuk India dan tidak berlaku untuk
Myanmar. Montagu-Chemsford Reform (goverment of indian Act 1919) adalah suatu
undang-undang yang mengatur pemerintahan India, akibat ketegangan tututan
partai Kongres India terhadap Inggris.
Isi dari
undang-undang tersebut adalah:
a. pemerintahan
di India dititik beratkan pada pemerintahan provinsi-provinsi
b. pemerintahan
di provinsi dipegang oelh Inggris dan India . Inggris memegang urusan-urusan
yang bersifat vital sedangkan India memegang urusan yang tidak penting.
Gerakan untuk merdeka ini pertama
kali dipelopori oleh biksu (pongyis), para biksu menganggap peratutan yang
diterapkan oleh Inggris yang menjatuhkan nilai biksu dalam masyarakat Burma dan
menjadikan negara Burma menjadi negara sekuler (bersifat keduniaan). Akhirnya
pada tahun 1906 para pongyis (biksu budha) mendirikan organisasi yang bernama
Young Men’s Buddhis Association (YMBA), organisasi ini diketuai oleh U May
Oung. Organisasi ini menitik beratkan pada keagamaan dan pelayanan sosial,
karena tidak ingin menjadikan negara Burma menjadi negara sekuler, maka para
pongyis (biksu budha) mencoba untuk menyadarkan para komunitas biksu budha
(sangha) agar tidak menjadi sekuler. Selain itu para pongyis (biksu budha) juga
menanamkan rasa nasionalisme pada masyarakat Burma, hingga pada tahun 1920
organisasi ini berubah nama menjadi Dewan Umum Perkumpulan Budha (GCBA (General
Council of Buddhist Associations) yang di ketuai oleh U Chit Hlaing. Perubahan
nama ini menandakan anggota organisasi ini bertambah luas, anggota oraganisasi
GCBA ini juga mencakup para pelajar dan non-biksu lainnya. Hal ini terbukti
dengan demonstrasi yang melibatkan mahasiswa pada tanggal 4 Desember 1920 untuk
menentang kebijakan Universitas yang bersifat elistis, selain itu mereka
berdemonstrasi karena dibatasinya kegiatan mahasiswa di universitas Rangoon.
Pembatasan yang dilakukan oleh pihak Inggris kepada mahasiswa diantaranya
adalah dilarang mempublikasikan famflet-famflet yang berisikan pilitik, diskusi
politik di arena kampus, pengawalan ketat para mahasiswa di asrama-asrama
sehingga menyulitkan gerakan mahasiswa untuk berkonsolidasi.
Demonstrasi terbesar ini juga
memprotes diskriminasi politik yang terdapat dalam Montagu-Chelmsford Reform,
yaitu sebuah proposal yang berisi program perubahan yang direncanakan Inggris
untuk menempatkan dewan legislatif India pada tingkat provinsi. Dewan
legislatif tersebut mayoritas terdiri dari orang Inggris dan India, sementara
orang Burma tidak diberi posisi untuk menduduki dewan legislatif tersebut. GCBA
menginginkan agar mereka diberikan wewenang untuk menontrol sendiri
pemerintahan di Burma, mereka kemudian memboikot pemilihan umum untuk memilih
dewan yang baru dan menolak posisi eksekutif di kabinet. Perbedaan pendapat di
tubuh GCBA mengenai pemisahan Burma dengan India mengakibatkan Dr. Ba Maw
menyatakan mengundurkan diri dan membentuk organisasi baru yang bernama partai
Sinyetha (Poor Man’s Party) pada tahun 1936, Dr. Ba Maw menyatakan mengundurkan
diri karena mendukung tindakan Inggris yang memisahkan Burma dengan India.
Selain mendukung pemisahan Burma
dengan India, partai Sinyetha juga mendukung pengurangan pajak, perlindungan
petani dari rentenir, dan mendukung wajib belajar. Pergerakan nasional di Burma
mulai tampak ada kemajuan ketika terbentuknya Student’s Union pada tahun 1935
di Universitas Rangoon, dari pemilihan ini terpilih Ko Nu (kakak Nu (U Nu)
sebagai ketua dan Aung San, Kyaw Nyein, Kyaw Myint, Ba Swe, M.A Raschis, Tun
Win, dan Thein Pe sebagai anggota komitenya. Organisasi ini adalah organisasi
pertama yang kritis terhadap pemerintah kolonial Inggris (Hugh Tinker), tujuan
dibentuknya organisasi ini sudah sangat jelas yaitu ingin membebaskan Burma
dari kolonialisme Inggris. Organisasi ini tidak menyia-nyiakan setiap peluang
yang ada, diantara peluang itu adalah kampanye yang dilakukan oleh Student’s
Union. Dari kampanye yang dilakukan maka Ko Nu sebagai ketua dipenjara, dan
Aung san di keluarkan dari Universitas Rangoon. Tak berselang lama, para
anggota Student’s Union mengadakan rapat untuk berdemonstrasi menolak tindakan
pemerintahan Inggris terhadap Ko Nu dan Aung San. Beberapa bulan kemudian Ko Nu
di bebaskan dari penjara dan Aung San diperbolehkan kembali belajar di
Universitas Rangoon
Setelah Aung San dan Nu
menyelesaikan kuliahnya di Universitas Rangoon, mereka berdua masuk dalam
organisasi Dobama Asiayone (We Burma Asociation) atau yang disebut dengan
Thakin. Organisasi ini didirikan oleh Thakin Ba Sein dan Thakin Ko pada tahun
1929. Organisasi ini menamakan diri Thakin (yang berarti tuan dalam bahasa
Burma), mereka membuat legitimasi bahwa mereka adalah tuan di negara sendiri.
Keanggotaan organisasi ini dimulai dari para pengajar, mahasiswa, dan biksu.
Mereka beranggapan bahwa kedudukan mereka sama dengan kedudukan Inggris,
pemikiran-pemikiran mereka juga banyak di pengaruhi oleh faham Marxisme dan
Leninisme. Kemudian pada tahun 1939 Dobama Asiayone mendirikan ketentaraan yang
disebut Bama Let Yon Tat (Steel Corps), ketentaraan Dobama Asiayone ini
dipimpin oleh Aung San.
Sama seperti CGBA, organisasi Dobama
Asiayone juga terpecah belah, namun perbedaannya adalah Dobama Asiayone
terpecah menjadi tiga bagian yaitu kelompok yang dipengaruhi oleh kaum komunis
yaitu Thakin Soe dan Thein Pe. Kelompok yang kedua adalah kelompok yang
dipengaruhi oleh sosialis demokratis yang dipelopori oleh Aung San, dan
kelompok yang ketiga yaitu kelompok yang dipelopori oleh agaman Budha yang
dipelopori oleh Thakin U Be Swe dan U Nu.
2.5 Akhir Masa Kolonialisme Inggris dan Awal Kolonialisme Jepang
Masa kolonialisme Inggris berakhir ketika Jepang sebagai negara ekspansonis
mengadakan invasi ke daerah Burma, beberapa faktor yang melatarbelakangi invasi
Jepang ini dianataranya berkuasanya klan samurai anti kapitalis dan komunis.
Mereka adalah penganut sosialis ekstrem yang memiliki kesetiaan tinggi terhadap
kaisar, oleh karena itu mereka menjadi totaliter dan fasis. Faktor berikutnya
adalah faktor buruknya hubungan Jepang dengan Amerika Serikat dan Inggris
akibat invasi yang dilakukan Jepang ke Cina, dimana pada saat itu Cina mempunyai
hubungan dagang dengan Amerika Serikat dan pihak Amerika banyak membantu Cina.
Ekspansi Jepang ke wilayah Asia Tenggara pada umumnya dilatarbelakangi oleh
keinginam Jepang untuk mendapatkan sumberdaya mentah untuk menopang pembangunan
Jepang, utamanya adalah dalam bidang militer. Pencarian sumber daya mentah ini
adalah salah satu usaha yang dilakukan oleh Jepang untuk menjadi negara unggul
dan superrior diantara negara-negara di Asia Tenggara, Jepang kemudian
mempopulerkan Greater Asia Co-Prospherity Sphare (suatu tatanan negara dimana
Jepang memiliki kekuasaan penuh) pada tahun 1938 oleh kabinet Konoyo di Tokyo.
Jepang membentuk Imperial Japanese Army yang mengurusi masalah pemerintahan dan
militer di Asia Tenggara, selain itu Jepang juga membentuk Hohei Ju-go Shidan
yaitu badan resmi yang mengatur administrasi dan militer di Burma. Pada tahun
1940 Hohei Ju-go Shidan mengutus Kolonel Keiji Suzuki untuk berunding dengan
Thakin, Kolonel Keiji Suzuki menawarkan bantuan kepada Thakin jika thakin mau
membantu Jepang dalam Perang Dunia II. Namun kelompok Thakin Soe yang menganut
aliran komunis menolaknya, Thakin Soe menganggap bahwa kaum fasis lebih
berbahaya dari pada Inggris. Begitu juga dengan alirang sosialis demokratis
yang di pelopori oleh Aung San menolak, Aung San kemudian meminta bantuan
Chinese Comunist Party (CCP). Ketika Aung San hendak pergi ke ke Shanghai untuk
mengadakan kontak dengan CCP dengan menyamar sebagai orang Cina, Aung san
tertangkap tentara Jepang di Amoy. Jepang kembali menawarkan bantuan kepada
Burma untuk mendapakan kemerdekaan dengan mendapatkan persenjataan yang lengkap
dan pelatihan militer kepada Burma, selain itu Jepang juga mengaluarkan
propaganda “Burma untuk Burma” dan “Pembebasan Burma dari kolonilisme Inggris”.
Akhirnya Aung San menyetujui perjanjian dengan Jepang tersebut, dalam hal
ini Jepang bukan hanya ingin menambah pasukan untuk Perang Dunia II melainkan
ada hal lain yang di inginkan oleh Jepang. Diantara keinginan Jepang tersebut
diantaranya adalah untuk mengeksploitasi sumber daya alam Burma untuk
kepentingan militer Jepang, selain itu Jepang juga ingin memotong jalur Burma
Road (Jalur yang dibangun oleh Inggris untuk menyuplai bantuan dari
Anglo-Amerika kepada pemerintahan Chungking di Cina). Setelah terjadi perstujuan
antara Kolonel Suzuki dengan Aung san, Kolonel Suzuki membuat semacam panduan
yang harus dilakukan oleh Burma pada bulan Agustus 1940 untuk mencapai
kemerdekaan panduan tersebut dikenal sebagai “Plan for Burma’s Independence”.
Tahapan pertama yang harus dilakukan Burma adalah sekelompok nasionalis Burma
yang berjumlah 30 orang diselundupkan ke perbatasan Thailand-Burma, kemudian
tahapan kedua adalah 30 orang dari keompok nasionalis Burma mendapatkan
pelatihan dari instruktur Jepang selama 6 bulan, dan langkah yang terakhir
adalah mengirim 30 orang nasionalis Burma ke Burma untuk memulai gerakan
bersenjata untuk melawan pemerintah kolonial Inggris.
Untuk menjalankan rencana pertama, yaitu menyelundupkan 30 orang nasionalis
Burma keperbatasan Thailand-Burma, pemerintah Jepang beserta Aung San
bekerjasama membentuk suatu badan penyelundupan yang bernama Minami Kikan
(Minami Intelegence Organization). Badan penyelundupan ini dipelopori oleh 6
angkatan perang (terdiri dari kolone Keiji Suzuki, Kapten Takenobu kawashima,
Kapten Naomi Kakubo, Letnan Takeshi Noda, Letnan Hachiro Takashi, dan Letnan
Masyayoshi Tamato), Pegawai kelautan (terdiri dari Kaptern Kojima, Hidaka, dan
Nagayama), dan tujuh orang sipil (terdiri dari Mitsuru Sugii, Noriyoshi Yokada,
Takeshi Higuci, Inao Mizutani, Shozo Kakobu, Aung San, dan Hla Myaing). Badan
penyelundupan ini berada dibawah komado Imperial General Heardquartes (IGHQ) di
Tokyo yang di kepalai oleh Kolonel Suzuki, badan penyelundupan bekerjasama
dengan perusahaan pengelola barang angkutan, Mr. Yamata. Hal ini dilakukan agar
tidak muncul kedurigaan dari pihak kolonial Inggris, pada tanggal 12 Maret-8
Juli 1941dimulai perjalanan mengangkut 30 orang nasionalisme Burma dengan
menggunakan 4 kapal (Shuten-Maru, Genzan-Maru, Saigon-Maru, dan
Asahiyama-Maru).
Sesampainya di Hainan, tugas badan penyelundupan masih belum selesai,
mereka masih harus memberikan pelatihan kepada 30 nasionalis Burma (yang
disebut Thirty Comrades) dan mengembalikannya ke Burma. Sebagai instruktur,
dipilihlah seorang perwira militer bernama San-a di Hainan oleh Angkatan Laut.
Lokasi tempat berlatih para 30 orang nasionalis Burma berada dihutan sebelah
barat Hainan (San-a Agrikultural Training Institute), kamp tempat berlatih
Thirty Comrades dipimpin oleh Letnan Fukuike dari angkatan bersenjata yang
masih asisten Kapten Kawashima. Latihan militer dimulai pada tanggal 11 April
1941, dan berakhir pada Oktober 1941. Latihan perang yang dijalani terbagi
menjadi 3 bagian keserasian individu, bagian pertama (Aung San, Aung Than, Than
Ok, dan Hla Pe) di didik mengenai komado pasukan dan administrasi, bagian kedua
(Shu Maung, Tun Shein, Hla Maung, dan Shwe) di didik mengenai taktik gerilya,
dan bagian ketiga (berisi anggota-anggota muda Thirty Comrades) di didik
mengenai teknik peperangan. Kemudian latihan di teruskan di Tamazato (Taiwan),
disana Thirty Comrades di didik mengenai baris berbaris, pelatihan bayonet,
taktik dan strategi perang, dan penggunaan senjata.
Di sisi lain, berdasarkan Plan for Burma’s Independence pada Februari 1941,
Kolonel Suzuki membuat pusat operasional di Bangkok. Pusat operasional ini
didirikan untuk memperlancar kamunikasi antara Minami Kikan dan Thakin di
Burma, kemudian pada tanggal 21 Februari 1941 Kolonel Suzuki berhasil membangun
pusat operasional di Bangkok. Dalam menjalin komunikasi dan pengiriman barang,
pusat operasional (Bangkok Branch) berganti nama menjadi Nampo Kigyo Chosa Kai
(Research Association for Southern Region Enterprise) yang dikepalai oleh
Kapten Angkatan Laut yaitu Kapten Kojima. Sedangkan anggota Minami Kikan di
Thailand menyamar menjadi penambang dan kegiatan kehutanan, kemudian pada
tanggal 21 Desember 1941, Kolonel Suzuki memasuki Bangkok dan berhasil membua
markas Minami Kikan. Berdasarkan Plan for Burma’s Independence pula, pada
tanggal 27 Desember 1941, Kolonel Suzuki membentuk Burma Independence Army
(BIA) di Bangkok. Anggota BIA ini diantaranya juga terdapat anggota Minami
Kikan dan beberapa masyarakat Burma yang sudah menetap di Bangkok. Setiap
anggota BIA dipersenjatai dengan lengakap, BIA dibangun untuk membantu Jepang
untuk menaklukkan Inggris di Burma dan menertibakan dan peraturan didaerah yang
akan diduduki oleh Jepang.
Sebelum melakukan penyerangan terhadap Inggris di Burma, Kolonel Suzuki
mengirim anggota BIA untuk melihat keadaan di Burma. Setelah melihat keadaan,
maka Jepang dibantu dengan 30 nasionalisme Burma dan BIA menyerang Lower dan
Upper Burma terlebih dahulu kemudian menyerang Rangoon yang merupakan pusat
pemerintahan Inggris di Burma. Kemudian BIA dan Jepang berhasil memukul mundur
pasukan Inggris dari Tenasserim ke arah utara, penyerangan ini di bawah komando
Lida Shojiro. Penyerangan ini tentu membuat tentara Inggris terkejut, selain
itu BIA yang telah mendapatkan latihan cukup keras sudah memiliki rencana yang
sangat matang. Penyerangan dilanjutkan oleh BIA dan tentara Jepang ke Rangoon
pada bulan Januari sampai Maret 1942, akhirnya pada 8 Maret 1942 BIA dan
pasukan Jepang berhasil memukul mundur Inggris dan orang-orang India dari
Rangoon ke Simla (India).
Berhasilnya BIA dan tentara Jepang memukul mundur Inggris dari Rangoon,
tujuan Jepang untuk memotong jalur Burma Road berjalan dengan lancar. Proses
invasi Jepang ke Burma semakin menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan
masyarakat, apalagi setelah Jepang memberikan latihan-latiahan militer dan
doktrinisasi kepada masyarakat Burma, hingga masyarakat Burma menganggap Jepang
sebgai saudara sendiri. Setelah berhasil memukul mundur Inggris dari Burma,
Jepang harus menepati janji untuk memberikan kemerdekaan kepada Burma. Namun
untuk sementara waktu Jepang mengambil alih pemerintahan Burma, pemerintahan
ini dibentuk oleh Kolonel Suzuki pada 7 Maret 1942 dengan nama Baho Goverment
dan dikepalai oleh Thakin Tun Ok. Tujuan Baho Goverment adalah untuk menstabilkan
administrasi pemerintahan Burma pasca perang melawan Inggris, selain itu Baho
Goverment bertujuan untuk mencipatakan situasi dan kondisi yang stabil dan
kondusif menjelang pemberian kemerdekaan dari Jepang.
2.6 Proses
Kemerdekaan Burma
Di sisi lain, ketika sedang menunggu kemerdekaan Burma yang akan diberikan
oleh Jepang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara Jepang dan
Aung san, BIA membuat keributan dengan etnis Keren di Distrik Myaungmya. BIA
merampas harta, menculik tokoh-tokoh etnis Keren, bahkan membunuhnya. Alasan
BIA melakukan hal ini adalah karena etnis Keren dianggap pro-Inggris
sehingga membahayakan pemerintahan,
selain itu BIA menganggap bahwa etnis Keren yang menganut agama Kristen akan
mengganggu agama yang sudah turun temurun ada di Burma, yaitu agama Budha.
Tindakan yang dilakukan oleh BIA banyak menimbulkan permusuhan dengan etnis
Keren, hingga peperangan antara BIA dengan etnis Keren berlangsung sampai Juni
1942. Akibat insiden tersebut, Jepang mengambil tindakan tegas dengan
membubarkan BIA pada tanggal 24 Juli 1942 dan membentuk BDA (Burma Defense
Army) pada tanggal 26 Agustus 1942 dengan ketua Aung San. Akibat insiden itu
juga Baho Goverment dianggap gagal memerintah Burma, maka pada tanggal 1
Agustus 1942 dan kembali membetuk pemerintahan dengan nama BEA (Burma Executive
Administration) dengan Dr. Ba Maw sebagai pemimpinnya. Antara Baho Goverment
dengan BEA memiliki tugas yang sama, hanya saja BEA memiliki tugas tambahan
yakni membiayai pertemuan antara Burma dengan Jepang.
Pertemuan antara Jepang dan Burma terjadi di Tokyo (Jepang) pada tanggal 11 Maret 1943 dengan wakil dari Burma
yaitu Dr. Ba Maw, Aung San, Dr. Thein Maung, dan Thakin Mya, membicarakan
mengenai kemerdekaan yang akan diberikan kepada Burma pada tahun 1943. Selain
itu Jepang menginginkan dibentuknya komite kemerdekaan, kemudian pada tanggal 8
Mei 1943 dibentuklah Burma Independence Prepotatory Committe (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Burma) oleh Jepang. Meskipun telah dibentuk komite persiapan
kemerdekaan Burma, intervensi Jepang masih sangat kuat dalam komite ini. Bahkan
yang membuat draft perjanjian antara Jepang dan Burma adalah wakil dari Jepang,
perjanjian tersebut berisi tentang akan dibantunya Jepang pada Perang Dunia II.
Pada bula Juli Dr. Ba Maw bertolak ke Singapura untuk bertemu dengan Perdana
Menteri Tojo untuk membicarakan kemerdekaan yang akan diberikan Jepang,
akhirnya pada 1 Agustus 1943 Burma mendapatkan kemerdekaannya dari Jepang. Pada
saat mendeklarasikan kemerdekaannya, pada saat itu pula Dr. Ba Maw diangkat
menjadi Perdana Menteri Burma dengan gelar Nainggandaw adipati, alasan Jepang
memberikan kemerdekaan ini adalah untuk mengambil simpati masyarakat Burma
untuk membantu Jepang dalam Perang Dunia II.
Tidak semua Thankin menduduki jabatan dalam pemerintahan, Thankin Thein Pe
dan Thankin Soe yang beraliran komunis tidak masuk dalam pemerintahan, karena
menurut mereka komunis tidak akan mengadakan kerjasama dengan kaum fasis.
Hingga muncul perang gerilya antara kaum komunis dengan pemerintahan yang
dilantik oleh Jepang, setelah kemerdekaan BDA Burma Defense Army berganti nama
menjadi BNA (Burma National Army). Penggantian nama ini dimaksudkan untuk
keamanan negara Burma dan untuk mempertegas bahwa tentara Burma akan membantu
Jepang dalam Perang Dunia II, meskipun demikian Burma tidak lantas berdiri
sendiri.
Setelah
kemerdekaan Burma masih dalam kekuasaan Jepang, bahkan setelah BDA berganti
menjadi BNA Jepang semakin erat memegang kekuasaan militer, karena pada saat
itu militer adalah satu-satunya kekuatan terbesar yang dimiliki oleh Burma.
Bahkan setelah kemerdekaan Burma bukan menjadi lebih baik, namun semakin
memburuk. Hal ini dikarenakan alat transportasi yang dikuasai oleh Jepang, dan
dilarang ekspor dan impor karena menurut Jepang Burma harus bisa mandiri.
Selain itu, Jepang juga telah merusak kepercayaan para biksu dengan menggunakan
tempat beribadah untuk mejemur pakaian dan tempat pembantaian.
Sehingga muncul asumsi pada
masyarakat bahwa Jepang hanya ingin memanfaatkan hasil alam Burma dan
memanfaatkan pasukan militer Burma untuk Perang melawan sekutu, hingga munculah
pemberontakan diantara para masyarakat utamanya para Thakin yang awalnya
mendukung Jepang. Aung San sebagai ketua BNA sekaligus Thakin dan Ne Win
seorang komandan BNA dan beberapa tokoh lainnya merencanakan pemberontakan
terhadap Jepang pada April 1944, Aung San yang telah banyak mendapatkan
pendidikan dari Jepang mengenai militer dan strategi peperangan meminta bantuan
secara diam-diam kepada seluruh rakyat Burma pada saat itu. Thankin yang
awalnya terpecah belah karena perbedaan aliran, diminta oleh Aung San untuk
bersatu kembali dan bersama-sama menyerang Jepang. Etnir Keren-pun tak luput
dari ajakan Aung San, bahkan Aung San akan memberikan kesamaan hak dalam
pemerintahan jika Jepang sudah bisa dikalahkan. Maka Aung San kemudian
membentuk sebuah organisasi yang bernama Anti Fascis Organization (AFO) pada
April 1944, organisasi ini membuat bendera dengan warna merah dan bintang
ditengah bendera tersebut. Aung San merasa bahwa pasukannya masih kurang untuk
mengusir Jepang dari Burma, maka Aung San mengajak semua lapisan masyarakat
untuk ikut berjuang mendapatkan kemerdekaan Burma, selain itu Aung Sun juga
mengirimkan utusan untuk pergi ke Simla (India) untuk meminta bantuan kepada
Inggris selaku musuh dari Jepang.
Pemerintahan yang sedang berjalan
pada saat itu bukannya tidak merespon apa yang terjadi dimasyarakat, Perdana
Menteri Dr. Ba Maw merasa kecewa kepada Aung San yang tidak mendiskusikan
penyerangan terhadap Jepang kepadanya. Aung San memiliki alasan mengapa dia
tidak mendiskusikan terlebih dahulu hal ini kepada Perdana Menteri, karena dia
merasa Dr. Ba Maw adalah orang yang pro terhapad Jepang. Meskipun sebenarnya
tidak demikian, karena Dr. Ba Maw telah megnadakan perjanjian dengan Jepang
untuk tidak lagi mengganggu pemertinahan Burma. Selain itu, Dr. Ba Maw merasa
bahwa tindakan yang dilakukan oleh Aung San bukanlah tindakan orang yang
mengerti tentang peperangan sehingga Dr. Ba Maw membentuk sebuah oraganisasi
untuk mengambil hati rakyat, namun hal itu tidak berhasil karena kemarahan
rakyat terhadap Jepang sudah memuncak. Tepat setahun setelah kemerdekaan yang
di berikan oleh Jepang, Aung San berpidato mengenai perlunya penumpasan fasis
dan perlunya kemerdekaan dan menuju kehidupan yang lebih baik. Kemudian pada
tanggal 19 Agustus 1944 Aung San kembali melakukan pertemuan yang dengan
perwakilan seluruh lapisan masyarakat untuk kembali membicarakan tentang
penyerangan kepada Jepang, dalam pertemuan tersebut AFO berganti nama menjadi
AFPFL (Anti-Fascist People Freedom League). Penggantian nama ini menunjukkan
bahwa mereka tidak hanya melawan fasis melainkan juga bertujuan untuk
memperjuangkan kemerdekaan Burma yang sebenarnya. Inggris mengirimkan utusannya
yang bernama Lord Mountbatten untuk memberikan bantuan kepada AFPFL, dalam
penyerangan terhadap tentara Jepang Inggris mengirimkan beberapa pasukan untuk
meilahat situasi dan kondisi yang ada.
Lalu penyerangan dimulai dari daerah pinggiran Burma lalu mencapai puncak
peperangan di Rangoon. Penyerangan tersebut berlangsung selama 18 hari yaitu
pada 11-29 April 1945.
Keadaan negara Jepang semakin
terhimpit akibat terjadinya Perang Dunia II dan akibat diajtuhkannya bon atom
di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, hingga akhirnya
Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu melalui perjanjian yang dilakukan
diatas kapar perang milik Amerika Serikat. Setelah Jepang mundur dari kawasan
yang dijajah di wilayah Asia Tenggara, Burma mengalami masa dekolonisasi
Inggris. Banyak perundingan yang terjadi antara Burma dan Inggris selama masa
dekolonisasi, hingga akhirnya Burma mendapatkan kemerdekaannya pada 4 Januari
1948 dengan nama Union Of Burma.
4 komentar:
posnya Ndak bisa di copy yaa.
posnya Ndak bisa di copy yaa.
Iya,,,,
Masa 2015 masih ctrl c + v hehehee
🙏🙏🙏🙏🙏
Posting Komentar