Pages

Mei 25, 2014

KETERLIBATAN AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBENTUKAN NEGARA INDONESIA



(Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Amerika)
Dosen Pengampu mata kuliah Dr. Suranto, M.Pd.






Disusun oleh:
Eka Ariska Putri (120210302005)
Kelas B







PRODI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER


BAB 1. PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Kemenangan kaum komunis dalam Revolusi Merah Oktober 1917 begitu mencemaskan AS. Sejak itu, AS merancang satu strategi untuk menghancurkan Rusia. “Tanggal 8 Januari 1918, Presiden AS Woodrow Wilson mengumumkan Program 14 Pasal. Dalam suatu komentar rahasia mengenai program ini, Wilson mengakui jika usaha menghancurkan dan mencerai-beraikan Uni Soviet sudah direncanakan. ” Dan dikemudian hari, kita sama-sama mengetahui bahwa Soviet benar-benar dihancurkan di tahun 1992.
Truman Doctrine untuk mengepung penyebaran komunisme dikeluarkan pada 1947. Disusul dengan Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari puing-puing akibat PD II. Dan tahukah anda jika Indonesia (istilah dulu “Hindia Belanda”) merupakan satu-satunya wilayah koloni Eropa yang tercakup dalam rencana dasar Marshall Plan. Akibatnya, bantuan keuangan AS kepada Belanda menyebabkan Den Haag mampu untuk memperkuat genggamannya atas Indonesia. Belanda melancarkan embargo ekonomi terhadap pemerintah RI yang berpusat di Jogja kala itu.
Selain itu Washington juga secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Hal itu bisa terbaca ketika tentara Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS. Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan rincian yang telah dikemukakan sebelumnya, yang menjadi pokok penulisan pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)      Bagaimana latar belakang keterlibatan Amerika Serikat dalam pembentukan negara Indonesia?
2)      Bagaimana peranan Amerika Serikat terhadap pembentukan negara Indonesia ?

1.3    Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, tujuan dari makalah ini diantaranya adalah :
1)      Untuk mengetahui dan memahami latar belakang keterlibatan Amerika Serikat dalam pembentukan negara Indonesia.
2)      Untuk mengetahui dan memahami peranan Amerika Serikat terhadap pembentukan negara Indonesia.





BAB 2. PEMBAHASAN


2.1    Latar Belakang Keterlibatan Amerika Serikat Terhadap Pembentukan Negara Indonesia
Perhatian AS terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II disebabkan letaknya yang sangat strategis dan kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa. Untuk itu AS pun membangun basecamp nya dibeberapa titik :
a.       Pada 8 September 1951, AS mendirikan pangkalan militer di Okinawa-Jepang,
b.      Pangkalan Clark dan Subic di Philipina berdiri pada 30 Agustus 1951,
c.       ANZUS (Australia, New Zealand, and AS) berdiri pada 1 September 1951,
d.      Korea Selatan pada 1 Oktober 1953,
e.       Taiwan pada 2 Desember 1954.
Hebatnya, semua perkembangan global di atas telah dipelajari dengan seksama oleh Presiden RI 1 yang sejak muda sudah menunjukkan kekritisannya. Soekarno tahu jika negerinya ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Sebab itu dia sungguh-sungguh paham jika suatu hari Indonesia akan mampu untuk tumbuh menjadi sebuah negeri yang besar dan makmur. Sikap Soekarno inilah yang membuatnya menentang segala bentuk Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) di mana AS menjadi panglimanya.
Dalam pandangan Soekarno, Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang AS karena Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas negara-negara kolonial yang bersekutu dengan AS. Atas sikap keras kepala Soekarno yang tidak mau tunduk pada keinginan AS guna membentuk Pan- Pacific untuk melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti menentang tunduk pada sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme dan imperialisme di mana AS menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi Amerika untuk menundukkan Soekarno kecuali menyingkirkannya.
Dalam sejarah Republik ini, nasionalisasi perusahaan asing pernah menjadi kebijakan resmi pemerintah, yang didukung oleh kekuatan politik progresif. Itu terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno di akhir tahun 1957. Kebijakan  nasionalisasi ini muncul sebagai akibat dari ‘buntunya’ perjuangan mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda ke pangkuan Republik Indonesia  (RI) melalui jalur diplomasi, pasca perjanjian konferensi meja bundar  (KMB) 1949. Pemerintahan Bung Karno  memutuskan untuk  menghadapi   Belanda dengan cara frontal, yakni  membatalkan perjanjian KMB secara sepihak.
Maka, di tahun 1956, kabinet Ali Sastroamidjojo II membatalkan perjanjian KMB dengan Belanda secara unilateral. Organ-organ yang terkait dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) dan lainya, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis), menjadi pelopor dalam aksi-aksi massa menuntut  pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya, sebagai bentuk resistensi terhadap eksistensi kolonial Belanda yang belum terlikuidasi sepenuhnya di Republik ini.
Akhirnya, pemerintah Bung  Karno pun  merespon keinginan massa rakyat tersebut. Hasil rapat Kabinet Djuanda  pada 28 November 1957  menghasilkan beberapa keputusan penting terkait hal tersebut, antara lain: pemerintah memutuskan untuk mendukung demonstrasi dan pengambillalihan beberapa perusahaan Belanda. Disinilah terlihat sinergi antara pemerintahan Indonesia merdeka dibawah pimpinan Bung  Karno dan Djuanda dengan gerakan-gerakan rakyat progresif yang disokong PNI dan PKI guna mengakhiri kekuasaan ekonomi   Belanda.
Hal-hal semacam inilah yang membuat Pemerintah Amerika Serikat menjadi gerah dan gemes terhadap presiden pertama Indonesia, mereka tidak suka dan dengan planning tertentu berusaha untuk memindahkan kedudukan Sukarno dengan orang lain yang tentunya memihak dan mau menjadi penjilat telapak kaki Negara Paman Sam.
Indonesia sebagai objek utama Marshall Plan desain Amerika, planing yang muncul sebagai sebuah ketakutan akut Amerika jika Indonesia berubah menjadi Negara Komunis, Negara yang seirama dengan UniSoviet musuh besar Amerika kala itu. Jelas perubahan Indonesia menjadi Negara komunis akan menjadi sandungan besar bagi perjalanan hidup neokolonialisme yang  Amerika pilih.
Namun untuk menundukkan Indonesia, AS jelas kesulitan karena negeri ini tengah dipimpin oleh seorang yang sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno. Tiada jalan lain, orang ini harus ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah telah mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina kader-kadernya di bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley), mendekati dan menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat PSI), membina sel binaannya di ketentaraan (local army friend) dan sebagainya. Setelah berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan bahkan sampai hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung Karno berhasil disingkirkan.
Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, secara defacto, Jenderal Suharto mengendalikan negeri ini. Pekan ketiga sampai dengan awal 1966, Jenderal Suharto menugaskan para kaki tangannya membantai mungkin jumlahnya mencapai jutaan orang. Mereka yang dibunuh adalah orang-orang yang dituduh kader atau simpatisan komunis (PKI), tanpa melewati proses pengadilan yangfair. Media internasional bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan yang melebihi kejahatan rezim Polpot di Kamboja ini, karena memang AS sangat diuntungkan.
Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal Suharto dirayakan dengan penuh suka cita oleh Washington. Bahkan Presiden Nixon menyebutnya sebagai "Hadiah terbesar dari Asia Tenggara". Satu negeri dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya alam, segenap bahan tambang, dan sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan dalam waktu singkat akan dijadikan ‘sapi perahan' bagi kejayaan imperialisme Barat.
Benar saja, Nopember 1967, Jenderal Suharto menugaskan satu tim ekonom pro-AS menemui para'bos' Yahudi Internasional di Swiss. Disertasi Doktoral Brad Sampson, dari Northwestern UniversityAS menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey Winters diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John Pilger dalamThe New Rulers of The World, mengutip Sampson dan menulis:
"Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar' (istilah pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari membahas strategi pengambil-alihan Indonesia.
Para pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya."
Di seberang meja, duduk orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup'.
"Di Jenewa, Tim Indonesia tersebut terkenal dengan sebutan ‘The Berkeley Mafia' karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: Tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar."
Masih dalam kutipan John Pilger, "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi sektor." Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, "Ini dilakukan dengan cara yang amat spektakuler."
"Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.' Dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan mereka. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri."
Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat.
Dia juga menolak bantuan keuangan dari AS berupa pinnjaman uang. Sukarno menilai bahwa hubungan antara dunia pertama dengan dunia ketiga adalah yakni antara Oldefos dan Nevos antara Old establish forces dengan New Emerging Forces adalah bentuk dari neokapitalisme. Contoh dari neokapitalis berdasarkan pandangan ini adalah Italia dan Inggris. Pemikiran ini berkembang hingga tahun 1965.


2.2    Peranan Amerika Serikat Terhadap Pembentukan Negara Indonesia
a.    Peranan Amerika Serikat Dalam Pemberontakan PRRI
Suasana demokrasi liberal di tahun 1950-an telah menimbulkan kekacauan dan pergolakan-pergolakan dengan kekerasan. Pemilihan umum yang dilaksanakan tahun 1955 tidak berhasil menghilangkan ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan sosial. Daerah-daerah di luar Jawa merasa dianaktirikan oleh Pemerintah Pusat, sehingga di beberapa daerah muncul gerakan-gerakan menuntut otonomi luas. Di bidang ekonomi dan perdagangan hasil ekspor yang sebagian berasal dari daerah-daerah luar Jawa, pembagian penggunaan di Pulau Jawa dianggap tidak adil. Di samping kekecewaan-kekecewaan tersebut, ada suatu masalah yang cukup serius yang mendorong Letnan Kolonel Ahmad Husein di Sumatera Barat bertekad menentang pemerintah Pusat, yaitu adanya penilaian bahwa Bung Karno dianggap mulai dipengaruhi Partai Komunis Indonesia.
Pada akhir bulan Desember 1956 dan permulaan tahun 1957 terjadi pergolakan menentang pemerintah Pusat, di Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi. Pergolakan ini dimulai dengan pembentukan “Dewan Banteng” di Sumatera Barat tanggal 20 Desember 1956 dipimpin Letnan Kolonel Achmad Hussein. Tindakan pertama dilakukan dengan mengambil alih pimpinan pemerintah Sumatera Barat dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dua hari kemudian, tanggal 22 Desember 1956 di Medan (Sumatera
Utara) terbentuk “Dewan Gajah”, dipimpin Kolonel Maludin Simbolon, yang menyatakan
bahwa Sumatera Utara melepaskan diri untuk sementara dari hubungan dengan pemerintah Pusat. Bulan Januari 1957 “Dewan Garuda” mengambil alih pemerintahan dari Gubernur Winarno. Pada tanggal 2 Maret 1957 di Manado diumumkan “Piagam Perjoangan Semester (PERMESTA)” oleh Letnan Kolonel Sumual, menentang pemerintah Pusat.1
Tahun 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden.
Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade.
Lima puluh tahun yang lalu, tepatnya 20 Desember 1957, di sebuah kota kecil di pesisir barat pantai Sumatera yang bernama Salido, berlangsung suatu sidang reuni para militer pejuang yang tergabung dalam Resimen IV Divisi Banteng Sumatera Tengah.2 Reuni tersebut menghasilkan dan membentuk suatu badan organisasi yang dinamai "Dewan Banteng" dengan tokoh-tokoh militer seperti Kolonel Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek, Kolonel M. Simbolon dan lain-lain sebagai para atasan dan penggeraknya. Namun, pada 15 Februari 1958, atas prakarsa "Dewan Banteng", organisasi yang dilahirkan dari hasil reuni militer yang dikepalai oleh Letkol Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek dan Kolonel Maludin Simbolon, "diproklamirkan" sebuah pemerintahan baru yang bernama "Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia" yang disingkat dengan sebutan PRRI, dengan kota Padang sebagai "ibukota negara" dan Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai "Presiden PRRI". Proklamasi PRRI ini, menjadi titik awal perlawanan secara terbuka terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ranah Minang dikuasai oleh oknum-oknum, baik militer maupun sipil, yang tidak merasa puas dengan kepemimpinan Bung Karno, dan membawa rakyat Minangkabau untuk memberontak melepaskan diri dari ikatan persatuan NKRI. Sementara itu, dalam waktu yang sama, di bagian Timur tanah air, juga timbul satu pemberontakan yang senada, perlawanan terhadap NKRI di bawah pimpinan Letkol Ventje Sumual, dengan membentuk pemerintah tandingan yang bernama PERMESTA (Pemerintah Rakyat Semesta).
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh pemimpin-pemimpin gerakan-gerakan tersebut sama, tidak lain adalah pemerintah Pusat dianggap kurang memperhatikan keadaan daerah disertai tuntutan menambah anggota kabinet dengan Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono. Menghadapi tantangan dari daerah-daerah, pemerintah Pusat memprakarsai Musyawarah Nasional di Jakarta
Menanggapi ketidaksukaannya pada AS, Bung Karno sering mendapat pertanyaan, apakah sikapnya anti Amerika? Bung Karno pun lantas menjawab: "Bertahun-tahun lamanya aku sangat ingin menjadi sahabat Amerika, akan tetapi sia-sia".23 Pernyataan Bung Karno tersebut menyiratkan bahwa sebenarnya ia tidak membenci Amerika, akan tetapi berbagai perlakuan tidak menyenangkan yang diterimanya dari AS mulai dari keterlibatan AS pada PRRI/Permesta yang menunjukkan betapa AS tidak menghormati dan berusaha mengaduk-aduk kedaulatan Indonesia, sampai pada sikap tidak bersahabat Presiden Eisenhower pada Bung Karno ketika Bung Karno mengunjungi Washington pada tahun 1960 membuat Bung Karno tidak bisa tidak membenci AS.
Memburuknya Hubungan Diplomatik antara Indonesia-Amerika Serikat, dan
Berubahnya Orientasi Politik Luar Negeri Indonesia menjadi Condong ke Arah Komunis
Keterlibatan AS dalam PRRI/Permesta telah membuat Indonesia berang. Indonesia pun memutuskan untuk membeberkan keterlibatan AS ini dalam forum internasional. Konferensi Asia-Afrika II dianggap merupakan momen yang tepat untuk membeberkan keterlibatan ini. Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Subandrio pun menyiapkan pengumuman yang rencananya akan disampaikan dalam konferensi itu, bahwa Indonesia mempunyai bukti adanya satu plot Amerika-lnggris akan mengadakan serangan militer terhadap Indonesia. Sayangnya, konferensi itu batal dilaksanakan. Namun pembatalan konferensi tidak lantas membatalkan niat Indonesia untuk membeberkan kesalahan AS ini. Dr. Subandrio pun kemudian memberikan interview kepada wartawan harian terbesar di Kairo, Al-Ahram, mengenai rencana Amerika-lnggris tersebut.24 Semenjak itu, ketegangan pada hubungan AS-Indonesia makin terasa mencekam.
Memburuknya hubungan diplomatik AS-Indonesia kemudian melahirkan perubahan orientasi politik luar negeri Indonesia, yang tadinya cukup dekat dengan negara Barat menjadi semakin ke arah kiri. Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow, Beijing maupun Hanoi, dan tampak garang terhadap AS dan sekutu Baratnya.25 Memang tidak dapat dipungkiri, antara dekade 50-an hingga pertengahan 60-an, Bung Karno merupakan sosok yang penuh dengan kontroversi, hal ini dikarenakan karena visi politik luar negerinya yang kelewat agresif. Keagresifan Bung Karno antara lain ditandai dengan pembentukan NEFOS (New Emerging Forces) yang beranggotakan negara-negara Dunia Ketiga, serta gagasan pembentukan “Poros Jakarta-Beijing-Pyongyang” yang kesemuanya semakin menunjukkan kedekatan Indonesia dengan komunis.26
Ironisnya, keterlibatan AS dalam PRRI/Permesta yang sebenarnya bertujuan untuk menggulingkan Soekarno yang ketika itu dinilai mulai menunjukkan orientasi politik kiri, justru membuat Presiden Soekarno semakin anti pada AS dan semakin dekat dengan negara-negara komunis. Penulis menilai, keterlibatan AS dalam PRRI/Permesta terbukti malah “mendorong” Indonesia ke tangan komunis, bukan menyelamatkannya.
Munculnya dukungan dari Amerika Serikat pada TNI dan Meningkatnya Konflik Dalam Negeri akibat Dukungan tersebut
Kegagalan PRRI/Permesta dalam menggulingkan Soekarno tidak lantas membuat AS dalam hal ini, CIA putus asa dan menghentikan usahanya untuk membasmi komunis di Indonesia. Pada 1 Agustus 1958, AS mulai memberikan bantuan militer senilai dua puluh juta dollar per tahun27 pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sebuah memo
Dukungan yang diberikan AS pada ABRI khususnya pada Nasution ini pada akhirnya akan sangat berpengaruh pada eskalasi konflik dalam negeri, terutama yang berhubungan dengan berbagai usaha penumpasan PKI dan antek-anteknya. Soekarno yang pada saat itu semakin menunjukkan orientasi politik ke kiri juga merupakan tujuan dari berbagai upaya penumpasan PKI ini. Peristiwa Gestapu/G-30S-PKI kemudian membuktikan betapa sebuah dukungan dari AS pada Nasution dkk. kemudian sangat berpengaruh dalam upaya penggulingan Soekarno tersebut.

b.        Keterlibatan Amerika Dalam Pembebasan Irian Barat
Indikasi dari adanya keterlibatan dan intervensi Amerika Serikat di Irian Barat itu sendiri memiliki permasalahan yang cukup signifikan. Hal ini diawali dari adanya kepentingan serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri di berbagai negara di Asia, temasuk Indonesia. Kemudian dengan adanya kemampuan dari Amerika Serikat dalam hal militer dan juga perekonomian itu sendiri memberikan kekuasaan terhadap negara-negara yang dianggapnya dapat diperoleh kerjasama baik secara bilateral maupun multilateral. Berbagai hubungan Amerika Serikat-Indonesia yang pada mulanya dilakukan oleh Amerika Serikat berawal dari adanya insiden antara awak kapal perang Potomac dengan penduduk Kuala Batu di Aceh. Kemudian berlanjut menjadi adanya indikasi keterlibatan Amerika Serikat dalam operasi Trikora yang menurut Amerika Serikat itu sendiri adalah upaya pribadi Soekarno yang merusak tatanan perdamaian dan kesejahteraan dunia yang kemudian dibentuknya opini dunia oleh Amerika Serikat itu sendiri.
Kesinambungan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan masalah-masalah keamanan yang dilakukannya tersebut memiliki ciri yang bertentangan. Ciri khas politik Amerika Serikat itu sendiri memiliki kolaborasi yang seimbang antara memeilihara, melindungi, dan memperluas kepentingan Amerika Serikat itu sendiri di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tetapi peran politik yang paling penting dan realistik dalam kancahnya di Irian Barat adalah politik intervensionis. Di mana pada masa pasca Perang Dunia II, permasalahan Irian Barat itu sendiri diintervensi oleh Amerika Serikat melalui pemerintahan kepresidenan Harry S. Truman, Dwight D. Eisenhower, John Fitzgerald Kennedy dan sebagainya yang terpengaruh oleh kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang terpengaruh dari pemimpin-pemimpinnya tersebut.
Dalam suatu pemerintahan liberal maupun kebijakan luar negeri yang dijalankan Amerika Serikat, terdapat peran kaum neokonservatif yang melakukan rekayasa sosial. Rekayasa sosial terbentuk dari sebuah gerakan dengan visi tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi perubahan sosial, tetapi dalam konteks social engineering (rekayasa sosial) yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat, adalah dengan melakukan penyebaran demokrasi terhadap negara-negara yang masih diktator. Dalam hal ini Soekarno dianggap sebagai seorang diktator yang menghalangi kepentingan Amerika Serikat di Indonesia khususnya Irian Barat pada masa pasca Perang Dingin tersebut.
Keterlibatan Amerika Serikat itu sendiri tidak terlepas dari adanya peran Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia yang baru merdeka pada tahun 1945. Pengaruh-pengaruh Blok Timur di Indonesia mulai dikesampingkan oleh presiden Amerika Serikat pada saat itu yaitu Harry S. Truman di mana konflik kependudukan dan geografi Irian Barat itu sendiri berakar dari adanya kepentingan Amerika Serikat untuk tetap menjadikan Indonesia sebagai bagian dari negara-negara penganut Blok Barat, tetapi dengan adanya peran Soekarno yang bersikap tegas dan tidak mudah untuk diatur, Amerika Serikat menggunakan kesempatan tersebut di mana pada saat itu Indonesia sedang melakukan perjuangan mempertahankan kemerdekaan terhadap Belanda untuk membantu Belanda mengklaim Irian Barat sebagai daerah yang diklaim Belanda dalam jajahannya agara Indonesia tetap condong ke Blok Barat di bawah pengaruh Belanda.
Bentuk lain dari Doktrin Truman yang berlaku di Eropa juga diaplikasikan dalam penolakan bantuan militer terhadap Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hal ini dikarenakan sikap Soekarno yang juga mendukung komunisme dalam masa Perang Dingin sehingga adanya indikasi bahwa tidak percayanya Amerika Serikat terhadap Indonesia untuk terus berada di Blok Barat. Sedangkan mempertahankan Irian Barat dianggap sebagai suatu sikap atau bentuk perlawanan terhadap imperialisme yang berkepanjangan antara negara-negara Blok Barat tersebut. Kembali ke pemikiran-pemikiran neokonservatif yang dimiliki oleh institusi-institusi Amerika Serikat itu sendiri, perlu diketahui bahwa demokrasi yang menjadi objek penyebaran pemerintah Amerika Serikat, dipercaya menjadi jawaban bagi keinginan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik, dan demokrasi dipercaya oleh kaum neokonservatif sebagai hak-hak dasar manusia walaupun kaum neokonservatif sendiri mengabaikan nilai-nilai fungsi sipil yang kritis. Demokrasi juga disalahpahami sebagai suatu sistem yang menguntungkan sebuah negara karena dibebaskannya negara tersebut dari kediktatoran. Hal yang ingin ditekankan adalah kasus Irian Barat dalam pandangan Truman merupakan suatu bentuk kesempatan ataupun eksperimen untuk mempersatukan serta mengayomi pihak militer Indonesia untuk melepaskan diri dari pihak Indonesia.
Berlanjut pada masa pemerintahan Dwight D. Eisenhower di mana adanya keterlibatan seorang agen CIA bernama Allen Pope yang dianggap memiliki peran penting dalam proses intervensi pemerintahan AS di Indonesia dan membuka peluang penting dalam menyibak kabut keterlibatan AS di Irian Barat. Pada tahun 1950 juga bentuk politik Amerika Serikat terhadap Indonesia memiliki beberapa faktor yang relevan dengan adanya permasalah baik di internal maupun eksternal Indonesia dan Amerika Serikat itu sendiri. Seperti tindakan-tindakan sensitive yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat karena adanya gerakan-gerakan yang menjurus kea rah komunisme Blok Timur, lalu pada waktu itu pemerintah Indonesia memperoleh dukungan yang luas dari rakyat beserta instrument-instrumen kenegaraannya yang luas sehingga adanya kecenderungan munculnya pengaruh yang memecah belah, lalu metode politik Indonesia yang tidak sesuai dengan demokrasi Amerika Serikat itu sendiri juga menjadi permasalahan lain dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Indonesia sendiri, kemudian adanya ketidaksenangan pihak Amerika Serikat karena akan adanya gerakan politik yang memperjuangkan Irian Barat (yang pada saat itu masih dijajah Belanda). Sehingga bantuan luar negeri yang Amerika Serikat berikan, tersangkut oleh adanya faktor-faktor tersebut.
Lalu kemudian cara persuasif yang lebih halus dan tanpa penekanan dilakukan oleh John F. Kennedy dalam masa pemerintahannya terhadap Soekarno. Adanya pengeluaran biaya dalam pembelian alat-alat militer dan bantuan secara militer ditawarkan oleh Kennedy untuk aksi-aksi pembebasan Irian Barat dan berbagai permasalahan lainnya di Indonesia terhadap Soekarno. Hal ini memberikan jalan lain setelah terkuaknya kasus dugaan percobaan pembunuhan Soekarno, 3 Juni 1965. Setelah adanya pembebasan Allen Pope itu sendiri yang dimuat di New York Times, 23 Agustus 1962
“Indonesia Bebaskan Penerbang Amerika Orang yang dihukum seumur hidup dikembalikan ke Amerika Serikat secara rahasia Oleh Robert F. Whitney. Pada 22 Agustus – Allen Lawrence Pope, penerbang Amerika Serikat yang menjalani hukuman seumur hidup dalam penjara di Indonesia, dibebaskan pada tanggal 2 Juli. Hal ini memberikan adanya perubahan pandangan pembebasan warga negara Amerika Serikat yang sebelumnya mendapatkan sanksi hukuman seumur hidup menjadi bebas tanpa syarat dan dikembalikan ke negaranya. Keterlibatan Amerika Serikat dalam berbagai perjuangan politik Indonesia pun terkuat melalui penangkapan Allen Pope sebagai agen CIA yang menyamar tersebut.
Dalam Operasi Trikora yang disebut juga sebagai upaya yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Irian Barat. Hal ini terjadi terkait dengan nasionalisme yang ditekankan pada masa pemerintahan Soekarno sehingga pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Pembentukan berbagai komando dan penyelenggaraan operasi-operasi militer juga diberlakukan Soekarno dalam penanggulangan permasalahan di Irian Barat tersebut.
Kepentingan awal yang mengakar pada masa Perang Dingin tersebut adalah adanya penyebaran demokrasi, Dari kasus-kasus yang sudah terjadi, kesuksesan penyebaran demokrasi memiliki tiga kerakteristik yang bisa dijadikan sebagai pembanding, yaitu:
a)      Adanya inisiatif yang datang dari masyarakat yang bersangkutan.
b)      Bentuk dukungan eksternal hanya bekerja di rezim semi-otoriter yang memerlukan tahap pemilihan serta adanya kebebasan bagi kelompok masyarakat sipil untuk berorganisasi.
c)      Daya penerimaan kekuatan pro-demokrasi dari negara luar, sangat bergantung kepada sejarah spesifik masyarakat dan jenis dari nasionalisme penduduk setempat yang ada.
Peran Amerika Serikat dalam penyebaran demokrasi yang terjadi melalui dan melewati konflik yang terjadi di Irian Barat tersebut berkelanjutan dengan adanya desakan-desakan Amerika Serikat terhadap Belanda untuk terus melakukan perundingan-perundingan dengan pihak Indonesia. Sehingga untuk menghindari konfrontasi yang lebih lanjut, diadakanlah perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda di New York, yang dikenal dengan nama Perjanjian New York. Dalam hal inilah peran aktif dan langsung yang dimiliki oleh Amerika Serikat terhadap permasalahan Irian Barat terlihat jelas.
Keterlibatan maupun intervensi Amerika Serikat dalam permasalahan Irian Barat tersebut tidak terlepas dari adanya peran Soekarno sebagai presiden yang memimpin pada masa perjuangan Irian Barat tersebut. Kemudian keterlibatan-keterlibatan Amerika Serikat terlihat jelas melalui adanya peran-peran CIA dan organisasi lainnya dalam proses intervensi politik Indonesia oleh Amerika Serikat sendiri termasuk permasalahan Irian Barat, serta berujung kepada permohonan pembebasan Allan Pope untuk kembali ke Amerika Serikat. Ketakutan Amerika Serikat terlihat di dalam cara penanganan-penanganan permasalahan Irian Barat yang memerlukan rekayasa-rekayasa sosial dalam hal militer dan juga ekonomi, walaupun mendapat perlawanan dari Soekarno itu sendiri. Permasalahan Irian Barat pun dianggap sebagai suatu kesempatan untuk memecah Indonesia untuk kembali di bawah jajahan Belanda sebagai bagian dari Blok Barat di masa Perang Dingin tersebut, di mana kebijakan presiden Amerika Serikat juga berperan di dalamnya pada masa itu


BAB 3. PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Perhatian AS terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II disebabkan letaknya yang sangat strategis dan kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa. Untuk itu AS pun membangun basecamp nya dibeberapa titik  yaitu Pada 8 September 1951, AS mendirikan pangkalan militer di Okinawa-Jepang, Pangkalan Clark dan Subic di Philipina berdiri pada 30 Agustus 1951, ANZUS (Australia, New Zealand, and AS) berdiri pada 1 September 1951, Korea Selatan pada 1 Oktober 1953, dan Taiwan pada 2 Desember 1954.
Selain memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka granat kepada para pemberontak, CIA juga mendrop sejumlah alat perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat tempur dan pembom, dan sebagainya. Bahkan sejumlah pesawat tempur AU-Filipina dan AU-Taiwan seperti pesawat F-51D Mustang, pengebom B-26 Invader, AT-11 Kansan, pesawat transport Beechcraft, pesawat amfibi PBY 5 Catalina dipinjamkan CIA kepada pemberontak. Sebab itulah, pemberontak bisa memiliki angkatan udaranya sendiri yang dinamakan AUREV (AU Revolusioner). Beberapa pilot pesawat tempur tersebut bahkan dikendalikan sendiri oleh personil militer AS, Korea Selatan, Taiwan, dan juga Filipina.
Dalam operasi mendukung PRRI/PERMESTA, AS menurunkan kekuatan yang tidak main-main. CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak. Dari Singapura, pejabat Konsulat AS yang berkedudukan di Medan, dengan intensif berkoordinasi dengan Kol. Simbolon, Sumitro, dan Letkol Ventje Soemoeal.
Sebenarnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang haus dengan keadilan, beberapa tahun lalu dengan penuh kesadaran mereka menolak penyerangan Amerika pada Irak, Afganistan, pemberian bantuan pada Rezim Zionis Israel dll, mereka menilai Amerika dan konco-konconya adalah Negara berpolitik muka dua dibidang HAM. Amerika hanya melakukan sesuatu selama hal itu bisa memberikan keuntungan padanya.

DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

KETERLIBATAN AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBENTUKAN NEGARA INDONESIA



(Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Amerika)
Dosen Pengampu mata kuliah Dr. Suranto, M.Pd.






Disusun oleh:
Eka Ariska Putri (120210302005)
Kelas B







PRODI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER


BAB 1. PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Kemenangan kaum komunis dalam Revolusi Merah Oktober 1917 begitu mencemaskan AS. Sejak itu, AS merancang satu strategi untuk menghancurkan Rusia. “Tanggal 8 Januari 1918, Presiden AS Woodrow Wilson mengumumkan Program 14 Pasal. Dalam suatu komentar rahasia mengenai program ini, Wilson mengakui jika usaha menghancurkan dan mencerai-beraikan Uni Soviet sudah direncanakan. ” Dan dikemudian hari, kita sama-sama mengetahui bahwa Soviet benar-benar dihancurkan di tahun 1992.
Truman Doctrine untuk mengepung penyebaran komunisme dikeluarkan pada 1947. Disusul dengan Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari puing-puing akibat PD II. Dan tahukah anda jika Indonesia (istilah dulu “Hindia Belanda”) merupakan satu-satunya wilayah koloni Eropa yang tercakup dalam rencana dasar Marshall Plan. Akibatnya, bantuan keuangan AS kepada Belanda menyebabkan Den Haag mampu untuk memperkuat genggamannya atas Indonesia. Belanda melancarkan embargo ekonomi terhadap pemerintah RI yang berpusat di Jogja kala itu.
Selain itu Washington juga secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Hal itu bisa terbaca ketika tentara Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS. Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan rincian yang telah dikemukakan sebelumnya, yang menjadi pokok penulisan pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)      Bagaimana latar belakang keterlibatan Amerika Serikat dalam pembentukan negara Indonesia?
2)      Bagaimana peranan Amerika Serikat terhadap pembentukan negara Indonesia ?

1.3    Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, tujuan dari makalah ini diantaranya adalah :
1)      Untuk mengetahui dan memahami latar belakang keterlibatan Amerika Serikat dalam pembentukan negara Indonesia.
2)      Untuk mengetahui dan memahami peranan Amerika Serikat terhadap pembentukan negara Indonesia.





BAB 2. PEMBAHASAN


2.1    Latar Belakang Keterlibatan Amerika Serikat Terhadap Pembentukan Negara Indonesia
Perhatian AS terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II disebabkan letaknya yang sangat strategis dan kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa. Untuk itu AS pun membangun basecamp nya dibeberapa titik :
a.       Pada 8 September 1951, AS mendirikan pangkalan militer di Okinawa-Jepang,
b.      Pangkalan Clark dan Subic di Philipina berdiri pada 30 Agustus 1951,
c.       ANZUS (Australia, New Zealand, and AS) berdiri pada 1 September 1951,
d.      Korea Selatan pada 1 Oktober 1953,
e.       Taiwan pada 2 Desember 1954.
Hebatnya, semua perkembangan global di atas telah dipelajari dengan seksama oleh Presiden RI 1 yang sejak muda sudah menunjukkan kekritisannya. Soekarno tahu jika negerinya ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Sebab itu dia sungguh-sungguh paham jika suatu hari Indonesia akan mampu untuk tumbuh menjadi sebuah negeri yang besar dan makmur. Sikap Soekarno inilah yang membuatnya menentang segala bentuk Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) di mana AS menjadi panglimanya.
Dalam pandangan Soekarno, Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang AS karena Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas negara-negara kolonial yang bersekutu dengan AS. Atas sikap keras kepala Soekarno yang tidak mau tunduk pada keinginan AS guna membentuk Pan- Pacific untuk melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti menentang tunduk pada sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme dan imperialisme di mana AS menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi Amerika untuk menundukkan Soekarno kecuali menyingkirkannya.
Dalam sejarah Republik ini, nasionalisasi perusahaan asing pernah menjadi kebijakan resmi pemerintah, yang didukung oleh kekuatan politik progresif. Itu terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno di akhir tahun 1957. Kebijakan  nasionalisasi ini muncul sebagai akibat dari ‘buntunya’ perjuangan mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda ke pangkuan Republik Indonesia  (RI) melalui jalur diplomasi, pasca perjanjian konferensi meja bundar  (KMB) 1949. Pemerintahan Bung Karno  memutuskan untuk  menghadapi   Belanda dengan cara frontal, yakni  membatalkan perjanjian KMB secara sepihak.
Maka, di tahun 1956, kabinet Ali Sastroamidjojo II membatalkan perjanjian KMB dengan Belanda secara unilateral. Organ-organ yang terkait dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) dan lainya, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis), menjadi pelopor dalam aksi-aksi massa menuntut  pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya, sebagai bentuk resistensi terhadap eksistensi kolonial Belanda yang belum terlikuidasi sepenuhnya di Republik ini.
Akhirnya, pemerintah Bung  Karno pun  merespon keinginan massa rakyat tersebut. Hasil rapat Kabinet Djuanda  pada 28 November 1957  menghasilkan beberapa keputusan penting terkait hal tersebut, antara lain: pemerintah memutuskan untuk mendukung demonstrasi dan pengambillalihan beberapa perusahaan Belanda. Disinilah terlihat sinergi antara pemerintahan Indonesia merdeka dibawah pimpinan Bung  Karno dan Djuanda dengan gerakan-gerakan rakyat progresif yang disokong PNI dan PKI guna mengakhiri kekuasaan ekonomi   Belanda.
Hal-hal semacam inilah yang membuat Pemerintah Amerika Serikat menjadi gerah dan gemes terhadap presiden pertama Indonesia, mereka tidak suka dan dengan planning tertentu berusaha untuk memindahkan kedudukan Sukarno dengan orang lain yang tentunya memihak dan mau menjadi penjilat telapak kaki Negara Paman Sam.
Indonesia sebagai objek utama Marshall Plan desain Amerika, planing yang muncul sebagai sebuah ketakutan akut Amerika jika Indonesia berubah menjadi Negara Komunis, Negara yang seirama dengan UniSoviet musuh besar Amerika kala itu. Jelas perubahan Indonesia menjadi Negara komunis akan menjadi sandungan besar bagi perjalanan hidup neokolonialisme yang  Amerika pilih.
Namun untuk menundukkan Indonesia, AS jelas kesulitan karena negeri ini tengah dipimpin oleh seorang yang sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno. Tiada jalan lain, orang ini harus ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah telah mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina kader-kadernya di bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley), mendekati dan menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat PSI), membina sel binaannya di ketentaraan (local army friend) dan sebagainya. Setelah berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan bahkan sampai hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung Karno berhasil disingkirkan.
Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, secara defacto, Jenderal Suharto mengendalikan negeri ini. Pekan ketiga sampai dengan awal 1966, Jenderal Suharto menugaskan para kaki tangannya membantai mungkin jumlahnya mencapai jutaan orang. Mereka yang dibunuh adalah orang-orang yang dituduh kader atau simpatisan komunis (PKI), tanpa melewati proses pengadilan yangfair. Media internasional bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan yang melebihi kejahatan rezim Polpot di Kamboja ini, karena memang AS sangat diuntungkan.
Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal Suharto dirayakan dengan penuh suka cita oleh Washington. Bahkan Presiden Nixon menyebutnya sebagai "Hadiah terbesar dari Asia Tenggara". Satu negeri dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya alam, segenap bahan tambang, dan sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan dalam waktu singkat akan dijadikan ‘sapi perahan' bagi kejayaan imperialisme Barat.
Benar saja, Nopember 1967, Jenderal Suharto menugaskan satu tim ekonom pro-AS menemui para'bos' Yahudi Internasional di Swiss. Disertasi Doktoral Brad Sampson, dari Northwestern UniversityAS menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey Winters diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John Pilger dalamThe New Rulers of The World, mengutip Sampson dan menulis:
"Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar' (istilah pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari membahas strategi pengambil-alihan Indonesia.
Para pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya."
Di seberang meja, duduk orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup'.
"Di Jenewa, Tim Indonesia tersebut terkenal dengan sebutan ‘The Berkeley Mafia' karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: Tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar."
Masih dalam kutipan John Pilger, "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi sektor." Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, "Ini dilakukan dengan cara yang amat spektakuler."
"Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.' Dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan mereka. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri."
Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat.
Dia juga menolak bantuan keuangan dari AS berupa pinnjaman uang. Sukarno menilai bahwa hubungan antara dunia pertama dengan dunia ketiga adalah yakni antara Oldefos dan Nevos antara Old establish forces dengan New Emerging Forces adalah bentuk dari neokapitalisme. Contoh dari neokapitalis berdasarkan pandangan ini adalah Italia dan Inggris. Pemikiran ini berkembang hingga tahun 1965.


2.2    Peranan Amerika Serikat Terhadap Pembentukan Negara Indonesia
a.    Peranan Amerika Serikat Dalam Pemberontakan PRRI
Suasana demokrasi liberal di tahun 1950-an telah menimbulkan kekacauan dan pergolakan-pergolakan dengan kekerasan. Pemilihan umum yang dilaksanakan tahun 1955 tidak berhasil menghilangkan ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan sosial. Daerah-daerah di luar Jawa merasa dianaktirikan oleh Pemerintah Pusat, sehingga di beberapa daerah muncul gerakan-gerakan menuntut otonomi luas. Di bidang ekonomi dan perdagangan hasil ekspor yang sebagian berasal dari daerah-daerah luar Jawa, pembagian penggunaan di Pulau Jawa dianggap tidak adil. Di samping kekecewaan-kekecewaan tersebut, ada suatu masalah yang cukup serius yang mendorong Letnan Kolonel Ahmad Husein di Sumatera Barat bertekad menentang pemerintah Pusat, yaitu adanya penilaian bahwa Bung Karno dianggap mulai dipengaruhi Partai Komunis Indonesia.
Pada akhir bulan Desember 1956 dan permulaan tahun 1957 terjadi pergolakan menentang pemerintah Pusat, di Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi. Pergolakan ini dimulai dengan pembentukan “Dewan Banteng” di Sumatera Barat tanggal 20 Desember 1956 dipimpin Letnan Kolonel Achmad Hussein. Tindakan pertama dilakukan dengan mengambil alih pimpinan pemerintah Sumatera Barat dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dua hari kemudian, tanggal 22 Desember 1956 di Medan (Sumatera
Utara) terbentuk “Dewan Gajah”, dipimpin Kolonel Maludin Simbolon, yang menyatakan
bahwa Sumatera Utara melepaskan diri untuk sementara dari hubungan dengan pemerintah Pusat. Bulan Januari 1957 “Dewan Garuda” mengambil alih pemerintahan dari Gubernur Winarno. Pada tanggal 2 Maret 1957 di Manado diumumkan “Piagam Perjoangan Semester (PERMESTA)” oleh Letnan Kolonel Sumual, menentang pemerintah Pusat.1
Tahun 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden.
Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade.
Lima puluh tahun yang lalu, tepatnya 20 Desember 1957, di sebuah kota kecil di pesisir barat pantai Sumatera yang bernama Salido, berlangsung suatu sidang reuni para militer pejuang yang tergabung dalam Resimen IV Divisi Banteng Sumatera Tengah.2 Reuni tersebut menghasilkan dan membentuk suatu badan organisasi yang dinamai "Dewan Banteng" dengan tokoh-tokoh militer seperti Kolonel Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek, Kolonel M. Simbolon dan lain-lain sebagai para atasan dan penggeraknya. Namun, pada 15 Februari 1958, atas prakarsa "Dewan Banteng", organisasi yang dilahirkan dari hasil reuni militer yang dikepalai oleh Letkol Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek dan Kolonel Maludin Simbolon, "diproklamirkan" sebuah pemerintahan baru yang bernama "Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia" yang disingkat dengan sebutan PRRI, dengan kota Padang sebagai "ibukota negara" dan Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai "Presiden PRRI". Proklamasi PRRI ini, menjadi titik awal perlawanan secara terbuka terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ranah Minang dikuasai oleh oknum-oknum, baik militer maupun sipil, yang tidak merasa puas dengan kepemimpinan Bung Karno, dan membawa rakyat Minangkabau untuk memberontak melepaskan diri dari ikatan persatuan NKRI. Sementara itu, dalam waktu yang sama, di bagian Timur tanah air, juga timbul satu pemberontakan yang senada, perlawanan terhadap NKRI di bawah pimpinan Letkol Ventje Sumual, dengan membentuk pemerintah tandingan yang bernama PERMESTA (Pemerintah Rakyat Semesta).
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh pemimpin-pemimpin gerakan-gerakan tersebut sama, tidak lain adalah pemerintah Pusat dianggap kurang memperhatikan keadaan daerah disertai tuntutan menambah anggota kabinet dengan Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono. Menghadapi tantangan dari daerah-daerah, pemerintah Pusat memprakarsai Musyawarah Nasional di Jakarta
Menanggapi ketidaksukaannya pada AS, Bung Karno sering mendapat pertanyaan, apakah sikapnya anti Amerika? Bung Karno pun lantas menjawab: "Bertahun-tahun lamanya aku sangat ingin menjadi sahabat Amerika, akan tetapi sia-sia".23 Pernyataan Bung Karno tersebut menyiratkan bahwa sebenarnya ia tidak membenci Amerika, akan tetapi berbagai perlakuan tidak menyenangkan yang diterimanya dari AS mulai dari keterlibatan AS pada PRRI/Permesta yang menunjukkan betapa AS tidak menghormati dan berusaha mengaduk-aduk kedaulatan Indonesia, sampai pada sikap tidak bersahabat Presiden Eisenhower pada Bung Karno ketika Bung Karno mengunjungi Washington pada tahun 1960 membuat Bung Karno tidak bisa tidak membenci AS.
Memburuknya Hubungan Diplomatik antara Indonesia-Amerika Serikat, dan
Berubahnya Orientasi Politik Luar Negeri Indonesia menjadi Condong ke Arah Komunis
Keterlibatan AS dalam PRRI/Permesta telah membuat Indonesia berang. Indonesia pun memutuskan untuk membeberkan keterlibatan AS ini dalam forum internasional. Konferensi Asia-Afrika II dianggap merupakan momen yang tepat untuk membeberkan keterlibatan ini. Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Subandrio pun menyiapkan pengumuman yang rencananya akan disampaikan dalam konferensi itu, bahwa Indonesia mempunyai bukti adanya satu plot Amerika-lnggris akan mengadakan serangan militer terhadap Indonesia. Sayangnya, konferensi itu batal dilaksanakan. Namun pembatalan konferensi tidak lantas membatalkan niat Indonesia untuk membeberkan kesalahan AS ini. Dr. Subandrio pun kemudian memberikan interview kepada wartawan harian terbesar di Kairo, Al-Ahram, mengenai rencana Amerika-lnggris tersebut.24 Semenjak itu, ketegangan pada hubungan AS-Indonesia makin terasa mencekam.
Memburuknya hubungan diplomatik AS-Indonesia kemudian melahirkan perubahan orientasi politik luar negeri Indonesia, yang tadinya cukup dekat dengan negara Barat menjadi semakin ke arah kiri. Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow, Beijing maupun Hanoi, dan tampak garang terhadap AS dan sekutu Baratnya.25 Memang tidak dapat dipungkiri, antara dekade 50-an hingga pertengahan 60-an, Bung Karno merupakan sosok yang penuh dengan kontroversi, hal ini dikarenakan karena visi politik luar negerinya yang kelewat agresif. Keagresifan Bung Karno antara lain ditandai dengan pembentukan NEFOS (New Emerging Forces) yang beranggotakan negara-negara Dunia Ketiga, serta gagasan pembentukan “Poros Jakarta-Beijing-Pyongyang” yang kesemuanya semakin menunjukkan kedekatan Indonesia dengan komunis.26
Ironisnya, keterlibatan AS dalam PRRI/Permesta yang sebenarnya bertujuan untuk menggulingkan Soekarno yang ketika itu dinilai mulai menunjukkan orientasi politik kiri, justru membuat Presiden Soekarno semakin anti pada AS dan semakin dekat dengan negara-negara komunis. Penulis menilai, keterlibatan AS dalam PRRI/Permesta terbukti malah “mendorong” Indonesia ke tangan komunis, bukan menyelamatkannya.
Munculnya dukungan dari Amerika Serikat pada TNI dan Meningkatnya Konflik Dalam Negeri akibat Dukungan tersebut
Kegagalan PRRI/Permesta dalam menggulingkan Soekarno tidak lantas membuat AS dalam hal ini, CIA putus asa dan menghentikan usahanya untuk membasmi komunis di Indonesia. Pada 1 Agustus 1958, AS mulai memberikan bantuan militer senilai dua puluh juta dollar per tahun27 pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sebuah memo
Dukungan yang diberikan AS pada ABRI khususnya pada Nasution ini pada akhirnya akan sangat berpengaruh pada eskalasi konflik dalam negeri, terutama yang berhubungan dengan berbagai usaha penumpasan PKI dan antek-anteknya. Soekarno yang pada saat itu semakin menunjukkan orientasi politik ke kiri juga merupakan tujuan dari berbagai upaya penumpasan PKI ini. Peristiwa Gestapu/G-30S-PKI kemudian membuktikan betapa sebuah dukungan dari AS pada Nasution dkk. kemudian sangat berpengaruh dalam upaya penggulingan Soekarno tersebut.

b.        Keterlibatan Amerika Dalam Pembebasan Irian Barat
Indikasi dari adanya keterlibatan dan intervensi Amerika Serikat di Irian Barat itu sendiri memiliki permasalahan yang cukup signifikan. Hal ini diawali dari adanya kepentingan serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri di berbagai negara di Asia, temasuk Indonesia. Kemudian dengan adanya kemampuan dari Amerika Serikat dalam hal militer dan juga perekonomian itu sendiri memberikan kekuasaan terhadap negara-negara yang dianggapnya dapat diperoleh kerjasama baik secara bilateral maupun multilateral. Berbagai hubungan Amerika Serikat-Indonesia yang pada mulanya dilakukan oleh Amerika Serikat berawal dari adanya insiden antara awak kapal perang Potomac dengan penduduk Kuala Batu di Aceh. Kemudian berlanjut menjadi adanya indikasi keterlibatan Amerika Serikat dalam operasi Trikora yang menurut Amerika Serikat itu sendiri adalah upaya pribadi Soekarno yang merusak tatanan perdamaian dan kesejahteraan dunia yang kemudian dibentuknya opini dunia oleh Amerika Serikat itu sendiri.
Kesinambungan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan masalah-masalah keamanan yang dilakukannya tersebut memiliki ciri yang bertentangan. Ciri khas politik Amerika Serikat itu sendiri memiliki kolaborasi yang seimbang antara memeilihara, melindungi, dan memperluas kepentingan Amerika Serikat itu sendiri di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tetapi peran politik yang paling penting dan realistik dalam kancahnya di Irian Barat adalah politik intervensionis. Di mana pada masa pasca Perang Dunia II, permasalahan Irian Barat itu sendiri diintervensi oleh Amerika Serikat melalui pemerintahan kepresidenan Harry S. Truman, Dwight D. Eisenhower, John Fitzgerald Kennedy dan sebagainya yang terpengaruh oleh kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang terpengaruh dari pemimpin-pemimpinnya tersebut.
Dalam suatu pemerintahan liberal maupun kebijakan luar negeri yang dijalankan Amerika Serikat, terdapat peran kaum neokonservatif yang melakukan rekayasa sosial. Rekayasa sosial terbentuk dari sebuah gerakan dengan visi tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi perubahan sosial, tetapi dalam konteks social engineering (rekayasa sosial) yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat, adalah dengan melakukan penyebaran demokrasi terhadap negara-negara yang masih diktator. Dalam hal ini Soekarno dianggap sebagai seorang diktator yang menghalangi kepentingan Amerika Serikat di Indonesia khususnya Irian Barat pada masa pasca Perang Dingin tersebut.
Keterlibatan Amerika Serikat itu sendiri tidak terlepas dari adanya peran Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia yang baru merdeka pada tahun 1945. Pengaruh-pengaruh Blok Timur di Indonesia mulai dikesampingkan oleh presiden Amerika Serikat pada saat itu yaitu Harry S. Truman di mana konflik kependudukan dan geografi Irian Barat itu sendiri berakar dari adanya kepentingan Amerika Serikat untuk tetap menjadikan Indonesia sebagai bagian dari negara-negara penganut Blok Barat, tetapi dengan adanya peran Soekarno yang bersikap tegas dan tidak mudah untuk diatur, Amerika Serikat menggunakan kesempatan tersebut di mana pada saat itu Indonesia sedang melakukan perjuangan mempertahankan kemerdekaan terhadap Belanda untuk membantu Belanda mengklaim Irian Barat sebagai daerah yang diklaim Belanda dalam jajahannya agara Indonesia tetap condong ke Blok Barat di bawah pengaruh Belanda.
Bentuk lain dari Doktrin Truman yang berlaku di Eropa juga diaplikasikan dalam penolakan bantuan militer terhadap Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. Hal ini dikarenakan sikap Soekarno yang juga mendukung komunisme dalam masa Perang Dingin sehingga adanya indikasi bahwa tidak percayanya Amerika Serikat terhadap Indonesia untuk terus berada di Blok Barat. Sedangkan mempertahankan Irian Barat dianggap sebagai suatu sikap atau bentuk perlawanan terhadap imperialisme yang berkepanjangan antara negara-negara Blok Barat tersebut. Kembali ke pemikiran-pemikiran neokonservatif yang dimiliki oleh institusi-institusi Amerika Serikat itu sendiri, perlu diketahui bahwa demokrasi yang menjadi objek penyebaran pemerintah Amerika Serikat, dipercaya menjadi jawaban bagi keinginan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik, dan demokrasi dipercaya oleh kaum neokonservatif sebagai hak-hak dasar manusia walaupun kaum neokonservatif sendiri mengabaikan nilai-nilai fungsi sipil yang kritis. Demokrasi juga disalahpahami sebagai suatu sistem yang menguntungkan sebuah negara karena dibebaskannya negara tersebut dari kediktatoran. Hal yang ingin ditekankan adalah kasus Irian Barat dalam pandangan Truman merupakan suatu bentuk kesempatan ataupun eksperimen untuk mempersatukan serta mengayomi pihak militer Indonesia untuk melepaskan diri dari pihak Indonesia.
Berlanjut pada masa pemerintahan Dwight D. Eisenhower di mana adanya keterlibatan seorang agen CIA bernama Allen Pope yang dianggap memiliki peran penting dalam proses intervensi pemerintahan AS di Indonesia dan membuka peluang penting dalam menyibak kabut keterlibatan AS di Irian Barat. Pada tahun 1950 juga bentuk politik Amerika Serikat terhadap Indonesia memiliki beberapa faktor yang relevan dengan adanya permasalah baik di internal maupun eksternal Indonesia dan Amerika Serikat itu sendiri. Seperti tindakan-tindakan sensitive yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat karena adanya gerakan-gerakan yang menjurus kea rah komunisme Blok Timur, lalu pada waktu itu pemerintah Indonesia memperoleh dukungan yang luas dari rakyat beserta instrument-instrumen kenegaraannya yang luas sehingga adanya kecenderungan munculnya pengaruh yang memecah belah, lalu metode politik Indonesia yang tidak sesuai dengan demokrasi Amerika Serikat itu sendiri juga menjadi permasalahan lain dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Indonesia sendiri, kemudian adanya ketidaksenangan pihak Amerika Serikat karena akan adanya gerakan politik yang memperjuangkan Irian Barat (yang pada saat itu masih dijajah Belanda). Sehingga bantuan luar negeri yang Amerika Serikat berikan, tersangkut oleh adanya faktor-faktor tersebut.
Lalu kemudian cara persuasif yang lebih halus dan tanpa penekanan dilakukan oleh John F. Kennedy dalam masa pemerintahannya terhadap Soekarno. Adanya pengeluaran biaya dalam pembelian alat-alat militer dan bantuan secara militer ditawarkan oleh Kennedy untuk aksi-aksi pembebasan Irian Barat dan berbagai permasalahan lainnya di Indonesia terhadap Soekarno. Hal ini memberikan jalan lain setelah terkuaknya kasus dugaan percobaan pembunuhan Soekarno, 3 Juni 1965. Setelah adanya pembebasan Allen Pope itu sendiri yang dimuat di New York Times, 23 Agustus 1962
“Indonesia Bebaskan Penerbang Amerika Orang yang dihukum seumur hidup dikembalikan ke Amerika Serikat secara rahasia Oleh Robert F. Whitney. Pada 22 Agustus – Allen Lawrence Pope, penerbang Amerika Serikat yang menjalani hukuman seumur hidup dalam penjara di Indonesia, dibebaskan pada tanggal 2 Juli. Hal ini memberikan adanya perubahan pandangan pembebasan warga negara Amerika Serikat yang sebelumnya mendapatkan sanksi hukuman seumur hidup menjadi bebas tanpa syarat dan dikembalikan ke negaranya. Keterlibatan Amerika Serikat dalam berbagai perjuangan politik Indonesia pun terkuat melalui penangkapan Allen Pope sebagai agen CIA yang menyamar tersebut.
Dalam Operasi Trikora yang disebut juga sebagai upaya yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Irian Barat. Hal ini terjadi terkait dengan nasionalisme yang ditekankan pada masa pemerintahan Soekarno sehingga pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Pembentukan berbagai komando dan penyelenggaraan operasi-operasi militer juga diberlakukan Soekarno dalam penanggulangan permasalahan di Irian Barat tersebut.
Kepentingan awal yang mengakar pada masa Perang Dingin tersebut adalah adanya penyebaran demokrasi, Dari kasus-kasus yang sudah terjadi, kesuksesan penyebaran demokrasi memiliki tiga kerakteristik yang bisa dijadikan sebagai pembanding, yaitu:
a)      Adanya inisiatif yang datang dari masyarakat yang bersangkutan.
b)      Bentuk dukungan eksternal hanya bekerja di rezim semi-otoriter yang memerlukan tahap pemilihan serta adanya kebebasan bagi kelompok masyarakat sipil untuk berorganisasi.
c)      Daya penerimaan kekuatan pro-demokrasi dari negara luar, sangat bergantung kepada sejarah spesifik masyarakat dan jenis dari nasionalisme penduduk setempat yang ada.
Peran Amerika Serikat dalam penyebaran demokrasi yang terjadi melalui dan melewati konflik yang terjadi di Irian Barat tersebut berkelanjutan dengan adanya desakan-desakan Amerika Serikat terhadap Belanda untuk terus melakukan perundingan-perundingan dengan pihak Indonesia. Sehingga untuk menghindari konfrontasi yang lebih lanjut, diadakanlah perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda di New York, yang dikenal dengan nama Perjanjian New York. Dalam hal inilah peran aktif dan langsung yang dimiliki oleh Amerika Serikat terhadap permasalahan Irian Barat terlihat jelas.
Keterlibatan maupun intervensi Amerika Serikat dalam permasalahan Irian Barat tersebut tidak terlepas dari adanya peran Soekarno sebagai presiden yang memimpin pada masa perjuangan Irian Barat tersebut. Kemudian keterlibatan-keterlibatan Amerika Serikat terlihat jelas melalui adanya peran-peran CIA dan organisasi lainnya dalam proses intervensi politik Indonesia oleh Amerika Serikat sendiri termasuk permasalahan Irian Barat, serta berujung kepada permohonan pembebasan Allan Pope untuk kembali ke Amerika Serikat. Ketakutan Amerika Serikat terlihat di dalam cara penanganan-penanganan permasalahan Irian Barat yang memerlukan rekayasa-rekayasa sosial dalam hal militer dan juga ekonomi, walaupun mendapat perlawanan dari Soekarno itu sendiri. Permasalahan Irian Barat pun dianggap sebagai suatu kesempatan untuk memecah Indonesia untuk kembali di bawah jajahan Belanda sebagai bagian dari Blok Barat di masa Perang Dingin tersebut, di mana kebijakan presiden Amerika Serikat juga berperan di dalamnya pada masa itu


BAB 3. PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Perhatian AS terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II disebabkan letaknya yang sangat strategis dan kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa. Untuk itu AS pun membangun basecamp nya dibeberapa titik  yaitu Pada 8 September 1951, AS mendirikan pangkalan militer di Okinawa-Jepang, Pangkalan Clark dan Subic di Philipina berdiri pada 30 Agustus 1951, ANZUS (Australia, New Zealand, and AS) berdiri pada 1 September 1951, Korea Selatan pada 1 Oktober 1953, dan Taiwan pada 2 Desember 1954.
Selain memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka granat kepada para pemberontak, CIA juga mendrop sejumlah alat perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat tempur dan pembom, dan sebagainya. Bahkan sejumlah pesawat tempur AU-Filipina dan AU-Taiwan seperti pesawat F-51D Mustang, pengebom B-26 Invader, AT-11 Kansan, pesawat transport Beechcraft, pesawat amfibi PBY 5 Catalina dipinjamkan CIA kepada pemberontak. Sebab itulah, pemberontak bisa memiliki angkatan udaranya sendiri yang dinamakan AUREV (AU Revolusioner). Beberapa pilot pesawat tempur tersebut bahkan dikendalikan sendiri oleh personil militer AS, Korea Selatan, Taiwan, dan juga Filipina.
Dalam operasi mendukung PRRI/PERMESTA, AS menurunkan kekuatan yang tidak main-main. CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak. Dari Singapura, pejabat Konsulat AS yang berkedudukan di Medan, dengan intensif berkoordinasi dengan Kol. Simbolon, Sumitro, dan Letkol Ventje Soemoeal.
Sebenarnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang haus dengan keadilan, beberapa tahun lalu dengan penuh kesadaran mereka menolak penyerangan Amerika pada Irak, Afganistan, pemberian bantuan pada Rezim Zionis Israel dll, mereka menilai Amerika dan konco-konconya adalah Negara berpolitik muka dua dibidang HAM. Amerika hanya melakukan sesuatu selama hal itu bisa memberikan keuntungan padanya.

DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar: