BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Setelah
Indonesia (khususnya Pulau Jawa) jatuh ke tangan Inggris, Indonesia oleh
pemerintah Inggris dijadikan bagian dari jajahannya di India. Gubernur Jenderal East India Company (EIC),
Lord Minto yang berkedudukan di Calcuta (India) kemudian mengangkat Thomas
Stamford Raffles sebagai letnan gubernur (wakil gubernur) untuk Indonesia
(Jawa). Raffles didampingi oleh suatu
badan penasihat yang disebut Advisory Council.
Tugas utama Raffles adalah mengatur pemerintahan dan meningkatkan
perdagangan, serta keuangan. Sebagai
seorang yang beraliran liberal, Raffles menginginkan adanya perubahan dalam
pemerintahan di Indonesia (Jawa). Selain
bidang pemerintahan, ia juga melakukan perubahan di bidang ekonomi. Ia hendak melaksanakan kebijaksaaan ekonomi
yang didasarkan kepada dasar-dasar kebebasan sesuai dengan ajaran liberal. Langkah-langkah yang diambil oleh Raffles
dalam bidang pemerintahan dan ekonomi adalah mengadakan penggantian sistem
pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi dengan sistem
pemerintahan kolonial ala Barat. Untuk
memudahkan sistem administrasi pemerintahan, Pulau Jawa dibagi menjadi 16
kerasidenan. Para bupati dijadikan
pegawai pemerintah sehingga mereka mendapat gaji dan bukan lagi memiliki tanah
dengan segala hasilnya.
Dengan
demikian, mereka bukan lagi sebagai penguasa daerah, melainkan sebagai pegawai
yang menjalankan tugas atas perintah dari atasannya. Langkah-langkah selanjutnya yaitu menghapus
segala bentuk penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi, kemudian rakyat
diberi kebebasan untuk menanam tanaman yang dianggap menguntungkan. Raffles menganggap bahwa pemerintah kolonial
adalah pemilik semua tanah yang ada di daerah tanah jajahan. Oleh karena itu, Raffles menganggap para
penggarap sawah adalah penyewa tanah pemerintah, sehingga para petani mempunyai
kewajiban membayar sewa tanah kepada pemerintah. Sewa tanah atau landrente ini harus
diserahkan sebagai suatu pajak atas pemakaian tanah pemerintah oleh
penduduk. Sistem sewa tanah semacam itu
oleh pemerintah Inggris dijadikan pegangan dalam menjalankan kebijaksanaan
ekonominya selama berkuasa di Indonesia.
Sistem ini kemudian juga diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda
setelah Indonesia diserahkan kembali kepada Belanda.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis menetapkan beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1.2.1. Bagaimanakah awal kedatangan Raffles
ke nusantara?
1.2.2. Bagaimanakah masa kepemimpinan
Raffles di nusantara?
1.2.3. Bagaimanakah sistem pajak pada masa
Raffles?
1.2.4. Mengapa sistem sewa tanah pada masa
Raffles mengalami kegagalan?
1.3.
Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui awal kedatangan
Raffles ke nusantara
1.3.2. Untuk mengetahui masa kepemimpinan
Raffles di nusantara
1.3.3. Untuk mengetahui sistem pajak pada
masa Raffles
1.3.4. Untuk mengetahui tujuan penerapan
sistem sewa tanah pada masa Raffles
1.3.5. Untuk mengetahui penyebab sistem
sewa tanah pada masa Raffles mengalami kegagalan
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1. Awal Kedatangan Raffles ke Nusantara
Raffles adalah seorang yang kurang
mempunyai karakter hebat tapi cukup bijaksana untuk memilih reputasi dalam
sejarah daripada penghasilan material sesaat (Vlekke, 2008). Raffles bernama lengkap Thomas Stamford
Bringley Raffles lahir 6 Juli 1781 berkewarganegaraan Inggris. Ia adalah seorang Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda yang terbesar. Ayahnya
meninggal saat Raffles berusia 15 tahun.
