Pages

Maret 30, 2014

AWAL KEDATANGAN INGGRIS HINGGA KEMERDEKAAN BURMA (MYANMAR)



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

                Abad ke-19 menjadi saksi perubahan drastis tatanan kehidupan di Asia Tenggara, bahkan hampir diseluruh belahan dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, kedokteran dan lain sebagainya. Hampir semuanya merupakan keberhasilan dunia barat serta industrialisasi Eropa yang terjadi pada saat yang bersamaan mendorong percepatan modernisasi dan globalisasi ke level terkini. Keduannya memang bukan hal baru didunia tetapi sekarang kondisinya sengaja dipercepat.
            Inggris adalah negara pertama yang memulai industrialisasi sejak abad ke-18. Konsekuensi industrialisasi adalah meningkatnya permintaan bahan mentah baru yang tentu saja diiringi peningkatan kuantitas. Rel kereta api, kapal uap, lapisan timah, persenjataan mutakhir di era industrial dan banyak produk lainnya membuat Eropa melirik Asia Tenggara sebagaimana eksotika rempah menarik kedatangan mereka di abad ke-16. Bagi industrialisasi Barat, Asia Tenggara memiliki sejumlah penawaran strategis termasuk Burma (Myanmar). Asia Tenggara secara tidak langsung disiapkan sebagai panggung sejarah abad ke 20 dan ke 21. Upaya kekuatan-kekuatan kolonial mematok perbatasan baru didaratan Asia Tenggara.
Perhatian Inggris atas Asia Tenggara dimuai ketika pada tahun 1579 penjelajahan F. Drake singgah di Ternate. Ekspedisi lainnya dikirim kan pada akhir abad XVI dan pada tahun 1600 EIC dibentuk untuk mengadakan hubungan dagang dengan kepulauan rempah-rempah.  Inggris mendapat kesempatan baik untuk menanamkan kedudukannya di Burma ketika mendapatkan izin dari raja Alaungpaya mengangkat dirinya sebagai raja di Ava pada tahun 1753-1760.  Burma jatuh ketangan Inggris setelah mengalami 3 kali perang yang disebut the Three Burmese Wars. Setelah Burma menjadi wilayah jajahan Inggris muncul gerakan nasionalisme di Burma. Gerakan-gerakan dari masyarakat untuk merdeka (gerakan nasionalis) dan melepaskan diri dari belenggu penjajah. Hal ini dibahas lebih lanjut dalam Bab II pembahasan tentang awal kedatangan Inggris hingga masa kemerdekaan Burma.

1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, permasalahn yang di angakat dalam makalah ini sebagai berikut :
1).  Bagaimana proses masuknya imprealisme Inggris di Burma ?
2).  Bagaimana usaha Inggris dalam penakhlukan Burma ?
3).  Bagaimana masa Imprealisme Inggris di Burma ?
4).  Bagaimana gerakan nasionalisme Burma ?
5).  Bagaimana berakhirnya kolonialisme Inggris di Burma dan awal kolonialisme Jepang ?
6).  Bagaimana proses perjuangan bangsa Burma dalam meraih kemerdekaan ?

1.3 Tujuan
                Sejalan dengan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini diantaranya sebagai berikut :
1). Mengetahui proses masuknya imprealisme Inggris di Burma
2). Mengetahui  usaha yang dilakukan Inggris dalam penakhlukan Burma
3). Mengetahui masa imprealisme Inggris di Burma
4). Mengetahui gerakan nasionalisme Burma
5).Mengetahui berakhirnya kolonialisme Inggris dan masuknya kolonialisme Jepang di Burma
6). Mengetahui proses perjuangan bangsa Burma dalam meraih kemerdekaan.

1.4 Manfaat
1). Bagi mahasiswa makalah ini dapat mengtahui awal kedatangan Inggris hingga kemerdekaan Burma
2). Bagi pembaca dan penulis dapat lebih mendalami masa imprealisme Inggris di Burma hingga masa kemerdekaan


BAB II PEMBAHASAN

2.1 Proses Masuknya Imprealisme Inggris di Burma
                Tahun 1635 Belanda telah mendirikan vektory dagang di Syiriam dan mulai mengadakan monopoli dagang di daerah tersebut. Belanda dipandang berhasil dalam mencari keuntungan di Burma, maka Inggris mengikuti jejak Belanda dengan mendirikan Victory dagang di Syiriam (1647) yaitu EEIC (English East India Company). Namun, karena Inggris tidak mampu bersaing dengan Belanda, maka usaha dagang tersebut tahun 1657 ditutup.
            Sementara itu, di Burma sendiri banyak terjadi kekacauan baik masalah perebutan kekuasaan, terjadinya pemberontakan bangsa Mon maupun perlawanan terhadap kedatangan orang-orang asing seperti Belanda dan Inggris ke Burma. Bersamaan dengan kedatangan orang-orang Barat tersebut, di Burma terjadi perebutan kekuasaan, muncul pemimpin baru dari dinasti Kenbaung bernama Aungzeya, setelah berhasil memukul mundur bangsa Mon.
            Pihak Inggris juga bermaksud ingin meluaskan usaha dagangnya dari India ke Pegu. Oleh karena itulah ketika Alaungpaya minta bantuan Inggris untuk menghadapi bangsa Mon di Syriam dan Inggris bersedia membantu. Alaungpaya terkenal sebagai pemimpin besar Burma yang berhasil menyatukan seluruh Burma kedalam kekuasaannya dengan membantu angkatan perang Burma yang kuat dan ditakuti oleh negara-negara tetangga.
            Dengan bantuan Inggris pulalah kerajaan Ayut’ia di Ayut’ia tahun 1760 dapat ditakhlukkan. Namun para penggantinya tidak bisa melanjutkan cita-cita ayahnya, sehingga hubungan dengan Inggris (EEIC) dengan Burma menjadi renggang bahkan terhenti untuk beberapa tahun. Pengganti-pengganti Alaungpaya terutama Hsinbyushin (1763-1776) berhasil memperkuat kedudukannya dan tidak suka diperalat Inggris. Bahkan raja-raja berikutnya seperti Badawpaya (1782-1819). Beliau mengadakan perlawanan terhadap Inggris di India. Hal ini oleh Inggris dipandang sebagai ancaman, karena itu kekuatan Burma harus di hancurkan keadaan demikian itulah yang mendorong timbulnya konflik dan peperangan antara Inggris dengan Burma yang terjadi sampai tiga kali, yaitu Perang Burma-Inggris I (1824-1826); Perang Burma-Inggris II (1852-1853); Perang Burma-Inggris III (1885).
2.2 Penaklukan Burma
Inggris mendapat kesempatan baik untuk menanamkan kedudukannya di Burma ketika mendapatkan izin dari raja Alaungpaya mengangkat dirinya sebagai raja di Ava pada tahun 1753-1760. Inggris mendapatkan tempat tinggal di Nacrais dan Bassein. Dengan bantuan Inggris Alaungpaya berhasil menguasai seluruh Burma.
Tujuan Inggris membantu Alaungpaya waktu itu adalah untuk mengkonsolidir Burma sebagai rintangan terhadap ekspansi Perancis dari Indo Cina ke barat. Tetapi raja-raja Burma pengganti Alaungpaya makin kuat kedudukannya dan tidak diperalat Inggris. Bahkan mereka menyerbu Inda meraks besar Inggris. Akibat pecahnya Burma – Inggris
Para penggantinya Alaungpaya tidak bisa melanjutkan cita-cita ayahnya, sehingga hubungan dengan Inggris (EEIC) dengan Burma menjadi renggang bahkan terhenti untuk beberapa tahun. Pengganti-pengganti Alaungpaya terutama Hsinbyushin (1763-1776) berhasil memperkuat kedudukannya dan tidak suka diperalat Inggris. Bahkan raja-raja berikutnya seperti Badawpaya (1782-1819). Beliau mengadakan perlawanan terhadap Inggris di India. Hal ini oleh Inggris dipandang sebagai ancaman, karena itu kekuatan Burma harus di hancurkan keadaan demikian itulah yang mendorong timbulnya konflik dan peperangan antara Inggris dengan Burma yang terjadi sampai tiga kali, yaitu Perang Burma-Inggris I (1824-1826); Perang Burma-Inggris II (1852-1853); Perang Burma-Inggris III (1885).
2.2.1 Perang Inggris – Burma I (1824-1826)
            Perselisihan perbatasan yang memicu Perang Inggris-Burma I pada 1824 bermula dari kebijakan ekspansi Dinasti Konbaung pada abad ke-18. Mereka berupaya mengintegrasikan zona-zona perbatasan barat ke dalam negara Burma serta pengaruh teritorial English East India Company (EEIC) yang semakin besar di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-19 kerajaan-kerajaan semi-otonom Arakan, Manipur, dan Assam yang sebelumnya menjadi daerah penyangga antara wilayah-wilayah EEIC dengan kerajakan Ava sudah berada di bawah kekuasaan Burma. Situasi ini membuat para pejabat di London dan Kolkota (Calcutta) merasa posisinya terancam. Mereka lalu mengerakkan pasukan di sepanjang perbatasan India Inggris untuk menghambat penetrasi dalam bentuk apa pun yang dilakukan pasuakan Burma. Kecurigaan, ketidaktahuan dan kepercayaan diri berlebihan dari kedua sisi perbatasan makin menambah masalah ketika misi-misi diplomatik berupaya mendinginkan situasi yang semakin memanas ini. Masyarakat di sepanjang perbatasan dan di antara keduanya mengambil keuntungan dari perselisihan ini. Mereka kerapkali mengadudomba kedua kekuatan untuk mempertahankan otonominya dan ini turut menambah eskalasi keteganggan di kawasan tersenut.
            Saat dinobatkan sebagai raja Burma pada 1782 Bodawpaya mengerahkan perhatiannya untuk mengintegrasikan kembali Arakan ke dalam kekuasaan kekaisaran. Arakan tergolong etnis Burma dan jika dilihat dari sudut padang keagamaan, rakyatnya merupakan penganut Budha. Itu sebabnya, Arakan berada dalam orbit budaya Kerajaan Burma Sekalipun Arakan menikmati derajat otonomi politik tertinggi, tidak tertutup kesempatan bagi minoritas muslim dan pengaruh India lainnya untuk menetap disana. Hanya dalam selang waktu tiga tahun kerajaan ini dianeksasi. Akibatnya, terjadi deportasi besar-besaran, hampir 20.000 orang berpindah ke Ibukota Burma bersama patung kuno Maha Muni Budha. Pada akhir abad ke-18 bangkitnya kembali negara Siam digaris depan timur Burma mendorong Dinasti Konbaung untuk sekali lagi fokus pada kerajaan Manipur dan Assam, tepat di utara Arakan, guna mengamankan garis depan barat mereka. Manipur kabarnya pernah memiliki hubungan dengan kerajaan Toungoo terkait urusan upeti pada awal abad ke-19 rajanya tidak lagi mengakui kekuasaan Burma. Pada 1819 tentara Burma yang dipimpin Jenderal Thado Maha Bandula menduduki kembali lembah Manipur dan membentuk pemerintahan tidak langsung. Seperti dalam persaingan-persaingan awal mereka dengan Ayutthaaya, orang Burma tidak terlalu tertarik menguasai wilayah tertentu. Mereka hanya ingin mendapatkan tenaga kerja baru untuk wajib militer dikorps pengabdi kerajaan. Situasi ini berujung deportasi para seniman terlatih, abdi keagamaan dan penasihat India ke Istana Burna.
            Perselisihan suksesi membuat negara tetangga, Assam yang pernah memberi upeti kepada Burma ini menjadi tidak stabil. Pasukan Burma berkekuatan 8.000 orang mengangkat seorang pemimpin yang setia kepada Dinasti Konbaung pada 1812 Bodawpaya harus mengirim kembali pasukan berkekuatan 20.000 orang yang dipimpin Maha Bandula. Pada 1823 didirikan pangkalan permanen dan Kerajaan Asssam dihapuskan.
            Perkembangan- perkembangan ini, seiring perselisihan yang semakin berkembang di Arakan, memicu kekhawatiran EEIC karena wilayah India EEIC sekarang berbatasan langsung dengan Burma. Proyek-proyek infrastruktur dan pekerjaan ekspansi irigasi di Burma atas menimbulkan bertambahnya permintaan tenaga kerja dari Arakan yang mendorong eksodus besar-besaran ke wilayah Inggris, eksodus ini disusul dengan perlawanan. Pasukan Arakan memerangi pasukan pelososk wilayah EEIC. Persetujan diam-diam EEIC terhadap basis ini di wilayahnya mayakinkan para pejabat Burma bahwa Inggris tidak dapat dipercaya.
            Situasi pengusngsi yang sama di Manipur menjadi alasan terakhir konfrontasi militer secara terbuaka. Pendudukan Burma di Manipur pada 1823 yang memicu eksodus pengungsi ke kantong-kantong wilayah seperti Kachari atau Cachar menbuat Inggris merasa perlu menjamin keamanan Benggala dan India secara menyeluruh. Raja Kachari memninta Burma untuk membantu menstabilkan masalah pengungsi tetati gerak maju tentara Burma ke dalam wilayah tersebut mendorong Calcutta memprokalmasikannya sebagai protektorat Inggris. Tapi kedatangan pasukan Inggris untuk mengamankan wilayah tersebut membuat situasi malah semakin memburuk.
            Pada 5 Maret 1824 EEIC menyatakan perang kepada Kerajaan Burma. Ini menjadi pertanda dimulainnya Perang Inggris-Burma I (1824-1826). Kejayaan masa silam awalnya menjadi semangat bagi Maha Bandula dan pasukannya. Tetapi, kekuatan pasukan ekspedisi Inggris dan relatif mudahnya mereka bergerak menghadapi pasukan Burma segera menciutkan optimisme awal. Memperkirakan akan terjadi konfrontasi di Chittagong. Maha Bandula mengarahkan pasukkannya menyeberangi Sungai Naaf dan mendapat laporan intelejen bahwa pasukan besar telah tiba di Rangoon (sekarang Yangon). Ia berupaya mencapai Burma Bawah sementara pusakan lainnya diarahkan ke selatan dari ibukota tetapi pasukan Burma tidak mampu membantu Rangoon. Pasukan Inggris merebut kota lalu menembus garis depan pasukan Burma, bergerak ke utara menuju Prome dan Burma tengah. Maha Bandula tewas dalam pertempuran pada 1825. Persenjataan yang lebih unggul dan taktik yang lebih baik memungkinkan Inggris bergerak bergerak menuju Pagan disana pada akhirnya dimulailah perundingan-perundingan dengan Kerajaan Burma. Pada 24 Februari 1826 Raja Bagyidaw menandatangani perjanjian damai Yandapo. Dalam perjanjian ini, Burma diminta membayar ganti rugi dalam jumlah besar serta menyerahkan Assam, Manipur, Arakan dan Tenasserim kepada Inggris.
            Isi Perjanjian Yandabo yaitu :
1. Penyerangan Arakan, Tenasserim dan Manipur secara resmi kepada Inggris.
2. Burma harus membayar pampasan perang sebesar satu juta pounsterling kepada Inggris.
3. Burma harus berjanji mencegah intervensi di negeri-negeri diperbatasan timur laut British India.
4. Burma harus menerima residen Inggris di Amapura.
5. Burma harus mengangkat duta di Calcuta.
6. Harus segera diadakan perundingan untuk mengatur hubungan-hubungan komersial atau dagang.
2.2.2 Perang Inggris-Burma II (1852)
            Perjanjian Yandabo mengharuskan pemeintah Burma membayar ganti rugi sebesar satu juta pounsterling dan menjadi dasar pertukaran perwakilan diplomatik. Kerajaan Burma berharap bahwa wilayah-wilayah yang diserahkan akan dikembalikan setelah pembayaran dilunasi tetapi mereka segera menyadari bahwa di mata Inggris ketentuan-ketentuan dalam perjanjian adalah final dan bersifat mengikat. Perang memberikan dampak signifikan pada kerajaan. Hilangnya wilayah, sumber daya alam dan tenaga kerja segera dieksploitasi para pengklaim takhta yang mengartikan kehilangan tersebut sebagai cerminan langsung berkurangnya kecakapan raja dan ketidakmampuannya untuk memerintah secara efektif. Persepsi Inggris bahwa kerajaan melakukan tindakan mempersulit semakin diperkuat tingkah laku para pejabat pelabuhan Burma di Ranggon yang dilaporkan memaksakan peraturan secara kaku. Ini membuat marah anggota komunitas bisnis asing. Ketika kedua kapal Inggris didenda Gubernur Rangoon karena menghindari bea pabeam pada Desember 1851, Gubernur Jenderal Lord Dalhousie memerintakan dua kapal Angkatan Laut Kerajaan mendatangi pelabuhan dengan ultimatum bahwa denda harus dibatalkan dan gubernur tersebut diganti. Sadar akan potensi terjadinya perang baru, Raja Burma menerima permintaan tersebut, tetapi Inggris terus memblokade garis pantai. Alhasil, Calcutta mengelurkan ultimatum baru yang meminta tebusan satu juta rupee. Meyakini bahwa perang tidak dapat dihindari walau apa pun tanggapan Burma, pasukan Inggris mengambilalih Rangoon,  Bassein dan Martaban. Pasukan Burma berupaya mempertahankan wilayah mereka tetapi Inggris berhasil merebut Pegu pada 1852 dan menciptakan Provinsi Burma baru yang mencakup hapir seluruh Burma Bawah di selatan Prome.
2.2.3 Perang Inggris-Burma III dan Final Aneksasi (1885- 1886)
            Pagan Min (1846-1852) tetap melanjutkan sikap bermusuhan terhadap Inggris. Pagan Min menentang kedatangan dan perdagangan Inggris di Burma. Serangan Inggris tersebut mengakibatkan jatuhnya pemerintahan Pagan Min, kemudian digantikan oleh Mindon Min (1853-1878). Diketahui, bahwa sungai Irawadi merupakan jalur lalulintas perairan sangat penting bagi Burma. Karena Inggris menguasai jalur lalulintas sungai Irawadi dengan menduduki Rangun, maka berarti Inggris menguasai seluruh aktivitas perdagangan di Burma. Akibatnya dari penguasaan Inggris itulah maka Mindon Min tahun 1857 memindahkan ibukotanya ke Mandalay dan berusaha menjalin hubungan baik kembali dengan Inggris.
Politik pemerintahan Mindon Min yang berusaha menjalin hubungan baik dengan Inggris tidak berhasil dan pada akhirnya tetap terjadi ketegangan antara Burma dengan Inggris. Hal ini dikarenakan :
1.      Inggris tidak bersedia menyerahkan Pegu kepada Mindon Min.
2.      Mindon Min kecewa, karena sejak peristiwa pemberontakan tahun 1866,  Inggris melarang Mindon Min membeli persenjataan dari luar.
3.      Inggris memandang rendah terhadap Mindon Min.
4.      Mindon Min mengadakan perjanjian hubungan kerjasama dengan Perancis.
5.      Persoalan Karenni Barat.
Mindon Min meninggal tahun 1878. Sepeninggal Mindon Min di Istana Mandalay terjadi kekacauan karena perebutan tahta kerajaan. Tahta kerajaan akhirnya dipegang oleh Thibaw (1878-1885). Pada masa pemerintahannya timbul kerucuhan anti Inggris, terjadi beberapa peristiwa yang antara lain :
1.      Pengusiran orang-orang Inggris dari Mandalay.
2.      Browne (Residen Inggris) di Mandalay pada bulan Agustus 1879 kembali ke Britis Burma dan menyerahkan tugasnya kepada pembantunya, yaitu Mr St. Barbe.
3.      Bulan September 1897 Sir Luis Cavagnari (Residen Inggris di Kabul) mati terbunuh oleh bangsa Afgan. Sedangkan Inggris khawatir kalau peristiwa ini diikuti oleh Thibaw, sehingga Inggris segera menarik Barbe dan stafnya dari Mandalay.
            Kuatnya kepentingan perniagaan di Burma sangat mempengaruhi para pengambil kebijakan di Rangoon, Calcutta, dan London. Ketidakstabilan di Mandalay dipandang buruk bagi industri beras Burma Bawah yang sedang berkembang pesat dan masalah ini saling-silang dengan urusan keamanan India. Inggris ingin mengakhiri pemborosan dan kebrutalan negara di bawah kepemimpinan Raja Thibaw. Selain itu, Inggris menyadari bahwa kendali langsung terhadap Burma Atas sama artinya dengan menyediakan akses terhadap sumber daya alam dan pasar Cina baratdaya kepada perusahaan-perusahaan asing,
            Menyadari resiko aneksasi menyeluruh, Kerajaan Burma berupaya menggalang dukungan asing dengan menandatangani perjanjian persahabatan dengan Prancis pada awal 1885. Prancis sejak itu tampil sebagi kekuatan utama di Asing Tenggara setelah kolonisasi mereka terhadap kamboja dan Vietnam. Orang-orang Burma berharap dapat menggunakan mereka sebagai lawan berat untuk memerangi ambisi Inggris. Prancis tertarik pada rencana pengembangan sektor transportasi, pendirian bank baru dan pengelolahan industri rubi atau batu delima. Namun, suara-suara penolakan dalam pemerintahan Inggris menggambarkan ketertarikan Prancis terhadap Burma Atas sebagai ancaman potensial bagi India.
            Kemunculan casus belli pada 1885 sekali lagi merupakan akibat pertikaian dagang. Pemerintahan Burma medenda Bombay Trading Company atas tuduhan illegal logging : menebang kayu didaerah-daerah yang ada diluar kontrak kesepakatan. Kasus ini diajukan ke Mandalay yang kemudian dibahas dalam tingkat tertinggi di Hlutdaw. Ketika kasus ini sedang dibahas, Calcutta mengeluarkan ultimatum yang menuntut agar denda awal dibatalkan dan semua keputusan yang berkaitan dengan hubungan luar negeri Burma diserahkan sepenuhnya kepada Calcutta. Raja setuju dan memenuhi hampir semua tuntutan tetapi menolak menyerahkan kedaulatan dalam urusan luar negeri. Ketika para duta besar Burma memenuhi para perwakilan Eropa untuk meminta pendapat, Inggris malah siap perang. Tokoh-tokoh konservatif di India Inggris percaya bahwa aneksasi Burma sepenuhnya perlu dilakukan karena tidak mungkin mencari pengganti Thibaw yang dengan mudah diterima masyarakat. Thibaw dianggap tiran dan penindas rakyat Burma baik dalam lingkaran pejabat maupun di kalangan pers. Tokoh-tokoh lainnya menolak aneksasi total karena diperkirakan bakal menghabiskan banyak biaya, rumit dan secara administratif terblang lumayan menantang akibat lemahnya infrasturktur yang ada. Mereka meyakini bahwa aneksasi ini akan berujung perlawanan senjata.
            Mayor Jenderal Sir Harry Prendergast diperintahkan menduduki Mandalay secepat mungkin. Di pihak Burma, panglima operasi di barat laut (Hlethin Atwinwun) ditugaskan untuk mengorganisasikan pasukan Burma san sebagi perthanan akhir kerajaan. Dengan memimpin armada bersenjata dan pasukan hampir sebanyak 10.000 orang, Prendergast merebut Bemteng Minhla pada 17 November 1885 dan beberapa hari kemudian mengalahkan pasukan yang dipimpin Hlethin Atwinwun Raja menyerah tanpa syarat pada 27 November 1885.
            Setelah memasuki Mandalay, Kolonel Edward Sladen memberitahu Thibaw bahwa ia akan diasingkan ke India, tempat ia wafat pada 1916. Pada 1 Januari 1886 pemerntah Inggris secara resmi mengumumkan aneksasi Kerajaan Burma. Namun, pada akhir bulan pemrintahan sipil di Burma Atas hancur dalam perlawanan sengit bersenjata melawan kekuasaan Inggris, penduduk desa saling bertempur demi memperebutkan pasokan kebutuhan sehari-hari yang terbatas. Dalam waktu satu bulan, Lord Dufferin (Viceroy India ) menghapuskan Hlutdaw dan mengumumkan bahwa Burma Atas akan berada di bawah kontril langsung pemerintahan Inggris. Pada 26 Februari kerajaan ini secara formal dinyatakan sebagi Provinsi India Inggris.
2.3 Masa Imprealisme Inggris di Burma
Kesalahan terbesar Inggris terhadap Burma adalah mengilkat negeri itu kepada kerajaan India. Akibat yang tak dapat dihindari yakni standardisasi pemerintahan Burma menurut model India. Dalam hal ini Burma berstatus salah satu propinsi British India yaitu suatu wilayah jajahan Inggirs di India yang secara politis penguasa atas Burma diperlakukan sama dengan India. Semua bentuk dan tindakan politik, undang – undang dan peraturan Inggris di India berlaku pula di Burma. Ternyata Inggris tidak memandang atau memperdulikan perbedaan kondisi, sejarah, adat budaya, soaila ekonomi antara India dan Burma. Meskipun demikian, dalam praktik pemerintahaan tidak langsung seperti sistem Belanda yang berlaku di Jawa. Kehidupan warga desa berjalan seperti biasa, sebagian besar seperti dibawah pemerintahan orang – orang Burma. Sehingga pada tahun 1886 burma kehilangan kemerdekaannya karena berada dibawah kekuasaan Imperialisme Inggris.
Gabungan beraneka macam faktor membawa perubahan yang mendasar dalam masalah kenegaraan ini. Pertama proses standardisasi menurut model Inndia mendapat benih – benih yang penting daari usaha – usaha yang harus dalakukan untuk menindas kekacauan setelah terjadi aneksasi tahun 1886. Politik kuno Laissezfaire telah ditinggalkan dan bentuk – bentuk baru campur tangan pemerintahan, yang bertujuan memperbaiki efisiensi atau kesejahteraan sosial mulai dijalankan.
Masalah yang penting setelah aneksasi itu adalah kekacauan. Pasukan Burma tanpa memperdulikan perintah untuk menyerah kabur kehutan – hutan desa dengan senjatanya melakukan perang geriliya di daerah yang kuas. Thungyi – thungyi, yan merupaka tulang punggung sistem pemerintahan distrik Burma, menjasi pemimpin – pemimpin gerakan perlawan itu. Diperlukan waktu 5 tahun perjuangan berata untuk menundukkan negeri itu.
Sur Charles Crosthwaite, yang datang dengan pikiran kuat dan pasti tentang pemerintahan India, sengan membawa konsep rencana yang telah siap untuk menjadikan desa, seperti di India, sebagai basis unit politik dan sosial. Teorinya adalah bahwa kalangan kepala kampung dalam pemerintahan sebelumnya, yang kenal sebagai Myothungyi, menurut istilah “mengungguli dan merampas hak kekuasaan penuh kepala desa”.
Politik itu dijalankan dengan peraturan desa Burma Udik tahun 1887 dan undang – undang desa Burma 1889, yagn diperlakukan diseluruh negeri itu. Kedua langkah – langkah ini memberikan tugas – tugas yang bersifat hukum yang berhubungan dengan pemeliharaan ketertiban dan pengumpulan pendapatan atas kepala kampung dan desa. Mr. J. S. Furnivall, seorang administrator di Burma telah mencermati sistem Myothungyi itu. Pertam a- tama ia menulis, bahwa desa – desa mempunyai tugas – tugas yang dibebankan padanya tanoa hak – hka kompensasi apapun. Kedua, agar mempersamakan tugas- tugas kepala kampung seperti untuk menggabungkan pendapatan yang mencukupi dengan pemerintahan yang efisien. Ketiga, dengan lenyapnya kebiasaan myothungyi menyukai perselisihan yang serius antara desa – desa berdekatan dengan keputusannya “dengan demikian akan sampai pada suatu kompromi sesuia dengan adat yang sudah terkenal”. Kesimpulan umumnya adalah bahwa “ zaman pemerintahan sendiri rakyat Burma telah digantikan oleh sistem hukum asing”.
Hubungan antara Burma dan India mempunyai akibat – akibat yang tidak menguntungkan. Burma dengan British India ini adalah mengakibatkan terjadinya gelombang migarasi bangsa India ke Burma secara besar – besaran, sehingga menimbulkan tekanan ekonomi rakyat Burma. Lagi pula, hubungan India yang diletakkan oleh administrator – administrator Inggris di Burma bersikap negatif terhadap agama negeri itu. Sekarang Budhisme bukan hanya sekedar agama rakyat tetapi juga menjadi agama negara, dan hal tersebut terjadi sejak saat pemerintahan Anawrahta di Pagan (1044 - 1077). Karena itu penghapusan raja membangkitkan masalah penting mengenai posisi organisasi Buddhis di bawah pemerinyahan baru itu. Kondisi demikian itulah yang menjadi penyebab timbulnya kebencian rakyat Burma terhadap orang – orang India dan Inggris.
Reformasi pemerintahan dimulai pada 1887 di bawah pimpinan Kepala Komisioner  Sir Charles Crosthwaite yang ditugaskan untuk menilai kelemahan pemerintahan lokal. Sebagian besar persoalan disebabkan oleh gagalnya para pejabat Inggris mencermati kebiasaan-kebiasaan monoarki dalam mengelolah urusan keagamaan yang merupakan jantung identitas dan realitas konseptual etnis Burma. Tugas raja sebagai pelindung patron Sangha (ondo vihara) Buddha dan dhamma (hukum) adalah kunci kehidupan rakyat Burma yang tidak mampu dipahami pemerintahan sekuler kolonial. Menghindari keterlibatan dalam urusan keagamaan adalah prinsip penguasa kolonial. Namun prinsip itu malah secara langsung mempengaruhi pandangan terhadap pemerintahan baru tersebut. Dengan menolak mengakui kewenangan thathanabaing (kepala ordo vihara yang sebelumnya diangkat oleh raja), Inggris kehilangan kesempatan untuk memenangkan hati orang Burma sejak awal.
Bagi Crosthwaite masalah utama yang terdapat di tingkat desa harus ditangani para pejabat lokal (myothuyi dan taikthugyi) dengan kewenangan nyata dalam urusan finansial, yudisial, dan kebijakan. Setelah dikeluarkannya Upper Burma Regulation Act (UU Regulasi Burma Atas) darurat 1887 dan Burma Village Act (UU Desa Burma) 1889, proses pengangkatan thugyi untuk setiap desa Burma yang berjumlah sekitar 17.000-18.000 dimulai dengan penuh semangat. Pada dasarnya, kepala desa baru akan membolehkan unit desa untuk menjadi fondasi seluruh pemerintahan provinsi dengan tugas-tugas bervariasi mulai dari mengumpulkan pajak hingga pertahanan, pemeliharaan jalan, persiapan, menjaga kebersihan dan menjadi tuan rumah para pejabat distrik yang berkunjun. Pada praktiknya, sistem baru ini menghadapi banyak masalah baik dari kritikus merasa bahwa sedikit sekali kandidat lokal yang dapat dipercaya memengang kekuasaan semacam itu. Sebaliknya para penduduk desa tidak mempercayai orang-orang yang kewenangannya berasal dari pengangkatan langsung rezim kolonial dan bukan berasal dari hubungan timbal balik personal yang sejak lama.
Peralihan dari otoritas personal menjadi pemerintahan impersonal oleh pemerintah Rangoon semakin diperkuat dengan diperkenalkannya pejabat permukiman pada 1872. Posisi baru ini bertanggung jawab memetakan lanskap geografi, topografi, dan budaya Burma untuk menilai potensi ekonomi negara ini. Survei permukiman secara berkala dilakukan dengan pendirian Departemen Arsip Pertahanan pada 1900 dan teras dampaknya karena nilai pajak ditetapkan berdasarkan temuan laporan-laporan ini. Dengan ini, pembayaran uang tunai diharapkan dapat dilakukan secara berkala dan dikumpulkan oleh para kepala desa, walikota, dan pejabat distrik. Kenyataan ini semakin jauh bergeser dari sistem yang lebih flexsibel sebagaimana ditawarkan myothugy tradisonal kepada para konstituennya.
Lembaga-lembaga pemerintah lainnya meningkatkan perhatian negara dalam urusan lokal melalui Departemen Pekerjaaan Umum (1870-an), Departemen Pertanian (1906, Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Hewan (1906) dan koperasi-kopearasi di perkotaan.
Tahun 1900 seorang Komisaris Straits Settlements dan pendaftar – pandaftar tanah diangkat untuk lebih efisien mengenai masalah – masalah pajak pendapatan tanah. Dari tahun 1900 juga pengawasan yang lebihh dekat dilakukan atas pendidikan telah dilembagakan dan perluasan yang luar biasa pendidikan negeri telah dimulai.
Laporan Monague, yang menjadi dasar Undang – Undang pemerintahan India tahun 1919, memintah masalah Burma ditangguhkan dengan pertimbangan khusus, karena rakyatnya dari jenis bangsa yang berbeda, pada tingkatan perkemabngan politik yang berbeda, dengan semua masalah yang berbeda.
Adapun langkah-langkah yang dijalankan Inggris selama masa imprelismenya di Burma dalam bidang pendidikan. Prioritas negara kolonial adalah mendidik masyarakat lokal untuk menghasilkan juru tulis yang bisa berbahasa Inggris, diangkat sebagai pegawai negeri dan bisa juga mendukung manajemen disektor swasta. Tidak seperti pendidikan prakolonial yang dikelola vihara-vihara desa dan karenanya menjalar ke kehidupan ritual dan sosial setempat, progam sekolah kolonial tumbuh dari kepentingan impereum Inggris dan prioritas ekonomi hendak dikembangkannnya. Sekolah-sekolah misionaris dan sekolah yang disponsori pemerintahan menyedihkan pendidikan elite. Namun perekembangannya lambat karena hanya ada sekitar 900 sekolah semacam itu pada awal 1890-an. Tetapi pada 1917 jumlahnya telah mbludak menjadi hampir 5.000. Sejak saat itu lebih banyak siswa menmpuh pendidikan menengah dan tinggi daripada sebelumnya.  Menyebaran pendidikan model Inggris semakin maju hal ini tidak merata dikalangan orang biasa. Komunitas-komunitas non-Pribumi menganggap pendidikan sebagai pintu masuk migrasi, menetap dan bersaing menduduki pos-pos menguntungkan dalam pemerintahan sipil kolonial. Walaupun orang Burma Pribumi tetap merupakan siswa mayoritas di Universitas-kualifikasi penting untuk pekerjaan dibidang bisnis dan pemerintahn baru setelah dibukanya Universitas Rangoon pada 1920 dan sekolah-sekplah tinggi profesional lainnya barulah mereka mendominasi pendidikan tinggi.
Namun tidak dalam hal ekonomi, Ekonomi Burma tetap saja buruk. Tekanan ekonomi akibat tidakan Inggris dan migrasi orang-orang India di Burma, menyebabkan penderitaan luar biasa bagi rakyat Burma. Eksploitasi beras secara besar-besaran di daerah lembah Irawadi, Pegu dan Arakan oleh Inggris sejak tahun 1852, mengakibatkan bangsa Burma tidak mempunyai kesempatan lagi mengekspor beras. Pengembangan kota Rangoon sebagai pusat perdagangan, menyebabkan terjadinya migrasi penduduk (didatangkan oleh Inggris) ke daerah tersebut untuk meningkatkan penanaman padi. Pemerintah Inggris memaksa atau melibatkan Burma untuk mengisi kekosongan atau kekurangan ekspor beras dengan cara penguasaan tanah-tanah subur. Kedatangan para migran India yang rata-rata mencapai 250.000 jiwa tiap tahun dan penggunaan tenaga kerja orang-orang Burma menambah depresi ekonomi Burma.Akumulasi dari peristiwa-peristiwa itulah yang pada akhirnya menimbulkan nasionalisme Burma dan gerakan menentang imperialisme Inggris.
Pada awal abad XX gerakan koperasi diresmikan sebagai tindak lanjut untuk memerangi keburukan ekonomi Burma. Suatu departemen koperasi telah didirikan untuk memajukan masyarakat petani yang dibiayai oleh bank-bank tananhnya. Tahun 1937 ketika Burma telah berpisah dengan India dan telah mendapatkan pengawasan lengkap atas masalah-masalah dalam negerinya, salah satu tindakan pertama dari badan legeslatif barunya adalah mengeluarkan Burma Tenancy Bill untuk melindungi para penyewa tanah, menentang oposisi kuat para Chettyar. Usaha-usaha industri secara besar-besaran lain dikembangkan oleh modal dan keterampilan teknik Inggris di Burma adalah tambang peraklead Bawdwin di Negara-negara Shan Utara, dikerjakan oleh Burma Corporation, pertambangan Mawchi di Karenni, yang menghasilkan ½ produksi timah dan wolfram di Burma; dan tambang timah dan wolfram lain ada di Tenasserim. Sebelum penaklukan oleh Inggris, transportasi utama Burma adalah memulai sungai-sungai besar dan sejumlah anak-anak sungai. Ini yang pertama akan dikembangkan oleh perusahaan Inggris, dan Irrawaddy Flotilla Company yang didirikan tahun 1865, mengoperasikan armada kapal yang di abad sekarang. Armada itu melayari Irrawaddy sampai ke Bhamo, Chindwin sampai ke Homalin, dan kota-kota besar delta. Kemudian datang expansi besar yaitu jalan kereta api.
2.4 Gerakan Nasionalisme Burma
Terdapat kemajuan penting dalam pendidikan dan kesehatan umum, tetapi problem besar dalam bidang ekonomi dan rasial tetap jauh dari pemecahan masalah. Hal tersebut yang menimbulkan gerakan nasionalisme Burma ini bersamaan dengan berdirinya organisasi – organisasi yang bersifat anti kolonialisme Inggris.
Burma telah berkembang dengan modal asing. India, Cina dan Eropa memiliki semua pabrik-pabrik besar dan concern industri, sebagian hutang umum Burma adalah ditangan asing, dan Chetti India tahun 1930 telah menginvestasikan 750 juta rupee di daerah padi di delta.
Gerakan nasional Burma dimulai pada tahun 1906 yang ditandai dengan pembentukan  YMBA (Young Man Budhis Asociation) atau Persatuan Pemuda Birma.  Mula-mula organisasi tersebut bergerak dalam bidang agama dan sosial, sehingga belum bercorak  politik,  tetapi  lebih  banyak  bergerak  dalam  bidang pendidikan.
Faktor pendorong timbulnya nasionalisme di Myanmar Nasionalisme di Myanmar pada umumnya timbul karena hal – hal berikkut :
1.      Pada hakekatnya bangsa Myanmar (baru tahun 1886 menjadi jajahan) belum pernah hilang rasa kebangsaan. Kolonial Inggris belum sempat menaruh sedalam-dalamnya di Myanmar, karena Myanmar pada saat itu menjadi bagian dari India.
2.      Kemanangan Jepang dalam perang Jepang Rusia tahun 1905 yang mempperkuat nasionalisme di India, yang juga menimbulkan rasa nasionalisme di Myanmar.
3.      Perundang-undangan dalam perjanjian Versailles di man Wilson memperjuangkan hak-hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa yang belum merdeka.
4.      Montagu-Chemsford Reform, yang oleh Inggris di tentukan untuk India dan tidak berlaku untuk Myanmar. Montagu-Chemsford Reform (goverment of indian Act 1919) adalah suatu undang-undang yang mengatur pemerintahan India, akibat ketegangan tututan partai Kongres India terhadap Inggris.
Isi dari undang-undang tersebut adalah:  
a.       pemerintahan di India dititik beratkan pada pemerintahan provinsi-provinsi
b.      pemerintahan di provinsi dipegang oelh Inggris dan India . Inggris memegang urusan-urusan yang bersifat vital sedangkan India memegang urusan yang tidak penting.
Gerakan untuk merdeka ini pertama kali dipelopori oleh biksu (pongyis), para biksu menganggap peratutan yang diterapkan oleh Inggris yang menjatuhkan nilai biksu dalam masyarakat Burma dan menjadikan negara Burma menjadi negara sekuler (bersifat keduniaan). Akhirnya pada tahun 1906 para pongyis (biksu budha) mendirikan organisasi yang bernama Young Men’s Buddhis Association (YMBA), organisasi ini diketuai oleh U May Oung. Organisasi ini menitik beratkan pada keagamaan dan pelayanan sosial, karena tidak ingin menjadikan negara Burma menjadi negara sekuler, maka para pongyis (biksu budha) mencoba untuk menyadarkan para komunitas biksu budha (sangha) agar tidak menjadi sekuler. Selain itu para pongyis (biksu budha) juga menanamkan rasa nasionalisme pada masyarakat Burma, hingga pada tahun 1920 organisasi ini berubah nama menjadi Dewan Umum Perkumpulan Budha (GCBA (General Council of Buddhist Associations) yang di ketuai oleh U Chit Hlaing. Perubahan nama ini menandakan anggota organisasi ini bertambah luas, anggota oraganisasi GCBA ini juga mencakup para pelajar dan non-biksu lainnya. Hal ini terbukti dengan demonstrasi yang melibatkan mahasiswa pada tanggal 4 Desember 1920 untuk menentang kebijakan Universitas yang bersifat elistis, selain itu mereka berdemonstrasi karena dibatasinya kegiatan mahasiswa di universitas Rangoon. Pembatasan yang dilakukan oleh pihak Inggris kepada mahasiswa diantaranya adalah dilarang mempublikasikan famflet-famflet yang berisikan pilitik, diskusi politik di arena kampus, pengawalan ketat para mahasiswa di asrama-asrama sehingga menyulitkan gerakan mahasiswa untuk berkonsolidasi.
Demonstrasi terbesar ini juga memprotes diskriminasi politik yang terdapat dalam Montagu-Chelmsford Reform, yaitu sebuah proposal yang berisi program perubahan yang direncanakan Inggris untuk menempatkan dewan legislatif India pada tingkat provinsi. Dewan legislatif tersebut mayoritas terdiri dari orang Inggris dan India, sementara orang Burma tidak diberi posisi untuk menduduki dewan legislatif tersebut. GCBA menginginkan agar mereka diberikan wewenang untuk menontrol sendiri pemerintahan di Burma, mereka kemudian memboikot pemilihan umum untuk memilih dewan yang baru dan menolak posisi eksekutif di kabinet. Perbedaan pendapat di tubuh GCBA mengenai pemisahan Burma dengan India mengakibatkan Dr. Ba Maw menyatakan mengundurkan diri dan membentuk organisasi baru yang bernama partai Sinyetha (Poor Man’s Party) pada tahun 1936, Dr. Ba Maw menyatakan mengundurkan diri karena mendukung tindakan Inggris yang memisahkan Burma dengan India.
Selain mendukung pemisahan Burma dengan India, partai Sinyetha juga mendukung pengurangan pajak, perlindungan petani dari rentenir, dan mendukung wajib belajar. Pergerakan nasional di Burma mulai tampak ada kemajuan ketika terbentuknya Student’s Union pada tahun 1935 di Universitas Rangoon, dari pemilihan ini terpilih Ko Nu (kakak Nu (U Nu) sebagai ketua dan Aung San, Kyaw Nyein, Kyaw Myint, Ba Swe, M.A Raschis, Tun Win, dan Thein Pe sebagai anggota komitenya. Organisasi ini adalah organisasi pertama yang kritis terhadap pemerintah kolonial Inggris (Hugh Tinker), tujuan dibentuknya organisasi ini sudah sangat jelas yaitu ingin membebaskan Burma dari kolonialisme Inggris. Organisasi ini tidak menyia-nyiakan setiap peluang yang ada, diantara peluang itu adalah kampanye yang dilakukan oleh Student’s Union. Dari kampanye yang dilakukan maka Ko Nu sebagai ketua dipenjara, dan Aung san di keluarkan dari Universitas Rangoon. Tak berselang lama, para anggota Student’s Union mengadakan rapat untuk berdemonstrasi menolak tindakan pemerintahan Inggris terhadap Ko Nu dan Aung San. Beberapa bulan kemudian Ko Nu di bebaskan dari penjara dan Aung San diperbolehkan kembali belajar di Universitas Rangoon
Setelah Aung San dan Nu menyelesaikan kuliahnya di Universitas Rangoon, mereka berdua masuk dalam organisasi Dobama Asiayone (We Burma Asociation) atau yang disebut dengan Thakin. Organisasi ini didirikan oleh Thakin Ba Sein dan Thakin Ko pada tahun 1929. Organisasi ini menamakan diri Thakin (yang berarti tuan dalam bahasa Burma), mereka membuat legitimasi bahwa mereka adalah tuan di negara sendiri. Keanggotaan organisasi ini dimulai dari para pengajar, mahasiswa, dan biksu. Mereka beranggapan bahwa kedudukan mereka sama dengan kedudukan Inggris, pemikiran-pemikiran mereka juga banyak di pengaruhi oleh faham Marxisme dan Leninisme. Kemudian pada tahun 1939 Dobama Asiayone mendirikan ketentaraan yang disebut Bama Let Yon Tat (Steel Corps), ketentaraan Dobama Asiayone ini dipimpin oleh Aung San.
Sama seperti CGBA, organisasi Dobama Asiayone juga terpecah belah, namun perbedaannya adalah Dobama Asiayone terpecah menjadi tiga bagian yaitu kelompok yang dipengaruhi oleh kaum komunis yaitu Thakin Soe dan Thein Pe. Kelompok yang kedua adalah kelompok yang dipengaruhi oleh sosialis demokratis yang dipelopori oleh Aung San, dan kelompok yang ketiga yaitu kelompok yang dipelopori oleh agaman Budha yang dipelopori oleh Thakin U Be Swe dan U Nu.
2.5 Akhir Masa Kolonialisme Inggris dan Awal Kolonialisme Jepang
                Masa kolonialisme Inggris berakhir ketika Jepang sebagai negara ekspansonis mengadakan invasi ke daerah Burma, beberapa faktor yang melatarbelakangi invasi Jepang ini dianataranya berkuasanya klan samurai anti kapitalis dan komunis. Mereka adalah penganut sosialis ekstrem yang memiliki kesetiaan tinggi terhadap kaisar, oleh karena itu mereka menjadi totaliter dan fasis. Faktor berikutnya adalah faktor buruknya hubungan Jepang dengan Amerika Serikat dan Inggris akibat invasi yang dilakukan Jepang ke Cina, dimana pada saat itu Cina mempunyai hubungan dagang dengan Amerika Serikat dan pihak Amerika banyak membantu Cina.
Ekspansi Jepang ke wilayah Asia Tenggara pada umumnya dilatarbelakangi oleh keinginam Jepang untuk mendapatkan sumberdaya mentah untuk menopang pembangunan Jepang, utamanya adalah dalam bidang militer. Pencarian sumber daya mentah ini adalah salah satu usaha yang dilakukan oleh Jepang untuk menjadi negara unggul dan superrior diantara negara-negara di Asia Tenggara, Jepang kemudian mempopulerkan Greater Asia Co-Prospherity Sphare (suatu tatanan negara dimana Jepang memiliki kekuasaan penuh) pada tahun 1938 oleh kabinet Konoyo di Tokyo. Jepang membentuk Imperial Japanese Army yang mengurusi masalah pemerintahan dan militer di Asia Tenggara, selain itu Jepang juga membentuk Hohei Ju-go Shidan yaitu badan resmi yang mengatur administrasi dan militer di Burma. Pada tahun 1940 Hohei Ju-go Shidan mengutus Kolonel Keiji Suzuki untuk berunding dengan Thakin, Kolonel Keiji Suzuki menawarkan bantuan kepada Thakin jika thakin mau membantu Jepang dalam Perang Dunia II. Namun kelompok Thakin Soe yang menganut aliran komunis menolaknya, Thakin Soe menganggap bahwa kaum fasis lebih berbahaya dari pada Inggris. Begitu juga dengan alirang sosialis demokratis yang di pelopori oleh Aung San menolak, Aung San kemudian meminta bantuan Chinese Comunist Party (CCP). Ketika Aung San hendak pergi ke ke Shanghai untuk mengadakan kontak dengan CCP dengan menyamar sebagai orang Cina, Aung san tertangkap tentara Jepang di Amoy. Jepang kembali menawarkan bantuan kepada Burma untuk mendapakan kemerdekaan dengan mendapatkan persenjataan yang lengkap dan pelatihan militer kepada Burma, selain itu Jepang juga mengaluarkan propaganda “Burma untuk Burma” dan “Pembebasan Burma dari kolonilisme Inggris”.
Akhirnya Aung San menyetujui perjanjian dengan Jepang tersebut, dalam hal ini Jepang bukan hanya ingin menambah pasukan untuk Perang Dunia II melainkan ada hal lain yang di inginkan oleh Jepang. Diantara keinginan Jepang tersebut diantaranya adalah untuk mengeksploitasi sumber daya alam Burma untuk kepentingan militer Jepang, selain itu Jepang juga ingin memotong jalur Burma Road (Jalur yang dibangun oleh Inggris untuk menyuplai bantuan dari Anglo-Amerika kepada pemerintahan Chungking di Cina). Setelah terjadi perstujuan antara Kolonel Suzuki dengan Aung san, Kolonel Suzuki membuat semacam panduan yang harus dilakukan oleh Burma pada bulan Agustus 1940 untuk mencapai kemerdekaan panduan tersebut dikenal sebagai “Plan for Burma’s Independence”. Tahapan pertama yang harus dilakukan Burma adalah sekelompok nasionalis Burma yang berjumlah 30 orang diselundupkan ke perbatasan Thailand-Burma, kemudian tahapan kedua adalah 30 orang dari keompok nasionalis Burma mendapatkan pelatihan dari instruktur Jepang selama 6 bulan, dan langkah yang terakhir adalah mengirim 30 orang nasionalis Burma ke Burma untuk memulai gerakan bersenjata untuk melawan pemerintah kolonial Inggris.
Untuk menjalankan rencana pertama, yaitu menyelundupkan 30 orang nasionalis Burma keperbatasan Thailand-Burma, pemerintah Jepang beserta Aung San bekerjasama membentuk suatu badan penyelundupan yang bernama Minami Kikan (Minami Intelegence Organization). Badan penyelundupan ini dipelopori oleh 6 angkatan perang (terdiri dari kolone Keiji Suzuki, Kapten Takenobu kawashima, Kapten Naomi Kakubo, Letnan Takeshi Noda, Letnan Hachiro Takashi, dan Letnan Masyayoshi Tamato), Pegawai kelautan (terdiri dari Kaptern Kojima, Hidaka, dan Nagayama), dan tujuh orang sipil (terdiri dari Mitsuru Sugii, Noriyoshi Yokada, Takeshi Higuci, Inao Mizutani, Shozo Kakobu, Aung San, dan Hla Myaing). Badan penyelundupan ini berada dibawah komado Imperial General Heardquartes (IGHQ) di Tokyo yang di kepalai oleh Kolonel Suzuki, badan penyelundupan bekerjasama dengan perusahaan pengelola barang angkutan, Mr. Yamata. Hal ini dilakukan agar tidak muncul kedurigaan dari pihak kolonial Inggris, pada tanggal 12 Maret-8 Juli 1941dimulai perjalanan mengangkut 30 orang nasionalisme Burma dengan menggunakan 4 kapal (Shuten-Maru, Genzan-Maru, Saigon-Maru, dan Asahiyama-Maru).
Sesampainya di Hainan, tugas badan penyelundupan masih belum selesai, mereka masih harus memberikan pelatihan kepada 30 nasionalis Burma (yang disebut Thirty Comrades) dan mengembalikannya ke Burma. Sebagai instruktur, dipilihlah seorang perwira militer bernama San-a di Hainan oleh Angkatan Laut. Lokasi tempat berlatih para 30 orang nasionalis Burma berada dihutan sebelah barat Hainan (San-a Agrikultural Training Institute), kamp tempat berlatih Thirty Comrades dipimpin oleh Letnan Fukuike dari angkatan bersenjata yang masih asisten Kapten Kawashima. Latihan militer dimulai pada tanggal 11 April 1941, dan berakhir pada Oktober 1941. Latihan perang yang dijalani terbagi menjadi 3 bagian keserasian individu, bagian pertama (Aung San, Aung Than, Than Ok, dan Hla Pe) di didik mengenai komado pasukan dan administrasi, bagian kedua (Shu Maung, Tun Shein, Hla Maung, dan Shwe) di didik mengenai taktik gerilya, dan bagian ketiga (berisi anggota-anggota muda Thirty Comrades) di didik mengenai teknik peperangan. Kemudian latihan di teruskan di Tamazato (Taiwan), disana Thirty Comrades di didik mengenai baris berbaris, pelatihan bayonet, taktik dan strategi perang, dan penggunaan senjata.
Di sisi lain, berdasarkan Plan for Burma’s Independence pada Februari 1941, Kolonel Suzuki membuat pusat operasional di Bangkok. Pusat operasional ini didirikan untuk memperlancar kamunikasi antara Minami Kikan dan Thakin di Burma, kemudian pada tanggal 21 Februari 1941 Kolonel Suzuki berhasil membangun pusat operasional di Bangkok. Dalam menjalin komunikasi dan pengiriman barang, pusat operasional (Bangkok Branch) berganti nama menjadi Nampo Kigyo Chosa Kai (Research Association for Southern Region Enterprise) yang dikepalai oleh Kapten Angkatan Laut yaitu Kapten Kojima. Sedangkan anggota Minami Kikan di Thailand menyamar menjadi penambang dan kegiatan kehutanan, kemudian pada tanggal 21 Desember 1941, Kolonel Suzuki memasuki Bangkok dan berhasil membua markas Minami Kikan. Berdasarkan Plan for Burma’s Independence pula, pada tanggal 27 Desember 1941, Kolonel Suzuki membentuk Burma Independence Army (BIA) di Bangkok. Anggota BIA ini diantaranya juga terdapat anggota Minami Kikan dan beberapa masyarakat Burma yang sudah menetap di Bangkok. Setiap anggota BIA dipersenjatai dengan lengakap, BIA dibangun untuk membantu Jepang untuk menaklukkan Inggris di Burma dan menertibakan dan peraturan didaerah yang akan diduduki oleh Jepang.
Sebelum melakukan penyerangan terhadap Inggris di Burma, Kolonel Suzuki mengirim anggota BIA untuk melihat keadaan di Burma. Setelah melihat keadaan, maka Jepang dibantu dengan 30 nasionalisme Burma dan BIA menyerang Lower dan Upper Burma terlebih dahulu kemudian menyerang Rangoon yang merupakan pusat pemerintahan Inggris di Burma. Kemudian BIA dan Jepang berhasil memukul mundur pasukan Inggris dari Tenasserim ke arah utara, penyerangan ini di bawah komando Lida Shojiro. Penyerangan ini tentu membuat tentara Inggris terkejut, selain itu BIA yang telah mendapatkan latihan cukup keras sudah memiliki rencana yang sangat matang. Penyerangan dilanjutkan oleh BIA dan tentara Jepang ke Rangoon pada bulan Januari sampai Maret 1942, akhirnya pada 8 Maret 1942 BIA dan pasukan Jepang berhasil memukul mundur Inggris dan orang-orang India dari Rangoon ke Simla (India).
Berhasilnya BIA dan tentara Jepang memukul mundur Inggris dari Rangoon, tujuan Jepang untuk memotong jalur Burma Road berjalan dengan lancar. Proses invasi Jepang ke Burma semakin menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat, apalagi setelah Jepang memberikan latihan-latiahan militer dan doktrinisasi kepada masyarakat Burma, hingga masyarakat Burma menganggap Jepang sebgai saudara sendiri. Setelah berhasil memukul mundur Inggris dari Burma, Jepang harus menepati janji untuk memberikan kemerdekaan kepada Burma. Namun untuk sementara waktu Jepang mengambil alih pemerintahan Burma, pemerintahan ini dibentuk oleh Kolonel Suzuki pada 7 Maret 1942 dengan nama Baho Goverment dan dikepalai oleh Thakin Tun Ok. Tujuan Baho Goverment adalah untuk menstabilkan administrasi pemerintahan Burma pasca perang melawan Inggris, selain itu Baho Goverment bertujuan untuk mencipatakan situasi dan kondisi yang stabil dan kondusif menjelang pemberian kemerdekaan dari Jepang.
2.6 Proses Kemerdekaan Burma
                Di sisi lain, ketika sedang menunggu kemerdekaan Burma yang akan diberikan oleh Jepang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara Jepang dan Aung san, BIA membuat keributan dengan etnis Keren di Distrik Myaungmya. BIA merampas harta, menculik tokoh-tokoh etnis Keren, bahkan membunuhnya. Alasan BIA melakukan hal ini adalah karena etnis Keren dianggap pro-Inggris sehingga  membahayakan pemerintahan, selain itu BIA menganggap bahwa etnis Keren yang menganut agama Kristen akan mengganggu agama yang sudah turun temurun ada di Burma, yaitu agama Budha. Tindakan yang dilakukan oleh BIA banyak menimbulkan permusuhan dengan etnis Keren, hingga peperangan antara BIA dengan etnis Keren berlangsung sampai Juni 1942. Akibat insiden tersebut, Jepang mengambil tindakan tegas dengan membubarkan BIA pada tanggal 24 Juli 1942 dan membentuk BDA (Burma Defense Army) pada tanggal 26 Agustus 1942 dengan ketua Aung San. Akibat insiden itu juga Baho Goverment dianggap gagal memerintah Burma, maka pada tanggal 1 Agustus 1942 dan kembali membetuk pemerintahan dengan nama BEA (Burma Executive Administration) dengan Dr. Ba Maw sebagai pemimpinnya. Antara Baho Goverment dengan BEA memiliki tugas yang sama, hanya saja BEA memiliki tugas tambahan yakni membiayai pertemuan antara Burma dengan Jepang.
Pertemuan antara Jepang dan Burma terjadi di Tokyo (Jepang) pada  tanggal 11 Maret 1943 dengan wakil dari Burma yaitu Dr. Ba Maw, Aung San, Dr. Thein Maung, dan Thakin Mya, membicarakan mengenai kemerdekaan yang akan diberikan kepada Burma pada tahun 1943. Selain itu Jepang menginginkan dibentuknya komite kemerdekaan, kemudian pada tanggal 8 Mei 1943 dibentuklah Burma Independence Prepotatory Committe (Panitia Persiapan Kemerdekaan Burma) oleh Jepang. Meskipun telah dibentuk komite persiapan kemerdekaan Burma, intervensi Jepang masih sangat kuat dalam komite ini. Bahkan yang membuat draft perjanjian antara Jepang dan Burma adalah wakil dari Jepang, perjanjian tersebut berisi tentang akan dibantunya Jepang pada Perang Dunia II. Pada bula Juli Dr. Ba Maw bertolak ke Singapura untuk bertemu dengan Perdana Menteri Tojo untuk membicarakan kemerdekaan yang akan diberikan Jepang, akhirnya pada 1 Agustus 1943 Burma mendapatkan kemerdekaannya dari Jepang. Pada saat mendeklarasikan kemerdekaannya, pada saat itu pula Dr. Ba Maw diangkat menjadi Perdana Menteri Burma dengan gelar Nainggandaw adipati, alasan Jepang memberikan kemerdekaan ini adalah untuk mengambil simpati masyarakat Burma untuk membantu Jepang dalam Perang Dunia II.
Tidak semua Thankin menduduki jabatan dalam pemerintahan, Thankin Thein Pe dan Thankin Soe yang beraliran komunis tidak masuk dalam pemerintahan, karena menurut mereka komunis tidak akan mengadakan kerjasama dengan kaum fasis. Hingga muncul perang gerilya antara kaum komunis dengan pemerintahan yang dilantik oleh Jepang, setelah kemerdekaan BDA Burma Defense Army berganti nama menjadi BNA (Burma National Army). Penggantian nama ini dimaksudkan untuk keamanan negara Burma dan untuk mempertegas bahwa tentara Burma akan membantu Jepang dalam Perang Dunia II, meskipun demikian Burma tidak lantas berdiri sendiri.
            Setelah kemerdekaan Burma masih dalam kekuasaan Jepang, bahkan setelah BDA berganti menjadi BNA Jepang semakin erat memegang kekuasaan militer, karena pada saat itu militer adalah satu-satunya kekuatan terbesar yang dimiliki oleh Burma. Bahkan setelah kemerdekaan Burma bukan menjadi lebih baik, namun semakin memburuk. Hal ini dikarenakan alat transportasi yang dikuasai oleh Jepang, dan dilarang ekspor dan impor karena menurut Jepang Burma harus bisa mandiri. Selain itu, Jepang juga telah merusak kepercayaan para biksu dengan menggunakan tempat beribadah untuk mejemur pakaian dan tempat pembantaian.
Sehingga muncul asumsi pada masyarakat bahwa Jepang hanya ingin memanfaatkan hasil alam Burma dan memanfaatkan pasukan militer Burma untuk Perang melawan sekutu, hingga munculah pemberontakan diantara para masyarakat utamanya para Thakin yang awalnya mendukung Jepang. Aung San sebagai ketua BNA sekaligus Thakin dan Ne Win seorang komandan BNA dan beberapa tokoh lainnya merencanakan pemberontakan terhadap Jepang pada April 1944, Aung San yang telah banyak mendapatkan pendidikan dari Jepang mengenai militer dan strategi peperangan meminta bantuan secara diam-diam kepada seluruh rakyat Burma pada saat itu. Thankin yang awalnya terpecah belah karena perbedaan aliran, diminta oleh Aung San untuk bersatu kembali dan bersama-sama menyerang Jepang. Etnir Keren-pun tak luput dari ajakan Aung San, bahkan Aung San akan memberikan kesamaan hak dalam pemerintahan jika Jepang sudah bisa dikalahkan. Maka Aung San kemudian membentuk sebuah organisasi yang bernama Anti Fascis Organization (AFO) pada April 1944, organisasi ini membuat bendera dengan warna merah dan bintang ditengah bendera tersebut. Aung San merasa bahwa pasukannya masih kurang untuk mengusir Jepang dari Burma, maka Aung San mengajak semua lapisan masyarakat untuk ikut berjuang mendapatkan kemerdekaan Burma, selain itu Aung Sun juga mengirimkan utusan untuk pergi ke Simla (India) untuk meminta bantuan kepada Inggris selaku musuh dari Jepang.
Pemerintahan yang sedang berjalan pada saat itu bukannya tidak merespon apa yang terjadi dimasyarakat, Perdana Menteri Dr. Ba Maw merasa kecewa kepada Aung San yang tidak mendiskusikan penyerangan terhadap Jepang kepadanya. Aung San memiliki alasan mengapa dia tidak mendiskusikan terlebih dahulu hal ini kepada Perdana Menteri, karena dia merasa Dr. Ba Maw adalah orang yang pro terhapad Jepang. Meskipun sebenarnya tidak demikian, karena Dr. Ba Maw telah megnadakan perjanjian dengan Jepang untuk tidak lagi mengganggu pemertinahan Burma. Selain itu, Dr. Ba Maw merasa bahwa tindakan yang dilakukan oleh Aung San bukanlah tindakan orang yang mengerti tentang peperangan sehingga Dr. Ba Maw membentuk sebuah oraganisasi untuk mengambil hati rakyat, namun hal itu tidak berhasil karena kemarahan rakyat terhadap Jepang sudah memuncak. Tepat setahun setelah kemerdekaan yang di berikan oleh Jepang, Aung San berpidato mengenai perlunya penumpasan fasis dan perlunya kemerdekaan dan menuju kehidupan yang lebih baik. Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1944 Aung San kembali melakukan pertemuan yang dengan perwakilan seluruh lapisan masyarakat untuk kembali membicarakan tentang penyerangan kepada Jepang, dalam pertemuan tersebut AFO berganti nama menjadi AFPFL (Anti-Fascist People Freedom League). Penggantian nama ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya melawan fasis melainkan juga bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Burma yang sebenarnya. Inggris mengirimkan utusannya yang bernama Lord Mountbatten untuk memberikan bantuan kepada AFPFL, dalam penyerangan terhadap tentara Jepang Inggris mengirimkan beberapa pasukan untuk meilahat  situasi dan kondisi yang ada. Lalu penyerangan dimulai dari daerah pinggiran Burma lalu mencapai puncak peperangan di Rangoon. Penyerangan tersebut berlangsung selama 18 hari yaitu pada 11-29 April 1945.
Keadaan negara Jepang semakin terhimpit akibat terjadinya Perang Dunia II dan akibat diajtuhkannya bon atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, hingga akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu melalui perjanjian yang dilakukan diatas kapar perang milik Amerika Serikat. Setelah Jepang mundur dari kawasan yang dijajah di wilayah Asia Tenggara, Burma mengalami masa dekolonisasi Inggris. Banyak perundingan yang terjadi antara Burma dan Inggris selama masa dekolonisasi, hingga akhirnya Burma mendapatkan kemerdekaannya pada 4 Januari 1948 dengan nama Union Of Burma.




4 komentar:

Fikri mengatakan...

posnya Ndak bisa di copy yaa.

Fikri mengatakan...

posnya Ndak bisa di copy yaa.

Unknown mengatakan...

Iya,,,,
Masa 2015 masih ctrl c + v hehehee

Sang petualang ilmu mengatakan...

🙏🙏🙏🙏🙏

AWAL KEDATANGAN INGGRIS HINGGA KEMERDEKAAN BURMA (MYANMAR)



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

                Abad ke-19 menjadi saksi perubahan drastis tatanan kehidupan di Asia Tenggara, bahkan hampir diseluruh belahan dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, kedokteran dan lain sebagainya. Hampir semuanya merupakan keberhasilan dunia barat serta industrialisasi Eropa yang terjadi pada saat yang bersamaan mendorong percepatan modernisasi dan globalisasi ke level terkini. Keduannya memang bukan hal baru didunia tetapi sekarang kondisinya sengaja dipercepat.
            Inggris adalah negara pertama yang memulai industrialisasi sejak abad ke-18. Konsekuensi industrialisasi adalah meningkatnya permintaan bahan mentah baru yang tentu saja diiringi peningkatan kuantitas. Rel kereta api, kapal uap, lapisan timah, persenjataan mutakhir di era industrial dan banyak produk lainnya membuat Eropa melirik Asia Tenggara sebagaimana eksotika rempah menarik kedatangan mereka di abad ke-16. Bagi industrialisasi Barat, Asia Tenggara memiliki sejumlah penawaran strategis termasuk Burma (Myanmar). Asia Tenggara secara tidak langsung disiapkan sebagai panggung sejarah abad ke 20 dan ke 21. Upaya kekuatan-kekuatan kolonial mematok perbatasan baru didaratan Asia Tenggara.
Perhatian Inggris atas Asia Tenggara dimuai ketika pada tahun 1579 penjelajahan F. Drake singgah di Ternate. Ekspedisi lainnya dikirim kan pada akhir abad XVI dan pada tahun 1600 EIC dibentuk untuk mengadakan hubungan dagang dengan kepulauan rempah-rempah.  Inggris mendapat kesempatan baik untuk menanamkan kedudukannya di Burma ketika mendapatkan izin dari raja Alaungpaya mengangkat dirinya sebagai raja di Ava pada tahun 1753-1760.  Burma jatuh ketangan Inggris setelah mengalami 3 kali perang yang disebut the Three Burmese Wars. Setelah Burma menjadi wilayah jajahan Inggris muncul gerakan nasionalisme di Burma. Gerakan-gerakan dari masyarakat untuk merdeka (gerakan nasionalis) dan melepaskan diri dari belenggu penjajah. Hal ini dibahas lebih lanjut dalam Bab II pembahasan tentang awal kedatangan Inggris hingga masa kemerdekaan Burma.

1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, permasalahn yang di angakat dalam makalah ini sebagai berikut :
1).  Bagaimana proses masuknya imprealisme Inggris di Burma ?
2).  Bagaimana usaha Inggris dalam penakhlukan Burma ?
3).  Bagaimana masa Imprealisme Inggris di Burma ?
4).  Bagaimana gerakan nasionalisme Burma ?
5).  Bagaimana berakhirnya kolonialisme Inggris di Burma dan awal kolonialisme Jepang ?
6).  Bagaimana proses perjuangan bangsa Burma dalam meraih kemerdekaan ?

1.3 Tujuan
                Sejalan dengan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini diantaranya sebagai berikut :
1). Mengetahui proses masuknya imprealisme Inggris di Burma
2). Mengetahui  usaha yang dilakukan Inggris dalam penakhlukan Burma
3). Mengetahui masa imprealisme Inggris di Burma
4). Mengetahui gerakan nasionalisme Burma
5).Mengetahui berakhirnya kolonialisme Inggris dan masuknya kolonialisme Jepang di Burma
6). Mengetahui proses perjuangan bangsa Burma dalam meraih kemerdekaan.

1.4 Manfaat
1). Bagi mahasiswa makalah ini dapat mengtahui awal kedatangan Inggris hingga kemerdekaan Burma
2). Bagi pembaca dan penulis dapat lebih mendalami masa imprealisme Inggris di Burma hingga masa kemerdekaan


BAB II PEMBAHASAN

2.1 Proses Masuknya Imprealisme Inggris di Burma
                Tahun 1635 Belanda telah mendirikan vektory dagang di Syiriam dan mulai mengadakan monopoli dagang di daerah tersebut. Belanda dipandang berhasil dalam mencari keuntungan di Burma, maka Inggris mengikuti jejak Belanda dengan mendirikan Victory dagang di Syiriam (1647) yaitu EEIC (English East India Company). Namun, karena Inggris tidak mampu bersaing dengan Belanda, maka usaha dagang tersebut tahun 1657 ditutup.
            Sementara itu, di Burma sendiri banyak terjadi kekacauan baik masalah perebutan kekuasaan, terjadinya pemberontakan bangsa Mon maupun perlawanan terhadap kedatangan orang-orang asing seperti Belanda dan Inggris ke Burma. Bersamaan dengan kedatangan orang-orang Barat tersebut, di Burma terjadi perebutan kekuasaan, muncul pemimpin baru dari dinasti Kenbaung bernama Aungzeya, setelah berhasil memukul mundur bangsa Mon.
            Pihak Inggris juga bermaksud ingin meluaskan usaha dagangnya dari India ke Pegu. Oleh karena itulah ketika Alaungpaya minta bantuan Inggris untuk menghadapi bangsa Mon di Syriam dan Inggris bersedia membantu. Alaungpaya terkenal sebagai pemimpin besar Burma yang berhasil menyatukan seluruh Burma kedalam kekuasaannya dengan membantu angkatan perang Burma yang kuat dan ditakuti oleh negara-negara tetangga.
            Dengan bantuan Inggris pulalah kerajaan Ayut’ia di Ayut’ia tahun 1760 dapat ditakhlukkan. Namun para penggantinya tidak bisa melanjutkan cita-cita ayahnya, sehingga hubungan dengan Inggris (EEIC) dengan Burma menjadi renggang bahkan terhenti untuk beberapa tahun. Pengganti-pengganti Alaungpaya terutama Hsinbyushin (1763-1776) berhasil memperkuat kedudukannya dan tidak suka diperalat Inggris. Bahkan raja-raja berikutnya seperti Badawpaya (1782-1819). Beliau mengadakan perlawanan terhadap Inggris di India. Hal ini oleh Inggris dipandang sebagai ancaman, karena itu kekuatan Burma harus di hancurkan keadaan demikian itulah yang mendorong timbulnya konflik dan peperangan antara Inggris dengan Burma yang terjadi sampai tiga kali, yaitu Perang Burma-Inggris I (1824-1826); Perang Burma-Inggris II (1852-1853); Perang Burma-Inggris III (1885).
2.2 Penaklukan Burma
Inggris mendapat kesempatan baik untuk menanamkan kedudukannya di Burma ketika mendapatkan izin dari raja Alaungpaya mengangkat dirinya sebagai raja di Ava pada tahun 1753-1760. Inggris mendapatkan tempat tinggal di Nacrais dan Bassein. Dengan bantuan Inggris Alaungpaya berhasil menguasai seluruh Burma.
Tujuan Inggris membantu Alaungpaya waktu itu adalah untuk mengkonsolidir Burma sebagai rintangan terhadap ekspansi Perancis dari Indo Cina ke barat. Tetapi raja-raja Burma pengganti Alaungpaya makin kuat kedudukannya dan tidak diperalat Inggris. Bahkan mereka menyerbu Inda meraks besar Inggris. Akibat pecahnya Burma – Inggris
Para penggantinya Alaungpaya tidak bisa melanjutkan cita-cita ayahnya, sehingga hubungan dengan Inggris (EEIC) dengan Burma menjadi renggang bahkan terhenti untuk beberapa tahun. Pengganti-pengganti Alaungpaya terutama Hsinbyushin (1763-1776) berhasil memperkuat kedudukannya dan tidak suka diperalat Inggris. Bahkan raja-raja berikutnya seperti Badawpaya (1782-1819). Beliau mengadakan perlawanan terhadap Inggris di India. Hal ini oleh Inggris dipandang sebagai ancaman, karena itu kekuatan Burma harus di hancurkan keadaan demikian itulah yang mendorong timbulnya konflik dan peperangan antara Inggris dengan Burma yang terjadi sampai tiga kali, yaitu Perang Burma-Inggris I (1824-1826); Perang Burma-Inggris II (1852-1853); Perang Burma-Inggris III (1885).
2.2.1 Perang Inggris – Burma I (1824-1826)
            Perselisihan perbatasan yang memicu Perang Inggris-Burma I pada 1824 bermula dari kebijakan ekspansi Dinasti Konbaung pada abad ke-18. Mereka berupaya mengintegrasikan zona-zona perbatasan barat ke dalam negara Burma serta pengaruh teritorial English East India Company (EEIC) yang semakin besar di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-19 kerajaan-kerajaan semi-otonom Arakan, Manipur, dan Assam yang sebelumnya menjadi daerah penyangga antara wilayah-wilayah EEIC dengan kerajakan Ava sudah berada di bawah kekuasaan Burma. Situasi ini membuat para pejabat di London dan Kolkota (Calcutta) merasa posisinya terancam. Mereka lalu mengerakkan pasukan di sepanjang perbatasan India Inggris untuk menghambat penetrasi dalam bentuk apa pun yang dilakukan pasuakan Burma. Kecurigaan, ketidaktahuan dan kepercayaan diri berlebihan dari kedua sisi perbatasan makin menambah masalah ketika misi-misi diplomatik berupaya mendinginkan situasi yang semakin memanas ini. Masyarakat di sepanjang perbatasan dan di antara keduanya mengambil keuntungan dari perselisihan ini. Mereka kerapkali mengadudomba kedua kekuatan untuk mempertahankan otonominya dan ini turut menambah eskalasi keteganggan di kawasan tersenut.
            Saat dinobatkan sebagai raja Burma pada 1782 Bodawpaya mengerahkan perhatiannya untuk mengintegrasikan kembali Arakan ke dalam kekuasaan kekaisaran. Arakan tergolong etnis Burma dan jika dilihat dari sudut padang keagamaan, rakyatnya merupakan penganut Budha. Itu sebabnya, Arakan berada dalam orbit budaya Kerajaan Burma Sekalipun Arakan menikmati derajat otonomi politik tertinggi, tidak tertutup kesempatan bagi minoritas muslim dan pengaruh India lainnya untuk menetap disana. Hanya dalam selang waktu tiga tahun kerajaan ini dianeksasi. Akibatnya, terjadi deportasi besar-besaran, hampir 20.000 orang berpindah ke Ibukota Burma bersama patung kuno Maha Muni Budha. Pada akhir abad ke-18 bangkitnya kembali negara Siam digaris depan timur Burma mendorong Dinasti Konbaung untuk sekali lagi fokus pada kerajaan Manipur dan Assam, tepat di utara Arakan, guna mengamankan garis depan barat mereka. Manipur kabarnya pernah memiliki hubungan dengan kerajaan Toungoo terkait urusan upeti pada awal abad ke-19 rajanya tidak lagi mengakui kekuasaan Burma. Pada 1819 tentara Burma yang dipimpin Jenderal Thado Maha Bandula menduduki kembali lembah Manipur dan membentuk pemerintahan tidak langsung. Seperti dalam persaingan-persaingan awal mereka dengan Ayutthaaya, orang Burma tidak terlalu tertarik menguasai wilayah tertentu. Mereka hanya ingin mendapatkan tenaga kerja baru untuk wajib militer dikorps pengabdi kerajaan. Situasi ini berujung deportasi para seniman terlatih, abdi keagamaan dan penasihat India ke Istana Burna.
            Perselisihan suksesi membuat negara tetangga, Assam yang pernah memberi upeti kepada Burma ini menjadi tidak stabil. Pasukan Burma berkekuatan 8.000 orang mengangkat seorang pemimpin yang setia kepada Dinasti Konbaung pada 1812 Bodawpaya harus mengirim kembali pasukan berkekuatan 20.000 orang yang dipimpin Maha Bandula. Pada 1823 didirikan pangkalan permanen dan Kerajaan Asssam dihapuskan.
            Perkembangan- perkembangan ini, seiring perselisihan yang semakin berkembang di Arakan, memicu kekhawatiran EEIC karena wilayah India EEIC sekarang berbatasan langsung dengan Burma. Proyek-proyek infrastruktur dan pekerjaan ekspansi irigasi di Burma atas menimbulkan bertambahnya permintaan tenaga kerja dari Arakan yang mendorong eksodus besar-besaran ke wilayah Inggris, eksodus ini disusul dengan perlawanan. Pasukan Arakan memerangi pasukan pelososk wilayah EEIC. Persetujan diam-diam EEIC terhadap basis ini di wilayahnya mayakinkan para pejabat Burma bahwa Inggris tidak dapat dipercaya.
            Situasi pengusngsi yang sama di Manipur menjadi alasan terakhir konfrontasi militer secara terbuaka. Pendudukan Burma di Manipur pada 1823 yang memicu eksodus pengungsi ke kantong-kantong wilayah seperti Kachari atau Cachar menbuat Inggris merasa perlu menjamin keamanan Benggala dan India secara menyeluruh. Raja Kachari memninta Burma untuk membantu menstabilkan masalah pengungsi tetati gerak maju tentara Burma ke dalam wilayah tersebut mendorong Calcutta memprokalmasikannya sebagai protektorat Inggris. Tapi kedatangan pasukan Inggris untuk mengamankan wilayah tersebut membuat situasi malah semakin memburuk.
            Pada 5 Maret 1824 EEIC menyatakan perang kepada Kerajaan Burma. Ini menjadi pertanda dimulainnya Perang Inggris-Burma I (1824-1826). Kejayaan masa silam awalnya menjadi semangat bagi Maha Bandula dan pasukannya. Tetapi, kekuatan pasukan ekspedisi Inggris dan relatif mudahnya mereka bergerak menghadapi pasukan Burma segera menciutkan optimisme awal. Memperkirakan akan terjadi konfrontasi di Chittagong. Maha Bandula mengarahkan pasukkannya menyeberangi Sungai Naaf dan mendapat laporan intelejen bahwa pasukan besar telah tiba di Rangoon (sekarang Yangon). Ia berupaya mencapai Burma Bawah sementara pusakan lainnya diarahkan ke selatan dari ibukota tetapi pasukan Burma tidak mampu membantu Rangoon. Pasukan Inggris merebut kota lalu menembus garis depan pasukan Burma, bergerak ke utara menuju Prome dan Burma tengah. Maha Bandula tewas dalam pertempuran pada 1825. Persenjataan yang lebih unggul dan taktik yang lebih baik memungkinkan Inggris bergerak bergerak menuju Pagan disana pada akhirnya dimulailah perundingan-perundingan dengan Kerajaan Burma. Pada 24 Februari 1826 Raja Bagyidaw menandatangani perjanjian damai Yandapo. Dalam perjanjian ini, Burma diminta membayar ganti rugi dalam jumlah besar serta menyerahkan Assam, Manipur, Arakan dan Tenasserim kepada Inggris.
            Isi Perjanjian Yandabo yaitu :
1. Penyerangan Arakan, Tenasserim dan Manipur secara resmi kepada Inggris.
2. Burma harus membayar pampasan perang sebesar satu juta pounsterling kepada Inggris.
3. Burma harus berjanji mencegah intervensi di negeri-negeri diperbatasan timur laut British India.
4. Burma harus menerima residen Inggris di Amapura.
5. Burma harus mengangkat duta di Calcuta.
6. Harus segera diadakan perundingan untuk mengatur hubungan-hubungan komersial atau dagang.
2.2.2 Perang Inggris-Burma II (1852)
            Perjanjian Yandabo mengharuskan pemeintah Burma membayar ganti rugi sebesar satu juta pounsterling dan menjadi dasar pertukaran perwakilan diplomatik. Kerajaan Burma berharap bahwa wilayah-wilayah yang diserahkan akan dikembalikan setelah pembayaran dilunasi tetapi mereka segera menyadari bahwa di mata Inggris ketentuan-ketentuan dalam perjanjian adalah final dan bersifat mengikat. Perang memberikan dampak signifikan pada kerajaan. Hilangnya wilayah, sumber daya alam dan tenaga kerja segera dieksploitasi para pengklaim takhta yang mengartikan kehilangan tersebut sebagai cerminan langsung berkurangnya kecakapan raja dan ketidakmampuannya untuk memerintah secara efektif. Persepsi Inggris bahwa kerajaan melakukan tindakan mempersulit semakin diperkuat tingkah laku para pejabat pelabuhan Burma di Ranggon yang dilaporkan memaksakan peraturan secara kaku. Ini membuat marah anggota komunitas bisnis asing. Ketika kedua kapal Inggris didenda Gubernur Rangoon karena menghindari bea pabeam pada Desember 1851, Gubernur Jenderal Lord Dalhousie memerintakan dua kapal Angkatan Laut Kerajaan mendatangi pelabuhan dengan ultimatum bahwa denda harus dibatalkan dan gubernur tersebut diganti. Sadar akan potensi terjadinya perang baru, Raja Burma menerima permintaan tersebut, tetapi Inggris terus memblokade garis pantai. Alhasil, Calcutta mengelurkan ultimatum baru yang meminta tebusan satu juta rupee. Meyakini bahwa perang tidak dapat dihindari walau apa pun tanggapan Burma, pasukan Inggris mengambilalih Rangoon,  Bassein dan Martaban. Pasukan Burma berupaya mempertahankan wilayah mereka tetapi Inggris berhasil merebut Pegu pada 1852 dan menciptakan Provinsi Burma baru yang mencakup hapir seluruh Burma Bawah di selatan Prome.
2.2.3 Perang Inggris-Burma III dan Final Aneksasi (1885- 1886)
            Pagan Min (1846-1852) tetap melanjutkan sikap bermusuhan terhadap Inggris. Pagan Min menentang kedatangan dan perdagangan Inggris di Burma. Serangan Inggris tersebut mengakibatkan jatuhnya pemerintahan Pagan Min, kemudian digantikan oleh Mindon Min (1853-1878). Diketahui, bahwa sungai Irawadi merupakan jalur lalulintas perairan sangat penting bagi Burma. Karena Inggris menguasai jalur lalulintas sungai Irawadi dengan menduduki Rangun, maka berarti Inggris menguasai seluruh aktivitas perdagangan di Burma. Akibatnya dari penguasaan Inggris itulah maka Mindon Min tahun 1857 memindahkan ibukotanya ke Mandalay dan berusaha menjalin hubungan baik kembali dengan Inggris.
Politik pemerintahan Mindon Min yang berusaha menjalin hubungan baik dengan Inggris tidak berhasil dan pada akhirnya tetap terjadi ketegangan antara Burma dengan Inggris. Hal ini dikarenakan :
1.      Inggris tidak bersedia menyerahkan Pegu kepada Mindon Min.
2.      Mindon Min kecewa, karena sejak peristiwa pemberontakan tahun 1866,  Inggris melarang Mindon Min membeli persenjataan dari luar.
3.      Inggris memandang rendah terhadap Mindon Min.
4.      Mindon Min mengadakan perjanjian hubungan kerjasama dengan Perancis.
5.      Persoalan Karenni Barat.
Mindon Min meninggal tahun 1878. Sepeninggal Mindon Min di Istana Mandalay terjadi kekacauan karena perebutan tahta kerajaan. Tahta kerajaan akhirnya dipegang oleh Thibaw (1878-1885). Pada masa pemerintahannya timbul kerucuhan anti Inggris, terjadi beberapa peristiwa yang antara lain :
1.      Pengusiran orang-orang Inggris dari Mandalay.
2.      Browne (Residen Inggris) di Mandalay pada bulan Agustus 1879 kembali ke Britis Burma dan menyerahkan tugasnya kepada pembantunya, yaitu Mr St. Barbe.
3.      Bulan September 1897 Sir Luis Cavagnari (Residen Inggris di Kabul) mati terbunuh oleh bangsa Afgan. Sedangkan Inggris khawatir kalau peristiwa ini diikuti oleh Thibaw, sehingga Inggris segera menarik Barbe dan stafnya dari Mandalay.
            Kuatnya kepentingan perniagaan di Burma sangat mempengaruhi para pengambil kebijakan di Rangoon, Calcutta, dan London. Ketidakstabilan di Mandalay dipandang buruk bagi industri beras Burma Bawah yang sedang berkembang pesat dan masalah ini saling-silang dengan urusan keamanan India. Inggris ingin mengakhiri pemborosan dan kebrutalan negara di bawah kepemimpinan Raja Thibaw. Selain itu, Inggris menyadari bahwa kendali langsung terhadap Burma Atas sama artinya dengan menyediakan akses terhadap sumber daya alam dan pasar Cina baratdaya kepada perusahaan-perusahaan asing,
            Menyadari resiko aneksasi menyeluruh, Kerajaan Burma berupaya menggalang dukungan asing dengan menandatangani perjanjian persahabatan dengan Prancis pada awal 1885. Prancis sejak itu tampil sebagi kekuatan utama di Asing Tenggara setelah kolonisasi mereka terhadap kamboja dan Vietnam. Orang-orang Burma berharap dapat menggunakan mereka sebagai lawan berat untuk memerangi ambisi Inggris. Prancis tertarik pada rencana pengembangan sektor transportasi, pendirian bank baru dan pengelolahan industri rubi atau batu delima. Namun, suara-suara penolakan dalam pemerintahan Inggris menggambarkan ketertarikan Prancis terhadap Burma Atas sebagai ancaman potensial bagi India.
            Kemunculan casus belli pada 1885 sekali lagi merupakan akibat pertikaian dagang. Pemerintahan Burma medenda Bombay Trading Company atas tuduhan illegal logging : menebang kayu didaerah-daerah yang ada diluar kontrak kesepakatan. Kasus ini diajukan ke Mandalay yang kemudian dibahas dalam tingkat tertinggi di Hlutdaw. Ketika kasus ini sedang dibahas, Calcutta mengeluarkan ultimatum yang menuntut agar denda awal dibatalkan dan semua keputusan yang berkaitan dengan hubungan luar negeri Burma diserahkan sepenuhnya kepada Calcutta. Raja setuju dan memenuhi hampir semua tuntutan tetapi menolak menyerahkan kedaulatan dalam urusan luar negeri. Ketika para duta besar Burma memenuhi para perwakilan Eropa untuk meminta pendapat, Inggris malah siap perang. Tokoh-tokoh konservatif di India Inggris percaya bahwa aneksasi Burma sepenuhnya perlu dilakukan karena tidak mungkin mencari pengganti Thibaw yang dengan mudah diterima masyarakat. Thibaw dianggap tiran dan penindas rakyat Burma baik dalam lingkaran pejabat maupun di kalangan pers. Tokoh-tokoh lainnya menolak aneksasi total karena diperkirakan bakal menghabiskan banyak biaya, rumit dan secara administratif terblang lumayan menantang akibat lemahnya infrasturktur yang ada. Mereka meyakini bahwa aneksasi ini akan berujung perlawanan senjata.
            Mayor Jenderal Sir Harry Prendergast diperintahkan menduduki Mandalay secepat mungkin. Di pihak Burma, panglima operasi di barat laut (Hlethin Atwinwun) ditugaskan untuk mengorganisasikan pasukan Burma san sebagi perthanan akhir kerajaan. Dengan memimpin armada bersenjata dan pasukan hampir sebanyak 10.000 orang, Prendergast merebut Bemteng Minhla pada 17 November 1885 dan beberapa hari kemudian mengalahkan pasukan yang dipimpin Hlethin Atwinwun Raja menyerah tanpa syarat pada 27 November 1885.
            Setelah memasuki Mandalay, Kolonel Edward Sladen memberitahu Thibaw bahwa ia akan diasingkan ke India, tempat ia wafat pada 1916. Pada 1 Januari 1886 pemerntah Inggris secara resmi mengumumkan aneksasi Kerajaan Burma. Namun, pada akhir bulan pemrintahan sipil di Burma Atas hancur dalam perlawanan sengit bersenjata melawan kekuasaan Inggris, penduduk desa saling bertempur demi memperebutkan pasokan kebutuhan sehari-hari yang terbatas. Dalam waktu satu bulan, Lord Dufferin (Viceroy India ) menghapuskan Hlutdaw dan mengumumkan bahwa Burma Atas akan berada di bawah kontril langsung pemerintahan Inggris. Pada 26 Februari kerajaan ini secara formal dinyatakan sebagi Provinsi India Inggris.
2.3 Masa Imprealisme Inggris di Burma
Kesalahan terbesar Inggris terhadap Burma adalah mengilkat negeri itu kepada kerajaan India. Akibat yang tak dapat dihindari yakni standardisasi pemerintahan Burma menurut model India. Dalam hal ini Burma berstatus salah satu propinsi British India yaitu suatu wilayah jajahan Inggirs di India yang secara politis penguasa atas Burma diperlakukan sama dengan India. Semua bentuk dan tindakan politik, undang – undang dan peraturan Inggris di India berlaku pula di Burma. Ternyata Inggris tidak memandang atau memperdulikan perbedaan kondisi, sejarah, adat budaya, soaila ekonomi antara India dan Burma. Meskipun demikian, dalam praktik pemerintahaan tidak langsung seperti sistem Belanda yang berlaku di Jawa. Kehidupan warga desa berjalan seperti biasa, sebagian besar seperti dibawah pemerintahan orang – orang Burma. Sehingga pada tahun 1886 burma kehilangan kemerdekaannya karena berada dibawah kekuasaan Imperialisme Inggris.
Gabungan beraneka macam faktor membawa perubahan yang mendasar dalam masalah kenegaraan ini. Pertama proses standardisasi menurut model Inndia mendapat benih – benih yang penting daari usaha – usaha yang harus dalakukan untuk menindas kekacauan setelah terjadi aneksasi tahun 1886. Politik kuno Laissezfaire telah ditinggalkan dan bentuk – bentuk baru campur tangan pemerintahan, yang bertujuan memperbaiki efisiensi atau kesejahteraan sosial mulai dijalankan.
Masalah yang penting setelah aneksasi itu adalah kekacauan. Pasukan Burma tanpa memperdulikan perintah untuk menyerah kabur kehutan – hutan desa dengan senjatanya melakukan perang geriliya di daerah yang kuas. Thungyi – thungyi, yan merupaka tulang punggung sistem pemerintahan distrik Burma, menjasi pemimpin – pemimpin gerakan perlawan itu. Diperlukan waktu 5 tahun perjuangan berata untuk menundukkan negeri itu.
Sur Charles Crosthwaite, yang datang dengan pikiran kuat dan pasti tentang pemerintahan India, sengan membawa konsep rencana yang telah siap untuk menjadikan desa, seperti di India, sebagai basis unit politik dan sosial. Teorinya adalah bahwa kalangan kepala kampung dalam pemerintahan sebelumnya, yang kenal sebagai Myothungyi, menurut istilah “mengungguli dan merampas hak kekuasaan penuh kepala desa”.
Politik itu dijalankan dengan peraturan desa Burma Udik tahun 1887 dan undang – undang desa Burma 1889, yagn diperlakukan diseluruh negeri itu. Kedua langkah – langkah ini memberikan tugas – tugas yang bersifat hukum yang berhubungan dengan pemeliharaan ketertiban dan pengumpulan pendapatan atas kepala kampung dan desa. Mr. J. S. Furnivall, seorang administrator di Burma telah mencermati sistem Myothungyi itu. Pertam a- tama ia menulis, bahwa desa – desa mempunyai tugas – tugas yang dibebankan padanya tanoa hak – hka kompensasi apapun. Kedua, agar mempersamakan tugas- tugas kepala kampung seperti untuk menggabungkan pendapatan yang mencukupi dengan pemerintahan yang efisien. Ketiga, dengan lenyapnya kebiasaan myothungyi menyukai perselisihan yang serius antara desa – desa berdekatan dengan keputusannya “dengan demikian akan sampai pada suatu kompromi sesuia dengan adat yang sudah terkenal”. Kesimpulan umumnya adalah bahwa “ zaman pemerintahan sendiri rakyat Burma telah digantikan oleh sistem hukum asing”.
Hubungan antara Burma dan India mempunyai akibat – akibat yang tidak menguntungkan. Burma dengan British India ini adalah mengakibatkan terjadinya gelombang migarasi bangsa India ke Burma secara besar – besaran, sehingga menimbulkan tekanan ekonomi rakyat Burma. Lagi pula, hubungan India yang diletakkan oleh administrator – administrator Inggris di Burma bersikap negatif terhadap agama negeri itu. Sekarang Budhisme bukan hanya sekedar agama rakyat tetapi juga menjadi agama negara, dan hal tersebut terjadi sejak saat pemerintahan Anawrahta di Pagan (1044 - 1077). Karena itu penghapusan raja membangkitkan masalah penting mengenai posisi organisasi Buddhis di bawah pemerinyahan baru itu. Kondisi demikian itulah yang menjadi penyebab timbulnya kebencian rakyat Burma terhadap orang – orang India dan Inggris.
Reformasi pemerintahan dimulai pada 1887 di bawah pimpinan Kepala Komisioner  Sir Charles Crosthwaite yang ditugaskan untuk menilai kelemahan pemerintahan lokal. Sebagian besar persoalan disebabkan oleh gagalnya para pejabat Inggris mencermati kebiasaan-kebiasaan monoarki dalam mengelolah urusan keagamaan yang merupakan jantung identitas dan realitas konseptual etnis Burma. Tugas raja sebagai pelindung patron Sangha (ondo vihara) Buddha dan dhamma (hukum) adalah kunci kehidupan rakyat Burma yang tidak mampu dipahami pemerintahan sekuler kolonial. Menghindari keterlibatan dalam urusan keagamaan adalah prinsip penguasa kolonial. Namun prinsip itu malah secara langsung mempengaruhi pandangan terhadap pemerintahan baru tersebut. Dengan menolak mengakui kewenangan thathanabaing (kepala ordo vihara yang sebelumnya diangkat oleh raja), Inggris kehilangan kesempatan untuk memenangkan hati orang Burma sejak awal.
Bagi Crosthwaite masalah utama yang terdapat di tingkat desa harus ditangani para pejabat lokal (myothuyi dan taikthugyi) dengan kewenangan nyata dalam urusan finansial, yudisial, dan kebijakan. Setelah dikeluarkannya Upper Burma Regulation Act (UU Regulasi Burma Atas) darurat 1887 dan Burma Village Act (UU Desa Burma) 1889, proses pengangkatan thugyi untuk setiap desa Burma yang berjumlah sekitar 17.000-18.000 dimulai dengan penuh semangat. Pada dasarnya, kepala desa baru akan membolehkan unit desa untuk menjadi fondasi seluruh pemerintahan provinsi dengan tugas-tugas bervariasi mulai dari mengumpulkan pajak hingga pertahanan, pemeliharaan jalan, persiapan, menjaga kebersihan dan menjadi tuan rumah para pejabat distrik yang berkunjun. Pada praktiknya, sistem baru ini menghadapi banyak masalah baik dari kritikus merasa bahwa sedikit sekali kandidat lokal yang dapat dipercaya memengang kekuasaan semacam itu. Sebaliknya para penduduk desa tidak mempercayai orang-orang yang kewenangannya berasal dari pengangkatan langsung rezim kolonial dan bukan berasal dari hubungan timbal balik personal yang sejak lama.
Peralihan dari otoritas personal menjadi pemerintahan impersonal oleh pemerintah Rangoon semakin diperkuat dengan diperkenalkannya pejabat permukiman pada 1872. Posisi baru ini bertanggung jawab memetakan lanskap geografi, topografi, dan budaya Burma untuk menilai potensi ekonomi negara ini. Survei permukiman secara berkala dilakukan dengan pendirian Departemen Arsip Pertahanan pada 1900 dan teras dampaknya karena nilai pajak ditetapkan berdasarkan temuan laporan-laporan ini. Dengan ini, pembayaran uang tunai diharapkan dapat dilakukan secara berkala dan dikumpulkan oleh para kepala desa, walikota, dan pejabat distrik. Kenyataan ini semakin jauh bergeser dari sistem yang lebih flexsibel sebagaimana ditawarkan myothugy tradisonal kepada para konstituennya.
Lembaga-lembaga pemerintah lainnya meningkatkan perhatian negara dalam urusan lokal melalui Departemen Pekerjaaan Umum (1870-an), Departemen Pertanian (1906, Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Hewan (1906) dan koperasi-kopearasi di perkotaan.
Tahun 1900 seorang Komisaris Straits Settlements dan pendaftar – pandaftar tanah diangkat untuk lebih efisien mengenai masalah – masalah pajak pendapatan tanah. Dari tahun 1900 juga pengawasan yang lebihh dekat dilakukan atas pendidikan telah dilembagakan dan perluasan yang luar biasa pendidikan negeri telah dimulai.
Laporan Monague, yang menjadi dasar Undang – Undang pemerintahan India tahun 1919, memintah masalah Burma ditangguhkan dengan pertimbangan khusus, karena rakyatnya dari jenis bangsa yang berbeda, pada tingkatan perkemabngan politik yang berbeda, dengan semua masalah yang berbeda.
Adapun langkah-langkah yang dijalankan Inggris selama masa imprelismenya di Burma dalam bidang pendidikan. Prioritas negara kolonial adalah mendidik masyarakat lokal untuk menghasilkan juru tulis yang bisa berbahasa Inggris, diangkat sebagai pegawai negeri dan bisa juga mendukung manajemen disektor swasta. Tidak seperti pendidikan prakolonial yang dikelola vihara-vihara desa dan karenanya menjalar ke kehidupan ritual dan sosial setempat, progam sekolah kolonial tumbuh dari kepentingan impereum Inggris dan prioritas ekonomi hendak dikembangkannnya. Sekolah-sekolah misionaris dan sekolah yang disponsori pemerintahan menyedihkan pendidikan elite. Namun perekembangannya lambat karena hanya ada sekitar 900 sekolah semacam itu pada awal 1890-an. Tetapi pada 1917 jumlahnya telah mbludak menjadi hampir 5.000. Sejak saat itu lebih banyak siswa menmpuh pendidikan menengah dan tinggi daripada sebelumnya.  Menyebaran pendidikan model Inggris semakin maju hal ini tidak merata dikalangan orang biasa. Komunitas-komunitas non-Pribumi menganggap pendidikan sebagai pintu masuk migrasi, menetap dan bersaing menduduki pos-pos menguntungkan dalam pemerintahan sipil kolonial. Walaupun orang Burma Pribumi tetap merupakan siswa mayoritas di Universitas-kualifikasi penting untuk pekerjaan dibidang bisnis dan pemerintahn baru setelah dibukanya Universitas Rangoon pada 1920 dan sekolah-sekplah tinggi profesional lainnya barulah mereka mendominasi pendidikan tinggi.
Namun tidak dalam hal ekonomi, Ekonomi Burma tetap saja buruk. Tekanan ekonomi akibat tidakan Inggris dan migrasi orang-orang India di Burma, menyebabkan penderitaan luar biasa bagi rakyat Burma. Eksploitasi beras secara besar-besaran di daerah lembah Irawadi, Pegu dan Arakan oleh Inggris sejak tahun 1852, mengakibatkan bangsa Burma tidak mempunyai kesempatan lagi mengekspor beras. Pengembangan kota Rangoon sebagai pusat perdagangan, menyebabkan terjadinya migrasi penduduk (didatangkan oleh Inggris) ke daerah tersebut untuk meningkatkan penanaman padi. Pemerintah Inggris memaksa atau melibatkan Burma untuk mengisi kekosongan atau kekurangan ekspor beras dengan cara penguasaan tanah-tanah subur. Kedatangan para migran India yang rata-rata mencapai 250.000 jiwa tiap tahun dan penggunaan tenaga kerja orang-orang Burma menambah depresi ekonomi Burma.Akumulasi dari peristiwa-peristiwa itulah yang pada akhirnya menimbulkan nasionalisme Burma dan gerakan menentang imperialisme Inggris.
Pada awal abad XX gerakan koperasi diresmikan sebagai tindak lanjut untuk memerangi keburukan ekonomi Burma. Suatu departemen koperasi telah didirikan untuk memajukan masyarakat petani yang dibiayai oleh bank-bank tananhnya. Tahun 1937 ketika Burma telah berpisah dengan India dan telah mendapatkan pengawasan lengkap atas masalah-masalah dalam negerinya, salah satu tindakan pertama dari badan legeslatif barunya adalah mengeluarkan Burma Tenancy Bill untuk melindungi para penyewa tanah, menentang oposisi kuat para Chettyar. Usaha-usaha industri secara besar-besaran lain dikembangkan oleh modal dan keterampilan teknik Inggris di Burma adalah tambang peraklead Bawdwin di Negara-negara Shan Utara, dikerjakan oleh Burma Corporation, pertambangan Mawchi di Karenni, yang menghasilkan ½ produksi timah dan wolfram di Burma; dan tambang timah dan wolfram lain ada di Tenasserim. Sebelum penaklukan oleh Inggris, transportasi utama Burma adalah memulai sungai-sungai besar dan sejumlah anak-anak sungai. Ini yang pertama akan dikembangkan oleh perusahaan Inggris, dan Irrawaddy Flotilla Company yang didirikan tahun 1865, mengoperasikan armada kapal yang di abad sekarang. Armada itu melayari Irrawaddy sampai ke Bhamo, Chindwin sampai ke Homalin, dan kota-kota besar delta. Kemudian datang expansi besar yaitu jalan kereta api.
2.4 Gerakan Nasionalisme Burma
Terdapat kemajuan penting dalam pendidikan dan kesehatan umum, tetapi problem besar dalam bidang ekonomi dan rasial tetap jauh dari pemecahan masalah. Hal tersebut yang menimbulkan gerakan nasionalisme Burma ini bersamaan dengan berdirinya organisasi – organisasi yang bersifat anti kolonialisme Inggris.
Burma telah berkembang dengan modal asing. India, Cina dan Eropa memiliki semua pabrik-pabrik besar dan concern industri, sebagian hutang umum Burma adalah ditangan asing, dan Chetti India tahun 1930 telah menginvestasikan 750 juta rupee di daerah padi di delta.
Gerakan nasional Burma dimulai pada tahun 1906 yang ditandai dengan pembentukan  YMBA (Young Man Budhis Asociation) atau Persatuan Pemuda Birma.  Mula-mula organisasi tersebut bergerak dalam bidang agama dan sosial, sehingga belum bercorak  politik,  tetapi  lebih  banyak  bergerak  dalam  bidang pendidikan.
Faktor pendorong timbulnya nasionalisme di Myanmar Nasionalisme di Myanmar pada umumnya timbul karena hal – hal berikkut :
1.      Pada hakekatnya bangsa Myanmar (baru tahun 1886 menjadi jajahan) belum pernah hilang rasa kebangsaan. Kolonial Inggris belum sempat menaruh sedalam-dalamnya di Myanmar, karena Myanmar pada saat itu menjadi bagian dari India.
2.      Kemanangan Jepang dalam perang Jepang Rusia tahun 1905 yang mempperkuat nasionalisme di India, yang juga menimbulkan rasa nasionalisme di Myanmar.
3.      Perundang-undangan dalam perjanjian Versailles di man Wilson memperjuangkan hak-hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa yang belum merdeka.
4.      Montagu-Chemsford Reform, yang oleh Inggris di tentukan untuk India dan tidak berlaku untuk Myanmar. Montagu-Chemsford Reform (goverment of indian Act 1919) adalah suatu undang-undang yang mengatur pemerintahan India, akibat ketegangan tututan partai Kongres India terhadap Inggris.
Isi dari undang-undang tersebut adalah:  
a.       pemerintahan di India dititik beratkan pada pemerintahan provinsi-provinsi
b.      pemerintahan di provinsi dipegang oelh Inggris dan India . Inggris memegang urusan-urusan yang bersifat vital sedangkan India memegang urusan yang tidak penting.
Gerakan untuk merdeka ini pertama kali dipelopori oleh biksu (pongyis), para biksu menganggap peratutan yang diterapkan oleh Inggris yang menjatuhkan nilai biksu dalam masyarakat Burma dan menjadikan negara Burma menjadi negara sekuler (bersifat keduniaan). Akhirnya pada tahun 1906 para pongyis (biksu budha) mendirikan organisasi yang bernama Young Men’s Buddhis Association (YMBA), organisasi ini diketuai oleh U May Oung. Organisasi ini menitik beratkan pada keagamaan dan pelayanan sosial, karena tidak ingin menjadikan negara Burma menjadi negara sekuler, maka para pongyis (biksu budha) mencoba untuk menyadarkan para komunitas biksu budha (sangha) agar tidak menjadi sekuler. Selain itu para pongyis (biksu budha) juga menanamkan rasa nasionalisme pada masyarakat Burma, hingga pada tahun 1920 organisasi ini berubah nama menjadi Dewan Umum Perkumpulan Budha (GCBA (General Council of Buddhist Associations) yang di ketuai oleh U Chit Hlaing. Perubahan nama ini menandakan anggota organisasi ini bertambah luas, anggota oraganisasi GCBA ini juga mencakup para pelajar dan non-biksu lainnya. Hal ini terbukti dengan demonstrasi yang melibatkan mahasiswa pada tanggal 4 Desember 1920 untuk menentang kebijakan Universitas yang bersifat elistis, selain itu mereka berdemonstrasi karena dibatasinya kegiatan mahasiswa di universitas Rangoon. Pembatasan yang dilakukan oleh pihak Inggris kepada mahasiswa diantaranya adalah dilarang mempublikasikan famflet-famflet yang berisikan pilitik, diskusi politik di arena kampus, pengawalan ketat para mahasiswa di asrama-asrama sehingga menyulitkan gerakan mahasiswa untuk berkonsolidasi.
Demonstrasi terbesar ini juga memprotes diskriminasi politik yang terdapat dalam Montagu-Chelmsford Reform, yaitu sebuah proposal yang berisi program perubahan yang direncanakan Inggris untuk menempatkan dewan legislatif India pada tingkat provinsi. Dewan legislatif tersebut mayoritas terdiri dari orang Inggris dan India, sementara orang Burma tidak diberi posisi untuk menduduki dewan legislatif tersebut. GCBA menginginkan agar mereka diberikan wewenang untuk menontrol sendiri pemerintahan di Burma, mereka kemudian memboikot pemilihan umum untuk memilih dewan yang baru dan menolak posisi eksekutif di kabinet. Perbedaan pendapat di tubuh GCBA mengenai pemisahan Burma dengan India mengakibatkan Dr. Ba Maw menyatakan mengundurkan diri dan membentuk organisasi baru yang bernama partai Sinyetha (Poor Man’s Party) pada tahun 1936, Dr. Ba Maw menyatakan mengundurkan diri karena mendukung tindakan Inggris yang memisahkan Burma dengan India.
Selain mendukung pemisahan Burma dengan India, partai Sinyetha juga mendukung pengurangan pajak, perlindungan petani dari rentenir, dan mendukung wajib belajar. Pergerakan nasional di Burma mulai tampak ada kemajuan ketika terbentuknya Student’s Union pada tahun 1935 di Universitas Rangoon, dari pemilihan ini terpilih Ko Nu (kakak Nu (U Nu) sebagai ketua dan Aung San, Kyaw Nyein, Kyaw Myint, Ba Swe, M.A Raschis, Tun Win, dan Thein Pe sebagai anggota komitenya. Organisasi ini adalah organisasi pertama yang kritis terhadap pemerintah kolonial Inggris (Hugh Tinker), tujuan dibentuknya organisasi ini sudah sangat jelas yaitu ingin membebaskan Burma dari kolonialisme Inggris. Organisasi ini tidak menyia-nyiakan setiap peluang yang ada, diantara peluang itu adalah kampanye yang dilakukan oleh Student’s Union. Dari kampanye yang dilakukan maka Ko Nu sebagai ketua dipenjara, dan Aung san di keluarkan dari Universitas Rangoon. Tak berselang lama, para anggota Student’s Union mengadakan rapat untuk berdemonstrasi menolak tindakan pemerintahan Inggris terhadap Ko Nu dan Aung San. Beberapa bulan kemudian Ko Nu di bebaskan dari penjara dan Aung San diperbolehkan kembali belajar di Universitas Rangoon
Setelah Aung San dan Nu menyelesaikan kuliahnya di Universitas Rangoon, mereka berdua masuk dalam organisasi Dobama Asiayone (We Burma Asociation) atau yang disebut dengan Thakin. Organisasi ini didirikan oleh Thakin Ba Sein dan Thakin Ko pada tahun 1929. Organisasi ini menamakan diri Thakin (yang berarti tuan dalam bahasa Burma), mereka membuat legitimasi bahwa mereka adalah tuan di negara sendiri. Keanggotaan organisasi ini dimulai dari para pengajar, mahasiswa, dan biksu. Mereka beranggapan bahwa kedudukan mereka sama dengan kedudukan Inggris, pemikiran-pemikiran mereka juga banyak di pengaruhi oleh faham Marxisme dan Leninisme. Kemudian pada tahun 1939 Dobama Asiayone mendirikan ketentaraan yang disebut Bama Let Yon Tat (Steel Corps), ketentaraan Dobama Asiayone ini dipimpin oleh Aung San.
Sama seperti CGBA, organisasi Dobama Asiayone juga terpecah belah, namun perbedaannya adalah Dobama Asiayone terpecah menjadi tiga bagian yaitu kelompok yang dipengaruhi oleh kaum komunis yaitu Thakin Soe dan Thein Pe. Kelompok yang kedua adalah kelompok yang dipengaruhi oleh sosialis demokratis yang dipelopori oleh Aung San, dan kelompok yang ketiga yaitu kelompok yang dipelopori oleh agaman Budha yang dipelopori oleh Thakin U Be Swe dan U Nu.
2.5 Akhir Masa Kolonialisme Inggris dan Awal Kolonialisme Jepang
                Masa kolonialisme Inggris berakhir ketika Jepang sebagai negara ekspansonis mengadakan invasi ke daerah Burma, beberapa faktor yang melatarbelakangi invasi Jepang ini dianataranya berkuasanya klan samurai anti kapitalis dan komunis. Mereka adalah penganut sosialis ekstrem yang memiliki kesetiaan tinggi terhadap kaisar, oleh karena itu mereka menjadi totaliter dan fasis. Faktor berikutnya adalah faktor buruknya hubungan Jepang dengan Amerika Serikat dan Inggris akibat invasi yang dilakukan Jepang ke Cina, dimana pada saat itu Cina mempunyai hubungan dagang dengan Amerika Serikat dan pihak Amerika banyak membantu Cina.
Ekspansi Jepang ke wilayah Asia Tenggara pada umumnya dilatarbelakangi oleh keinginam Jepang untuk mendapatkan sumberdaya mentah untuk menopang pembangunan Jepang, utamanya adalah dalam bidang militer. Pencarian sumber daya mentah ini adalah salah satu usaha yang dilakukan oleh Jepang untuk menjadi negara unggul dan superrior diantara negara-negara di Asia Tenggara, Jepang kemudian mempopulerkan Greater Asia Co-Prospherity Sphare (suatu tatanan negara dimana Jepang memiliki kekuasaan penuh) pada tahun 1938 oleh kabinet Konoyo di Tokyo. Jepang membentuk Imperial Japanese Army yang mengurusi masalah pemerintahan dan militer di Asia Tenggara, selain itu Jepang juga membentuk Hohei Ju-go Shidan yaitu badan resmi yang mengatur administrasi dan militer di Burma. Pada tahun 1940 Hohei Ju-go Shidan mengutus Kolonel Keiji Suzuki untuk berunding dengan Thakin, Kolonel Keiji Suzuki menawarkan bantuan kepada Thakin jika thakin mau membantu Jepang dalam Perang Dunia II. Namun kelompok Thakin Soe yang menganut aliran komunis menolaknya, Thakin Soe menganggap bahwa kaum fasis lebih berbahaya dari pada Inggris. Begitu juga dengan alirang sosialis demokratis yang di pelopori oleh Aung San menolak, Aung San kemudian meminta bantuan Chinese Comunist Party (CCP). Ketika Aung San hendak pergi ke ke Shanghai untuk mengadakan kontak dengan CCP dengan menyamar sebagai orang Cina, Aung san tertangkap tentara Jepang di Amoy. Jepang kembali menawarkan bantuan kepada Burma untuk mendapakan kemerdekaan dengan mendapatkan persenjataan yang lengkap dan pelatihan militer kepada Burma, selain itu Jepang juga mengaluarkan propaganda “Burma untuk Burma” dan “Pembebasan Burma dari kolonilisme Inggris”.
Akhirnya Aung San menyetujui perjanjian dengan Jepang tersebut, dalam hal ini Jepang bukan hanya ingin menambah pasukan untuk Perang Dunia II melainkan ada hal lain yang di inginkan oleh Jepang. Diantara keinginan Jepang tersebut diantaranya adalah untuk mengeksploitasi sumber daya alam Burma untuk kepentingan militer Jepang, selain itu Jepang juga ingin memotong jalur Burma Road (Jalur yang dibangun oleh Inggris untuk menyuplai bantuan dari Anglo-Amerika kepada pemerintahan Chungking di Cina). Setelah terjadi perstujuan antara Kolonel Suzuki dengan Aung san, Kolonel Suzuki membuat semacam panduan yang harus dilakukan oleh Burma pada bulan Agustus 1940 untuk mencapai kemerdekaan panduan tersebut dikenal sebagai “Plan for Burma’s Independence”. Tahapan pertama yang harus dilakukan Burma adalah sekelompok nasionalis Burma yang berjumlah 30 orang diselundupkan ke perbatasan Thailand-Burma, kemudian tahapan kedua adalah 30 orang dari keompok nasionalis Burma mendapatkan pelatihan dari instruktur Jepang selama 6 bulan, dan langkah yang terakhir adalah mengirim 30 orang nasionalis Burma ke Burma untuk memulai gerakan bersenjata untuk melawan pemerintah kolonial Inggris.
Untuk menjalankan rencana pertama, yaitu menyelundupkan 30 orang nasionalis Burma keperbatasan Thailand-Burma, pemerintah Jepang beserta Aung San bekerjasama membentuk suatu badan penyelundupan yang bernama Minami Kikan (Minami Intelegence Organization). Badan penyelundupan ini dipelopori oleh 6 angkatan perang (terdiri dari kolone Keiji Suzuki, Kapten Takenobu kawashima, Kapten Naomi Kakubo, Letnan Takeshi Noda, Letnan Hachiro Takashi, dan Letnan Masyayoshi Tamato), Pegawai kelautan (terdiri dari Kaptern Kojima, Hidaka, dan Nagayama), dan tujuh orang sipil (terdiri dari Mitsuru Sugii, Noriyoshi Yokada, Takeshi Higuci, Inao Mizutani, Shozo Kakobu, Aung San, dan Hla Myaing). Badan penyelundupan ini berada dibawah komado Imperial General Heardquartes (IGHQ) di Tokyo yang di kepalai oleh Kolonel Suzuki, badan penyelundupan bekerjasama dengan perusahaan pengelola barang angkutan, Mr. Yamata. Hal ini dilakukan agar tidak muncul kedurigaan dari pihak kolonial Inggris, pada tanggal 12 Maret-8 Juli 1941dimulai perjalanan mengangkut 30 orang nasionalisme Burma dengan menggunakan 4 kapal (Shuten-Maru, Genzan-Maru, Saigon-Maru, dan Asahiyama-Maru).
Sesampainya di Hainan, tugas badan penyelundupan masih belum selesai, mereka masih harus memberikan pelatihan kepada 30 nasionalis Burma (yang disebut Thirty Comrades) dan mengembalikannya ke Burma. Sebagai instruktur, dipilihlah seorang perwira militer bernama San-a di Hainan oleh Angkatan Laut. Lokasi tempat berlatih para 30 orang nasionalis Burma berada dihutan sebelah barat Hainan (San-a Agrikultural Training Institute), kamp tempat berlatih Thirty Comrades dipimpin oleh Letnan Fukuike dari angkatan bersenjata yang masih asisten Kapten Kawashima. Latihan militer dimulai pada tanggal 11 April 1941, dan berakhir pada Oktober 1941. Latihan perang yang dijalani terbagi menjadi 3 bagian keserasian individu, bagian pertama (Aung San, Aung Than, Than Ok, dan Hla Pe) di didik mengenai komado pasukan dan administrasi, bagian kedua (Shu Maung, Tun Shein, Hla Maung, dan Shwe) di didik mengenai taktik gerilya, dan bagian ketiga (berisi anggota-anggota muda Thirty Comrades) di didik mengenai teknik peperangan. Kemudian latihan di teruskan di Tamazato (Taiwan), disana Thirty Comrades di didik mengenai baris berbaris, pelatihan bayonet, taktik dan strategi perang, dan penggunaan senjata.
Di sisi lain, berdasarkan Plan for Burma’s Independence pada Februari 1941, Kolonel Suzuki membuat pusat operasional di Bangkok. Pusat operasional ini didirikan untuk memperlancar kamunikasi antara Minami Kikan dan Thakin di Burma, kemudian pada tanggal 21 Februari 1941 Kolonel Suzuki berhasil membangun pusat operasional di Bangkok. Dalam menjalin komunikasi dan pengiriman barang, pusat operasional (Bangkok Branch) berganti nama menjadi Nampo Kigyo Chosa Kai (Research Association for Southern Region Enterprise) yang dikepalai oleh Kapten Angkatan Laut yaitu Kapten Kojima. Sedangkan anggota Minami Kikan di Thailand menyamar menjadi penambang dan kegiatan kehutanan, kemudian pada tanggal 21 Desember 1941, Kolonel Suzuki memasuki Bangkok dan berhasil membua markas Minami Kikan. Berdasarkan Plan for Burma’s Independence pula, pada tanggal 27 Desember 1941, Kolonel Suzuki membentuk Burma Independence Army (BIA) di Bangkok. Anggota BIA ini diantaranya juga terdapat anggota Minami Kikan dan beberapa masyarakat Burma yang sudah menetap di Bangkok. Setiap anggota BIA dipersenjatai dengan lengakap, BIA dibangun untuk membantu Jepang untuk menaklukkan Inggris di Burma dan menertibakan dan peraturan didaerah yang akan diduduki oleh Jepang.
Sebelum melakukan penyerangan terhadap Inggris di Burma, Kolonel Suzuki mengirim anggota BIA untuk melihat keadaan di Burma. Setelah melihat keadaan, maka Jepang dibantu dengan 30 nasionalisme Burma dan BIA menyerang Lower dan Upper Burma terlebih dahulu kemudian menyerang Rangoon yang merupakan pusat pemerintahan Inggris di Burma. Kemudian BIA dan Jepang berhasil memukul mundur pasukan Inggris dari Tenasserim ke arah utara, penyerangan ini di bawah komando Lida Shojiro. Penyerangan ini tentu membuat tentara Inggris terkejut, selain itu BIA yang telah mendapatkan latihan cukup keras sudah memiliki rencana yang sangat matang. Penyerangan dilanjutkan oleh BIA dan tentara Jepang ke Rangoon pada bulan Januari sampai Maret 1942, akhirnya pada 8 Maret 1942 BIA dan pasukan Jepang berhasil memukul mundur Inggris dan orang-orang India dari Rangoon ke Simla (India).
Berhasilnya BIA dan tentara Jepang memukul mundur Inggris dari Rangoon, tujuan Jepang untuk memotong jalur Burma Road berjalan dengan lancar. Proses invasi Jepang ke Burma semakin menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat, apalagi setelah Jepang memberikan latihan-latiahan militer dan doktrinisasi kepada masyarakat Burma, hingga masyarakat Burma menganggap Jepang sebgai saudara sendiri. Setelah berhasil memukul mundur Inggris dari Burma, Jepang harus menepati janji untuk memberikan kemerdekaan kepada Burma. Namun untuk sementara waktu Jepang mengambil alih pemerintahan Burma, pemerintahan ini dibentuk oleh Kolonel Suzuki pada 7 Maret 1942 dengan nama Baho Goverment dan dikepalai oleh Thakin Tun Ok. Tujuan Baho Goverment adalah untuk menstabilkan administrasi pemerintahan Burma pasca perang melawan Inggris, selain itu Baho Goverment bertujuan untuk mencipatakan situasi dan kondisi yang stabil dan kondusif menjelang pemberian kemerdekaan dari Jepang.
2.6 Proses Kemerdekaan Burma
                Di sisi lain, ketika sedang menunggu kemerdekaan Burma yang akan diberikan oleh Jepang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara Jepang dan Aung san, BIA membuat keributan dengan etnis Keren di Distrik Myaungmya. BIA merampas harta, menculik tokoh-tokoh etnis Keren, bahkan membunuhnya. Alasan BIA melakukan hal ini adalah karena etnis Keren dianggap pro-Inggris sehingga  membahayakan pemerintahan, selain itu BIA menganggap bahwa etnis Keren yang menganut agama Kristen akan mengganggu agama yang sudah turun temurun ada di Burma, yaitu agama Budha. Tindakan yang dilakukan oleh BIA banyak menimbulkan permusuhan dengan etnis Keren, hingga peperangan antara BIA dengan etnis Keren berlangsung sampai Juni 1942. Akibat insiden tersebut, Jepang mengambil tindakan tegas dengan membubarkan BIA pada tanggal 24 Juli 1942 dan membentuk BDA (Burma Defense Army) pada tanggal 26 Agustus 1942 dengan ketua Aung San. Akibat insiden itu juga Baho Goverment dianggap gagal memerintah Burma, maka pada tanggal 1 Agustus 1942 dan kembali membetuk pemerintahan dengan nama BEA (Burma Executive Administration) dengan Dr. Ba Maw sebagai pemimpinnya. Antara Baho Goverment dengan BEA memiliki tugas yang sama, hanya saja BEA memiliki tugas tambahan yakni membiayai pertemuan antara Burma dengan Jepang.
Pertemuan antara Jepang dan Burma terjadi di Tokyo (Jepang) pada  tanggal 11 Maret 1943 dengan wakil dari Burma yaitu Dr. Ba Maw, Aung San, Dr. Thein Maung, dan Thakin Mya, membicarakan mengenai kemerdekaan yang akan diberikan kepada Burma pada tahun 1943. Selain itu Jepang menginginkan dibentuknya komite kemerdekaan, kemudian pada tanggal 8 Mei 1943 dibentuklah Burma Independence Prepotatory Committe (Panitia Persiapan Kemerdekaan Burma) oleh Jepang. Meskipun telah dibentuk komite persiapan kemerdekaan Burma, intervensi Jepang masih sangat kuat dalam komite ini. Bahkan yang membuat draft perjanjian antara Jepang dan Burma adalah wakil dari Jepang, perjanjian tersebut berisi tentang akan dibantunya Jepang pada Perang Dunia II. Pada bula Juli Dr. Ba Maw bertolak ke Singapura untuk bertemu dengan Perdana Menteri Tojo untuk membicarakan kemerdekaan yang akan diberikan Jepang, akhirnya pada 1 Agustus 1943 Burma mendapatkan kemerdekaannya dari Jepang. Pada saat mendeklarasikan kemerdekaannya, pada saat itu pula Dr. Ba Maw diangkat menjadi Perdana Menteri Burma dengan gelar Nainggandaw adipati, alasan Jepang memberikan kemerdekaan ini adalah untuk mengambil simpati masyarakat Burma untuk membantu Jepang dalam Perang Dunia II.
Tidak semua Thankin menduduki jabatan dalam pemerintahan, Thankin Thein Pe dan Thankin Soe yang beraliran komunis tidak masuk dalam pemerintahan, karena menurut mereka komunis tidak akan mengadakan kerjasama dengan kaum fasis. Hingga muncul perang gerilya antara kaum komunis dengan pemerintahan yang dilantik oleh Jepang, setelah kemerdekaan BDA Burma Defense Army berganti nama menjadi BNA (Burma National Army). Penggantian nama ini dimaksudkan untuk keamanan negara Burma dan untuk mempertegas bahwa tentara Burma akan membantu Jepang dalam Perang Dunia II, meskipun demikian Burma tidak lantas berdiri sendiri.
            Setelah kemerdekaan Burma masih dalam kekuasaan Jepang, bahkan setelah BDA berganti menjadi BNA Jepang semakin erat memegang kekuasaan militer, karena pada saat itu militer adalah satu-satunya kekuatan terbesar yang dimiliki oleh Burma. Bahkan setelah kemerdekaan Burma bukan menjadi lebih baik, namun semakin memburuk. Hal ini dikarenakan alat transportasi yang dikuasai oleh Jepang, dan dilarang ekspor dan impor karena menurut Jepang Burma harus bisa mandiri. Selain itu, Jepang juga telah merusak kepercayaan para biksu dengan menggunakan tempat beribadah untuk mejemur pakaian dan tempat pembantaian.
Sehingga muncul asumsi pada masyarakat bahwa Jepang hanya ingin memanfaatkan hasil alam Burma dan memanfaatkan pasukan militer Burma untuk Perang melawan sekutu, hingga munculah pemberontakan diantara para masyarakat utamanya para Thakin yang awalnya mendukung Jepang. Aung San sebagai ketua BNA sekaligus Thakin dan Ne Win seorang komandan BNA dan beberapa tokoh lainnya merencanakan pemberontakan terhadap Jepang pada April 1944, Aung San yang telah banyak mendapatkan pendidikan dari Jepang mengenai militer dan strategi peperangan meminta bantuan secara diam-diam kepada seluruh rakyat Burma pada saat itu. Thankin yang awalnya terpecah belah karena perbedaan aliran, diminta oleh Aung San untuk bersatu kembali dan bersama-sama menyerang Jepang. Etnir Keren-pun tak luput dari ajakan Aung San, bahkan Aung San akan memberikan kesamaan hak dalam pemerintahan jika Jepang sudah bisa dikalahkan. Maka Aung San kemudian membentuk sebuah organisasi yang bernama Anti Fascis Organization (AFO) pada April 1944, organisasi ini membuat bendera dengan warna merah dan bintang ditengah bendera tersebut. Aung San merasa bahwa pasukannya masih kurang untuk mengusir Jepang dari Burma, maka Aung San mengajak semua lapisan masyarakat untuk ikut berjuang mendapatkan kemerdekaan Burma, selain itu Aung Sun juga mengirimkan utusan untuk pergi ke Simla (India) untuk meminta bantuan kepada Inggris selaku musuh dari Jepang.
Pemerintahan yang sedang berjalan pada saat itu bukannya tidak merespon apa yang terjadi dimasyarakat, Perdana Menteri Dr. Ba Maw merasa kecewa kepada Aung San yang tidak mendiskusikan penyerangan terhadap Jepang kepadanya. Aung San memiliki alasan mengapa dia tidak mendiskusikan terlebih dahulu hal ini kepada Perdana Menteri, karena dia merasa Dr. Ba Maw adalah orang yang pro terhapad Jepang. Meskipun sebenarnya tidak demikian, karena Dr. Ba Maw telah megnadakan perjanjian dengan Jepang untuk tidak lagi mengganggu pemertinahan Burma. Selain itu, Dr. Ba Maw merasa bahwa tindakan yang dilakukan oleh Aung San bukanlah tindakan orang yang mengerti tentang peperangan sehingga Dr. Ba Maw membentuk sebuah oraganisasi untuk mengambil hati rakyat, namun hal itu tidak berhasil karena kemarahan rakyat terhadap Jepang sudah memuncak. Tepat setahun setelah kemerdekaan yang di berikan oleh Jepang, Aung San berpidato mengenai perlunya penumpasan fasis dan perlunya kemerdekaan dan menuju kehidupan yang lebih baik. Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1944 Aung San kembali melakukan pertemuan yang dengan perwakilan seluruh lapisan masyarakat untuk kembali membicarakan tentang penyerangan kepada Jepang, dalam pertemuan tersebut AFO berganti nama menjadi AFPFL (Anti-Fascist People Freedom League). Penggantian nama ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya melawan fasis melainkan juga bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Burma yang sebenarnya. Inggris mengirimkan utusannya yang bernama Lord Mountbatten untuk memberikan bantuan kepada AFPFL, dalam penyerangan terhadap tentara Jepang Inggris mengirimkan beberapa pasukan untuk meilahat  situasi dan kondisi yang ada. Lalu penyerangan dimulai dari daerah pinggiran Burma lalu mencapai puncak peperangan di Rangoon. Penyerangan tersebut berlangsung selama 18 hari yaitu pada 11-29 April 1945.
Keadaan negara Jepang semakin terhimpit akibat terjadinya Perang Dunia II dan akibat diajtuhkannya bon atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, hingga akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu melalui perjanjian yang dilakukan diatas kapar perang milik Amerika Serikat. Setelah Jepang mundur dari kawasan yang dijajah di wilayah Asia Tenggara, Burma mengalami masa dekolonisasi Inggris. Banyak perundingan yang terjadi antara Burma dan Inggris selama masa dekolonisasi, hingga akhirnya Burma mendapatkan kemerdekaannya pada 4 Januari 1948 dengan nama Union Of Burma.




4 komentar:

Fikri mengatakan...

posnya Ndak bisa di copy yaa.

Fikri mengatakan...

posnya Ndak bisa di copy yaa.

Unknown mengatakan...

Iya,,,,
Masa 2015 masih ctrl c + v hehehee

Sang petualang ilmu mengatakan...

🙏🙏🙏🙏🙏