(Disusun
guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah)
Dosen
Pengampu mata kuliah Drs. Kayan Swastika Msi.
Disusun oleh:
Kelompok 5 C
EkaAriskaPutri
(120210302005)
Mohammad Iqbal (120210302017)
Dwi Nur Imsawati (120210302029)
Kelas B
PRODI
PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peristiwa sejarah yang telah
ditulis dengan baik niscaya sangat bermakna bagi manusia, bukan saja sekedar
mengetahui dan memahami peristiwa sejarah yang dimaksud, melainkan juga menjadi
pelajaran yang terbaik guna memperbaiki diri seperti apa yang terjadi apabila
pereistiwa sejarah itu dapat menjadi contoh atau menjauhi dan menghindarinya
bilaman peristiwa sejarah itu berbeda dengan harapan manusia. Dalam memahami
dan menelaah setiap peristiwa sejarah. Terlebih dahulu dipahami pentingnya
penjelasan atau keterangan yang mendukung dimungkinkan kita dapat menelaah
suatu peristiwa sejarah. Penjelasan atau keterangan metodolgi sejarah itu disebut
ekspalansi sejarah.
Ekspalansi
sejarah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam metodolgi sejarah.
Hal ini dipergunakan untuk mengembangkan, menganalisis, dan menjelaskan hubungan diantara
pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada. Dalam ilmu sejarah
yang merupakan kesepakatan para sejarawan dengan sebutan kausalitas
(causations) serta bentuk-bentuk penghubung lain (connections) yang
digunakan oleh para sejarawan ketika mereka menyintesis fakta-fakta ”Berkhofer
dalam Helius Sjamuddin, 1996:23”
Ucapan mengenai fakta-fakta historis merupakan deskripsi-deskripsi
mengenai masa silam. Tetapi, seorang ahli sejarah tidak membatasi diri pada
usaha melukiskan masa silam, ia juga berusaha memikirkan suatu keterangan atau
penjelasan yang masuk akal, mengenai apa yang terjadi pada masa silam. Secara prinsip pertanyaan itu harus
di beri jawaban secara objektif dan yang masuk akal. Karena pentingnya
permasalahan itu, maka sungguh menyedihkan apabila para ahli sejarah tidak
bersedia menjawab pertanyaan, siapakah yang bersalah. Barang siapa yang
mengajukan pertanyaan itu mengenai sebabnya dan oleh karena itu minta suatu
penjelasan.
Ekspalansi
dipergunakan dalam arti biasa menurut D.H. Fischer, yaitu membuat terang,
jelas, transpran, dan dapat dimengerti, Fischer membatasi pengertian pengertian
menjelaskan untuk apa, bagaimana, kapan, dan siapa, tetapi, tidak dapat
dipersoalkan mengapa? Yang terakhir ini tidak dipersoalkan berdasarkan alasan
karena orang tidakn perlu ingin tahu mengenai mengapa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan rincian yang telah dikemukakan sebelumnya, yang menjadi
pokok
penulisan
pada
makalah
ini
dapat
dirumuskan
sebagai
berikut:
1) Bagaimana
hakekat dari Eksplanasi Sejarah ?
2) Bagaimana
periodisasi atau pembabakan dalam sejarah ?
3) Bagaimana
model-model dari Eksplanasi Sejarah ?
1.3 Tujuan
Sejalan dengan rumusan
masalah diatas, tujuan dari makalah ini diantaranya adalah :
1)
Untuk dapat mengetahui dan memahami
hakekat Eksplanasi Sejarah.
2)
Untuk dapat mengetahui dan memahami
periodisasi atau pembabakan dalam sejarah.
3)
Untuk dapat mengetahui dan memahami model-model
dari Eksplanasi Sejarah.
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1
Hakekat
Eksplanasi Sejarah
Eksplanasi adalah suatu proses yang
menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan yang tepatpernyataan-pernyataan yang
bersifat umum (general statements). Arti penting dari eksplanasi sejarah sendiri adalah menunjukkan kausalitas
yang sesungguhnya mengenai suatu peristiwa sejarah.
Penjelasan sejarah
ialah usaha membuat unit sejarah intelligible (dimengerti secara cerdas).
Mengapa sekedar “penjelasan” dan bukan “analisis” yang lebih meyakinkan dan
pasti ? Kata “analisis ” memang juga dipakai secara bergantian dengan
“penjelasan”, di antaranya oleh Marc Bloch, terutma ketika orang menganalisis
hubungan kausal antara gejala sejarah. Akan tetapi, karena kata “penjelasan”
lebih sesuai untuk sejarah pada umumnya, sedangkan kata “analisis” tidak
sepenuhnya sesuai dengan hakikat ilmu sejarah, maka di sini dipakai kata
“penjelasan”.
Eksplanasi sejarah merupakan kegiatan yang
menghubungkan atau mengkaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya melalui
penggunaan pernyataan yang tepat dan bersifat umum. Berangkat dari penjelasan
umum tersebut maka dilanjutkan dengan penjelasan ilmiah dan penjelasan sejarah.
Penjelasan
ilmiah
dimulai
dengan
observasi (pengamatan),
berakhir dengan konsep – konsep umum (generalisasi), dimana
gejala
dilihat
sebagai
dalam
kerangka
suatu
penegakan
generalisasi.
Sedangkan penjelasan
dalam sejarah berupaya untuk menyelami apa yang ada di dalam suatu peristiwa (dapat
menghayati peristiwa sebenarnya dari dalam). Bagian dalam suatu peristiwa
adalah pikiranyang ada dibalik wujud fisik.
Sedangkan bagian luar peristiwa sejarah adalah wujud
fisik atau gerak dari suatu peristiwa. Eksplanasi sejarah terdiri dari beberapa bagian
yaitu konsep, fakta, kontruksi, dan sebab musabab. Konsep adalah kesimpulan
dari gejala-gejala dalam suatu peristiwa sejarah. Fakta adalah suatu unsur yang
dijabarkan secara langsung atau tidak langsungdari dokumen sejarah dan dianggap
credible (dapat dipercaya). Setelah melalui tahap pengujian sesuai hokum metode
sejarah. Kontruksi adalah pembentukan atau penggambaran suatu peristiwa
sejarah.
Sebab terbagi menjadi dua bagian, pertama sebab langsung dan kedua
sebab tidak langsung. Sebab langsung adalah pemicu peristiwa sejarah yang dapat
diketahui dengan observasi, pengamatan, ataupun perekaman. Sedangkan sebab
tidak langsung merupakan pemicu terjadinya peristiwa sejarah yang tidak dengan
begitu saja dapat dibuktikan namun sebab tidak langsung inilah yang merupakan
bagian terpenting dalam pembentukan fakta sejarah. Penyusunan fakta sejarah
tidak terlepas dari konsep, ketiga hal ini merupakan bagian terpenting dalam
kontruksi sejarah.
Ekspalansi sejarah secara
pradikmatikal terdiri atas ekspalandum (ekspalandum), atau pernyataan untuk
memberikan ekspalansi dan eksplans atau perangkat pernyataan untuk memberikan
ekspalansi. Eugene J. Mehaan dalam T Ibrahim Alfian menyatakan bahwa ekspalansi
adalah proses yang dilalui peristiwa-peristiwa tunggal (ekpelikanda)
dihubungkan demngan peristiwa-peristiwa tunggal dan fenomena yang terisolasi
tidaklah bermakna fakta belaka. Tanpa ekspalansi, fakta itu tidak berarti
apa-apa.
James A. Black dan Dean J. Champion
menyebutkan bahwa eksplanasi dapat tercapai jika saling pertalian dapat di buktikan antara sebab-sebab tertentu dengan akibat- akibatnya .hal yang fundamental dalam esplanasi adalah sifatnya yang saing berkait anatau
relation nature. Harus ada dua hal yaitu fakta untuk di
susun untuk bersamaan dengan itu mekanisme konseptual yang dapat di terima dan masukakal
yang melaluinya dapat di
kaitkan secara bersama- sama. Jika kita jelaskan tentang fakta, kita harus memperhitugkan mengapa fakta itu harus dianggap berkaitan satu dengan yang lain, dan kita harus memahaminya dengan menunjukkan mengapa terjadi dalam bentuk yang
demikian.
Terdapat dua perangkat masalah yang timbul dalam tugas eksplanasi diantaranya adalah :
1)
Masalah
menghubungkan fakta antara satu dengan yang lain. Dalam sosiologi dan
disiplin-disiplin semacam unit-unit analisis yang relasional disebut variabel;
2)
Masalah
memahami kaitan antara hal- hal yang saling berhubungan. Disini terlihat,eksistensi fakta merupakan bahan pokok untuk teori-teori
kehidupan sosial.
Menurut J. Meehan ada empat kasus yang
khas dalam eksplanasi diantaranya adalah sebagai berikut :
1)
Eksplanasi
kausal yang menghubungkan explicandum
(sesuatu atau peristiwa atau fenomena yang perlu di jelaskan) dengan
seperangkat kondisi- kondisi yag terjadi sebelumnya yag perlu ada atau cukup
untuk menghasilkan explicandum.
2)
Eksplanasi
fungsional yang menghubungkan dengan konteks yang lebih lias dengan menunjukkan
fungsi yang di embannya, seperti kita menjelaskan fungsi hati dalam organ
tubuh.
3)
Eksplanasi
teleologis yang menghubungkan explicandum dengan tujuan suatu sistem
atau maksud si pelaku, seperti perilaku seekor binatang dapat dijelaskan karena
ia mencari makan atau perilaku manusia dalam upayanya untuk mencapai maksud dan
tujuan tertentu.
4)
Eksplanasi
genetik atau eksplanasi sejarah yang menelusuri keadaan- keadaan sebelum suatu
peristiwa terjadi dan menunjukkan bagaimana proses yang terjadi.
a.
Deskripsi
dan
Eksplanasi
Deskripsi
dan eksplanasi kerap dipersamakan. Padahal, keduanya memiliki perbedaan.
Deskripsi merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan faktual dalam peristiwa
sejarah, meliputi apa (what), di mana (where), kapan (when), dan
siapa (who). Jawaban dari pertanyaan tadi merupakan deskripsi faktual
tentang sebuah peristiwa.
Di sisi lain, eksplanasi merupakan
perluasan pertanyaan faktual untuk mengetahui alasan dan jalannya sebuah
peristiwa. Mengapa (why) dan bagaimana (how)merupakan pertanyaan
analisis-kritis yang juga menuntut jawaban analisis-kritis yang bermuara pada
penjelasan atau sintesis sejarah. Dalam kaitannya dengan deskripsi, eksplanasi
dibangun atas deskripsi-deskripsi faktual karena eksplanasi tanpa deskripsi
adalah fantasi.
Secara
tuntas deskripsi dan keterangan atau
eksplanasi
tidak
dapat di bedakan satu sama lain. Sebuah laporan faktual mengenai
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bulan Agustus 1914 di Eropa mengenai
indikasi mengenai sebab meletusnya perang dunia I. Laporan itu mengatur
fakta-fakta tertentu, dapat memperlihatkan, bahwa baik mobilisasi tentara Rusia
maupun keinginan staf angkatan darat Jerman yang tidak mau buang waktu,
menentukan perkembangan seterunya. Mengingat hal itu, maka terdapat
filsuf-filsuf sejarah yang mengatakan bahwa secara prinsip mustahil membedakan
deskripsi dari keterangan. Menurut mereka, sederetan ucapan singular sudah
mampu menerangkan sesuatu atau mempunyai kemampuan eksplikatif. Akan tetapi,
biasanya para ahliberpendapat bahwa keterangan dan deskripsi secara hakiki
berbeda dari yang lain. Mereka bernalar sebagai berikut: keterangan-keterangan
historis, biasanya berupa”karena p, maka q (p dan q merupakan
deskripsi-deskripsi mengenai kedaan-keadaan pada masa silam). Misalnya ”karena
Bismarck ingin merongrong perjuangan partai sosialis maka ia menerapkan suatu
sistem jaminan sosial”.
Sementara itu, para sejarawan berpendapat lain banwa
eksplanasi
dan
deskripsi
secara
hakiki
berbeda
satu
samalainnya.
Hakekat
suatu
eksplanasi
sejarah
selalu
berkaitan
antara
dua
deskripsi
mengenai
keadaan
pada
masa
silam.
Kaitan
tersebut
selalu
berobjek
pada
kedua
deskripsita
di
Sebuah
eksplanasi
bukan
merupakan
suatu
deskripsi
mengenai
sesuatu
dalam
kenyataan
sejarah.
Deskripsi
itu
merupakan
rangkaian
peristiwa
dan
terdapatu
nsur
akibat yang ditimbulkan.
Sejarah
adalah ilmu yang terbuka. Maka sejarawan ahrus jujur, tidak menyembunyikan
data, dan bertanggung jawab terhadap keabsahan data – datanya.
2.2
Periodisasi atau Pembabakan
Periodisasi adalah konsep
sejarawan semata – mata, suatu produk mental yang hanya ada dalam pikiran sejarawan, suatu ideal type. Periodisasi adalah hasil pemikiran kompratif antara
satu periode dengan periode lainnya setelah sejarawan melihat cirri khas suatu
kurun sejarah. Periodisasi umumnya akan membagi sejarah menjadi tiga periode,
yaitu Ancient, Middle , dan Modern. Untuk sejarah Eropa Acient
adalah Yunani Romawi, Middle adalah Feodalisme dan Modern adalah Renaisance.
Ada perbedaan bagi
setiap asperk sejarah dalam luas wilayah, rentang waktu dan variasi juga
terdapat dalam periodisasi sejarah. Seperti diketahui bahwa periodisase sejarah
indonesia pun dibagi kedalam kedalam tiga bagian yang biasanya disebut dengan
Prasejarah, Hindu-Budha dan Modern. Nekara dari prasejarah penyebarannya hanya
diwaktu tertentu dan tidak merata. Kehidupan prasejarah masih ada di suku-suku
terasing ketika indonesia sudah sampai periode modern. Kepercayaan yang berasal
dari periode hindu-budha masih terdapat sampai sekarang. Variansi agama juga
banyak. Jadi periodisasi bukanlah tutp layar dan buka layar tetapi ada
eprbedaan perkembangan aspek sejarah dan ada dickontinuity dan continuity.
Periodesasi dalam histiografi
Indonesia semula bersifat konvensional-prasejarah. Kuno (indianisasi), tengah
(islamisasi), Modern (pembaratan). Baik seluruh atau hanya satu periode.
Tradisi konvensional terdapat diantaranya dalam buku kolektif Sejarah Nasional Indonesia (SNI) dan
buku M.C. Rickles, A History Of Modern
Indonesia. Sekalipun keduanya sama-sama menggukan periodesasi konvensional,
tetapi ada perbedaan pendekatan, SNI mencoba mensitentiskan sejarah dan ilmu
social sedangkan buku M.C. Ricklefs sangat diakronis, bahkan kronologis.
Masalah periodesasi panjang ini mendapat pemahaman baru pasda Sartono
Kartodirodjo, pengantar Sejarah Indonesia
: Dari Emporium sampai Emperium dan buku Deniys Lombard yang istimewa, Nusa Jawa: Silang Budaya. Keduanya
dengan jelas menghadirkan Mahzab Annales dengan periodesasi Broudel (Structure, Conjuncture, Event).
Periode konvensional yang
panjang tersebut juga terdapat dalam buku-buku ynag mengambil satu aspek
sejarah, seperti dalam buku sejarah umat
islam Indonesia dan buku prakitri T. Simbolon, menjadi Indonesia. Selain itu ada lagi periodesasi pendek yang
hanya mengambil satu topic sejarah seperti tulisan kecil Kuntowidjojo periodesasi sejarah kesadaran keagamaan umat
islam Indonesia : Mitos, Ideologi, dan Ilmu.
Maka dari itu periodesasi
panjang tidak harus mengenahi satu unit sejarah seluruhnya secara Konphrehensif
tetapi bisa salah satu aspeknya. Periodesasi juga tidak harus panjang, bisa
satu sub-aspek yang kecil dibuatnya periodesasinya. Periodesasi adalah
penjelasan sejarah.
2.4 Model – Model Eksplanasi Sejarah
Model – model dari eksplanasi sejarah sangat berfariasi, dalam
bukunya
Refleksi
tentang
Sejarah
FR. Ankersmit
membagi model – model
eksplanasi sejarah menjadi tiga model diantaranya
adalah
Covering Law Model (CLM),
Hermeneutika
dan Kausalitas.
a.
Covering
Law Model (CLM)
1) Hakekat CLM
David Hume, seorang filsuf dari Skotlandia
(1712-1776) merumuskan
modul
pertama
mengenai
clm.
Pada abad ke -18 banyak orang terkesan oleh prestasi-prestasi yang telah di
capai oleh ilmu alam. Maka masuk akal kalau ada ide untuk menerapkan
metode-metode dan penelitian ilmu alam terhadap masyarakat manusia. Ada
pertimbangan-pertimbangan lain yang ikut memainkan peranan. Seperti alam raya
tetap sama, tetap setia trhadap kodratnya, demikian pula kodrat manusia tidak
dapat berubah. Seperti alam diatur oleh hukum-hukum tertentu, demikian pula
perbuatan-perbuatan manusia tunduk kepada prinsip-prinsip
tertentu yang “konstan dan universal”, demikian tulis Hume. Hume menganjurkan
agar metode-metode yang di gunakan dalam ilmu alam juga diterapkan terhadap
perbuatan manusia.Auguste Comte eorang filsuf dari abad ke- 19 (1798-1857)
berpendapat bahwa cara kerja seorang peneliti sejarah harus sama dengan metode
kerja seorang peneliti alam raya. Itulah yang di rumuskan Comte dengan istilah
“Positivisme”. Bila di rumuskan secara umum maka menurut positivisme hanya
terdapat satu jalan dalam memeperoleh pengetahuan yang benar dan dapat di
percaya, entah apa objek penelitian kita (alam hidup, alam mati, sejarah dan
sebagainya), yakni menerapkan metode-metode ilmu eksata.
Contoh CLM yang
menerangkan ala Hempel yakni: mengapa seorang tokoh Belanda sudah menyerah pada
tanggal 8 Maret 1942 kepada panglima Jepang? kedua premis yang menghasilkan
suatu keterangan berbentuk sebagai berikut:
a) Selalu
bila musuh menyerang dengan kekuatan militer yang lebih unggul, khusus di udara
maka perlawanan di hentikan
b) Tentara
Jepang dengan jelas memperlihatkan bahwa lebih unggul dari tentara Belanda
Kesimpulan dapat
ditarik peristiwa yang ingin kita terangkan (eksplanadum) diterangkan dengan
memuaskan (eksplanans).Diatas di bicarakan jenis peristiwa-peristiwa
tanda-tanda yang di gunakan (C1,C2,...), serta E (event)menunjukka peristiwa-peristiwa
itu. Kadang-kadang dengan salah satu objek terjadi sesuatu, misalnya Tentara
Jepang melihatkan keunggulannya, dapat di gunakan simbol X (C1,C2,C3,...) dan
XE. Objek X yang mempunyai sifat-sifat C1,C2,C3, dan E. Dapat di rumuskan
kembali sebagai berikut:
a) X
(C1,C2,C3,.....) XE
b) X
(C1,C2,C3,.....)
XE
Yang
di baca sebagai berikut :
a) Bagi
semua X (yakni semua barang yang berupa X), berlaku pola hukum bahwabila
mempunyai sifat-sifat C1,C2,C3, dan seterusnya juga mempunyai sifat E
b) Teryata
X mempunyai sifat-sifat C1,C2,dan seterusnya.
c) Jadi
X juga mempunyai sifat E
Supaya CLM dapat
kita tafsirkan dengan tepat maka perlu di pertimbangkan sebagai berikut:
(1)
Skema
penalaran CLM diasalkan dari logika formal dan terkenal sebagai kaidah “modus
ponen” skema penalaran yang berjalan dari (1) ke(2)
kemudian ke (3) hendaknya di bedakan dari ucapan di bawah (1) yang tercakup
oleh (1) menunjukkan suatu pola hukum empiris, tidak niscaya benar secara
logis. Bukan logika melainkan pengamatan empiris. Sifat logis sebuah skema
penalaran jangan di kacaukan dengan isi empiris dalam ucapan (1),(2),(3).
Karena dalam CLM eksplanadum disimpulkan lewat sebuah deduksi logis dari sebuah
ucapan nomologis (nomos = hukum, yang bersifat pola hukum), maka CLM juga
sering di sebut “modul deduktif-nomologis”.
(2)
Semua
pola hukum yang muncul dalam premis pertama, harus di konfirmasikan (diperkuat,diakui)
oleh semua fakta yang kita kenal dan yang relevan atau sekurang-kurangnya tidak
berlawanan dengan fakta itu. Andaikata kita
mengetahui dari sejarah bahwa terdapat sejumlh bangsa yang tidak menyerah
kalah, sekalipun dilawan oleh musuh yang unggul secara militer, maka pola hukum
yang menerangkan mengapa pihak Belanda demikian cepat menyerah kalah terhadap
tentara jepang, tidak boleh kita pergunakan.
Dalam keudua kaitan inikedua pola
hukum “semu” perlu di tolak. Misalkan akan pola hukum segala sesuatu yang
terjadi adalah takdir Tuhan. Keberatan terhadap pola hukum ini bukan karena
bertentangn dengan fakta-fakta yang kita ketahui melainkan justru karena hukum
ini tak pernah dapat bertentangan dengan fakta-fakta. Baik terjadi peristiwanya
P maupun tidak terjadinya P dapat diterangkan dengan pola hukum
bahwa segala sesuatu terjadi menurut takdir Tuhan. Dengan pola hukum ini apa
saja dapat diterangkan. Akan tetapi pola hukum serupa itu tidak bisa membantu
kita, bila kita ingin memperdalam pengetahuan kita mengenai masa silam, kita
menanyakan sebab musabab mengapa ini terjadi dan bukan itu. Pola hukum ini
membuktikan terlalu banyak dan sesuai dengan sebuah pepatah Perancis barang
siapa ingi membuktika terlau banyak tidak membuktikan apapun. Selain itu, bukan
pola hukum atau kebenaran melainkan kegunaan pola hukum itu dalam penelitian
sejarah yang kita permasalahkan. Mungkin juga pola hukum itu benar atau sah,
tetapi itu merupakan masalah bagi para teolog dan metafisisi. Yang menentukan
ialah dalam praktek pengkajian sejarahpola hukum semu iti tidak dapat di
pergunakan.
(3)
Pola
pola hukum selalu mengungkapkan bahwa suatu peristiwa (sebab) di susul oleh
suatu jenis peristiwa lain (akibat). Dua macam peristiwa
selalu kita amati bersama-sama. Seketika itunkita menyadari hal itu maka kita
mengerti bahwa dalam menentukan dan merumuskan pola-pola hukum kita mudah
sekali tergelincir. Misalnya sebagai berikut : selalu, bila terjadi kecelakaan
lalu lintas, terjadi dua akibat. Kita dengar suara terbenturnya dua buah besi,
kemudian kita lihat kedua buah mobil itu reyot-reyot. Berhubung kedua akibat
itu selalu terjadi bersama-sama, maka kita tergoda untuk mengadakan hubungan
kausal antara dua akibat itu. Suara menyebabkan kereyotan atau sebaliknya. Bila
kita menyusun pola-pola hukum kita harus menghindari ketololan serupa itu.
Tidak semudah seperti kecelakaan lalu lintas tadi. Kadang-kadang sukar sekali
menentukan dalam praktek apakah kita berhadapan langsung dengan hubungan sebab
akibat atau dua akibat yang di timbulkan oleh satu sebab.
(4)
CLM
membuka jalan untuk menerangkan peristiwa-peristiwa sejauh peristiwa itu
termasuk satu jenis peristiwa tertentu. Ini berarti bahwa
dengan modul CLM sebuah peristiwa tidak pernah di terangkan dalam segala
kompleksitasnya dan segala keunikannya tetapi hanya sejauh peristiwa itu
mempunyai sifat-sifat tertentu sehingga termasuk dalam suatu kategori atau
jenis peristiwa yang selalu mempunyai sifat-sifat itu bersama-sama. Ini
terlihat ketika kita merumuskan kembali CLM. Dalam perumusan kembali itu kita
peristiwa unik atau hal-hal individual.
Dengan kata lain CLM hanya menerangkan peristiwa-peristiwa sejauh itu
berkenaan dengan aspek-aspek dalam dalam peristiwa itu yang secara eksplinsit
disebut dalam pola hukum. Misalnya mengenai kapitulasi belanda pada bulan Maret
1942. Huum umum yang kita gunakan dalam peristiwa itu hanya menyebut
kapitulasi-kapitulasi bila terjadi konfrontasi bila terjadi kekuatan militer
yang jauh lebih unggul. Keterangan sesuai
CLM hanya menerangkan aspek-aspek lain dalam peristiwa itu dan apakah
kapitlasi itu bagi seluruh wilayah Hindia Belanda. Ini tidak berarti
aspek-aspek itu tidak dapat di terangkan melainkan bahwa untuk diperlukan
pola-pola hukum lain. Akan tetapi peryataan ini di tafsirkan. Bahkan peristiwa-peristiwa
tidak dapat diterangkan dalam segala kompleksitas dan individualitasnya yang
unik, tidak berarti, bahwa dengan bantuan modul CLM tidak dapat diterangkan
peristiwa-unik dan individual.
(5)
Dalam
CLM tidak dikatakan apapun mengenai kedudukan si juru penerang, dalam arus
waktu terhadap peristiwa yang di terangkannya.
CLM tidak mengatakan apakah peristiwa yang diterangkannya terjadi pada masa
silam, masa kini, atau pada masa depan. Maka dari itu dapat di bayangkan bahwa
CLM di gunakan untuk mengadakan ramalan-ramalan tertentu mengenai masa depan.
Bila kita mempergunakan modul CLM maka keterangan-keterangan mengenai
peristiwa-peristiwa pada masa silam dan ramalan-ramalan mengenai masa depan
mempunyai struktur yang sama. Bila di pandang dari sudut itu maka sebuah
keterangan dapat di namakan suatu ramalan sudah terjadi peristiwa (factum).
Kata ramalan disebut “preiksi” maka sebuah keterangan historis juga dapat di
namakan suatu retodiksi (retro=belakangan, kembali). Berbicara mengenai
ramalan-ramalan perlu di catat suatu kesukaran. CLM hanya menerangkan beberapa
aspek dalam peristiwa-peristiwa. Akibatnya bahwa dengan CLM juga hanya dapat
meramalkan beberapa aspek mengenai masa depan. Mengenai krisis-krisis
internasional yang diramalkan tidak dapat dikatakan apapun mengenai sifat dan
keseriusannya. Tetapi berdasarkan CLM kita hanya dapat mengatakan sesuatu yang
sangat umum mengenai masa depan. Ramalan mengenai masa depan tidak berkaitan
dengan peristiwa-peristiwa unik dan individual seperti halnya dengan keterangan
mengenai peristiwa pada masa silam.
(6)
Kemudian,
kita harus mencatat sesuatu mengenai sifat dan jangkauan pola-pola hukum yang
di pergunakan dalam CLM. Dalam filsafat sejarah spekulatif
seperti marxisme disebut mengenai adanya pola-pola hukum umum yang menguasai
proses sejarah. Akan tetapi para penganut CLM menyusun teori-teori mengenai
pola-pola hukum umum. Hempel mendevinisikan pola hukum umum sebagai sebuah
ucapan universal, tetapi kondisional yang dapat di benarkan atau di bantah
menurut pengamatan empiris. Pola hukum umum yang diamati marx dalam proses
sejarah ialah sejarah melewati beberapa tahap (dunia klasik, feodalisme,
masyarakat borjuis kapitalis, kemudian sosialisme). Pola-pola hukum umum
seperti di maksudkan oleh para penganut CLM selalu berkaitan dengan apa yang
dapat terulang kembali dalam kenyataan historis dan rumusnya selalu berbunyi
“selalu, jika,..maka...”. ini berarti bahwa jangkauan pola hukum seperti di
maksudkan oleh para filsuf sejarah spekulatif berkaitan dengan garis besar
dalam seluruh proses sejarah sedangkan keterangan-keterangan mengenai peristiwa-peristiwa
singular danindividual, dengan sendirinya lebih terbatas jangkauannnya.
(7)
Jangkauan
pola hukum dalam modul CLM oleh WH Dray dan M. Mandelbaun di batasi lagi.
Pola hukum hanya meliputi bagian-bagian dalam peristiwa yang harus di terangkan
tetapi tidak peristiwa itu sendiri. Kebanyakan kasus seorang peneliti sejarah
praktis dipaksa menempuh jalan seperti disarankan oleh Dray dan Mandelbaum.
Misalnya mencari sebab-sebab melakukan proses dekolonisasi. Sesudah perang
dunia dunia II maka dengan sia-sia akan mencari pola-pola umum bagi proses
dekolonisasi. Akantetapi proses dekolonisasi yang majemuk itu di pecahkannya
menurut komponen-komponennya maka ia berhadapan dengan sejumlah peristiwa yang
saling dapat di kaitkan dengan pola-pola hukum (sebagai akibat dari perang
duniaII negara-negara kolonial tida kuat lagi kedua negara adikuasa tidak
memiliki koloni-koloni oleh karena itu tidak berminat mempertahankan tata
pemerintahan kolonial, nasionalisme di daerah-daerah jajahan merongrong
kekuasaan negara-negara kolonial dan seterusnya).
(8)
Hempel
melihat bahwa para ahli sejarah jarang atau tak pernah memberikan
keterangan-keterangan yang seratus persen serasi dengan syarat-syarat CLM.
Demikian para ahli sejarah jarang menyebut pola hukum umum yang menjadi dasar
penalaran mereka. Seorang ahli sejarah membatasi diri pada ucapan “ karena raja
George I dan II ( yang berasal dari Hanover) kurang berminat terhadap
kejadian-kejadian di Inggris, maka kekuasaan parlemen dapat di perluas dengan
mengurangi kekuasaan raja. Para ahli sejarah tidak pernah menyebut pola hukum
itu karena demikian gamblang sehingga oleh pembaca sendiri dapat di andaikan.
Maka dari itu kata Hempel keterangan-keterangan historis biasanya hanya berupa
keterangan dalam bentuk sketsa, artinya masih harus di rinci dan di lengkapi.
Sebetulnya tak ada keberatan bila perincian itu tidak dilakukan tetapi pada
prinsipnya harus terbuka jalan untuk mengadakan perincian itu supaya keterangan
yang bersangkutan dapat di terima.
2)
Perbaikan – perbaikan dalam CLM
Barang
siapa tanpa prauga memandang tulisan-tuklisan sejarah tidak akan menjumpai
dengan banyak tulisan yang memenuhi syarat-syarat CLM. Adapun tugas filsafat
sejarah memberikan kesan bagaimana serang peneliti sejarah bertindak bukan
untuk mengguruinya. Sebagai akibat adanya jarak antara praktek pengkajian
sejarah dan CLM yang murni maka di usulkan dalam perbaikan dalam modul CLM itu.
Usul-usul terpenting akan di bahas di bawah ini:
a) Keterangan
probabilitis. Pencairan pertama di sebut keterangan probabilistis ( probabilis
= masuk akal, bisa juga terjadi begitu). Dalam CLM yang asli di tuntut
pola-pola hukum yang universal yaitu pola-pola hukum yang mencakup semua kasus
(peristiwa yang satu selalu di susul di susul dengan jenis peristiwa lain).
Akan tetapi dalam bidang kelakuan manusia nampaknya agak kurang realistis
menuntut adanya pola-pola hukum universal setiap pola hukum dalam kelakuan dan
perbuatan manusia dapat di terobos perkecualian-perkecualian. Misalnya pada
tahun 1975 republik Belanda hanya memberi perlawanan terbatas ketika di masuki
oleh pasukan-psukan Perancis. Siasat yang paling mudah dalam kasus-kasus itu
ialah melacak. Pola hukum yang tidak benar atau kurang tepat dapat diganti
dengan satu atau beberapa pola hukum yang selaras dengan fakta-fakta yang kita
ketahui. Misalnya dalam kasus diatas pola hukum “ setiap bagsa akan melawan
musush dari luar negeri” dapat diganti dengan dua pola hukum lain.
a) Bila
bangsa yang satu bermaksud untuk menaklukkan bangsa lain, maka bangsa lain itu
akan memberi perlawanan.
b) Bangsa-bansa
tidak( atau kurang kuat) memberi perlawanan terhadap pnyerang dari luar, bila
pihak penyerang itu dianggap akan membawa kemerdekaan politik.
Dengan pola hukum kedua sikap republik Belanda
terhadap Perancis dapat diterangkan secara memuaskan. Singkatnya, pertentangan
antara peristiwa yang harus diterangkan di satu pihak dan pola hukum umum yang
sepintas kelihatan relevan di lain pihak dapat mengajak kita untuk memperluas
perangkat pola=pola hukum umum serta merincikannya, sehingga peristiwa yang
semula menyeleweng dari pola hukum itu akhirnya dapat diterangkan dengan sebuah
pola hukum umum.
Harus diakui siasat ini memepunyai segi-segi
negatif. Dalam keadaan serupa itu kita harus puas dengan pola-pola hukum yang
memberi peluang bagi kekecualian. Pola hukum serupa itu di sebut pola hukum
probabilitas artinya pola-pola hukum yang dengan “kepastian” statistik
mengaitkan sebab tertentu dengan akibat tertentu. Struktur keterangan
probabiltas sebagai berikut:
(1)
P/
(C1,C2,C3,...) E/adalah
tinggi
(2) C1,C2,C3,...
(3) E
Berhubungan dengan apa yang di katakan di atas
tadimaka rumus ini dapat di tulis kembali sebagai berikut:
(1)
p/X
(C1,C2,C3,...) XE/adalah
tinggi
(2) X
(C1,C2,C3,1,...
(3) XE
Dalam peryataan (3) di tetapkan bahwa X mempunyai
sifat E inilah eksplanadum. Explanans terdiri dari premis (1)dan (2).
Berdasarkan premis ini sangat masuk akal (probabilis) bahwa X akan mempunyai
Sifat E. Premis pertama menyatakan keboleh jadian statistis, bahwa bila X
mempunyai sifat-sifat C1,C2,C3,..., maka X
juga aan mempunyai sifat E. P menunjukkan taraf keboleh jadian (probabilitas).
P mempunyai 0 sampai 10, dikalikan 100 menunjukkan presentase bagi kasus-kasus
bilamana Xmempuyai sifat C1dan seterusnya lalu juga mempunyai sifat
E. Misalnya p bernilai 0,8 maka dalam 80 persen dari jumlah kasus yang di
teliti sebabnya termasuk dalam hukum probabilitas akan di barengi oleh akibat
yang dinamakan konsekuen. Dalam keterangan probabilistis dikatakan bahwaX
mempunyai sifat C1 dan seterusnya boleh jadi juga merupakan keterangan tepat
bahwa pada suatu saat tertentu juga mempunyai sifat E. Berbeda dengan
probabilitas yang dintunjukkn oleh p dalam premis pertama. Dalam premis pertama
kita berurusan dengan ucapan bahwa suatu keterangan tertentu sangat masuk akal
boleh jadi merupakan keterangan yang benar. Dalam kasus kedua kita berhadapan
dengan ucapan berapa seringnya dua gejala atau kenyataan historis selalu
bersama-sama. Kita harus membedakan keterangan di satu pihak dan gejala
historis di pihak lain.
b)
Perbaikan yang di usulkan oleh Gordiner.
Perbaikan
CLM yang di usulkan oleh Gordiner seorang Filsuf sejarah Inggris mirip dengan
perbaikan probabilistis. Gardiner mengatakan bahwa pola-pola hukum yang di
pakai oleh para peneliti sejarah sering “bocor” tidak tertutup rapat seratus
persen. Karena adanya perkecualian maka setiap pola hukum ada kebocorannya.
Maka dari itu Gardiner seorang peneliti sejarah harus menerangkan masa silam
dengan pola hukum yang berlubang-lubang sesedikit mungkin. Menerangkan masa
silam menuntut seorang ahli sejarah, bakat(yng sukar di devinisikan) untuk
menaksir sifat situasi yang ingin di terangkansuatu bakat untuk menilai .
Dalam praktek pengkajian sejarah
seorang peneliti sejarah akan selalu berusaha melukiskan masa silam sedemikian
rupa, sehingga dapat ditemukan pola-pola
hukum yang masuk akal paling dapat diandalkan dan paling umum yang dapat
dikaitkan dengan deskripsi-deskripsi menurut syarat-syarat CLM. Sebuah contoh
yang diajukan Danto dapat menerangkan hal ini. Bayangkan bahwa kita pada suatu
hari tertentu lebih dari tiga puluh tahun berjalan-jalan di kota Monako lalu
melihat di mana-mana bendera Monako selalu dikibarkan bersama dengan bendera
Amerika serikat. Kita lalu bertanya mengapa orang Monako bebuat demikian bila
eksplanadum dirumuskan sebagai pada saat ini dan dikota ini orang-orang monako
selalu mengibarkan benderanya bersama dengan bendera AS, maka dalam rumusan itu
tidak terdapat suatu hukum umum yang dapat menerangkan eksplanadum ini. Dalam
peristiwa sejarah jarang atau tidak ernah terjadi orang-orang Monako
mengibarkan bendera negaranya bersamaan dengan bendera AS. Tetapi bila
eksplanadu ini di rumuskan dengan umum dan tidak begitu terperinci misalnya
para penduduk suatu negara menghormati negara lain (dengan mengibarkan bendera
negara itu) maka tersedia suatu pola hukum umum yang dapat diandalkan. Kit
dapat membayangkan suatu pola hukum umum atau hukum probabilitas selau bila
raja suatu negara menikah dengan putri suatu negara lain maka para penduduk
negara pertama menghormati negara lain. Dalam deskripsi-deskripsinya sorang
ahli sejarah harus mencari budang yang sempit tewtapi paling optimal antara
yang umum dan yang khas sambil memperlihatkan di mana ia akan menerangkan
keadaan-keadaan perkembangan-perkembangan serta situasi-situasi.
c)
Perbaikan yang di usulkan oleh Scriven
dan White,
M.
Scriven dan M. Whitefilsuf sejarah dari Amerika. Perbaikan jauh menyimpang dari
modul CLM yang asli sehingga dapat di pertanyakan sejauh mana ini masih sebuah
varian CLM. Scriven berpendapat tidak, karena pada pokok usulnya merupakan
suatu perbaikan terhadap CLM dan ia sendiri tidak mengembangkan sebuah modul
keterangan yang baru. Yang menjadi titik pangkalnya ialah usul yag menerangkan
eksplanans menurut CLM di bagi menjadi dua. Bagian eksplanans yang menyebut
sebab bagi suatu peristiwa atau keadaan yang harus diterangkan ( yatu premis
kedua dalam keterangan CLM) menurut Scriven dan White merupakan keterangan
pokok bagi eksplanadum. Sisa eksplanans pola hukum umum atau probabilistisyang
disebut dalam premis pertama membenarkan atau mmberi legitimasi kepada
keterangan yang di sajikan tanpa melupakan bagian keterangan tersebut.
Setelah CLM di perbaiki menurut usul
Scriven dan White segala daya keterangan mereka pusatkan kepada peryataan yang
menyebut sebab bagi suatuperistiwa dengan pola hukum dikurangi di jadikan
semacam asuransi sesudahnya. Contoh dalam bukunya yang tersohor mengenai
masyarakat feodal (la societe feodal) M. Bloch mengatakan bahwa sekitar 1000
bangsa Norman terhenti karena mereka pada waktu itu memeluk agama kristen.
Secara formal kita tidak mempunyai keberatan terhadap keterangan tersebut ,
sekalipun kita tahu bahwa kasus yang berlawanan dengan pola hukumbahwa orang
kristen tidak saling berperang. Yang pokok ialah suatunketerangan historis
selalu menyebut sebab suatu kejadian sekalipun kita masih menyangsikan pola
hukum yang menjamin bahwa keterangan historis itu dapat di percaya ini tidak
meniadakan kenyataan bahwa telah disajikan keterangan historis. Dengan kata
lain bahwa pola-pola hukum yang digunakan tidak seratus petak rsen dapat
diandalkan dan dalam pengkajian praktek sejarah ini selalu tejadi tidak
menggugurkan ketepatan suatunketerangan historis. Scriven lebih mencairkan CLM dari pada yang dilakukan
oleh White. Pola-pola hukum ini atau Scriven di sebut Truismatau generalisasi
normis. Kaidah=kaidah umum yang kita kenal dari hidup sehari-hariyang normal
yang biasa. Pola-pola hukum itu samar-samar tidak terinciberkaitan dengan
peristiwa-peristiwa yang sepeledan kebal terhadap falsifikasi.
3) Kritik
terhadap CLM
Dibawah
ini dilukiskan beberapa keberatan sementara yang di ajukan oleh seorang filsuf
sejarah terhadap CLM.
a)
Jarak antara eksplanans dan
eksplanandum. Secara khusus seorang filsuf sejarah dari Kanada W. H. Dray mati-matian
menyerang CLM. Dalam keterangan CLM sebuah peristiwa tidak pernah di terangkan
dalam segala kompleksitasnya melainkan dalam sebuah deskripsi yang cocok.
Pola-pola hukum yang terdapat di CLM selalu dapat di perhalus sehingga jarak
antara eksplanans dan eksplanandum makin di perkecil. Terdapat sisi negatifnya
yakni keshihan pola hukum yang di pergunakan lalu berkurang makin hukum umum di
dekatkan dalam peristiwa sejarah yang konkret.
(1) Pola
hukum itu makin menjadi terinci dan makin besar kemungkinan bahwa ia dapat di
falsifikasi(hukum umum selalu aman)
(2) Jumlah
peristiwa sejarah yang apat dijadikan batu ujian bagi kesahihan sebuah pola
hukum semakin berkurang
Jadi enggan
memperkecil jarak antara eksplanas dan eksplanandum kita memperbesar ketidak
andalan pola hukumyang di pergunakan serta keterangan yang didasarkan atas pola
hukum itu. Dengan demikian di tuturkan oleh Dray penganut CLM di hadapkan
dengan dilema atau melakukan penelitan dengan mempergunakan pola-pola hukum
yang samar-samardan umum yang relatif dapat diandalkan tetapi tidak banyak
menerangkan atau mempergunkan pola-pola terinci yang relatif lebih banyak yang
menerangkan tetapi kurang dapat dipercaya. Contoh ketika louis XIV meninggal ia
tidak dicintai rakyat karena tidak memperlihatkan kepentingan rakyat. Tokoh CLM
menanggapi bahwa keterangan tersebut hanya dapat di terima berdasarkan pola
huku andalan yakni selalu bila serang raja tidak memperhatkan kepentingan
rakyat maka ia tidak di cintai rakyat waktu ia meninggal. Sejarawan menyadari pola
hukum yang samar itu tidak dapat di pertahankan. Richard Lionheart merugikan
negaranya tetapi ia di cintai oleh rakyat Inggris. Ketika Louis XIV meninggal
tidak di cintai rakyat karena kurang memperhatikan kepentingan rakyat dan
karena dalam hal agama ia melakukan kebijakan yang kaku(mencabut endik nantes).
b) Keberatan
terhadap pola hukum probabilistis. Dapat diajukan keberatan sebagai berikut.
Dengan pola-pola huku probabilistis dapat di terangkan mengapa dalam sekian
persen sejumlah kasus sebab tertentu disusul akibat tertentu tetapi tidak di
terangkan apa yang terjadi dalam kasus-kasus individual. Bagi peneliti sejarah
hukum-hukum probabilistis atau statistik kurang memadai.
c) Sifat
formal dalam CLM. CLM merupakan kriterium yang semata-mata formal agar suatu
keterangan historis dapat di terima.
d) Keberatan
faucault. Keberatan terakhir dan paling dasyat terhadap CLM di lancarkan oleh
seorang ahli filsafat dan sejarah berkebangsaan Perancis. Foucoult tidak secara
eksplinsit melawan CLM . seorang ahli sejarah merasakan puncak kepuasan bila
bagaikan dalam sabetan kilaf melihat keberlainan itu Huizinga seorang ahli
sejarah kebudayaan terkenal berbicara mengenai sensasi historis dan ia
melukiskan itu sebagai bentuk ekstasis(keluar darikulitnya sendiri)
b.
Hermeunetika
Istilah hermeunetika apabila diruntut secara
etimologis, asal usul kata hermeunetika berrasal dari bahasa Yunani yaitu herminos yang mengacu pada seorang
pendeta bijak Delpich. Kemudian diasosialisasikan pada Dewa Hermes, sebagai
dewa penemu bahasa dan tulisan. Dewa Hermes dalam mitologi Yunani kuno dikaitan
dengan pembawa pesan takdir.
Hermeunetika sebagai suatu teori banyak menyangkut
pada garapan atau bidang teoligi, filsafat bahkan sastra. Hermeunetika
didefinisikan sebagai studi tentang prinsip – pronsip metologi, interpretasi,
dan eksplanasi khususnya studi tentang prinsip – prinsip interpretasi bibel.
1)
Dua Bentuk Hermeneutika
Sejarah hermeneutika kita
awalkan dengan Frederich Scheleirmarcher (1768-1834), seorang ahli Theologia
Jerman. Selaku seorang Teolog Scheleimarcher tertarik oleh persoalan, bagaimana
teks-teks tertentu dari alkitab harus ditafsirkan. Maka dari itu,
Scheleimarcher mempergunakan istilah “hermeneutika” (dalam bahasa Yunani “hermeneus” berarti penerjemah). Jalan
hermeuneus itu hendaknya ditempuh bila ingin menjelaskan bagian-bagian alkitab
yang sepintas kelihatan sukar dan bahkan mustahil untuk dimengerti.
Diterangkan disini perbedaan
antara Hermeneutika dengan teori-teori modern (misalnya dari A. Naess, seorang
filusuf Norwegia). Teori-teori argumentasi pun meneliti percakapan antar
manusia, serta proses berjalannya percakapan itu. Namun, berlainan dengan
hermeneutika, teori argumentasi mengandalkan bahwa kedua lawan bicara mempunyai
titik pangkal atau dasar bersama. Bila lawan bicara tidak dapat lagi saling
mengerti, atau komunikasi mulai terganggu, maka lacak dimana itu mulai terjadi,
sambil bertitik tolak dari dasar yang sama. Masalah yang dihadapi hermeneutika
lebih mendalam, tujuannya ialah menjembatani jurang antara dua titik pangkal
yang berbeda-beda.
Adapun proses hermeneutika
itu (menghayati arti dari dalam jalan pikiran orang lain), tidak hanya berguna
untuk menafsirkan teks-teks atau maksud seorang berbicara. Bermakna sekali
menghayati dari dalam jalan pikiran orang lain, kalau kita ingin mengerti,
mengapa ia berbuat seperti ini dan itu.
Maka dari itu, istilah
hermeneutika dapat dipergunakn dalam dua arti :
a)
Menafsirkan teks-teks dimasa
silam.
b)
Menerangkan perbuatan seorang
pelaku sejarah.
Menurut arti pertama, kita
melihat suatu kesatuan atau suatu koherensi dalam sebuah teks, sedangkan
menurut arti yang kedua kita memberi jawaban terhadap pertanyaan, mengapa
seorang pelaku historis berbuat demikian. Dalam interpretasi teks-teks, kita
seolah-olah mengatasi masa silam serta bahan sejarah, agar mengambil suatu
pendirian dari mana kita dapat melihat kesatuan dan kebertautan. Dalam kasus
kedua, kita menggunakan bahan sejarah agar lebih dalam menyelami masa silam.
Pada umumnya dapat dikatakan
bahwa di Jerman,, hermeneutika interpretative menjadi pusat perhatian. Seperti
telah kita lihat itu sudah berlaku bagi ahli hermeneutika Jerman terkemuka pada
abad ini, ialah H.G. Gadamer. Dalam karya Dilthey. Kita melihat suatu pembauran
antara kedua bentuk hermeneutika, sekaliun yang dititik beratkan ialah
penafsiran teks. Seorang peneliti sejarah memang harus menafsirkan masa silam
dengan menunjukan kesatuan dan koherensi, tanpa keharusan menerima cara kerja
seseorang yang menafsirkan teks-teks. Itulah pendirian historisme dan
narativisme.
Dalam dua aliran tersebut
kita tidak lagi diusahakan masuk ke dalam kulit seorang pengarang atau seorang
pelaku sejarah, aupun menimba dari pengalaman hidup sendiri. Selain penghayatan
dari dalam dan menimba dari pengalaman hidup sendiri, masih ada dua ide pokok
lain dalam hermeneutika yang menyebabkan pendektan ini berbeda dari CLM.
Menurut hermeneutika, terdapat satu bidang penelitian ilmiah yang menuntut
diterapkannya metode ilmiah-eksak dari CLM di satu pihak dan bidang penelitian
yang menuntut pendekatan hermeutis, di lain pihak, yaitu perbuatan manusia
seperti diteliti seorang ahli sejarah. Padahal, menurut para penganut CLM,
modul penelitian yang satu dan sama, yaitu CLM, berlaku dan berguna pada semua
bidang penelitian. Perbedaan kedua antara hermeneutika dengan CLM, ialah
kedudukan si ahli sejarah, selaku subjek yang mengetahui dalam hermeneutika.
Dalam CLM, subjek hampir tidak memainkan peranan. Dalam ilmu eksakta, pribadi
peneliti bahkan diabaikan. Pada abad ke-16 Bacon sudah berkata “mengenai diri
kami sendiri, kami menahan diri”. Dalam hermeneutika, pribadi peneliti penting
sekali karena ditimba dari pengalaman hidup peneliti sejarah sendiri.
2)
Hermeneutika di Jerman
(Dilthey dan Gadamer)
Tokoh terpenting dalam
sejarah hermeneutika adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey ingin berbuat
bagi “ilmu-ilmu rohani” (ilmu budaya manusia), khusus bagi sejarah, apa yang
dibuat Kant bagi ilmu-ilmu eksakta. Dilthey memusatkan perhatiannya pada
pengalaman kita tentang dunia historis. Karya Dilthey yang bagi kita penting
ialah buku karyanya pada pada tahun 1911, Der
Audbau der geschichtlichen Welt in den Geisteswissenschaften (susunan dunia
sejarah menurut ilmu-ilmu budaya). Karena Dilthey sering mengulagi
pendapat-pendapatnya, lagi pula menulis dengan gaya yang tidak jelas, maka buku
ini bukan bacaan untuk waktu senggang. Ide-ide Dilthey berkisar pada tiga
konsep inti, ialah “Erlebnis”, “Ausdruck”, dan “Verstehen”. Pengalaman mengenai dunia hidupku yang ditentukan oleh
prses timbal balik itu, pengalaman dalam arti sejati Dilthey, disebut
“Erlebnis”. Dalam analisis Dilthey mengenai “Erlebnis” itu , kita melihat
pengaruh interpretasi teks yang merupakan awal hermeneutika (Schleiermacher).
“Ausdruck” (ungkapan), selalu merupakan objektivasi mengenai kebertautan atau
koherensi dalam erlebnis. Seorang peneliti sejarah dapat merekonstruksi
(Nachbildung) erlebnis-erlebnis seorang pelaku sejarah, bila ia sambil
menggunakan pengalaman hidup sendiri. Mengaktualkan kembali keadaan-keadaan
yang dahuu meliputi si pelaku sejarah ketika ia berbuat, merasakan emosi-emosi
dan sebagainya. Seorang ahli sejarah seolah-olah harus mementaskan kembali, di
atas panggung batinnya, pengalaman dan proses-proses psikologis dan intelektual
yang dahulu dirasakan seorang pelaku sejarah.
Bila seorang peneliti sejarah
telah merekonstruksi kembali, dalam batinnya sendiri pengalaman-pengalaman
seorang pelaku sejarah sambil mempergunakan pengalaman hidupnya sendiri, maka
ia mampu memahami (verstehen) perbuatan dan pikiran pelaku sejarah itu. Untuk
sebagian, seorang peneliti sejarah telah membuat copy atau rekaman mengenai
kesatuan dan kebertautan dalam pengalaman yang demikian khasbagi seorang pelaku
sejarah. Tidak perlu dijelaskan bahwa proses verstehen itu tidak dapat
diterapkan pada bidang ilmu eksakta. Maka dari itu, Dilthey melawankan
“verstehen” yang berlaku dalam ilmu-ilmu budaya dengan “erklaren” (menerangkan)
yang berlaku dalam ilmu-ilmu alam, yang berdasarkan pola-pola hukum umum.
Erklaren selalu terbatas pada gejala-gejala yang bersifat lahiriah, dapat
diamati. Sedangkan seorang peneliti sejarah, mampu menyelami batin kenyataan
historis. Bentuk pengetahuan yang diperoleh dari Verstehen lebih lengkap dari
pada Erklaren. Verstehen itu baru mungkin, bila bila sebelumnya kita sudah tahu
sedikit mengenai dunia pengalaman seorang pelaku sejarah.
Secara singkat, pandangan
Dilthey dapat diringkas sebagai berikut: Manusia yang hidup dalam arus sejarah,
terbenam dalam dunia penuh arti. Setiap bagian dari dunia sejarah itu,
merupakan ungkapan (ausdruck) mengenai pikiran dan perbuatan manusia dan oleh
karena itu, menjadi pengemban arti. Hermeneutika Dilthey selalu bergerak antara
tiga patokan yaitu: Erlebis, Ausdruck, dan Verstehen.
Hans Georg Gadamer lahir pada
tahun 1900 di Heidelberg. Tahun 1960 Gadamer menerbitkan buku Wahrheit und
Methode (kebenaran dan metode). Salah satu karya filsafat yang paling
monumental abad ini. Gadamer secara tegas menolak pendekatan teori pengetahuan
atau pendekatan modis. Selaras dengan pandangan Heidegger, Gadamer tidak
memandang hermeneutika sebagai salah satu untuk memperoleh sebuah pengetahuan.
Melainkan sebagai ciri khas dalam kehidupan manusia dan ekosistemnya. Gadamer
memindahkan bidang penelitian hermeneutika dari kawasan teori pengetahuan ke
kawasan ontologi. Maka dari itu, konsep pengalaman harus ditinjau kembali.
Dalam bidang sains pengalaman atau empiri dapat didefinisikan sebagai
pengalaman mengenai data-data yang ada dalam kenyataan, lalu diungkapkan dalam
bahasa.
Gadamer menolak untuk
memisahkan dunia dan bahasa. Maka dari itu, bahasa, kenyatan, dan pengalaman
menyatu. Pengalaman tidak mencerminkan dunia dalam bidang parallel yang disebut
bahasa, melainkan terus-menerus terarah dan terserap oleh terpintalnya dunia
dan bahasa. Dalam pengalaman kita mengenai kenyataan sosial historis,
pengalaman tak pernah merupakan suatu jepretan seperti dalam ilmu eksakta,
melainkan suatu proses yang meliputi waktu tertentu, akibat penyatuan bahasa,
kenyataan dan pengalaman. Selama proses itu, bagian-bagian yang relevan dalam
pengetahuan, ingatan, harapan, dan emosi kita, diaktifkan menjadi pengalaman.
Ontologi hermeneutis, hendaknya menggantikan teori pengetahuan hermeneutis.
Penolakan Gadamer, terhadap
teori pengetahuan dan metode agar memberi tempat kepada kepada ontologi,
mempunyai konsekuensi penting yang sebetulnya merupakan konsep pokok yang
mendasari hermeneutiknya. Setiap analisis yang didukung oleh suatu teori
pengetahuan dan/atau suatu metode tertentu yang meneliti bagaimana pengetahuan
pada umumnya diperoleh dan pengetahuan sejarah pada khususnya, berdasarkan
gagasan, bahwa pengetahuan dapat deperoleh oleh seorang subjek yang tahu,
subjek ini pada prinsipnya dapat diganti oleh subjek lain, asal ada suatu
metode tertentu untuk meraih suatu pengetahuan yang dapat diterima siapa saja.
Dengan mendasarkan pengalaman
hermeneutika tidak pada teori pengetahuan, melainkan pada ontologi, maka
gardener sampai pada pendirian, bahwa setiap pemahaman hermeneutis mengenai
masa silam, terkait akan dan bertaut dengan individualitas si peneliti.
Memahami selalu terjadi dalam cakrawala pemahaman. Unsur revolusioner pandangan
ini, ialah praduga seorang peneliti sejarah serta tradisi-tradisi yang
diterimanya dengan sadar atau tidak sadar, tidak merupakan penghalang,
melainkan justru syarat mutlak agar Verstehen itu berhasil baik. Tidak
mengherankan, bahwa penghargaan gadamer bagi tradisi, praduga, serta otorita
yang terwujud dalam praduga itu menimbulkan reaksi-reaksi.
3)
Hermeneutika di Inggris dan
Amerika
R.G Collingwood (1889-1943),
seorang ahli arkeologi dan filusuf sejarah berkebangsaan Inggris, sebetulnya
ironis bahwa Collingwood umum dipandang sebagai juru bicara pendirian
hermeneutis yang klasik, karena titik pangkalnya berada dilain tempat.
Hermeneutika yang
dikembangkan Collingwood, jelas dan sederhana. Ia mulai menetapkan bahwa
perbedaan pokok antara pengkajian sejarah dan ilmu-ilmu eksakta, terletak dalam
kenyataan, bahwa seorang peneliti sejarah tidak hanya berurusan dengan kelakuan
lahiriah objek penelitiannya, melainkan juga dengan batin kelakuan mereka. Oleh
karena itu, Collingwood berpendapat bahwa semua sejarah merupakan sejarah alam
pikiran. Collingwood menggarisbawahi bahwa “re-enactement” itu bukanlah hasil intuisi
penelitian sejarah yang tak dapat dikontrol. Peneliti sejarah hendaknya selalu
penuh imajinasi, ia harus pandai mengadakan ekstraplorasi dan intraplorasi,
menurut pandangannya sendiri, tetapi “re-enactment” itu merupakan suatu proses
yang dapat diikuti setapak demi setapakoleh kritik sejarah dan juga dapat
dinilainya.
W.H. Dray , seorang filusuf
Kanada yang terpengaruh Collingwood. Ini antara lain Nampak dari contoh
berikut, bagaimana Dray menerangkan suatu kejadian dalam sejarah. Namun, ada
suatu perbedaan pokok antara Collingwood dengan Dray. Yang mutlak perlu bagi
Collingwood, ialah pikiran tokoh sejarah dan duplikatnya dalam pikiran peneliti
sejarah, tapat sama. Tuntutan itu dilepaskan Dray, ia hanya minta suatu
rekonstruksi yang didukung alas an kuat dan bahan bukti mengenai apa yang dapat
dipikirkan seorang tokoh sejarah. Dray hanya meminta supaya disebut, apa yang
dapat dipandangsebagai alas an bagi seorang tokoh sejarah, supaya ia berbuat
begini atau begitu.
4)
Kritik Terhadap Hermeneutika
Kita harus membedakan
hermeneutika sebagai penafsiran teks-teks dan hermeneutika sebagai suatu teori
guna menerangkan, secara historis, perbuatan seorang pelaku sejarah. Maka dari
itu, keneratan-keberatan terhadap hermeneutika, dapat dijadikan dua kategori.
a)
Adakah hermeneutika itu
berawal dari Descartes? Rene Descartes (1596-1650) seorang filusuf Prancis,
berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur yang berbeda-beda, yaitu jiwa
dan tubuh, atau seperti yang diungkapkannya sendiri yaitu roh dan keterbentangan.
Ternyata, hermeneutika sering jelas sama sekali
tidak setuju dengan pandangan Descartes. Dalam butir b pasal ini kita akan
berkenalan dengan suatu bentuk hermeneutika yang diilhami oleh teleologi
(trarah pada tujuan) yang bahkan membela suatu hubungan logis antara pikiran
dan perbuatan antara “segi dalam” dan ”segi luar”.
b)
Adakah hermeneutika
mengadaikan CLM? Penjelasan hermeneutika berbentuk demikian.
(1)
Dalam keadaan historis k,
seorang pelaku sejarah mengembangkanpikiran atau motvasi p.
(2)
Perbuatan b serasi dengan
pikiran atau motivasi p.
Nilai hemeneutika terbatas
pada heuristic, artinya hanya merupakan sarana agar kita dpat sampai pada suatu
dugaan mengenai kenyataan. Jelaslah, bahwa keberatan yang diajukan terhadap
hermeneutika dari sudut CLM, juga dapat diajukan terhadap action rationale explanation ala Dray. Ia mengusulkan agar
membedakan:
(1). Usaha membenarkan
perbuatan-perbuatan kita (dengan menyebut alas an-alasan kita);
(2) Melacak alas an yang sebenarnya yang melatar
belakangi perbuatan kita.
Pembelaan Dray tidak
meyakinkan penganut CLM. Mereka setuju, bahwa kita ingat akan alasan bagi suatu
perbuatan, maka pada dasarnya kita hanya menentukan suatu peristiwa dari masa
silam dan tidak menerapkan pola-pola hukum umum. Dalam model penjelasan teologis
yang pertama-tama diusahakan ialah memberi bentuk yang terinci kepada proses
penghayatan hermeneutis. Bila seorang pelaku sejarah memutuskan untuk melakukan
sesuatu, maka yang terjadi ialah:
(1)
Ia menetapkan bahwa ia sedang
dalam situsai S.
(2)
Keadaan S itu memberinya alas
an utuk mengadakan perubahan-perubahan tertentu dalam S (atau memberi reaksi
lain kepada S).
(3)
Pelaku sejarah berpendapat,
bahwa perbuatan P merupakan sarana yang paling tepat untuk mengadakan perubahan
itu dalam S.
Peneliti sejarah menerangkan
perbuatan seorang pelaku sejarah dengan memperhatikan tujuan yang diharapkan.
Kemiripan antara modul penjelasan teologis dengan hermeneutika, jelaslah sudah.
Juga dalam penjelasan teologis, penghayatan dan acuan kepada pengalaman hidup
pribadi, akan melatarbelakangi pendapat seorang peneliti sejarah mengenai cara
seorang pelaku sejarah mengaitkan tujuan dan sarana.
c)
Jangkauan hermeneutika yang
terbatas. Keberatan utama yang dapat diajukan terhadap penjelasan hermeneutis
ialah jangkauannya yang terbatas. Baik penjelasan hermeneutis maupun penjelasan
teologis, memperlihatkan dua kekurangan.
d)
Hermeneutika kurang memiliki
kesadaran historis. Akhirnya hermeneutika, sama dengan CLM, dapat dipersalahkan
karena kurang memiliki kesadaran historis. Penghayatan mengandaikan, bahwa cara
seorang peneliti sejarah menanggapi keadaan dalam lingkungannya, pada pokoknya
samadengan cara seorang pelaku sejarah bereaksi terhadap lingkungannya. Baru,
bila pelaku sejarah mengaitkan keadaan, pikiran dan perbuatan sama dengan seorang
peneliti sejarah maka pendekatn hermeneutis membuka jalan untuk menerangkan
perbuatan seorang pelaku sejarah. Tetapi hendaknya kita ingat, bahwa seorang
peneliti sejarah justru meneliti masa silam, karena adanya perbedaan antara
masa kini dan masa silam. Ini berarti bahwa seoran gpeneliti sejarah, pada
prinsipnya, tidak menaruh minat terhadap pikiran dan perbuatan seorang pelaku
sejarah.
5)
masa silam sebagai teks
Yang merupakan ciri khas dari
bentuk hermeneutika ialah aksioma, bahwa dunia sosio-historis merupakan sesuatu
dunia yang penuh arti. Oleh karena itu,
para filusuf sejarah dari tradisi strukturalis, sering menyarankan untuk
mempelajari masa silam, seolah-olah itu merupakan suatu teks. Pendekatan ini
merupakan suatu bentuk hermeneutika yang serba baru, yang tidak lagi dapat di
kritik dengan alasan-alasan yang diajukan dalam pasal diatas tadi.
Karangan H. white
Metahistory(1973), mrupakan suatu usaha yang paling menonjol dalam
mengembangkan suatu filsafat sejarah seperti dilukiskan diatas tadi. Bagi White,
masa silam merupakan sebuah teks prosa, lagipula sebuah teks yang belum kita
mengerti atau mudah sekali keliru mengerti. Adapun tugas seorang ahli sejarah
adalah menafsirkan teks (historis), atau menjadi “puisi” penulisan sejarah.
Seorang ahli sejarah harus belajar mengidentifikasikan unsur-unsur masa silam
yang berdiri sendiri (leksion) kemudian membuat daftar (gramatika) bagaimana
unsur-unsur itu terkait dalam keseluruhan yang lebih luas (sintaksis), sehingga
akhirnya dapat mengatakan yang sebenarnya (semantik) dari suatu segi (bagian)
dalam masa silam. Adapun menurut White, empat bentuk gaya bahasa yang membuka
jalan untuk menerjemahkan prosa menjadi puisi penulisan sejarah, yaitu
metafora, sinekdoke, metomini, dan ironi.
Setiap gaya bahasa menyebabkan
suatu integrasi atau disintegrasi yang khas, bagi unsur masa silam di dalam
penuisan sejarah. Contoh yang diajukan White mengenai penulisan gaya metafora
ialah” Kekasihku merupakan sekuntum bunga mawar”. Kemiripan menyangkut hakikat
seorang kekasih dan sekuntum bunga mawar, keduanya indah dan elok.
Adapun sinekdoke adalah suatu
gaya bahasayang juga ingin mengungkapkan hakikat sesuatu, tapi berbeda dengan
metafora, karena tidak menssejajarkan dua hal yang berbeda-beda. Adapun
metomini mirip dengan sinekdoke, namun tidak terpusat pada hakikat gajala
historis, melainkan pada aspek-aspek kejadian masa silam yang memperlihatkan
kebertautan di dalam sebuah struktur yang sekarang kita terapkan pada masa
silam. Penulis sejarah ironis, menurut White adalah penulis yang memperlihatkan
pengertian, bahwa setiap gambaran yang kita miliki mengenai masa silam, menurut
arti tertentu juga menyangkal dirinya.
White menekankan bahwa
pilihan seorang sejarawan terhadap salah satu gaya bahasa itu merupakan pilihan
yang tidak dapat didukung oleh akal budi. Karena keempat gaya bahasa itu tidak
mempunyai dasar yang sama, sehingga secara objektif tidak dapat
disbanding-bandingkan. Kedua, di dalam system White, gaya penulisan ironis
menimbulkan beberapa kesukaran. Oleh White gaya tulisan ironis disebutnya gaya
bahasa meta, artinya dengan gaya ini, kita dapat melihat kemungkinan dan
keterbatasan gaya-gaya bahasa lainnya.
c.
Kausalitas
1)
Sebab-sebab dan
keterangan-keterangan
Para peneliti sejarah
bertanya mengenai sebab-sebab dan keterangan-keterangan, bila berhadapan dengan
proses-proses perubahan. Bahkan juga mereka bertanya, mengaa sebuah proses
perubahan bertentangan dengan dugaan umum, maka yang menjadi pokok permasalahan
ialah perubahan-perubahan. Maka dari itu, dalam pengkajian sejarah
pengertian-pengertian seperti perubahan, sebab, dan keterangan berkaitan erat
dengan yang lain. Maka dari itu, dapat
diduga juga, bahwa pengertian sebab dapat dipahami menurut dua macam arti.
Pertama, sebab sebuah peristiwa P ialah sebuah peristiwa lain, O, dan ini
demikian rupa, sehingga deskripsi mengenai kedua peristiwa itu dapat dikaitkan
pada pola hukum umum pila. Kedua yang menyebabkan suatu peristiwa yaitu intensi
atau motif seorang pelaku historis untuk mengakibatkan peristiwa itu.
2)
berbagai jenis Sebab
Pendirian John Stuart Mill
(1806-1873), mengenai kausalitas. Bagi dia, penyebab P ialah keseluruhan
peristiwa, keadaan, dan perkembangan dan sebagainya yang mendahului P. ini
dapat disebut sebab total bagi P.
konsep sebab total ini dari sudut filsafat, mungkin memuaskan, akan tetapi
dalam praktek, kita harus melacak sebab-sebab sebuah peristiwa, kita akan
dihadapkan pada kesukaran-kesukaran yang tak teratasi. Perbedaan antara syarat
yang cukup dan syarat yang mutlak perlu (istilah syarat, kondisi, atau kondisi
awal selalu sinonim dengan sebab).
A merupakan syarat yang cukup bagi B bila:
a)
B selalu muncul setelah A
terjadi.
b)
Terdapat syarat-syarat lain
pula selain A untuk mengakibatkan B.
A merupakan syarat mutlak bagi B bila:
a)
A selalu mendahului B.
b)
A sendiri saja tidak cukup
untuk mengakibatkan B.
Berdasarkan simetri antara
syarat cukup dan syarat mutlak, kita dapat menyimpulkan, bahwa A merupakan
syarat cukup bagi B, maka B merupakan syarat mutlak bagi A, dan sebaliknya.
Kedua, kita mencatat bahwa menyebut syarat cukup lebih sukar bagi seorang
peneliti sejarah daripada syarat mutlak hanya merupakan satu diantara
syarat-syarat yang diperlukan untuk untuk mengakibatkan sesuatu. Syarat cukup
sebaliknya meliputi sejumlah besar sebab, sehingga akibatnya pasti terjadi.
Akan tetapi, seorang peneliti sejarah hampir tidak pernah menerangkan suatu
peristiwa atau perkembangan dari masa silam menurut syarat-syarat yang cukup.
Agar peristiwa itu sungguh terjadi, harus dipenuhi juga sejumlah syarat lain
yang tidak terinci. Mau tidak mau, seorang sejarawan tidak ada pilihan lain, ia
hanya dapat meneruskan pelacakannya, mencari syarat mutlak itu dengan
seobjektif dan seteliti mungkin.
3)
Abnormalisme
Teori abnormalisme didukung
oleh pengalaman kita bersama. Kita baru menanyakan mengenai sebab sesuatu, bila
bila terjadi sesuatu yang mencolok, yang mengherankan, yang “”tidak normal”.
Demikian juga yang terjadi dalam pengkajian sejarah. Para sejarawan tidak
menanyakan mengenai sebab-sebab, selama hegenmoni Eropa tidak diganggu gugat.
Baru bila Eropa kehilangan hegemoninya mereka baru bertanya apa sebabnya.
Tidak perlu diterangkan bahwa
keterangan-keterangan abnormalis selalu bersifat nisbi. Peristiwa-peristiwa
yang ditunjuk sebagai syarat mutlak bagi suatu peristiwa yang harus dijelaskan,
selalu dapat dikaitkan dengan pendirian seseorang yang ingin menerangkan
peristiwa itu. Dan pendirian-pendirian itu dapat berbeda-beda. Seorang
sejarawan terikat akan nilai-nilai yang dianutnya dan menyeleksi syarat-syarat
mutlak, hendaknya jangan ditafsirkan, bahwa dengan demikian
pernyataan-pernyataan kausal lalu juga digoncangkan dalam objektivitasnya.
4)
Keberatan - Keberatan
Terhadap Prinsip Kausalitas
a)
Jangkauannya
Jangkauan keterangna kausal
terbatas. Sebetulnya ini tidak langsung menyerang prinsip kausalitas, hanya
menisibkan nilai keterangn kausal bagi pengkajian sejarah.
Dray mengaakan bahwa
keterangn-keerangn historis tidak selalu menjawab pertanyaan “mengapa” (apa
sebabnya), tetapi sering juga pertanyaan “bagaimana”. Lebih radikal dari pada
Dray adalah Oakeshott. Bagi Oakeshott, semua pertanyaan mengenai sebab
sebetulnya mengenai pertanyaan “bagaimana”. Pertanyaan itu harus dijawab dengan
menyebut beberapa fakta yang melenyapkan rasa heran kita, jadi tidak dengan
menyebut bebrapa pola dan sebab hukum umum. Menurut Porter, proses-proses
perubahan yang dipelajari seorang sejarawan dan yang ingin diterangkannya,
hendaknya kita lihat sebagai perubahan-perubahan dalam bentuk. Masa silam terus
menerus mengalami metamorfosa, sama seperti dalam proses evolusi tumbuhan dan
hewan yang menapilkan bentuk-bentuk baru.
b)
Memisahkan sebab dan akibat
Sebab dan akibat merupakan
peristiwa-peristiwa, perkembangan-perkembangan dan sebagainya, di dalam
kenyataan jistoris sendiri dengan mempergunakan logat kausal, seolah-olah masa
silam tersusun dari sejumlah atom peristiwa. Atom-atom peristiwa itu dipelajari
dan diidentifikasikan oleh seorang peneliti sejarah dan akhirnya dia dapat
menunjukan suatu hubungan antar atom-atom tersebut. Akan tetapi demikian
Mandelbaum, kia membeda-bedakan dalam dan dengan bantuan bahasa. Baru setelah
kita memahirkan bahasa (sebab akibat), kita membedakan antara sebab dan akibat.
Tetapi bahasa dan kenyataan historis merupakan dua hal yang berlainan, oleh
sebab itu, pengalihan itu tidak
dihalalkan. Oleh karana itu tidak ada sebab untuk mengandaikan, bahwa peristiwa
masa silam dapat dipisahkan seperti konsep sebab akibat di dalam bahasa.
c)
Sebab dan CLM
Kita telah lihat bahwa
dipergunakannya logat kausalitas mengandaikan penerimaan CLM.
Keeratan-keberatan yang diajukan terhadap CLM sekaligus dapat dipandang juga
sebagai keberatan terhadap keterangan kausal.
Sedangkan menurut Helius
Sjamsuddin, dalam bukunya Metodologi Sejarah 1996. Beliau membagi metode-metode dalam eksplanasi sejarah dalam
5 metode diantaranya adalah sebagai berikut
:
a. Kausalitas
Menurut para ahli filsafat
sejarah masalah kausalitas adalah bagian
dari masalah eksplanasi sejarah yang luas dan mendalam serta semuanya merupakan
masalah metodologis. Kajian sejarah merupakan bahasan tentang sebab- sebab dari
suatu peristiwa yang terjadi sehingga hampir merupakan aksioma bahwa segala
sesuatu mempunyai sebab- sebab. Dengan kata lain bahwa setiap fenomena
merupakan akibat (consequence) dari sebab sebelumnya (antecendent
cause) (Temperley, ed, 1964: 60).
Kausalitas dalam sejarah
adalah suatu rangkaian peristiwa yang mendahului dan peristiwa yang menyusul.
Konsep kausalitas telah memasuki kisah sedemikian rupa tanpa kausalitas
penulisan sejarah mungkin merupakan katalogus atau kronologi. Akan tetapi,
penelitian “ sebab” dalam sejarah harus di tempatkan berdasarkan dua pembatasan
yang di tentukan saja, yaitu :
1) Batas jangkauan masa lampau yang di alamnya akan di cari interelasi
anteseden atau yang mendahului;
2) Batas jumlah factor yang berpengaruh yang di anggap tetap kotan dan krnanya
tidak di periksa (Gottschalk, 1975: 164).
Model kausalitas berupaya menjelaskan peristiwa sejarah dengan merangkaikan
berbagai fakta dalam sintesis hubungan sebab akibat (cause-effect). Hukum
sebab akibat (law of causation) menunjukkan bahwa setiap fenomena
merupakan akibat dari sebab sebelumnya. Kajian sejarah adalah kajian tentang
sebab-sebab dari suatu peristiwa terjadi sehingga hampir merupakan aksioma atau
kebenaran umum. Dalam perkembangannya, hukum jausalitas dianggap ketinggalan
karena memiliki tendensi deterministik. Alternatif terhadap hukum kausalitas
adalah pendekatan fungsional.
Penjelasan dalam hukum kausalitas dimulai dengan mencari sejumlah sebab
untuk peristiwa yang sama. Sebab-sebab yang banyak tersebut disebut kemajemukan
sebab (multiplicity of causes). Dalam konteks ini, setiap sebab memiliki
kedudukan sama penting. Langkah selanjutnya adalah menganalisis sebab-sebab
untuk kemudian mendapatkan penyebab utama (the ultimate cause), sebab
dari semua sebab (cause of all causes).
Kaitannya dengan kemajemukan sebab, muncul persoalan determinisme dalam
sejarah (determinism in history) dan kebetulan dalam sejarah (chance
in history). Ahli filsafat Hegel dianggap sebagai peletak dasar filsafat
sejarah determinisme. Kritik terhadap determinisme adalah dianggap
mengabaikan kemauan bebas (free will) manusia. Determinisme dianggap
bertentangan dengan adanya penyebab majemuk atau multikausal.
Sementara itu, kebetulan sejarah menganggap pertemuan atau benturan antar
sebab dalam peristiwa sejarah sebagai sebuah kebetulan. Kebetulan yang kemudian
mengubah jalannya sejarah. Teori kebetulan mendapat kritik karena dianggap
melebih-lebihkan. Penganut teori ini dianggap malas melakukan penelitian,
kemalasan inteletual (intellectual laziness) atau vitalitas yang rendah (low
intellectual vitality).
Dalam melakukan rekonstruksi sejarah, tidak semua fakta otomatis menjadi
fakta sejarah. Fakta-fakta masa lalu baru menjadi fakta sejarah jika sejarawan
memilihnya karena dianggap mempunyai hubungan (relevansi)dan berarti
(signifikansi) dengan apa yang diteliti. Hal yang sama juga berlaku bagi
penganut multikausal dalam peristiwa sejarah. Susunan sebab-sebab, signifikansi
serta relevansi antar satu sebab atau serangkaian sebab dengan yang lainnya
merupakan esensi penafsiran sejarah.
b. Covering Law
Model (CLM)
Sebagian besar ahli filsafat sejarah analitis mencoba memaksakan
pengetahuan sejarah ke dalam suatu formula hukum umum (general law), suatu
pernyataan dari bentuk kondisi universal yang sanggup dikonfirmasi atau
dibantah berdasarkan bukti-bukti empiris yang sesuai. Penganut CLM berpendapat
bahwa setiap penjelasan dalam sejarah harus dapat diterangkan oleh hukum umum (general
law) atau hipotesis universal (universal hypothesis) atau hipotesis
dari bentuk universal (hypothesis of universal form).
Menurut teori CLM, tidak ada perbedaan metodologis antara ilmu alam dengan
sejarah. Penjelasan sejarah diperoleh dengan menempatkan peristiwa-peristiwa
itu di bawah hipotesis, teori, atau hukum umum. Penjelasan diperoleh dengan
cara mendeduksikannya dari pernyataan-pernyataan tentang hukum-hukum umum dan
kondisi-kondisi awal.
c. Hermeneutika
Hermeneutika bertolak dari
tradisi – tradisi relativisme (humaniora), yaitu berbuat dengan mencapai tujuan
tertentu (intensionalisme) dengan tokoh –tokoh seperti Dilthey, Croce,
dan Collingwood, yang berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya lebih sesuai
dengan bentuk kajian ideorafik (kekhususan, partikularistik)daripada kajian
nomotetik, (keumuman, generalistik). Tradisi hermeneutika yang menjadi pembela
utama pendekatan interpretif (interpretive approach) menolak kemungkinan
suatu unifikasi (atas dasar- dasar empiris aau realis) antara ilmu alam
dan kajian –kajian menenai perbuatan (action ), sejarah, dan masyarakat. Hermeneutika menekankan secara tegas perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu
kemanusiaan.
Hermeneutika boleh dibilang menjadi semacam antitesis terhadap teori CLM.
Hermeneutika menekankan secara jelas antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan.
Penganut hermeneutika berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya bisa
diterangkan dengan kajian edografik (kekhusunan, partikularistik) daripada
nomotetik (keumuman, generalistik).
Pengertian hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran teks-teks dari
masa lalu dan penjelasan pelaku sejarah. Sejarawan mencoba menjelaskan masa
lalu dengan mencoba menghayati atau dengan empati, menempatkan dirinya dalam
alam pemikiran pelaku sejarah. Hermeneutika mencoba memasuki diri pelaku dan
berupaya memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat pelaku sejarah.
Ada semacam dialog batin antara batin sejarawan yang menggunakan pengalaman
hidupnya sendiri dengan sumber-sumber sejarah yang digunakan.
d. Model
Analogi
Analogi merupakan salah satu
alat dalam eksplanasi sejarah yang juga sangat berguna. Adapun urgensi analogi
antara lain:
1)
Dapat menjadi
semacam ornament dalam artikulasi ide- ide.
2)
Cara kerja
analogi dapat berlangsung kdalam (internal) maupun keluar (eksternal).
3)
Dapat memacu
sesuatu argumen yang masuk akal.
4)
Dapat memberikan saran dan membujuk,
5)
Memberikan informasi dan ilustrasi , mengomunikasikan dan menjelaskan.
6)
Meupakan alat
pedagogis yang serbaguna dan dan efektif.
7)
Alat eksplanasi
dalam pengajaran sejarah dan guna memperindah tulisan.
Masih terjadi perdebatan di antara para pakar tentang analogi sebagai
eksplanasi sejarah. Namun bagi penganutnya, analogi merupakan alat eksplanasi
yang sangat berguna. Analogi berperan penting dalam proses kreativitas
intelektual. Analogi dapat berperan ke dalam maupun ke luar. Ke dalam, analogi
dapat meningkatkan suatu yang tidak disadari atan inferensi awal ke tingkat rasionalitas
dalam pikiran . Keluar, analogi bekerja sebagai wahana mengalihkan pikiran
seseorang kepada orang lain.
Meskipun demikian, penggunaan analogi dalam eksplanasi sejarah berpotensi
menimbulkan kekeliruan. Karena itu, para sejarawan dituntut lebih selektif
dalam menggunakannya. Analogi, meskipun suatu alat untuk menjelaskan peristiwa
sejarah, kedudukannya hanya alat bantu (auxiliary) dalam pembuktian.
Analogi juga berkaitan dengan metafora. Sejarawan yang menggunakan metafora
dalam penjelasannya kerap menggunakan analogi. Beberapa contoh metafora sejarah
antara lain:
1)
Machiavellian, diambil dari nama Niccolo
Machiavelli untuk menggambarkan doktrin politik seseorang yang menggunakan
berbagai cara untuk mencapai tujuan politiknnya;
2)
Cut the Gordian Knot, dari nama
Raja Gordius dari Phrygia kuno untuk menggambarkan penggunaan cara-cara drastis
tanpa bersusah payah;
3)
Pyrrhic victiry, dari nama raja Pyrrhus dari Epirus
untuk menggambarkan sebuah kondisi di mana kemenangan perang diperoleh dengan
kerugian besar. Sejarawan menggunakan istilah ini untuk menggambarkan
perjuangan seseorang untuk mendapatkan sesuatu dengan kerja keras sampai
kehabisan daya;
4)
Carthaginian Peace, dari nama Kartago di Afrika Utara.
Penghancuran Kartago yang dilakukan Romawi untuk menghindari kebangkitan sebuah
kekuatan. Sejarawan menggunakan metafora ini untuk menggambarkan politik bumi
hangus sebagai reaksi atas kekhawatiran munculnya kekuatan lain.
e. Model
Motivasi
Eksplanasi model motivasi dibagi atas dua bagian diantaranya adalah sebagai berikut :
1)
Bentuk eksplanasi kausal, di mana akibat merupakan
suatu perbuatan yang inteligen, sedangkan sebab merupakan pikiran di belakang
perbuatan itu;
2)
Bentuk tingkah laku yang berpola.
Pada dasarnya, model ini menekankan penggunaan pendekatan psikohistori yang
berpijak pada teori psikoanalisis dari Sigmund Freud. Kelemahan pendekatan ini
terletak pada keterbatasan-keterbatasan metode psikoanalisis sendiri, selain
prosedur historiografis yang kurang memadai.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ekspalansi sejarah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam
metodolgi sejarah. Hal ini dipergunakan untuk mengembangkan, menganalisis,
dan menjelaskan hubungan diantara
pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada. Dalam ilmu sejarah
yang merupakan kesepakatan para sejarawan dengan sebutan kausalitas
(causations) serta bentuk-bentuk penghubung lain (connections) yang
digunakan oleh para sejarawan ketika mereka menyintesis fakta-fakta ( Berkhofer
dalam Helius Sjamuddin, 1996:237)
Eksplanasi adalah suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa
lain melalui penggunaan secara tepat pernyataan-pernyataan yang bersifat umum (general statements). Arti penting dari eksplanasi sejarah sendiri adalah menunjukkan kausalitas yang sesungguhnya mengenai suatu peristiwa sejarah.
Model – model dari eksplanasi sejarahdiantaranya adalah kausalitas,
CLM, hermaunetika dan model
analogi. Model kausalitas, menurut para ahli filsafat sejarah masalah kausalitas adalah bagian dari masalah eksplanasi sejarah yang
luas dan mendalam serta semuanya merupakan masalah metodologis.
Kajian sejarah merupakan bahasan tentang sebab – sebab dari suatu peristiwa
yang terjadi sehingga hamper merupakan aksioma bahwa segala sesuatu mempunyai sebab-
sebab. Dengan kata
lain bahwa setiap fenomena merupakan akibat (consequence) dari sebab sebelumnya (antecendent
cause) (Temperley, ed, 1964: 60). Kausalitas dalam sejarah adalah suatu rangkaian peristiwa yang mendahului dan peristiwa
yang menyusul. Konsep kausalitas telah memasuki kisah sedemikian rupa tanpa kausalitas penulisan sejarah mungkin merupakan kata logu satau kronologi.
Akan tetapi, penelitian “sebab” dalam sejarah harus di
tempatkan berdasarkan dua pembatasan
yang di tentukan saja, yaitu batas jangkauan masalampau yang di alamnya akan di cari interelasian teseden atau yang
mendahului dan batas jumlah
factor yang berpengaruh yang di anggap tetap kotan dan krnanya tidak di periksa (Gottschalk, 1975: 164).
Model CLM, sebagian besar ahli filsafat sejarah analitis mencoba
memaksakan pengetahuan sejarah ke dalam suatu formula hukum umum (general
law), suatu pernyataan dari bentuk kondisi universal yang sanggup
dikonfirmasi atau dibantah berdasarkan bukti-bukti empiris yang sesuai.
Penganut CLM berpendapat bahwa setiap penjelasan dalam sejarah harus dapat
diterangkan oleh hukum umum (general law) atau hipotesis universal (universal
hypothesis) atau hipotesis dari bentuk universal (hypothesis of
universal form).
Analogi merupakan salah satu alat dalam eksplanasi sejarah yang
juga sangat berguna. Adapun urgensi analogi antaralain dapat menjadi
semacam ornament dalam artikulasi ide- ide.Cara kerja analogi dapat berlangsung
kdalam (internal) maupun keluar (eksternal). Dapat memacu sesuatu argumen yang
masuk akal.Dapat emberikan saran dan membujuk, Mmberikan informasi dan
ilustrasi , mengomunikasikan dan menjelaskan.Meupakan alat pedagogis yang
serbaguna dan dan efektif dan Alat eksplanasi dalam pengajaran sejarah dan guna
mmperindah tulisan.
Hermeneutika bertolak dari
tradisi – tradisi relativisme (humaniora), yaitu berbuat dengan mencapai tujuan
tertentu (intensionalisme) dengan tokoh –tokoh seperti Dilthey, Croce,
dan Collingwood, yang berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya lebih sesuai
dengan bentuk kajian ideorafik (kekhususan, partikularistik)daripada kajian
nomotetik, (keumuman, generalistik). Tradisi hermeneutika yang menjadi pembela
utama pendekatan interpretif (interpretive approach) menolak kemungkinan
suatu unifikasi(atas dasar- dasar empiris aau realis) antara ilmu alam dan
kajian –kajian menenai perbuatan (action ), sejarah, dan masyarakat. Hermeneutika menekankan secara tegas perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu
kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ankersmit,
F.R. 1987. Denken Over Geschiedenis.
Eenoverzicht van modern geschiend
filosofis cheopvattingen. Diindonesiakan
oleh Dick Hartoko, Refleksi Tentang
Sejarah : Pendapat
-
Pendapat Modern Tentang Filsafat
Sejarah. Jakarta : Gramedia.
2.
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta : Tiara Wacana.
3.
Sundoro, Mohammad Hadi. 2009. Teka – Teki Sejarah. Jember University Pers.
4.
Sjamsuddin,
Helius. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud, Proyek
Pendidikan
Tenaga
Akademik
Dalam http://
ahmadnajip.wordpress.com/2012/04/10/eksplanasi-sejarah-menurut
helius-sjamsuddin
2 komentar:
punya bku ini mbk Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta : Tiara Wacana.. pnjem mbk buat foto kopi bleh
Punya dek,
tapi udah tk bawa pulang.
maaf ya :)
Posting Komentar