Saat itu juga ia mulai bekerja sebagai pegawai di London untuk perusahan
Hindia Timur Britania. Disini dia
memulai studinya atas bahasa, adat istiadat dan sejarah Melayu. Sejak tahun 1800, blokade Inggris terhadap
Belanda semakin memuncak. Kedudukan Belanda
yang ada di luar Jawa (hanya Ambon yang agak kuat) diserang Inggris. Demikianlah Ambon, Gorontalo, Banda dan
Ternate praktis dapat dikuasainya. Namun
keadaan tersebut tidak dengan Jawa. Rupanya
pertahanan masih kuat dan memerlukan perhitungan militer yang lebih
serius. Tetapi keputusan itu belum
diambil oleh pucuk pimpinan Inggris di India.
Walaupun demikian, persiapan untuk menyerang Jawa telah dilakukan sejak
masa-masa sebelumnya (Dekker, 1993).
Pada tahun 1808 mulai berlangsung
suatu zaman baru dalam hubungan Jawa-Eropa.
Negeri Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis sejak tahun
1795. Sehubungan dengan sentralisasi
kekuasaan yang semakin besar, maka Napoleon Bonaperte mengangkat adiknya, Louis
Napoleon sebagai penguasa di negeri Belanda pada tahun 1806. Pada tahun 1808, Louis mengirim Marsekal
Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur jenderal (1808-1811)
dan untuk memperkuat pertahanan Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera
Hindia. Dalam perjalanannya Daendels
tidak membawa pasukan baru bersamanya bahkan memakai bendera Amerika untuk
menghindari serangan atau hadangan Inggris di India. Dengan tidak adanya pasukan yang dibawa dia
segera membentuk pasukan yang sebagian besar terdiri atas orang-orang Indonesia
berjumlah dari 4000 menjadi 18000 orang.
Tekanan blockade Inggris yang berat
terhadap Belanda melumpuhkan export kopi yang merupakan salah satu sumber
penghasilan yang besar. Suasana ekonomi
di bawah Daendels yang bersifat revolusioner dan diktaktor ini rusak. Disamping itu kebencian terhadapnya datang
dari semua golongan termasuk orang-orang Eropa sendiri. Maksudnya memberantas penyelewengan dan
korupsi yang menyelimuti administrasi Eropa banyak mengalami kegagalan. Salah satu contoh tindakan Daendels yang
hanya menghasilkan kebencian adalah Ambon masih dipertahankan oleh Belanda
dalam ukuran kecil. Disana ditempatkan
seorang kolonel Perancis yang bernama Filz.
Akibat serangan Inggris itu Filz menyerah. Dia dibebaskan oleh Inggris dan kemudian
pergi ke Batavia untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hasilnya malah kolonel kemudian dijatuhi
hukuman mati (dengan jalan ditembak), itu merupakan perbuatan yang tidak
bertanggung jawab yang dilakukan oleh seorang pemimpin seperti Daendels. Adapun perlawanan diberbagai tempat terhadap
Daendels yang serba keras dari bangsa Indonesia antara lain ialah Banten,
Cirebon dan Yogyakarta.
Pada 1811, Thomas Stamford Raffles
disertakan dalam rombongan ekspedisi ke tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur di
bawah perintah Gubernur Jenderal (di India) Sir Gilbert Elliot
Murray-Kynyn-mond atau yang lebih dikenal dengan nama Lord Minto, hingga
1817. Lord Minto menyukai Raffles karena
kecerdikanya, keterampilan dan kemampuannya dalam berbahasa Melayu sehingga ia
dikirim ke Malaka. Tidak lama setelah
tiba di tanah Jawa pasca Perancis menguasai Kerajaan Belanda, Raffles mengatur
ekspedisi melawan militer Belanda di Jawa. Penyerbuan itu dipimpin oleh Admiral Robert
Stopford, Jenderal Watherhall, Kolonel Gillespie
dan disamping itu ikut juga Jenderal Auchmuty dimana Kapitulasi Tuntang merupakan pertanda
secara resmi mengakhiri riwayat Belanda-Perancis di Indonesia.
Isi dari Kapitulasi Tuntang yang di
tanda tangani oleh Auchmuty dari pihak Inggris dan Janssen dari pihak Belanda,
pada tanggal 18 September 1811 adalah sebagai berikut:
a. Seluruh Jawa diserahkan kepada
Inggris
b. Semua serdadu menjadi tawanan dan
semua pegawai yang mau kerja sama dengan Inggris dapat memegang jabatan terus
c. Semua hutang-piutang pemerintah
belanda yang dulu, tidak akan ditanggung oleh Inggris
2.2. Masa Kepemimpinan Raffles di Nusantara
Kemenangan
Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis menandai berakhirnya kekuasaan
Belanda di Nusantara. Kekuasaan Inggris
di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Madura dan Sunda
Kecil. Pusat pemerintahan Inggris atas
Indonesia berkedudukan di Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur
jenderal. Daerah bekas jajahan Belanda
dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816). Selama pemerintahannya Raffles banyak
melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan Raffles di
Indonesia secara teoritis mirip dengan pemikiran Dirk van Hogendorp pada tahun
1799. Inti dari pemikiran kedua orang
tersebut adalah kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintahan hanya
berhak menarik pajak tanah dari penggarap.
Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum dan kesadaran
baru bahwa baik serikat dagang, terlebih kekuasaan negara tidak mungkin
bertahan hidup dengan memeras masyarakatnya.
Gagasan
Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak
memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan
pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan dan
persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang
pribumi dan Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli
yang diterapkan pemerintah Belanda. Sistem
monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa Raffles
diganti dengan perdagangan bebas. Selain
itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan
barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda mengakibatkan matinya daya usaha
rakyat. Oleh karena itu, pada masa
Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam dan penggunaan
hasil usahanya sendiri. Pada masa
Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang
akan ditanam.
Tidak adanya
kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda telah mengakibatkan terjadinya kekacauan
di berbagai daerah. Tidak adanya perlindungan
hukum untuk para penduduk mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para
penguasa pribumi. Tidak adanya jaminan
bagi para petani mengakibatkan hilangnya dorongan untuk maju. Sesuai pernyataan Hogendorf, ia tidak percaya
pendapat orang-orang Eropa tentang kemalasan orang Jawa karena apabila diberi
kebebasan menanam dan menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk
menghasilkan lebih banyak dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda. Jika kebebasan dan kepastian hukum dapat
diwujudkan, untuk mencapai kemakmuran orang-orang Jawa yang dahulunya tertindas
akan dapat berkembang. Masyarakat pun
dengan keinginannya sendiri akan menanam tanaman-tanaman yang diperlukan oleh
perdagangan di Eropa. Semua ini pada
akhirnya juga akan menguntungkan bagi perekonomian pihak Inggris. Stelsel yang diterapkan pemerintah Belanda
sangat ditentang oleh Raffles, hal ini dikarenakan munculnya penindasan dan
menghilangkan dorongan untuk mengembangkan kerajinan. Secara makro kondisi ini akan menyebabkan
rendahnya pendapatan negara atau negara mengalami kerugian. Pada hakikatnya pemerintahan Raffles
menginginkan terciptanya suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala
unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan
rodi yang dijalankan pemerintah Belanda. Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki
adanya sistem sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi dengan
istilah landrente.
Dalam usahanya
untuk melaksanakan sisten sewa tanah ini Raffles berpegang pada tiga azas,
yaitu:
a. Segala
bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan
rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi
kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam
b. Pengawasan
tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan
menarik pendapatan dan sewanya tanpa perantara bupati-bupati, yang dikerjakan
selanjutnya bagi mereka adalah terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum
c. Menyewakan
tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar
atau kecil menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu
yang terbatas
Adanya suatu
aparatur pemerintahan yang terdiri dari orang-orang Eropa dan mengesampingkan
peranan penguasa pribumi (para bupati).
Menurut Raffles hal ini adalah salah satu tindakan penghapusan
feodalisme Jawa. Para bupati dialih
fungsinya menjadi pengawas ketertiban dan tidak boleh ikut dalam pemungutan
pajak tanah (landrente). Tentang persewaan tanah, menurut Raffles
pemerintah (gubernemen) sebagai pengganti raja-raja Indonesia merupakan pemilik
semua tanah-tanah sehingga dengan demikian mereka boleh menyewakan tanah-tanah
tersebut yaitu dengan menuntut sewa tanah berupa pajak tanah maka pendapat
negara akan baik.
Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu :
a. Kelas I,
yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto
b. Kelas II,
yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga dari hasil bruto
c. Kelas III,
yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto
Selain menerapkan kebijakan landrente,
dalam bidang pemerintahan Thomas Stamford Raffles juga menerapkan kebijakannya
melalui :
a. Membagi tanah Jawa ke dalam 16 kerasidenan
b. Mengurangi jabatan bupati yang
berkuasa
c. Mengangkat Bupati menjadi pegawai
negeri yang digaji
d. Mempraktekkan sistem yuri dalam
pengadilan seperti di Inggris
e. Melarang adanya perbudakan, membangun
pusat pemerintahan di Istana Bogor
f. Kesultanan Banten dihapuskan,
kedaulatan kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada colonial Inggris
2.3. Pajak Masa Raffles
Dalam sub-bab ini akan dijelaskan
mengenai pajak-pajak khususnya pajak tanah pada masa Raffles yang meliputi
pelaksanaan dan sistem pajak tanah, tujuan diterapkannya pajak tanah dan
kegagalan sistem pajak tanah.
2.3.1. Pelaksanaan
dan Sistem Pajak Tanah pada Masa Raffles
a. Faham yang Mendasari
Gagasan
dan cita-cita Liberal adalah hasil pengaruh dari Revolusi Perancis yang dibawa
Sir Thomas Stamford Raffles ke Indonesia yakni prinsip kebebasan, persamaan dan
persaudaraan dinilai membawa kehidupan rakyat lebih baik. Kebebasan,
Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi yang bebas dari unsur paksaan,
penyerahan wajib dan kerja rodi pada masa VOC. Raffles ingin memberikan kepastian hukum
tentang posisi para petani dan rakyat serta kebebasan berusaha dalam menanam
tanaman dan perdagangan. Menurutnya
sistem paksaan masa VOC telah mematikan daya usaha rakyat Indonesia sehingga tidak banyak keuntungan yang diperoleh VOC. Oleh sebab itu masa Raffles diberi
kebebasan untuk menentukan jenis tanaman yang dikehendaki. Selain itu terdapat prinsip persamaan dalam hal ini peranan
bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai gantinya mereka dijadikan
bagian yang integral dari pemerintah kolonial dengan asas-asas pemerintahan
model negeri barat. Pemusatan pada
pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk. Sedangkan dasar kebijakan Raffles yakni
berdasarkan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, para petani sebagai
penyewa milik pemerintah. Untuk
penyewaan diwajibkan membayar sewa tanah berupa mata uang yang telah
ditentukan, sehingga diharapkan produksi pertanian akan bertambah dengan rangsangan
penanaman tanaman perdagangan serta pajak yang diterima oleh pemerintah
akan bertambah dan menjamin arus pendapatan Negara yang stabil. Pengenalan sistem administrasi Eropa yang
efektif mengenai kejujuran, ekonomi dan
keadilan merupakan dasar perubahan sosial budaya kehidupan masyarakat
Jawa dicontohkan menggantikan ikatan adat tradisional dengan ikatan kontrak,
dihapuskannya peranan bupati sebagai pemungut pajak, dapat dikatakan dari
pemerintahan tidak langsung menjadi pemerintahan langsung. Raffles dalam melaksanakan cita-citanya tidak
melihat situasi dan kondisi Tanah Jawa, secara pandangannya disamakan antara
Jawa dengan India. Hal ini membuat
ketidak berhasilan sistem.
b. Pelaksana Sistem Sewa Tanah
Sudah lazim setiap datang penguasa baru, hukum dan peraturan baru pun
muncul pula. Demikian pula dalam
pelaksanaannya, terjadi perbedaan-perbedaan dan penyimpangan-penyimpangan,
meskipun dalam artikel 5 proklamasi 11 September 1811 telah ditentukan bahwa
segala macam kekhawatiran akan terjadinya perubahan besar-besaran akan
dihindarkan. Akan tetapi
peraturan-peraturan dasar yang menguntungkan bagi Belanda juga dilanjutkan oleh
Inggris.
Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816)
oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles yang banyak menghinpun gagasan sewa
tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sistem pajak tanah yang diperkenalkan oleh
Raffles pada masa ia berkuasa di Indonesia, merupakan salah satu realisasi dari
gagasan pembaharuan kaum liberal dalam kebijaksanakan politik di tanah jajahan
yang besar pengaruhnya terhadap perubahan masyarakat tanah jajahan pada masa
kemudian. Kebijakan Gubernur Jenderal
Stamford Raffles ini pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis
dengan semboyannya mengenai Libertie (kebebasan),
Egalitie (persamaan) dan Franternitie (persaudaraan).
Pengenalan sistem pajak tanah yang dilancarkan Raffles, merupakan bagian
integral dari gagasan pembaharuannya tentang sistem sewa tanah di tanah
jajahan. Gagasannya itu timbul dari
upayanya untuk memperbaiki sistem paksa dari Kompeni (VOC) yang dianggap
memberatkan dan merugikan penduduk. Menurut
Raffles sistem penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi akan memberikan
peluang tindakan penindasan dan tidak akan mendorong semangat kerja penduduk,
karena itu merugikan pendapatan negara. Maka
dari itu Raffles menghendaki perubahan sistem penyerahan paksa dengan sistem pemungutan
pajak tanah yang dianggap akan menguntungkan kedua belah pihak baik negara
maupun penduduk.
Dalam pengaturan pajak tanah, Raffles dihadapkan pada pemilihan antara
penetapan pajak secara sedesa dan secara perseorangan. Sebelumnya pengumpulan hasil tanaman terutama
dari sawah yaitu beras dilakukan melalui sistem penyerahan wajib melalui
penguasa pribumi dan dikenakan secara kesatuan desa. Dalam hal ini para bupati dan kepala desa
memiliki keleluasaan untuk mengaturnya. Akan
tetapi Raffles tidak menyukai cara ini karena penetapan pajak per desa akan
mengakibatkan ketergantungan penduduk kepada kemurahan para penguasa pribumi
dan penindasan terhadap rakyat tidak dapat dihindarkan, maka dari itu Raffles
lebih suka memilih penetapan pajak secara perseorangan karena akan lebih
menentukan kepastian hukum dalam bidang perpajakan sekalipun tidak mudah.
Seperti yang telah disebutkan diatas, isi pokok sistem pajak tanah yang
diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang
pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal. Penetapan pajak tanah tersebut didasarkan pada
klasifikasi kesuburan tanah masing-masing dan terbagi atas tiga klasifikasi
yaitu terbaik (I), sedang (II) dan kurang (III). Rincian penetapan pajak itu sebagai berikut :
·
Pajak Tanah Sawah :
Golongan
I,
1/2 Hasil Panenan
Golongan
II, 2/5
Hasil Panenan
Golongan
III, 1/3
Hasil Panenan
·
Pajak Tanah Tegal :
Golongan
I,
2/5 Hasil Panenan
Golongan
II, 1/3
Hasil Panenan
Golongan
III, 1/4
Hasil Panenan
Pajak dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi atau beras,
yang ditarik secara perseorangan dari penduduk tanah jajahan. Penarikan pajak dilakukan oleh petugas
pemungut pajak. Pelaksanaan pemungutan
pajak tanah dilakukan secara bertahap. Pertama-tama
dilakukan percobaan penetapan pajak per distrik di Banten. Kemudian pada tahun 1813 dilanjutkan dengan
penetapan pajak per desa dan baru pada tahun 1814 diperintahkan untuk dilakukan
penetapan pajak secara perseorangan.
Apabila dirinci, terdapat tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak
tanah :
v Penyelenggaraan
sistem pemerintahan atas dasar modern
Pergantian dari sistem
pemerintahan-pemerintahan yang tidak langsung yang dulu dilaksanakan oleh para
raja-raja dan kepala desa digantikan dengan pemerintahan modern yang tentu
saja lebih mendekati kepada liberal karena Raffles sendiri adalah seorang
liberal. Penggantian pemerintahan
tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional
sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi
ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para
pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa.
v Pelaksanaan
pemungutan sewa
Pelaksanaan pemungutan sewa selama
pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak tersebut dipungut
bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Dalam mengatur pemungutan ini tiap-tiap
kepala desa diberikan kebebasan oleh VOC untuk menentukan berapa besar pajak
yang harus dibayarkan oleh tiap-tiap kepala keluarga. Pada masa sewa tanah hal ini digantikan
menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan seluruh desa.
v Penanaman
tanaman dagangan untuk di eksport
Pada masa sewa tanah ini terjadi
penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman
kopi yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem
sewa tanah mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para
petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas, karena
para petani dibebaskan menjual sendiri tanaman yang mereka tanam. Dua hal yang ingin dicapai oleh Raffles
melalui sistem sewa tanah ini adalah :
Ø Memberikan
kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah
Ø Mengefektifkan
sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi dan keadilan
2.3.2.
Tujuan
Penerapan Sistem Sewa Tanah
Pelaksanaan
sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Stamford
Raffles mengandung tujuan sebagai berikut :
·
Para petani dapat menanam dan
menjual hasil panennya secara bebas untuk memotovasi mereka agar bekerja lebih
giat sehingga kesejahteraannya mejadi lebih baik
·
Daya beli masyarakat semakin meningkat
sehingga dapat membeli barang-barang industri Inggris
·
Pemerintah kolonial mempunyai
pemasukan negara secara tetap
·
Memberikan kepastian hukum atas
tanah yang dimiliki petani
·
Secara bertahap untuk mengubah
sistem ekonomi barang menjadi ekonomi uang
Perubahan-perubahan
yang terjadi dengan dilaksanakannya sistem sewa tanah, dapat dikatakan
revolusioner karena mengandung perubahan azasi, yaitu unsur paksaan yang
sebelumnya dialami oleh rakyat, digantikan dengan unsur sukarela antara
pemerintah dan rakyat. Jadi, perubahan ini bukan
hanya semata-mata perubahan secara ekonomi, tetapi juga perubahan sosial-budaya
yang menggantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan ikatan kontrak
yang belum pernah dikenal, yaitu digantikannya sistem tradisional yang
berdasarkan atas hukum feodal menjadi sistem ekonomi yang didasarkan atas
kebebasan.
Secara
singkat perubahan tersebut, antara lain sebagai berikut :
·
Unsur paksaan digantikan dengan
unsur bebas sukarela
·
Ikatan yang didasarkan pada ikatan
tradisional, diubah menjadi hubungan yang berdasarkan perjanjian
·
Ikatan adat-istiadat yang telah
turun-temurun menjadi semakin longgar akibat pengaruh barat
2.4.
Kegagalan
Sistem Sewa Tanah
Pelaksanaan
sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada
sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata
memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di
Indonesia. Sistem sewa tanah tersebut tidak
berjalan lama, hal itu disebabkan beberapa faktor dan mendorong sistem tersebut
untuk tumbang kemudian gagal dalam peranannya mengembangkan kejayaan kolonisasi
Inggris di Indonesia.
Beberapa
faktor kegagalan sistem sewa tanah antara lain ialah :
·
Keuangan negara yang terbatas,
memberikan dampak pada minimnya pengembangan pertanian
·
Pegawai-pegawai negara yang cakap
jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh para kalangan
pemerinah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut kurang
berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut
·
Masyarakat Indonesia pada masa itu
belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang pernah mengalami sistem
sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana
pada abad ke-9, masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana dan
hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit
diberlakukan karena motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksifitas
pertaniannya dalam penjualan ke pasar bebas belum disadari betul
·
Masyarakat Indonesia terutama di
desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga
motifasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari produksifitas hasil
pertanian belum disadari betul
·
Pajak tanah yang terlalu tinggi,
sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap dan dapat menurunkan
produktifitas hasil pertanian
·
Adanya pegawai yang bertindak
sewenang-wenang dan korup
·
Singkatnya masa jabatan Raffles yang
hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan
penyimpangan dalam sistem sewa tanah
Secara garis
besar kegagalan Raffles dalam sistem sewa tanah di Jawa terkendala akan susunan
kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri. Dimana
Raffles memberlakukan sistem yang sama antara India yang lebih maju dalam
perekonomiannya pada Indonesia yang masa itu masih cukup sederhana dimana sifat
ekonomi desa di Jawa yang bersifat self suffcient. Dalam pelaksanaannya, sistem pemungutan pajak
tanah ini tidak semua dapat dilakukan menurut gagasannya karena banyak
menghadapi kesulitan dan hambatan yang timbul dari kondisi di tanah
jajahan. Malahan praktek pemungutan
pajak tanah banyak menimbulkan kericuhan dan penyelewengan. Belum adanya pengukuran luas tanah yang tepat,
kepastian hukum dalam hak milik tanah belum ada, hukum adat masih kuat,
penduduk belum mengenal ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan
pelaksanaan pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak
menimbulkan penyelewengan. Keinginan Raffles untuk memperbaiki
kebijakannya ini terhalang oleh terjadinya perubahan politik di Eropa yang
membuatnya terpaksa meninggalkan Indonesia.
Kurang
berhasilnya sistem pemungutan pajak tanah yang dilancarkan Raffles menyebabkan
pemerintah Belanda yang menerima pengembalian tanah jajahan dari Inggris pada
tahun 1816 ragu dalam memilih antara sistem pajak dan sistem paksa. Dihadapkan tuntutan negeni induk yang mendesak
pertimbangan terhadap sistem yang lebih menguntungkan negeri induk cenderung
selalu yang dipilih. Demikian pula yang
dihadapi para penguasa kolonial pada masa 1816-1830.
Walaupun Inggris hanya berkuasa
singkat namun Raffles meninggalkan karya yang bermanfaat bagi rakyat Indonesia
diantaranya menulis buku History of Java, merintis pembuatan Kebun Raya Bogor
dan penemuan bunga Bangkai (Rafflesia arnoldi).
BAB 3. KESIMPULAN
3.1. Simpulan
Kemenangan
Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis, menandai berakhirnya kekuasaan
Belanda di Nusantara. Daerah bekas
jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford
Raffles (1811-1816). Selama
pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di
Indonesia. Pada masa Raffles masyarakat
diberi kebebasan bekerja, bertanam dan penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan
untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam. Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki
adanya sistem sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi dengan
istilah landrente. Selain menerapkan kebijakan landrente,
dalam bidang pemerintahan Thomas Stamford Raffles juga menerapkan kebijakannya
melalui membagi tanah Jawa ke dalam 16 karesidenan, mengurangi jabatan bupati
yang berkuasa, mengangkat Bupati menjadi pegawai negeri yang digaji, mempraktekkan
sistem yuri dalam pengadilan seperti di Inggris dan melarang adanya perbudakan,
serta membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor. Isi pokok sistem pajak tanah yang
diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang
pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal.
Pelaksanaan
sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Stamford
Raffles mengandung tujuan yaitu diantaranya bagi para petani dapat menanam dan
menjual hasil panennya secara bebas untuk memotivasi mereka agar bekerja lebih
giat sehingga kesejahteraannya mejadi lebih baik, daya beli masyarakat semakin
meningkat sehingga dapat membeli barang-barang industri Inggris, Pemerintah
kolonial mempunyai pemasukan negara secara tetap, memberikan kepastian hukum atas
tanah yang dimiliki petani, secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi
barang menjadi ekonomi uang. Akan tetapi Pelaksanaan sistem sewa
tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem
pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata
memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta :
Depdikbud. 1982.
2.
Ahmad Nashih Luthfi.melacak sejarah pemikiran agraria(sumbangan
pemikiran mazhad bogor).Jogyakarta.Pustaka Ifada. 2011.
3.
Kartodirjo, Sartono. Pengantar
Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium sampai Imporium, Jilid
1. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1995.
4.
M.C.Ricklefs. Cetakan lima. Sejarah
Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University. 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar