BAB
I.
SISTEM
BIROKRASI KOLONIAL
Pada awal abad ke-20 masyarakat
kolonial terbagi beberapa golongan berdasarkan color line atau garis warna kulit. Secara politik dan ekonomi golongan
yang menduduki posisi atas adalah orang-orang Belanda. Kekuasaannya berpusat
pada seorang Gurbernur Jendral di Batavia yang dibantu suatu Dewan Hindia yang
bertindak sebagai kabinetnya. Pejabat-pejabat birokrasi yang terpenting adalah Residen, Asisten Residen, Controleur dan
Aspirant Controleur atau yang disebut
juga dengan Binnenlands Bestuur (BB).
Kota sengaja dibangun demi kepentingan birokrasi dan administrasi ekonomi.
Di kota muncul berbagai lapisan
pegawai dari yang berasal dari Belanda, turunan Belanda, Indo-Belanda, kelompok-kelompok
yang berasal dari berbagai suku bangsa. China dan Arab menduduki tempat yang
khusus dalam kota kolonial karena peranan mereka yag terlepas dari sistem
birokrasi kolonial, tetapi berhubungan erat dengan perkembangan perekonomian. Stratigrafi
masyarakat kota ditentukan oleh jauh-dekatnya seseorang atau golongan dengan
simbol-simbol kekuasaan Barat, di daerah pedesaan hak milik atas tanahlah yang
menjadi dasar stratigrafi atau pembagian masyarakat. Faktor yang menimbulkan
kelompok baru atau Indonesia adalah Perkembangan birokrasi; Perkembangan
ekonomi; dan Perkembangan sistem pendidikan barat.
Perkembangan birokrasi berhubungan
erat dengan perluasan kekuasaan Belanda sejak tahun 1870. Masa antara 1870-1900
disebut sebagai Masa Liberal, dimana pemerintah melepaskan peranan-peranan
ekonominya dan menyerahkan eksploitasi ekonomi kepada modal swasta. Pemerintah
hanya bertindak sebagai wasit atau penjaga keamanan yang dilakukan melalui
birokrasi tentaranya (NKIL). Pada periode 1870-1900 wilayah kekuasaan
Hindia-Belanda meluas dari Sabang sampai Merauke, perluasan wilayah ini ada
hubungannya dengan tuntutan pihak swasta untuk eluaskan jaringan
eksploitasinya, maupun tuntutan keamanan, serta saingan negara Barat lainnya.
Untuk melukiskan perbedaan
jangkauan kekuasaan tersebut dikenal istilah direct-rule dan indirect-rule.
Direct-rule jelas nampak di Kepulauan
Ambon yang tidak mengenal sistem kerajaan dan di mana pejabat-pejabat Hindia
Belanda langsung berhadapan dengan kepala-kepala desa. Dan Indirect-rulei adalah sistem pemerintahan Hindia Belanda di
wilayah-wilayah yang telah memiliki sistem politiknya sendiri sejak
berabad-abad sebelum kedatangan Belanda. Birokrasi tradisional di kerajaan
Indonesia berubah sejak abad ke 18. Pejabat birokrasi tradisional di Jawa
dinamakan priyayi.
Dalam proses interaksi kaum
priyayi dengan penguasa Belanda timbul suatu jaringan, priyayi yang sebelumnya
merupakan alat kekuasaan dari para sultan di keraton berubah menjadi alat
perantara dari pihak Belanda. Birokrasi beralih dari keraton ke para residen,
yang dimulai dengan ketentuan bahwa Patih di keraton harus tunduk pada Batavia
dan para Bupati (priyayi) di kabupaten-kabupaten pesisir juga demikian. Priyayi
harus menjamin agar perdagangan antara Batavia dan daerah pedalaman tetap
berjalan dengan lancar. Kekuasaan priyayi berada di tangan kompeni,
pengangkatan dan pemecatan mereka dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan
kompeni.
Sekalipun hubungan dengan keraton
terputus, namun kebudayaan keraton tetap sebagai inti dari alam pikiran
golongan ini. Cara memerintah berdasarkan hubungan pribadi antara priyayi dan petani (hubungan
patron-client). Hubungan ini sangat kokoh karena adanya suatu alam kepercayaan
dalam masyarakat yang meningkatkan para penguasa dan rakyat. Dengan adanya
Sistem Tanam Paksa tahun 1830 dasar hubungan priyayi dan birokrasi Belanda
tetap dipertahankan, walau priyayi beralih menjadi pengawas perkebunan.
Pengerahan tenaga untuk
melaksanakan Sistem Tanam Paksa dilakukan secara tradisional menurut
kewajiban-kewajiban petani pada priyayi yanng sudah ada sebelumnya. Ada
segi-segi baru, yaitu para petani berkenalan dengan pejabat-pejabat Belanda
yang ditempatkan di daerah-daerah (controleur),
para priyayi dan controleur mempunyai kepentingan dalam menyukseskan sistem itu
karena mereka menikmati cultuurprocent
atau presentase tertentu dari jumlah hasil yang diserahkan kepada rakyat. Kaum
priyayi kini hanya menjadi bagian dari birokrasi Hindia Belanda, menjalankan
fungsi sebagai penguasa-penguasa daerah (bupati, dll) namun untuk kepentingan
asing.
Perkembangan 1870, jaringan
komunikasi (jalan) lebih mendekatkan desa dengan pusat-pusat administrasi.
Belanda juga semakin sering dilihat di lingkungan pedesaan dan jaringan
administrasi semakin diperketat. Elite birokrasi Binnenlands Bestuur (BB) yang terdiri dari orang Belanda makin
memaksakan cara pemerintahan mereka dan mengabaikan nilai-nilai lama yang
berlaku pada masa sebelumnya ketika para priyayi diberi kelonggaran dalam
memerintah. Sikap birokrasi Belanda ini disebut juga politik etika. Tahap
berikutnya dari perkembangan birokrasi berkaitan dengan pendidikan, menciptakan
suatu golongan baru yang sering dinamakan pegawai pemerintah dengan keahlian
tertentu.
Kebanyakan berasal dari lingkungan
bangsawan, mula-mula putra dan putri kedua atau ketiga dari kaum bangsawan
setempat yang tidak mungkin menggantikan orang tuanya sebagai pejabat
pemerintahan (bupati, dll) memasuki bidang baru ini untuk meneruskan peranan
mereka dalam masyarakat. Tugas pemerintahan Belanda (pejabat Belanda dan
priyayi) hanya menyangkut soal-soal pengawasan ketentraman, pengadilan, dan
perkebunan (Tanam Paksa), kini birokrasi itu dibebani untuk memeliharan
kesejahteraan penduduk.
Untuk melaksanakan kesejahteraan
itu dijalankan berbagai cara dengan timbullah departemen-departemen di Batavia
dengan kedinasan yang tercabang ke daerah-daerah. Selain departemen pendidikan
yang diciptakan tahun 1892 muncul departemen pertanian, departemen industri dan
perdagangan. Dinas-dinas baru seperti Telepon, Telegrap, Kesehatan, dll sangat
banyak membutuhkan tenaga-tenaga yang muncul dikalangan priyayi yang terdidik.
Malah pada suatu ketika
lulusan-lulusan sekolah Angka dua juga mendapat penyaluran dalam bidang-bidang
baru yang sebelumnya tidak ada dalam
lingkungan pedesaan. Pada tahun 1904 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Kantor volks-kredietwezen
(kantor kredit rakyat). Maksudnya adalah untuk menggantikan sistem ijon dan
sistem riba yang di lakukan oleh golongan-golongan tertentu dalam pedesaan, dan
yang oleh Hindia Belanda di anggap sebagai suatu sumber kemelaratan yang utama.
Untuk itu di dirikan tiga macam lembaga. Pertama adalah lumbung desa yang
menyediakan kredit bagi penduduk
pedesaan dalam bentuk beras. Tujuannya
adalah untuk menjaga keseimbangan harga beras di pedesaan yang sering
dikacaukan oleh para tengkulak. Kedua adalah bank desa yang memberi pinjaman
berupa uang kepada penduduk desa dengan bunga yang sangat rendah. Ketiga adalah
volksbank yang bertujuan memberi pinjaman berbunga rendah pula kepada
pengusaha-pengusaha kecil.
Timbulnya golongan terdidik ini
merupakan perkembangan baru dalam sejarah Indonesia mereka merupakan bagian
dari suatu perkembangan baru sejak awal abad ke-20. Gaya hidup mereka sering
mengikuti gaya hidup barat. Umpamanya cara berpakaian, ketergantungan pada
uang. Ada tiga macam konsekuensi yang
perlu di perhatikan dengan timbulnya golongan baru ini. Pertama kepegawaian
menjadi suatu lapisan masyarakat yang sebelumnya telah menjalankan
fungsi-fungsi birokratis (yang di jawa dinamakan golongan priyayi) ini berarti
alam pikiran hierarchis (bahwa masyarakat itu bertingkat) di bawa terus dalam
perkembangan baru dan situasi baru dari abad-abad ke-20. Kedua sekalipun ada
persamaan-persamaan antara pejabat pejabat Belanda dan pejabat-pejabat
Indonesia namun rasialisme tetap di pertahankan; orang-orang Belanda di atas,
dan orang-orang (pejabat-pejabat) Indonesia ini cenderung di bawah. ketiga
golongan baru dalam masyarakat Indonesia ini cenderung menjauh dari rakyat pada umumnya. Faktor kedua dan ketiga tadi
akan menjadi pendorong utama dalam golongan yang kemudian timbul, yaitu kaum
pergerakan nasional.
Selain perkembangan birokrasi,
perkembangan baru dalam sejarah masyarakat Indonesia adalah perkembangan
prasarana. ada dua hal penting dalam hal ini, yaitu perkembangan sistem
komunikasi dan perkembangan sistem moneter. Sistem komunikasi dan perkembangan
sistem moneter. Sistem komunikasi tradisional berciri kelambanan.
Jalan-jalan darat memang sudah banyak
yang dipakai, berupa jalan kuda, jalan kereta, dan lain-lain pada masa Daenddels di Jawa sudah ada pula suatu sistem jalan raya
yang moderen. Tetapi yang sangat menonjol
dalam bidang komunikasi ini adalah di bangunnya sistem jalan kereta api. Sistem
perkereta-apian mulai di Jawa pada tahun 1862 dan di Sumatera pada tahun 1874.
Pada akhir abad ke-19 di Jawa sudah ada 1600 km jalan kereta api, dan di
Sumatra sudah ada 3500 km.
Kapal uap mulai diintrodusir oleh
pihak swasta pada tahun 1859. Sistem ini kemudian ditingkatkan oleh pihak Belanda
sendiri (pemerintah) pada tahun 1891 dengan di bentuknya suatu perusahaan
pelayaran (Koningklijke paketvaart
maatschappy). Untuk hubungan perkapalan dengan sendirinya di butuhkan
pelabuhan-pelabuhan yang moderen pula (sebelumnya kapal-kapal layar berlabuh di
lepas pantai di muka suatu kota pelabuhan). Pelabuhan tanjung Priok di bangun
dari tahun 1873 sampai 1893, pelabuhan Belawan pada tahun 1890, pelabuhan padan
pada tahun 1892, lalu pelabuhan-pelabuhan lainnya di kota- kota pelabuhan di
pulau-pulau lain di Indonesia.
Akibat dari sistem komunikasi ini
adalah timbulnya interaksi yang lebih banyak antara daerah pedesaan dan daerah
perkotaan. Selain itu timbul pula interaksi antara pulau yang satu dengan pulau
yang lain. Terutama antara pulu Jawa dengan pulau-pulau lainnya. Manusia dan
barang dapat diangkut dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang relatif singkat
dibanding dengan jaman-jaman sebelumnya. Sejak 1870 itu masyarakat
kesukuan mulai membaur terutama di daerah perkotaan.
Suatu sistem moneter yang tunggal
menggantikan sistem moneter sedaerah yang lama, juga mempunyai akibat yang sangat besar. Sistem ini
menghubungi Indonesia dengan sistem ekonomi dunia. Segi yang paling penting
dari sistem moneter baru ini adalah sistem perbankan menghubungkan Indonesia
dengan pasaran internasional dan mengurangi
ketergantungan pada sistem ekonomi Belanda yang menjadi ciri sebelumnya.
Sistem birokrasi dan sistem ekonomi yang baru itu menimbulkan suatu sikap yang
baru di kalangan orang-orang yang berkuasa di Nusantara. Penguasa merupakan
jaminan akan keseimbangan ini sehingga malapetaka dan kemelaratan dapat
dihindarkan dari rakyat. Dalam sistem baru penguasa (birokrat) harus
bertindak/berbuat hal-hal yang telah direncanakan secara rasional untuk
menjamin ketentraman dan kesejahteraan rakyat tersebut.
BAB.
II
SISTEM PENDIDIKAN KOLONIAL
Perkembangan masyarakat Indonesia
abad ke-20 tidak dapat di mengerti tanpa melihat timbulnya sistem pendidikan
baru yang di ciptakan sejak awal abad-20. Hasil pendidikan inilah yang
memungkinkan munculnya birokrasi seperti yang diuraikan pada bab pertama.
Sistem pendidikan ini pulalah yang menciptakan suatu elite baru yang
mengembangkan kesadaran kemerdekaan dan persatuan nasional. Mereka inilah yang
memiliki idealisme yang tinggi untuk membina suat bangsa dan menciptakan
kemakmuran bangsa itu.
Awal perkembangan sistem
pendidikan ini tidak dapat di lepas dari suat politik kolonial baru yang di
mulai sejak awal abad ke-20 dan yang sering juga dinamakan politik Etika.
Politik Etika yang dicanangkan pada tahun 1901 mencoba mengubah sistem liberal
menjadi sistem di mana pemerintah Hindia Belanda lebih banyak mencampuri
urusan-urusan kemasyarakatan. Kisah mengenai timbulnya sistem baru (sistem
etis) ini bisa kita baca dalam pelbagai
buku. Sering orang mengaitkan timbulnya sistem ini dengan tulisan
Mr.C.Th van Deventer dalam majalah De
Gids (Nomer, 63, tahun 1899) yang berjudul “Een Eereschuld” atau terjemahan indonesiannya “Hutang
kehormatan”. Ini memang ada kebenarannya. Artikel itu mencetuskan suatu
perasaan tanggung jawab yang mulai timbul di kalangan intelektual Belanda yang
merasa risau dengan pertumbuhan kapilatisme moderen yang cenderung untuk
mengabaikan semua nilai-nilai kemanusiaan. Golongan intelektual itu merasa tanggung
jawab untuk memperingati orang-orang
sebangsanya akan bahaya-bahaya dehumanisasi di d daerah jajahan yang ada
hubungannya dengan sistem kapitalisme tersebut van Deventer hanys salah seorang
diantara mereka yang mengucapkan
perasaan dan tanggung jawab itu sedemikian rupa sehingga di terima oleh pihak
pemerintah Belanda dan dijadikan dasar program pemerintahannya bagi daerah jajahan.
Pada pokoknya uraian van Devanter
adalah sebagai berikut: sistem liberal sejak 1870, dan malah sistem tanam paksa
sejak 1830, merupakan politik drainage (politik pengeringan atau pengerukan
kekayaan). Sistem tanam paksa dan liberal itu
mengeruk segala kekayaan di bumi Indonesia (terutama di Jawa) dan tidak
meninggalkan sedikitpun untuk membina kehidupan penduduk. Sebetulnya, menurut
Van Deventer, pada tahun 1878 Kerajaan
Belanda telah mengeluarkan Combtabiliteitswet (undang-undang Anggaran
Belanja) di mana ditentukan, bahwa sebagian dari pendapatan negara harus
disediakan untuk keperluan-keperluan daerah jajahan. Dengan perkataan sejak
1878 seharusnya daerah jajahan mempunyai Anggaran belana sendiri.
Namun hal ini tidak pernah
dilakukan; undang-undang itu tidak pernah dijalankan secara konsekwen. Dengan
demikian, menurut van Deeventer, Kerajaan
Belanda mempunyai hutang pada Hindia Belanda. Sampai pada tahun 1899 (ketika tulisan itu diterbitkan) jumlah
hutang itu, menurut kalkulasi Van Deventer. Sesungguhnya, diterimanya
dasar-dasar etis dalam politik kolonial tidak semata-mata karena artikel
tersebut saja. Konfigurasi politik di
negeri Belanda juga berperan. kemenangan
adalah 187.000.000 gulden. Hutang inilah yang harus di bayar kembali
kepada masyarakat koloni. Ini merupakan suat kewajiban moril dari suat negara
yang menganggap dirinya tinggi peradabanya.
Pada tahun 1892 sudah mulai diadakan sistematisasi dalam sistem
pendidikan yang berbeda-beda dari satu pulau ke pulau lainnnya. Pada waktu itu
semua sekolah dasar dikelompokkan menjadi dua macam. Macam yang pertama
dinamakan Eeste School (Sekolah Angka
Satu). Sekolah ini hanya menampung murid-murid dari golongan priyayi dan hanya
didirikan di ibukota keresidenan. Lama pendidikannya adalah lima tahun,
kurikulumnya meliputi membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah,
menggambar, ilmu alam, danilmu ukur tanah.
Jenis sekolah kedua yang didirikan pada tahun 1892 adalah Tweede School (Sekolah Angka Dua).
Sistem sekolah ini ditujukan pada rakyat pada umumnya didaerah pedesaan. Lama
pendidikan hanya tiga tahun saja, dan kurikulumnya hanya terdiri dari menulis,
membaca dan berhitung. Bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah setempat, atau
bila tidak ada Bahasa daerah maka Bahasa Melayu dipakai. Tatkala
politik etika dilancarkan timbul dua pendapattentang cara meningkatkan sistem
pendidikan dasar untuk penduduk. Pendapat pertama adalah bahwa sistem sekolah
Angka Dua tidak tepat dan harus digantikan dengan sekolah desa yang disesuaikan
dengan situasi di daerah pedesaan. Pandangan lainnya adalah bahwa sistem yang
ada sudah baik, hanya jumlahnya yang perlu ditambah. Pada akhirnya pandangan
pertamalah yang dilaksanakan karena berasal dari gubernur jenderal Van Heutz.
Sistem sekolah Desa tersebut mulai dibangun tahun 1907. Sekolah ini
didirikan di daerah pedesaan dan masyarakat desa diberi tanggung jawab dalam
pembinaannya berupa pendirian dan pemeliharaan gedung sekolahnya. Pembinanya
tidak pada Departemen Pendidikan tetapi Departemen Dalam Negeri (sampai tahun
1918). Pada tahun 1914 terjadi tiga hal yang penting dalam sistem pendidikan
rendah ini, yaitu:
1) Pada tahun itu Sekolah Angka Satu,
sejak tahun 1907 telah menggunakan Bahasa Belanda sebagai Bahasa pengantar
2) Pada tahun itu didirikan Sekolah
Lanjutan yang dinamakan Meer Uitgebreid Laager Onderwijs (MULO) untuk lulusan
Sekolah Angka Satu
3) Pada tahun itu didirikan
Vervolgschool untuk menampung lulusan Sekolah Desa
Selain itu pemerintah Hindia Belanda yang berlainan etis itu mendirikan
pula suatu sekolah kedokteran tingkat menengah pada tahun 1902 dengan nama
School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Pendidikan di STOVIA mula-mula
diberikan dalam Bahasa Melayu dan murid-murid diharuskan menggunakan pakaian
daerah. Kemudian Bahasa Belanda dipakai sebagai Bahasa pengantar, sehingga
murid-murid harus mengikuti kursus Bahasa selama satu tahun. Pada tahun 1914
STOVIA ditingkatkan lagi karena calon-calonnya harus diambil dari lulusan MULO.
Pada tahun itu pula di Surabaya didirikan sekolah jenis dengan nama
Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS). Lulusan STOVIA dan NIAS sejak itu
memakai gelar Indische Arts.
Perlu disebutkan disini bahwa sekolah-sekolah tinggi kehakiman, teknik
dan kedokteran tidak didirikan khusus orang Indonesia seperti sekolah-sekolah
kejuruan dasar dan menengah. Pada mulanya malah golongan Belanda dan Cinalah
yang lebih menonjol. Ini disebabkan karena sekolah lanjutan atas bagi
penduduk kepulauan Indonesia belum
banyak. Calon-calon dari kalangan orang-orang Indonesia makin banyak memasuki
sekolah-sekolah tinggi setelah orang-orang Indonesia diperkenankan memasuki
sekolah-sekolah menengah atas yang khusus didirikan untuk golongan-golongan
Belanda.
Lulusan-lulusan sekolah ini yang memainkan peranan penting dalam
pergerakan Nasional. Mula-mula yang memainkan peranan adalah murid-murid
sekolah menengah (sekolah-sekolah vak seperti STOVIA, OSVIA, dan Sekolah
Pertanian). Berangsur-angsur mahasiswa sekolah tinggipun mengambil bagian.
Lulusan-lulusan sekolah menengah maupun sekolah-sekolah tinggi itulah yang
merupakan pendorong utama dari perkembangan Bangsa Indonesia dan
pergerakan emansipasi kemerdekaannya.
BAB.
III
SISTEM
PEREKONOMIAN KOLONIAL
Dilihat dari segi sejarah ekonomi,
dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 indonesia sedang terlibat dalam suatu
perkembangan baru yang berintikan revolusi industri dan revolusi perdagangan.
Revolusi industri dan revolusi perdagangan timbul mula-mula di Eropa dalam abad
ke-18 dan ke-19,kemudian meluas ke Amerika Serikat dan Jepang. Ciri pokok dari
revolusi industri adalah timbulnya sistem kerja tangan. Dengan cara baru itu
barang-barang dapat dihasilkan dalam jumlah yang lebih banyak lagi dibanding
dengan cara lama. Hal ini lalu menimbulkan pelbagai kegiatan-kegiatan baru
seperti perdagangan yang meningkat, hubungan-hubungan baru anatara kota dan
desa, dan lain-lain. Dengan sendrinya timbul pula segelintir intelektual yang
mencanangkan bahaya-bahaya yang inhern dalam sistem baru tersebut.
Bagi daerah-daerah jajahan
manifestasi dari perkembangan ekonomi modern itu tampak dari dua segi
pokok.Segi yang pertama adalah dibutuhkannya banyak bahan-bahan ini terutama
terdapat di daerah-daerah tropik.Segi kedua adalah diperlukannya
pasaran-pasaran baru bagi hasil-hasil industri yang makin perubahan dalam tahun
1860-1870 dengan munculnya sistem liberal di Indonesia. Hal ini antara lain
nampak dengan munculnya sistem perkebunan modern di indonesia. Perkembangan perkebunan yang paling
menarik adalah di Sumatra timur. Perkembangan baru di Sumatra Timur sering
dikaitkan dengan datangnya seorang pengusaha Belanda (Nienhuis) disana.Sebelum
itu daerah Sumatra Timur memang sudah dikanal dengan tembakau yang dihasilkan
rakyat. Mutu tembakau cukup baik dan Nienhuis memutuskan untuk mengusahakannya
sendiri. Pada tahun 1865 ia berhasil dengan panen sebanyak 186 bal yang mudah
di jual di negara Belanda.
Keberhasilan Nienhuis segera
menarik kaum pengusaha Belanda lainnya.
Malah Nienhuis sendiri berhasil memperluaskan usahanya. Nienhuis
diserahkan pimpinan atas suatu perusahaan usahanya, Nienhuis diserahkan
pimpinan atas suatu perusahaan baru yang dinamakan Deli Maatschappij yang
didirikan oleh NHM (Suatu perusahaan dagang Belanda yang didirikan dalam abad
ke-19 oleh raja Willem 1). Modal-modal lain pun bermunculan karena mudahnya
memperoleh tanah dengan cara konsensi sari Sultan Deli. Pihak Amerika , Inggris,
Belgia masing-masing membuka perkebunan-perkebunan sendriri.
Kelebihan Produksi itu dengan sendirinya menimbulkan kesulitan. Pada tahun 1891 timbul
krisis penjualan hingga harga tembakau turun cepat. Sebagai akibat tinggallah
perusahaan-perusahaan yang memang bonavide. Mereka giat mengadakan perbaikan
untuk meningkatkan mutu tembakau. Muncullah lembaga penelitian tembakau dan
Perkumpulan Pemilik Perkebunan tembakau. Kemudian diadakan perbaikan-perbaikan
dalam pemasarab sehingga nama tembakau Deli muncul lagi di dunia.
Yang menarik dari
perkebunan-perkebunan tembakau ini adalah kurangnya peranan penduduk setempat.
Penduduk yang tidak banyak jumlahnya di sumatra Timur itu tidak menyukai
pekerjaan sebagai buruh perkebunan. Sebab itu sejak semula telah diusahakan
buruh dari luar negeri. Pada tahun-tahun pertama kekurangan buruh ini dipenuhi
dengan mendatangkan birih cina melalui perantara-perantara di Penang dan
Singapura. Karena sistem perantara ini ternyata kurang menguntungkan, maka
perkumpulan pemilik perkebunan tembakau
deli mencari jalan lain.
Perkumpulan itu mendirikan suatu
badan yang bernama biro imigrasi pada tahun 1880 untuk mendatangkan buruh
langsung dari cina. Biro ini selain mengurus pemberangkatan calon-calon buruh
tersebut juga mengusahakan suatu sistem transfer uang, agar upah-upah buruh
tersebut sebagian dapat dikirim kepada keluarga merekan di China. Dengan
demikian prospek bekerja sebagai buruh makin menarik bagi mereka. Karena
besarnya resiko mendatangkan buruh tersebut, maka dengan sendirinya para
pengusaha menyuruh para buruh menandatangani suatu kontrak yang mengikat mereka
untuk jangka waktu tertentu. Kemudian buruh asal cina dapat mencari
lapangan-lapangan ,sejak 1890 kekurangan buruh itu diambil dari pulau jawa.
Sistem kuli kontrak ini baru
dihapus pada tahun 1930. Pada saat itu jumlah penduduk sumatera timur telah
meningkat menjadi 1,8 juta. Tidak
semua sistemperkebunan di Indonesia mendatangkan buruh dari daerah-daerah
lainnya. Salah satu contoh adalah perkebunan tebu di jawa tengah bagian utara,
datangkan tenaga dari daerah lain. Agraria yang dikeluarkan pada tahun 1870
juga menjamin hak atas tanah dari para petani. Dengan demikian perkebunan gula
maju sangat pesat. Pada tahun 1870 luas areal perkebunan gula maju sangat
pesat. Pada tahun 1870 luas areal perkebunan gula adalah 54.176 bahu,
perkebunan-perkebunan besar lainnya yang menggunakan buruh lokal adalah
perkebunan-perkebunan teh, kopra dan kina.
Akibat timbulnya sistem perkebunan
masyarakt pedesaan pada umumnya, menurut ahli sejarah asia,ada tiga hal yang
penting. Pertama, masyarakat pedesaan yang tadinya tertutup (self suficient), dipengaruhi
oleh sistem ekonomi dunia. Ekonomi uang menembus ke dalam kehidupan pedesaan,
barang-barang baru masuk ke dalam rumah tangga-rumah tangga desa (Pakaian,
Minyak tanah, sepeda, sabun dan lain-lain). Kedua, politik kolonial
mempengaruhi perubahan-perubahan desa.Misalnya dengan dikeluarkannya
Undang-undang agraria yang menjamin hak atas tanah pada petani dan melarang
kaum pengusaha membeli tanah pedesaan. Ketiga,pertambahan penduduk yang sangat
pesat.Ini terutama disebabkan menurutnya angka kematian oleh karena perluasan
pemeliharaan kesehatan.
Menurut pendapat sejarawan
perubahan-perubahan dalam bidang ekonomi juga ditanggapi oleh para petani
dengan cara-cara mereka sendiri yang sedikit banyaknya terikat pada cara-cara
lama. Ada tiga macam respons dari pihak penduduk pedesaan. Pertama mereka
memberi arti tersendiri kepada uang. Uang bagi mereka bukan merupakan patokan
mutlah dalam penilaian, tetapi merupakan alat tambahan saja untuk transaksi ekonomi.
Kedua timbul migrasi migrasi ke daerah-daerah perkebunan untuk mencari tambahan
uang untuk membayar pajak ataupun membeli barang-barang konsumsi. Ketiga, timbul
sistem cash crop di daerah-daerah persawahan tertentu di musim kemarau, atau
timbulnya empang-empang dan intensifikasi persawahan. Ini semua merupakan
kegiatan-kegiatan baru yang muncul karena masuknya ekonomi uang ke dalam desa.
Dengan munculnya tuntutan-tuntutan
baru yang bersumber pada revolusi industri di eropa sebenarnya terbuka peranan-peranan
baru dalam bidang ekonomi. Orang-orang Cina sebenarnya sudah banyak di
kota-kota pelabuhan sejak abad ke-17. Pihak VOC memang sangat menganjurkan
migrasi orang-orang Cina ke kota-kota pelabuhan yang dikuasainya. Mereka
dipekerjakan sebagai tukang-tukang dan pedagang, karena para pedagang dan
tukang-tukang di indonesia melarikan diri atau tidak diperkenakan di kota-kota
pelabuhan itu. Orang-orang Cina ini mendiami perkampungan-perkampungan sendiri
yang di atur oleh pihak VOC melalui pemimpin-pemimpin mereka sendiri.
Kelas pedagang Indonesia
sebenarnya sudahbada jauh sebelumnya. Mereka sering dinamakan santri sesuai
dengan penelitian-penelitian di jawa. Keterkaitan mereka dengan Agama Islam
sangat menonjol dalam peristilahan itu. Mereka memang masih memainkan peranan
sebagai pedagang tetapi dalam bentuk yang lebih kecil, dan dalam sektor sektor
yang tidak menyentuh perkembangan baru dalam bidang ekonomi tersebut.
Kegiatan-kegiatan mereka selalu bermuara pada pedagang-pedagang cina yang
menjadi pedagang perantara.
Di Jawa keadaan ini tidak banyak
berbeda para bupati dalam abad ke 18 lebih banyak merupakan pegawai VOC yang
ditugaskan untuk mengawasi agar transaksi dagang berjalan dengan lancar. Dengan
pihal sultan di kraton, VOC membuat perjanjian-perjanjian dagang (beras
kemudian kopi dll). Pak tunggal untuk menyalurkan beras kepada VOC diberikan
kepada para bupati di pantai yant gilirannya hanya bertugas mengatur
penyerahannya saja kepada VOC. Demikianpun organisasi penyalur komiditi agraris
lainnya yang dibutuhkan VOC seperti kopi,sayuran dll. Inilah yang kemudian
dikenal dengan nama verplichte leveratie atau penyerahan wajib. Jadi VOC lah
yang menggagalkan peranan ekonomi yang melekat pada kedudukan priyayi.
BAB. IV
MENINGGALKAN SOLIDARITAS KESUKUAN
Perkembangan masyarakat Indonesia
abad ke-20 dengan suatu idea politik serta suatu kebudayaan yang khas,
mula-mula timbul di kalangan masyarakat kota. Kota dalam masa kolonial
mempunyai sifat yang tersendiri, kota-kota kolonial merupakan pusat perekonomian
dan perubahan-perubahan kelompok masyarakat. Kota-kota kolonial adalah pula
pusat-pusat asministrasi kolonial. Namum, kota-kota juga menjadi pusat
perhatian penduduk pedesaan. Selain itu berbagai kelompok sosial lainnya
terdapat di kampung-kampung sekeliling pusat-pusat perdagangan dan administrasi
itu. Kita ambil saja Jakarta (sebelumnya Batavia) yang terkenal dengan kamoung
Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, dan lain-lain, yang
menunjukkan hasil migrasi berbagai suku bangsa di Nusantara ini dalam masa
kolonial itu.
Orang-orang Belanda sebenarnya
terdiri dari dua bagian yang berlainan, bagian peratama sering dinamakan trekkers
(totok) berupa para pegawai pemerintah maupun swasta yang hanya tinggal
sebentar dan kemudian pada masa pendiunnya kembali lagi ke tanah airnya. Bagian
kedua sering disebut blijvers (menetap) yang terdiri dari Belanda-Indo.
Dalam awal abad ke-20 golongan trekkers sangat merendahkan golongan blijvers
yang dianggap sama dengan bumi putra (inlanders) karena banyak mengambil
unsur-unsur kebudayaan daerah tempat tinggal.
Dalam situasi demikian tentu
timbul ketegangan-ketegangan antara berbagai kelompok tersebut, yang paling
penting bagi perkembangan masyarakat Indonesia adalah bahwa kota-kota kolonial
itu sering menjadi pusat-pusat pendidikan jurusan, mula-mula taraf menengah
kemudian taraf tinggi. Perkembangan sistem pendidikan ini telah diuraikan dalam
bagian ini. Di sini hanya perlu ditekankan bahwa pergaulan antara pemuda-pemuda
dari berbagai suku bangsa tersebut menimbulkan berbagai perubahan. Pada mulanya
ada gejala saling menyendiri dalam pembentukan, umpamanya berbagai organisasi
kepemudaan bersifat kedaerahan.
Sesungguhnya perkembangan pertama
dengan dibentuknya berbagai organisasi kedaerahan itu menunjukan bahwa berbagai
suku bangsa itu mencoba mencari identitasnya sendiri ditengah-tengah masyarakat
kota. Hal inilah yang menimbulkan Boedi Oetomo pada tahun 1908 dan kemudian
organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Batak, Jong
Islam, Jong Ambon dan lain-lain perkumpulan-perkumpulan pemuda.
Organisasi ini seperti telah
diketahui didirikan oleh para pelajar STOVIA atas idea bea siswa dari dr.
Wahidin Sudirohusodo. Tidak lama sesudah itu muncullah cabang-cabangnya di
Bogor, Surabaya, Yogyakarta. Dalam kongres yang pertama di Yogya pada
akhir 1908 timbul pertentangan antara
golongan muda yang kebanyakan berasal dari Batavia dan golongan tua yang
kebanyakan berasal dari Yogya. Golongan muda akhirnya mempersilahkan golongan
tua untuk memimpin organisasi ini dalam diri Bupati Karanganyar R.M
Tirtokusumo.
Selanjutnya Boedi Oetomo tetap
merupakan suatu organisasi yang memberi identitas kepada orang-orang Jawa yang
terpelajar. Kebudayaan Jawa dan adat istiadattetap dipertahankan di samping
tekanan pada pentingnya oendidikan untuk kemajuan pemuda Jawa. Namun rupanya
perbedaan antara priyayi rendahan dan golongan Bupati sudah cukup tinggi
dikalangan BO sendiri. Pada tahun 1913 golongan Bupati mendirikan organisasi
mereka sendiri terlepas dari BO. Sebelum itu pemuda-pemuda yang kurang setuju
dengan arah yang diberikan oleh kaum priyayi rendahan itu pun keluar. Soewardi
Soerjaningrat dan Tjipto Mangunkusumo yang sering dinamakan golongan radikal
yang menganggap konflik dengan penjajah sebagai masalah utama bergabung dengan
Douwes Dekker dalam Indische Partijnya.
Gerakan Douwes Dekker sebenarnya
muncul pula dari usaha suatu kelompok tertentu, yaitu kaum Indo-Belanda untuk
memperjuangkan nasibnya sendiri. Douwes Dekker berpendapat bahwa kedudukan kaum
Indo sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan kedudukan kaum terpelajar
Indonesia. Dalam masyarakat kolonial orang-orang pribumi juga merasakan
diskriminasi rasial oleh pihak totok Belanda. Sebab itu menurut Douwes Dekker,
kepentingan kaum Indo sama dengan bumiputra. Mereka harus sama-sama
memperjuangkan kepentingan bersama. Inilah landasan dari Indische Partij yang
didirikan pada tahun 1912. Douwes Dekker berpendapat bahwa bumi Indonesia
(Indie) seharusnya diperintah oleh mereka yang menjadikannya tanah airnya. Dalam
golongan itu termasuk golongan blijvers atau Indo-Belanda. semboyan dari Douwes
Dekker adalah “Indie voor de Indier” atau Hindia bagi penduduk Hindia.
Formulasi yang diberikan dalam anggaran dasar yang dibentuk pada akhir 1912
adalah sebagai berikut: “Tujuan Indische Partij adalah membangun patriotisme
semua Indiers pada tanah yang telah memberi hidup bagi mereka agar mereka
didorong untuk bekerja sama atas dasar persamaan dan untuk persiapan ke arah
kemerdekaan”.
Jelaslah bahwa Indiesche Partij
tidak hanya mengutamakan program pendidikan dan budaya, tetapi jelas-jelas
mencanangkan kemerdekaan. Walaupun nasionalisme Indonesia pada saat ini belum
lahir, (yang ada hanya nasionalisme Indie) namun sikap PI telah merupakan suatu
sikap politik yang menginginkan hapusnya pemerintah kolonial. Dengan sendirinya
“nasionalisme Indie” ini tidak diberikan oleh pihak penguasa pada waktu itu.
Alasan pemerintah Belanda membubarkan partai ini adalah, pertama karena di
Hindia Belanda pada waktu itu tidak dibenarkan adanya partai politik, dan kedua
IP mengancam ketentraman umum. Douwes Dekker tidak puas dan berangkat ke negeri
Belanda untuk memperjuangkan kepentingan organisasinya. Selama kepergian Douwes
Dekker perkembangan meningkat di Indonesia. Menjelang hari ulang tahun ke-100
pembebasan Negeri Belanda dari penjajahan Perancis, di Bandung dibentuk suatu
panitia yang dinamakan “Komite Bumiputra”. Komite ini melancarkan propaganda
untuk menentang rencana perayaan tersebut. Adapun menurut panitia dari mereka
yaitu, bila raykat terjajah harus ikut merayakan hari kemerdekaan penjajahnya,
mengenai salah satu pemimpin komite yaitu Soewardi Soerjaningrat yang menjadi
anggota Indische Partij yang terlarang. Kemudan dalam kegiatan kepanitian,
Soewardi menulis karangan yang berjudul “Als
ikeen Nederlander was” (bila saja saya orang Belanda) yang mengancam
pemerintah memaksakan pribumi yang tertindas itu merayakan kemerdekaan bangsa
yang menindasnya, adapun reaksi Dari Hindia Belanda yaitu membuang Tjipto
Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat ke negeri Belanda, Agustus 1913. Dengan
demikian bahwa gerakan-gerakan yang berdasarkan “nasionalisme Indie” tidak berhasil atau gagal dalam mematahkan
politik ataupun ekonomi Hindia Belanda.
Keadaan saat itu sedang mengalami
pertentangan antara penjajah dan yang dijajajah yang semakin harinya
mempengaruhi kehidupan kaum intelektual dikota-kota besar Indonesia. Namun
selain itu juga terdapat factor yang lain yaitu adanya ancaman bahaya Perang
Dunia I. salah satu organisasi yang ikut serta dalam perbaikan yaitu Boedi
Oetomo, namun ternyata Boedi Oetomo tidak dapat menanggulangi atau mencari
jalan keluarnya, ternyata permasalahan yang ada tersebut difikirkan oleh
golongan-golongan masyarakat atau sekolompok tertentu dalam masyarakat Belanda
yang bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain untuk mendirikan suatu panitia
di Bandung yaitu “Commite Indie Weerbar” (Panitia Ketahanan Hindia).
Sampai pada tahun 1916, panitia
mengirim suatu perutusan ke negeri Belanda yang membicarakan mengenai Milisi
menjelang perang. Pada dasarnya, panitia dari pihak Indonesia setujua dengan
membentuk milisi di kalangan bumi putra, akan tetapi mereka lebih setuju dengan
memilih dewan perwakilan rakyat yang akan membicarakan mengenai milisi
tersebut, dan Hindia Belanda menerima tersebut. Sampai pada tahun 1918
Valksraad didirikan oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Adapun prasarat
pembentukan Valksraad adalah agar organisasi-organisasi politik di Indonesia
ikut serta dalam mendirikan suatu panitia yang berkerja sama dengan pihak Belanda.
Akan tetapi pada tahun 1918, Boedi Oetomo menjadi anggota Radikale Consetrantie
yang didirikan oleh kaum sosialis, didalam Valksraad. Radikale Consetrantie
menuntut pada pihak Belanda agar Valksraad yang badan penasehat saja di ubah
menjadi Parlemen yang sesungguhnya. Namun sejak itulah Boedi Oetomo mengambil
sikap menentang pemerintah jajahan, dan kemudian tahun 1930-an Boedi Oetomo
menganut paham solidaritas bangsa Indonesia, bahkan menggabungkan diri dengan
organisasi-organisasi lainnya dan membentuk partai Parindra. Adapun cirri
Parindra yaitu membanggakan budaya Asia sebagai tandingan dari budaya Barat
yang dianggap merusak.
Muncul pula organisasi yang
mempunyai dasar-dasar yang lain sama sekali adalah perkumpulan dagang yang
didirikan oleh R.M Titoadisuryo (1909), yang timbul bukan dari kalangan pelajar
atau kalangan pemuda, akan tetapi dari kalangan kaum pedagang. R.M Titoadisuryo
sendiri berasal dari seorang priyayi rendahan tamatan OSVIA, yang bercita-cita
untuk membangun suatu wadah yang dapat membantu pedagang bumi putra yang sudah
jelas tidak dapat menyaingi kaum Cina dalam bidang tersebut. Organisasi ini
sama sekali tidak berpolitik dan R.M Titoadisuryo merubah nama organisasi
tersebut menjadi Sarekat Islam yang tujuannya tidak terbatas pada bidang
perdagangan saja. Karena mengalami perkembangan melalui pemuka agama dan
pengaruhnya meluas sampai ke daerah pedesaan, maka perkembangan tersebut
menimbulkan perhatian pemerintah Belanda.
Dan ketika para pemimpin SI
mengajukkan permohonan untuk diakui sebagai organisasi yang syah oleh pemerintah Belanda, pemerintah
Belanda mengambil sikap lebih berhati-hati.
Gubernur Jenderal Idenburgh adalah seorang Etikus yang mendorong
usaha-usaha orang-orang Indonesia, akan tetapi panasehatnya menganggap SI
sebagai organisasi yang berbahaya, sebab SI tidak diakui sebagai organisasi
yang utuh. Dalam perkembangannya SI mengalami perubahan-perubahan dalam
sikapnya terhadap pemerintah colonial, seperti halnya dalam kongres SI tahun
1913 R. M Titoadisuryo mengatakan “kami masih bersikap loyal terhadap
Gubernemen, kami senang dibawah kekuasaan pemerintah Belanda” namun disamping
itu bahwa organisasi terbuka bagi semua orang Indonesia, tidak terbatas pada
golongan terpelajar saja.
Dalam kongres 1916 dinamakan
kongres Nasional pertma, yang tampak bahwa SI telah mengambil sikap terhadap
pemerintah, adapun tuntutan kongres tersebut agar pemerintah member otonomi
yang lebih luas pada masyarakat Indonesia. Akan tetapi sebelum tahun 1915, SI
telah menjadi Indie Weerbaar yang
menuntut adanya Perlemen dan Milisi. Kemudian sekelompok anggota SI terlibat
dalam gerakan radikal yang bersumber pada Marxisme. Adapun keterlibatan
sejumlah anggota SI dalam gerakan Marxis adalah usaha untuk mempertahankan ciri
sebagai organisasi massa. Namun akhrinya SI mengakui solidaritas bangsa
Indoensia sehingga namanya pada tahun 1921 diubah menjadi Partai Sarekat Islam
dan menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia.
BAB.
V
MUNCULNYA
PAHAM RADIKALISME
Sebagai suatu organisasi massa,
Sarekat islam sangat berhasil yang disebkan karena berbagai faktor, salah
satunya Belanda kurang bersimpati kepada organisasi tersebut. Adapun seorang
sejarawan pernah menafsirkan bahwa pada tahun 1919 keanggotaan SI berkisar dua
juta orang, yang berarti bahwa orang yang terpengaruh pada perjuangan SI
meliputi jumlah tersebut. Didalamnnya tidak halnya terdapat pengaruh
pengikut-pengikut Islam yang patuh saja, akan tetapi berbagai lapisan
masyarakat yang merasa dirinya diwakili dalam Sarekat Islam. Namun karena
Heterogenitas menimbulkan perpecahan. Perpecahan tersebut muncul dari kelompok
buruh, perkebunan dan kereta api yang terpengaruh oleh cita-cita yang sifatnya
lebih radikal dari pada cita-cita Sarekat islam sendiri.
Radikalisme dalam pergerakan nasional terutama bersumber pada paham
komunisme. Paham ini dengan berbagai cara bisa menyusup dalam tbuh berbagai
organisasi kemastarakatan. Paham komunisme diperkenalkan pada kalangan
pergerakan Nasional Indonesia oleh beberapa orang Belanda di awal abad ke 20.
Untuk mendapatkan pengikut di kalangan orang-orang Indonesia, Sneevliet mencari
jalan lain karena orang Indonesia menganggap ISDV sebagai organisasi bangsa
lain yaitu dengan cara mempengaruhi anggota-anggota Sarekat Islam Senarang
untuk ikut menjadi anggota ISDV. Pada masa itu orang lazim memasuki organisasi
sekaligus. Ada anggota Budi Utomo yang juga menjadi anggota Sarekat Islam dan
menjadi anggota ISDV. ISDV masa radikal setelah berdirinya Soviet Rusia pada
tahun 1977. Pada waktu yang bersamaan berangsur-angsur anggota-anggota pengurus
Belanda meninggalkan organisasi ini karena dibuang oleh pemerintah
Belanda.Tahun 1919 Samaoen dan Darsono diangkat sebagai pimpinan ISDV
mengantikan Sneevleit. Sarekat Islam menjadi radikal pula ketika tahun 1918 SDP
di Negri Belanda dirubah menjadi Partai Komunis Holand, maka di kalangan ISDV
rupanya menimbulkan niat yang sama.
Indonesia dibentuk persatuan
pergerakan kemerdekaan rakyat dan terdiri dari PKI dan SI. Tetapi segera tampak
bahwa persatuan ini tidak dapat bertahan. Masing-masing organisasi memegang
teguh ideologinya sendiri-sendiri. Timbul pula perpecahan antara golongan kanan
dan golongan kiri. Pada tahun 1921 Sarekat Islam melarang anggotanya merangkap
dalam organisasi lain, sehingga orang-orang PKI dalam sarekat Islam terpaksa
keluar dari Sarekat Islam. Pimpinan PKI beralih dari Samaoen yang dibuang ke
luar negri karena gerakan-gerakan aksi mogoknya kepada Tan Malaka. Tan
Malakalah yang berusaha lagi untuk menarik umat islam ke dalam PKI.
Cabang-cabang Sarekat Islam yang pro komunis diubahnya menjadi Sarekat Islam
dengan pimpinan Alimin. Sementara itu Samaoen telah kembali ke Indonesia dan
mengutamakan aktivis PKI pada kaum buruh. Tetapi, sejalan dengan itu
usaha-usaha untuk menarik anggota SI diperluas juga pula.
PKI menjadi lebih kuat dengan
kembalinya Darsono dari moskow. Cabang-cabang PKI tersebar sampai ke
minangkabau, Aceh, Makasar, Ternate dan Lombok. Tahun 1942 pimpinan PKI melebur
Sarekat rakyat dalam tubuh PKI. Sementara itu para pemimpin PKI merencanakan
suatu pembrontakan besar-besaran. Tetapi ternyata kemudian nasalah pembrontakan
ini menimbulkan perpecahan di kalangan PKI. Selain Radikalisme yang bersumber
pada PKI dan komunitern di kalangan mahasiswa Indonesia dinegeri Belanda muncul
pula paham radikal mengenai penjajahan. Disana sikap anti penjajahan itu memang
sudah terdapat dikalangan penganut-penganut sosialisme yang tergabung dalam
gerakan-gerakan sosial demokrat.
Organisasi mahasiswa Indonesia di
negri Belanda bernama Perhimpunan Indonesia. Organisasi ini berawal dari
Indische Vereenigning, yang dibentuk pada tahun 1908 sebagai suatu wadah dari
orang-orang pribumi maupun non pribumi yang berada di Weropa. Praktek demokrasi
di negri Belanda sangat mengesankan para mahasiswa Indonesia di negri Belanda.
Keadaan ini bertentangan sama sekali dengan keadaan yang mereka saksikan di
Hindia Belanda. Tahun 1925 Perhimpunan Indonesia mengganti anggaran dasarnya
dan dinyatakan bahwa tujuan perhimpunan Indonesia adalah memperjuangkan
kemerdekaan penuh bagi Indonesia. Tujuan ini hanya bisa tercapai bila seluruh
bangsa Indonesia bergerak maju serentak. Para nahasiswa Indonesia di Eropa juga
menyadari bahwa keadaan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan keadaan
dibagian-bagian Asia lainnya. Hubungan yang akrab terjalinlah dengan para
mahasiswa dari berbagai penjuru Asia. Perhimpunan Indonesia juga mengirimkan
utusan-utusan untuk menghadiri konperasi-konperasi internasional yang menerangi
penjajahan.
Anggota-anggota perhimpunan
Indonesia yang kembali ke Indonesia meneruskan cita0cita kemerdekaan dan sikap
non kooperasi dalam berbagai organisai poliyik, pelajar dan pemuda. Salah satu
organisasi itu adalah Algemeene Studie Club yang didirikan oleh Ir. Soekarno di
Bandung pada tahun 1925. Soekarno snagat terkesan pada Tjokroaminoto pada
Sarekat Islam dan kemudian Ir Soekarno mengikuti perjuangannya. Pandangan
Tjokroaminoto bahwa dalam islam pun mengandung ajaran-ajaran Sosialisme, sangat
menarik bagi Soerkarno. Pemikiran ini dibukukan oleh tokoh Sarekat Islam itu
pada tahun 1924. Gagasan Tjokroaminoto itulah yang kemudian diteruskan
Soekarno. Ia berpendapat bahwa Sosialisme dalam Islam harus dapat bekerjasama
dengan cita-cita nasionalisme. Tahun 1926, Ir. Soekarno mengeluarkan suatu
pamflet mengenai hal ini. Pemikiran inilah yang kemudian dalam tahun 1960an
dengan istilah NASAKOM.
Pada tahun 1927 Ir. Soekarno
mengubah Algemeene Studie Club menjadi Partai Nasional Indonesia. Tiga
bekas anggota Perhimpunan Indonesia hadir dalam rapat pembentukannya, yaitu Mr.
Iskak Tjokrohadisuryo, Mr. Budiarto dan Mr.Sunarjo. Cita-cita Partai
Perhimpunan Indonesia tidak berbeda jauh dari cita-cita Perhimpunan Indonesia.
Nasionalisme yang radikal ditanamkan dengan
cara propaganda agar rakyat menjaadi sadar dengan tujuan tujuan
pergerakan. Trilogi Partai Nasional Indonesia yang ditanamkan pada rakyat
adalah jiwa nasional (nationaale geest) tekad nasional (nationaale
wil) dan tindakan nasional (nationaale daad). Dengan cara ini Partai
Nasional Indonesia ingin mengerahkan
rakyat untuk memperbaaiki keadaan politik, ekonomi, dan budaya. Agar kondisi
kemelaratan dalan alam penjajahan jelas tertulis dalam benak rakyat, diciptakan
pula pandangan sejarah yang khas. Soekarno meelukiskan betapa pada masa lampau
bangsa Indonesia pernah mengalami masa yang gemilang dan masa kini penuh
kesengsaraan, dan akan tiba saatnya bangsa Indonesia (dengan pemimpin Partai
Nasional Indonesia) akan mencapai masa kebesaran lagi.
Persatuan diantara
kelompok-kelompok politik yang bermunculan di Indonesia menjadi sasaran pula
dari perjuangan Partai Bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1927 Partai Nasional
Indonesia mengadakan suatu rapat di Bandung yang dihadir oleh wakil-wakil
Partai Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Pasundan, Sumaterane Bond, Kaum Betawi dll.
Hadirin sepakat membentuk suatu badan kerjasama yang bernama Permufakatan
Perhimpuna-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI).
Dalam kongres I kongres yang
diadakan pada tahun 1928 di Surabaya, Nampak adanya penegasan Ideologi. Dalam
kongres itu diterima suatu keterangan azas yang menjelaskan pertentangan yang
tajam antara pihak yang dijajah dan pihak yang menjajah. Belanda sebagai salah
satu kekuatan imperialisme bertujuan mengeruk kekayaan bumi Indonesia dan
mengeringkan kekayaan itu daari bumi Indonesia. Kegiatan Belanda itu merusak
seluruh tatanan social, ekonomi, dan politik Ind, ekonomi, dan politik
Indonesia. Untuk memperbaiki keadaan ini haruslah dicapai kemerdekaan politik.
Pemikiran ini kemudian disebarkan
dalam rapat-rapat kursus-kursus dan sekolah-sekolah serta organisasi-organisasi
pemuda yang didirikan oleh Partai Nasional Indonesia. Pers PNI yang terdiri
dari surat-surat kabar Banteng Priangan (Bandung) dan Persatoean
Indonesia (Batavia) juga membantu kearah ini. Dengan demikian kegiatan PNI
dengan pesat menarik perhatian massa. Pada tahun 1929 jumlah anggotanya adalah
sekitar 10.000 orang dan tersebar di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surakarta,
Malang, Pekalongan, Cirebon, Serang, Sumatera, Makassar dll. Sebaliknya dalam pemerintahan colonial makin
khawatir. Dalam pidato dimuka Volksraad gubernur jenderal mengharapkan agar
rakyat Indonesia mengelakan diri dari nasionalisme yang ekstrim. Malah fraksi
konservatif Belanda dalam Volksraad mendirikan organisasi sendiri dengan nama Vederlandsche
club (1929) mereka mendesak pemerintahan agar bertindak tegas terhadap PNI.
Pers Belanda pun membantu sikap ini.
Pemerintahan Belanda mulai
bertindak sejak tahun 1929 itu juga. Kalangan polisi dan tentara (KNIL)
dilarang untuk memasuki organisasi ini juga pegawai sipil dari Departemen perang
dilarang. Namun PNI berkembang terus. Malah Ir. Soekarno menyatakan Indonesia
akan mencapai kemerdekaan bila perang pasifik meletus kelak. Kemudian terbentik
desas-desus bahwa PNI akan mengadakan pemberontakan. Pemerintah Hindia Belanda
mempunyai desas-desus ini dan pada tahun 1930 memerintahkan penangkapan para
pemimpin PNI dari pusat sampai kecabang-cabangnya. Empat tokoh PNI yaitu
Ir.Soekarno, R. Gatot Mangkoepradja, Maskoem Soemadiredja dan Soepriadinataa
diajukan pada pengadilan Bandung. Ir Soekarno kemudian dijatuhi hukuman
pembuangan.
Pada bulan April 1931 pimpinan PNI
lainnya membubarkan organisasi ini. Tetapi ternyata tidak semua anggota
menyetujui organisasi ini. Tetapi ternyata tidak semua anggota menyetujui
tindakan ini. Sebagian mendirikan organisasi baru dengan nama Pendidikan
Nasional Indonesia (PNI-Baru) dengan pimpinan Drs. Muhammad Hatta dan Syahrir,
sebagian lagi mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dengan pimpinan Mr.
Sartono. Kedua partai ini sepakat bahwa tujuan utama adalah kemerdekaan
Indonesia. Tetapi mereka berbeda dalam cara yang harus dipakai. PNI Baru
menekankan perlunya pemimpin-pemimpin
yang cakap, berwibawa, dan jujur. Sebaliknya Partindo tetap mementingkan
pembentukan kader-kader. Sebaliknya Partindo tetap mementingkan gerakan masal
sebagai cara yang ampuh untuk mencapai
maksud tersebut. Betapapun juga, sejak 1920-an nasionalisme yang radikal telah
menjadi dasar perjuangan para pemimpin Indonesia.
BAB. VI
NASIONALISME DI KALANGAN GENERASI MUDA
Pada awal abad 20, dari berbagai
penjuru nusantara muncul pemuda-pemuda yang ingin melanjutkan pendidikan untuk
mendapat kedudukan baru dalam periode baru. Bagi golongan ini pendidikan Barat
merupakan saluran penting untuk memegang jabatan resmi. Status Priyayi masih
tetap merupakan cita-cita yang paling diinginkan oleh masyarakat ketika itu,
sekalipun priyayi yang lahir karena pendidikan, bukan semata-mata karena
keturunan.
Masyarakat pelajar di kota-kota
tersebut dengan sendirinya menghadapi keadaan baru dengan berbagai permasalahnya.
Problem pokok bagi kebayakan mereka yang bersekolah dalam dasawara pertama abad
20 adalah problem identitas social. Dalam hal ini tidak berbeda dengan
organisasi-organisasi lain seperti Boedi Oetomo. Berdarkan dorongan inilah pada
tahun 1915 timbul petama di kalangan masyarakat kota dengan nama Tri Koro
Dharma. Sumber inspirasi dari organisasi ini adalah suku bangsa jawa dan
kebudayaannya. Dalam anggaran dasarnya organisasi ini beridaman untuk membentuk
masyarakat Jawa Raya yang meliputi orang jawa (Tengah dn Timur) serta orang
Sunda, Madura dan Bali. Namun segera Nampak bahwa cita-cita itu tidak dapat
dikejar. Orang- orang Sunda dan Madura tidak merasa betah dan keluar dari
organisasi itu. Dengan demikian padaa tahun 1918 organisasi ini mengubah namanya
meenjadi Jong Jawa karena hanya terdiri dari pemuda Jawa saja.
Dasar pemikiran atau ideology
organisasi inidapat dikatakan bersifat “Nasioanlisme Jawa”. Pada tahun 1917
organisasi ini membentuk “Panitya Nasionalisme Jawa” di Jakarta dengan pemimpin
Soerjo Koesoemo, Abdul Rachman dan Satiman. Sekalipun mereka menggunakan bahasa
Belanda dalam tulisan-tulisan, mereka yakin bahwa masa depan mereka adalah Jawa
seperti masa lampau mereka. Pergaulan dengan suku-suku lain tidak dilarang,
namun mereka yakin pemisahan berdasarkan kesukuan adalah lebih baik bagi semua
pihak.
Ternyata pengertian Jawa yang
dimaksud Jong Java sangat sempit. Jawa Tengah dengan latar belakang Hindunya
lebih ditonjolkan. Maka tidak mengherankan kalau pada tahun 1924 terjadi
perpecahan lagi. Ketika itu muncul suatu golongan yang mengnginkan agar
dasar-dasar Iaslam dimasukan sebagai ideology Jong Java. Tetapi ternyata
loyalitas kesukuan tetap lebih kuat, sehingga golongan ini pun akhirnya harus
meninggalkan Jong Java. Mereka mendirikan Jong Islamieten Bon dan menyebarkan
ide-idenya melalui majalah “El Noer.” Organisasi pemuda Islam ini
mengikuti jejak Sarekat Islam dan tidak tetbatas pada masalah-masalah identitas
saja. Seperti halnya dengan SI organisasi pemuda ini berpolitik, artinya
memasalahkan sistem kolonialisme. Orang-orang lain yang melihat, bahwa “
Nasionalisme Jawa ” dari Jong Java
terlampau sempit, juga meninggalkan organisasi ini. Tjipto Mangunkusumo, seperti
halnya dengan Soewardi Soerjaningrat, lebih condong berpendapat, bahwa
permasalah pokok adalah perjuangan melawan penjajahan. Itu sebabnya mereka
keluar dari Jong Java dan bergabung dengan Indische Partj dari Douwes Dekker.
Setelah munculnya Jong Java muncul
pula organisasi dari kelompok-kelompok sukun lainnya di kota besar di Jawa
seperti Jong Sumateramen Bond, Pasundan, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong
Batavia, Sekar Rukun, Pemuda Betawi dll. Partai-partai politik kemudian juga
mempunyai bagian kepemudaannya masing-masing. Langkah pertama dikalangan
pemuda untuk meninggalkan batasan Kesukuan dan membina solidaritas yang luas
muncul pada kongres Pemuda Pertama yang diselenggarakan anatar 20 April samapai
2 Mei 1926. Persiapan-persiapannya dilakukan sejak November 1925 dengan
mengadakan perundingan antara wakil-wakil dari Jong Java, Jong Suamteranen
Bond, Sekar Rukun dll. Merekalah yang membentuk suatu panitia penyelenggara
yang dipimpin oleh Tabrani. Dalam kongres itu muncul usul untuk menyatukan
(fusi) semua organisasi Pemuda. Usul ini mendapat sambutan baik, sehingga
mengalahkan usul lain yang hanya menginginkan suatu Federasi saja.
Setelah kongres itu, wakil-wakil
dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Sekar Rukun, Vereeniging Ambosche,
studenenden, dan Jong Batak berkumpul
lagi dengan komite Kongres dan
melahirkan suatu gagasan untuk mendirikan organisasi baru yang bernama Jong
Indonesia degan tujuan menanamkan Nasionalisme untuk mewujudkan Indonesia Raya.
Namun gagasan inipun ternyata tidak berkembang lama. Nama Jong Indonesia
diambil alih oleh Algemeene Studi Club bandung organisasi pemudanya setelah
terjemahan menjadi Pemuda Indonesia. Tetapi Kongres Pemuda I merupakan dorongan
bagi lahirnya organisasi Kemahasiswaan pertama dengan nama Perhimpunan
Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI). Dengan demikian para mahasiswa Indonesia dari
Rechts Hoogoeschool di Jakarta mendapat wadahnya sendiri. Berbeda degan
organisasi –organisasi mahasiswa yang ada ketika itu, maupun yang lahir
kemudian sejajar degan pertumbuhan sistemperguruan tinggi, PPPI jelas
mempelopori solidaritas nasional.
Seorang wanita Indonesia yang
pertama kali mendirikan system pendidikan wanita yaitu Raden Dewi Sartika
dengan Sekolah Keutamaan Istri di Bandung (1904) yang awalnya bernama raden Dwi
School. Usaha lainnya dalam bidang
pendidikan wanita bersumber pada R.A. Kartini dengan bukunya yang berjudul Door
Duisternistot Licht. Pada tahun 1912 C.Th. Van Deventer mendirikan Kartini
fonds (Dana Kartini) untuk mendirikan sekolah gadis. Sekolah semacam tersebut kemudian didirikan
di Semarang pada tahun 1913, kemudian di Jakarta, Malang, Madiun dan
Bogor. Selain itu juga ada usaha Maria
Walanda Maramis yang mendirikan sekolah gadis di Manado yang diasuh oleh PIKAT
(Percintaan Ibu Kepada Anak Turunan). Di Minangkau juga ada Rohana Kudus yang
mempelopori emansipasi wanita. Di Padang ada Karadjinan Amai Setia yang
didirikan pada tahun 1914, di Padang Panjang ada Kautamaan Istri, di Gorontalo
ada Goorntalosche Mohammadansche Vrouwen Vereeniging. Di Ambo ada Ina Tuni
(wanita utama).
Sistem pendidikan nasional yang
menyeluruh bagi pribumi pertama kalinya didirikan oleh Ki Hajar Dewantara
(Soewardi Soerjaningrat), tokoh Indische Partij pada tahun 1922 dengan
mendirikan Taman Siswa. Azaz pendidikan Taman Siswa pada tahun 1922 adalah
panca Dharma yaitu kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaaan, kebangsaan dan
kemanusiaan. Sekolahnya berkisar dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah
Belanda yang berdiri hampir disetiap kota besar di Jawa serta meluas ke
Sumatera dan Kalimantan. Douwes Dekker (Setiabudhi Danuwirya) juga mengikuti
langkah Ki Hajar Dewantara. Ia bekerja
sebagai guru dijlan Kebon Kelapa (Bandung) dijadikan Preanger Instituut vande
Vereeniging Volksonderwijs atau Lembaga Priangan dari Perkumpulan Pengajaran
Rakyat pada 1923. Namun sejak 1924 nama lembaga tersebut berubah menjadi
Ksatriyan Instituut. Sekolah tersebut kemudian juga dibuka di Cianjur dan
Ciwidey. Ksatriyan Instituut juga membuka sekolah dagang menengah untuk member
pelajaran praktis bagi murid-murid yang akan kembali ke masyarakat dan pada
tahun 1935 ditambah lagi dengan sekolah guru keguruan untuk mendidik pegawai
Pamong Praja.
System pendidikan lain yaitu
Indonesisch Nationale School di Kayutan, Sumatera Barat pada tahun 1926 oleh
Muhammad Syafei. Ada juga Perguruan Rakyat yang berdiri karena dorongan PNI
yang terdiri dari gabungan Pustaka Kita yang diprakarsai oleh Mr. Sunario dan
Arnold Mononutu untuk mendirikan perpustakaan dan Perhimpunan Untuk Belajar
dari Soedarmoatmojo dan Sarah Thaib yang bertujuan mengajar bahasa asing yang
walnya bertujuan mendirikan Volks Universiteit. Sekolah guru ditambah pada
tahun 1935 yang dipimpin oleh Dr. Samsi dan Arnold Monomutu dengan dasar
nasionalisme, pendidikan jasmani, pembentukan watak, pengetahuan, semangat
kemajuan dan kemasyarakatan yang juga bercabang di Jatinegara, Semarang,
Surabaya, Bandung, Madiun dan Palembang. Perguruan ini mundur pada tahun 1936. Setelah
itu timbul masyarakat baru yaitu masyarakat Indonesia dengan semboyan Indonesia
merdeka dengan berbahasa Indonesia yang kemudian menjadi bangsa Indonesia.
BAB VII
MELUASNYA SOLIDARITAS BERBANGSA
Politik kolonial yang sangat
menekan elite politik yang baru muncul sejak awal abad 20 sangat terasa ditahun
1930an. Pengawasan sedemikian rupa dan larangan terhadap pers maupun gerakan
lainnya demikian keras, sehingga banyak orang beranggapan sejak itu pemerintah
Hindia Belanda sudah menjadi diktator yang terselubung. Dengan keadaan itu
timbulnya berbagai fusi dikalangan organisasi politik untuk meninggalkan landasan
etnis yang sempit ataupun landasan gerak yang terbatas. Dalam proses inilah
tampak adanya kemajuan dalam cita-cita persatuan. Proses ini dapat dilihat
dalam organisasi politik yang berdiri sebelum 1930an. Organisasi Boedi Oetomo
juga melakukan fusi, seperti pada kongres 1932 yang mana Boedi Oetomo yang
awalnya gerakan orang Jawa melebar landasannya dengan persatuan berbagai suku
bangsa. Pada 1934 usaha tersebut berhasil dengan terjadinya peningkatan
Indonesia Studie Club Dr. Soetomo menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). PBI
kemudian didekati Boedi Oetomo, sehingga pada 1934 keduanya melakukan
perjanjian fusi dan pada Konferensi Yogyakarta bulan Oktober 1935 usaha
tersebut berhasil kemudian berganti nama menjadi Partai Indonesia Raya
(Parindra).
Dikalangan Islam, sejak semula
hanya ada 1 wadah organisatoris, maka masalah fusi seperti yang dirasakan
penting oleh Boedi Oetomo tidak ada. Semakin
hari Boedi Oetomo tidak dapat bekerja dengan pengawasan ketat oleh PID
(Politieke Inlichtingen Dienst, Dinas Rahasia), maka pada 1935 H. Agus Salim
menganjurkan PSII melepaskan semboyan anti Belanda pada Kongres PSII 1935. Saat
itu H. Agu salim kalah dan pimpinan diambil alih oleh Abikoesno. Perpecahan
tersebut ditengahi oleh Mr. Moh. Roem di Jakarta, namun Mr. Moh. Roem, A.M.
SAngadji, H. Agus Salim dan lainnya dikeluarkan dari PSII. Pada tahun 1940
dibawah pimpinan Kartosoewiryo PSII mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran
PSII. Golongan Islam yang kerjasama dengan Belanda dengan cara menjadi anggota
Volksraad kemudian membentuk Partai Islam Indonesia (PII).
Selain itu, 2 jalur pokok dalam
perkembangan ditahun 1930-an itu, masih ada jalur lain, yaitu gerakan etnis
yang tergolong minoritas dalam jumlah anggota yang terbagi menjadi 4 golongan
yaitu gerakan yang akhirnya melakukan fusi dengan gerakan nasional, gerakan
yang tetap mempertahankan identitasnya dan hanya mengambil symbol gerakan
nasional, gerakan yang tetap mempertahankan sifat etnis saja dan gerakan
lainnya. Gerakan etnis yang berfusi dengan gerakan nasional seperti Tirtayasa
dari Banten dan Kaoem Betawi dari Jakarta bergabung dengan Parindra, Sarekat
Madura di Surabaya pada 1930 bergabung dengan Partai Celebes di Makasar menjadi
Partai Sarekat Celebes (Paras) pada 1933 dan juga masuk Parindra, Sarekat
Sumatera pada 1936 juga bergabung dengan Parindra. Gerakan yang tetap
mempertahankan identitasnya dan hanya mengambil simbol gerakan nasional seperti
Pasoendan, Perkoempoelan Kawoela Soerakarto, Sarekat Ambon, Hatopan Kristen
Batak dan Persatuan Minahasa yang mana gerakan ini selalu turut dalam kegiatan
umum partai nasional, namun tidak pernah bergabung. Sedangkan untuk gerakan
yang tetap mempertahankan sifat etnisnya antara lain Perkoempoelan Kawoela
Ngayogyakarto (1930), Perserikatan Timor (Timors Verbond) dan Moluks Politiek
Verbond. Gerakan lain yang mempunyai cirri sendiri yaitu Persatoen Oelama
Seloeroeh Aceh (Poesa) pada 1939, Sumatera Thawalib atau Permi.
Untuk golongan orang Kristen
muncul organisasi Perserikatan Kaoem Christen (PKC) dan Partai Kaoem Masehi
Indonesia (PKMI) dan Perhimpunan Politik Katholik Indonesia (PPKI). Golongan
orang China juga demikian. Mereka mengelompokkan dalam 3 golongan yaitu
golongan yang tidak terorganisir tapi berada disekitar surat kabar Sin Po yang
tidak mengharapkan sesuatu dari struktur colonial namun berpaling ke China,
Chung Hwa Hwi dari kapitalis besar yang cuek dengan permasalahan Indonesia,
Partai Tionghwa Indonesia (1932) dikalangan peranakan China yang mengambil
symbol kebangsaan Indonesia sebagai landasannya. Hal seperti diatas juga
terjadi pad orang Arab. Mengenai gerakan wanita, organisasi yang berdiri antara
lain Aisyah, Wanita Katholik Wanita Oetomo, Wanita Boedi Sedjati, Peserikatan
Perhimpunan Istri Indonesia (1929) dan Istri Sedar (1930). Gerakan buruh juga
termasuk didalamnya. Organisasi buruh pada saat itu antara lain VSTP, Personeel
Fabrieks Bond (PFB) dan lain-lain.
BAB. VIII
PERJUANGAN PARLEMENTER
Pembentukan Volksraad oleh
pemerintah colonial sebenarnya merupakan bagian dari politik desentralisasi
birokrasi yang sudah dimulai sejak dicanangkannya Politik Etika pada tahun
1901. Undang-undang Desentralisasi dikeluarkan pada tahun 1903 dengan maksud
mendirikan berbagai dewan penasehat pada tingkat kerasidenan dan kotapraja.
Namun demikian tidak banyak yang tercapai, karena dewan-dewan itu tidak mempunyai
kekusaan mengambil keputusan. Keputusan-keputusan penting tetap menjadi
wewenang para residen dan walikota yang berkebangsaan Belanda. Namun,
dewan-dewan ini dianggap penting dalam sejara masyarakat Indonesia karena
disinilah untuk pertama kalinya mereka dapat bertemu sesuai dengan
prosedur-prosedur modern. Dilihat dari sudut itu dewan-dewan ini merupakan
tempat latihan yang penting bagi perkembangan Volksraad yang muncul tahun 1918.
Peran Bupati yang mengepalai dewan di daerahnya, serta peran berbagai wakil
golongan di kota-kota, merupakan perkembangan baru yang belum ada sebelumnya.
Kemudian timbul kebutuhan untuk
membentuk suatu wadah bagi mereka sehingga kegiatan mereka dapat disalurkan
oleh pemerintah kolonial. Pembentukan dewan penasehat semacam ini juga penting
karena sejak tahun 1912 Anggaran Belanja daerah Hindia Belanda akhirnya
dipisahkan dari anggaran kerajaan, sehingga timbul kebutuhan untuk menarik
partisipasi masyarakat Indonesia dalam menentukan penggunaannya. Namun dewan rakyat itu tidak pernah diberi wewenang
penuh dalam masalah itu.
Gagasan pokok membentuk Volksraad
muncul pada tahun 1912 dengan pertimbangan-pertimbangan pokok yang disebut
terakhir diatas. Namun sejak dikeluarkannya gagasan itu kelompok-kelompok dalam
masyarakat Indonesia sebagian menyatakan keraguannya. Mereka dapat berpendapat
bahwa dewan yang hanya mempunyai
wewenang penasehat saja hanya akan menguntungkan kepentingan-kepentingan
kolonial. Kelompok-kelompok yang bertendens radikal menunttagar dewan yang akan
dibentuk sungguh-sungguh mewakili kepentingan-kepentingan pemerintah kolonial.
Pernyataan secara prosedural masalah itu muncul pertama kalinya dalam masalah
milisi. Panitia ketahanan Hindia itulah yang pertamakali menuntut agar dibentuk
suatu dewan perwakilan yang sesungguhnya akan memikirkan dan menyusun
undang-undang milisi tersebut. Tetapi seperti yang sudah dibentangkan di atas,
pemerintah Belanda menjawab bahwa mereka memang sedang memikirkan hal itu.
Rencana mereka diterima dalam Parlemen Belanda pada tahun 1916 dan pada tahun
1918 dewan itu terwujud di Jakarta (kini gedung Pejambon).
Dalam sidang Volksraad yang
pertama tampak antara lain Tjokroaminoto dan Abdul Muis dari Sarekat Islam.
Juga Tjipto Mangunkusumo, yang telah kembali dari Belanda dan tergabung dalam
Sarekat Hindia, menjadi wakil bagi organisasinya. Tetapi beberapa bulan
kemudian timbul suatu kelompok dalam Volksraad yng menamakan dirinya “Radicale
Concentatie”. Mereka menginginkan agar dewan itu diubah menjadi parlemen yang
sesungguhnya. Pihak pemerintah menjadikan perubahan dan membentuk suatu panitia
untuk mempelajari tunututan itu. Tetapi perubahan-perubahan yang dimaksud tak
pernah terwujud, malah sikap pemerintah makin konservatif. Dengan demikian
berangsur-angsur tokoh-tokoh Sarekat Islam keluar dari dewan itu. Tinggalah
golongan-golongan yang bersedia bekerja bersama-sama dengan pemerintah Hindia
Belanda.
Namun dalam masyarakat timbul
berbagai macam reaksi. Dalam Volksraad muncul pula tiga macam pendapat yang
pertama berasal dari wakil-wakil masyarakat Belanda. Yang menolak petisi
tersebut. Pendapat kedua berasal dari kalangan masyarakat Indonesia yang
mewakili golongan “Intelektual” dengan pimpinan Soekardjo
Wiryopranoto;merekapun menyatakan penolakan. Pendapat ketiga juga dari kalangan
masyarakat Indonesia yang disuarakan Soeroso (Golongan Pegawai Negeri) yang
juga menolaknya.
Dengan golongan wakli golongan
Indo yang menyetujuinya, petisi itu diterima Volksraad dan diteruskan ke
Parlemen Belanda. Di Indonesia timbul panitia-panitia yang disebut Comitte Petitie Soetardjo untuk
memperjuangkan petisi itu. Gerakan ini menimbulkan perbedaan faham dalam
kalangan pergerakan. Parindra yang baru didirikan pada tahun 1935 tidak
bersedia ikut dalam panitia tersebut, Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang
pro-komunis itu, juga menetang petisi tersebut walaupun bersedia menerima
diadakannya konperensi antara Indonesia dan Belanda. Partai Sarekat Islam
Indonesia juga tidak menyetujuinya., PNI-baru pun menolaknya. Sokongan datang
dari organisasi-organisasi yang lebih kecil, yaitu Persatuan Pegawai Binnenland
Bestuur (PBB), IEV (Indo), Chung Hwa Hwi(Cina), PEB (Golongan Pedagang)
Penyedar,Pasundan, PPKI,PAI, Sarekat Ambon, Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia,
dll. Haji Agoes Salim dan Mr.Sartono juga menyetujuinya.
Di dalam Parlemen Belanda banyak
juga menantang. Tetapi belum diadakan pemilihan suara, menteri jajahan
mengemukakan bahwa petisi itu tidak perlu karena pemerintah bermaksud meluaskan
otonomi dengan memperkuat pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia. Pada bulan
November 1938 dikeluarkan pengumuman resmi bahwa petisi ditolak oleh Ratu
Belanda.
Gagalnya Petisi Soetarjo
menyebabkan Parindra Mengambil langkah-langkah untuk menggabungkan seluruh
kekuatan politik yang ada untuk menuntut perbaikan-perbaikan dalam bidang
perwakilan. Sebelum itu golongan islam(PSII) pernah pula berusaha untuk
menggalakan seluruh potensi pergerakan
nasional dalam suatu wadah federatif. Pada tahun 1938 PSII membentuk Badan Perantara
Partai-Partai Politik Indonesia (Bapeppi). Namun usaha ini kurang lancar
sehingga kegiatan Parindra tersebut diatas menjadi lebih menonjol dalam
masyarakat Indonesia.
Dalam bulan Mei 1938 Parindra
mengundang sejumlah partai politik dan organisasi massa untuk berapat di
Jakarta. Terbentuklah Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang dipimpin oleh
Mohammad Hoesni Thamrin dari Parindra, Mr.Amir Starifoeddin dari Gerindo, dan
Abikoesno Tjokrosoejoso. Dari partai Sarekat Islam Indonesia. Tujuan GAPI
adalah memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan persatuan nasional.
Kemudian tujuan ini dirumuskan dalam semboyan “ Indonesia Berparlemen” sebab
pada dasarnya GAPI tidak menuntut kemerdekaan tetapi partisipasi rakyat dalam
pemerintah jajahan. Sikap kurang menekankan kemerdekaan itu disebabkan adanya
prihatin atas kemungkinan meletusnya Perang Pasifik. Adanya prihatin atas
kemungkinan meletusnya perang pasifik. GAPI beranggapan bahwa bila mereka
mengenyampingkan cita-cita kemerdekaan, Belanda akan bersedia memenuhi tuntutan
mereka, yaitu parlemen yang sesungguhnya untuk menggantikan Volksraad. GAPI
juga mengajak rakyat Belanda bersama-sama menentang Fasisme.
Tetapi dikalangan pergerakan
adapula golongan-golongan yang tidak menyetujui GAPI, seperti PNI Baru dan
Penyedar, yang menolak sikap meminta minta pada Belanda. GAPI selanjutnya membentuk kongres Rakyat Indonesia yang menjadi
Prototip dari parlemen yang diperjuangkan itu. KRI lalu mengesahkan Indonesia
raya dan Merah Putih sebagai lagu dan bendera kebangsaan Indonesia. Sekalipun
GAPI membentuk komite-komite didaerah-daerah, kegiatan federasi ini kurang
berkembang. Mereka memang berhasil memaksakan pemerintah membentuk suatu
panitia untuk menyelidiki usaha perubahan tata negarav (Commisie Visman) namun
mereka tidak bersedia bekerja sama dengan panitia itu.
BAB. IX
PERANG KEMERDEKAAN
Untuk memahami perang kemerdekaan
perlu dilihat perkembangan dalam masa pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan
Jepang, Jepang kekuatan kekuatan terpendam dalam masyarakat mendapat kesempatan
untuk muncul ke permukaan. Kekuatan kekuatan itu pada tahun 1930-an behasil
dikekang oleh kekuasaan kolonial. Seperti tampak dalam bagian bagian yang
mendahului bagian ini, yang paling menentukan dalam masyarakat indonesia pada
tahun 1930-an adalah golongan birokrasi beserta golongan politisi yang tidak
menganjurkan perlawanan yang radikal terhadap kekuasaan kolonial. Pada masa
jepang justru terjadi yang sebaliknya. Untuk kepentingan kepentingan perangnya,
jepang memobilisir berbagai unsur dalam masyarakat. Ketika jepang menyerah kalah,
unsur-unsur ini tetap bertahan dan memainkan peranan yang menentukan dalam
tahun-tahun pertama dari perang kemerdekaan. Kemudian sesudah itu elite politik
dari masa pergerakan nasional muncul kembali untuk menyelesaikan revolusi itu.
Pendudukan
Jepang
Pada pendudukan Jepang, masyarakat
Indonesia dapat dijabarkan sebagai berikut: anggota-anggota berbagai organisasi
partai diperkirakan berjumlah 50.000 orang, pembaca surat kabar kira-kira
50.000 orang pula, murid berbagai swasta indonesia diperkirakan berjumlah
130.000 orang, dua kali lebih banyak dari murid-murid sekolah pemerintah, murid
murid Muhammadiyah kira kira 20.000 orang. Inilah yang digolongkan sebagai
elite Indonesia di antara penduduk yang kira-kira berjumlah 70.000.000 orang.
Golongan tersebut dalam masa
pendudukan jepang mendapat peranan yang sangat penting. Mereka dipakai dalam
melakukan berbagai pekerjaan rutin birokrasi. Namun, seluruh kegiatan politik
yang ada sebelumnya dilarang. Hanya sejumlah organisasi tertentu yang
diciptakan oleh jepang untuk kepentingan propaganda dan perangnya yang
dibiarkan hidup. Para birokrat lama merasa bahwa cara-cara jepang dalam
pemerintahan sangat kaku dan kasar, sehingga timbul perasaan bahwa apa yang
dapat mereka buat jauh lebih baik daripada orang-orang jepang.
Pembagian Indonesia dalam dua
bagian, yaitu bagian yang dikuasai Angkatan Darat (Jawa, Sumatra) dan bagian
yang dikuasai angkatan laut (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Indonesia
Timur) mempengaruhi perkembangan masyarakat di kedua bagian itu. Wilayah
Angkatan Laut dianggap masih primitif sehingga setiap kegiatan politik
dilarang, sampai bulan April 1945. Bagian yang dikuasai angkatan darat dianggap
cukup baik untuk dibimbing kearah self goverment. Langkah langkah kearah itu
dijawa adalah
1. 1943
dibentuk Masyumi (berupa gabungan MIAI dengan unsur NU dan Muhammadiyah) untuk
menampung kegiatan elite Islam.
2. 1943
Ir.Soekarno diizinkan mendirikan PUTERA untuk memberi wadah bagi kaum politisi
yang sebelumnya anti-Belanda.
3. 1943
dibentuk dewan penasihat pusat (Chuo Sangi In) yang meliputi seluruh jawa.
4. PETA
dibentuk untuk melatih pemuda pemuda Indonesia dalam taktiknya gerilya melawan
Sekutu (Jumlah 40.000 orang) dengan perwira perwira Indonesia sendiri.
Disumatra perkembangannya lebih
lambat tetapi kira-kira mencakup bidang bidang yang sama: Gugyun (semacam peta)
berjumlah kira kira 30.000 orang; Chuo Sangi In dibentuk pada bulan Juli 1945,
tetapi wadah untuk elite islam baru pada tahun 1945, namun wadah untuk
menyatukan seluruh elite politik itu di Sumatra tidak dibentuk Di Jawa justru
diusahakan agar semua golongan sampai pada tingkat keresidenan kompak bersatu
melalui PUTERA. Namun, pendapat bahwa disumatra Jepang melakukan politik adu
domba tidak benar. Disana golongan adat dan golongan islam diusahakan agar
mendapat perlakuan yang sama dan tidak menganak emaskan salah satu nya, seperti
pada masa belanda yang (menganak emaskan golongan adat).
Persiapan
Kemerdekaan
Karena di Jawa berbagai golongan
diberi kesempatan untuk mengambangkan politik sejak dikeluarkannya “pernyataan
koisyo” yang menjanjikan kemerdekaan (September 1943), maka di sinilah kita
lihat adanya persiapan persiapan ke arah kemerdekaan yang dijanjikan itu. Janji
kemerdekaan ini dikeluarkan dengan maksud untuk menarik simpati berbagai golongan
kepada Jepang yang sejak 1943 mulai terdesak dalam medan-medan pertempuran di
pasifik. Pembentukan lembaga lembaga dan pasukan pasukan yang disebut di atas
dilakukan dalam hubungan ini pula. Dan ketika Okinawa direbut Amerika, pada
bulan mei 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPPKI).
Pada tanggal 28 mei 1945 BPPKI
mulai brsidang dengan anggota dari jawa berjumlah (62 orang) dipimpin
dr.Radjiman. tugasnya adalah untuk menyusun konstitusi dan dasar-dasar ideologi
Negara. Sejak awal siding hasil dari siding tersebut kebanyakan di ispirasi
oleh elite dari zaman pergerakan national yang dipimpin oleh Ir. Soekarno.
Tatkala Rusia bergabung dengan sekutu dan menyerbu jepang dari mancuria, pihak
jepang melangkah lagi dan mempercepat tanggal pembentukan Negara boneka
tersebut ( yang oleh BPPKI direncakan akan jatuh pada tanggal 17 september
1945). Maka dari itu ir.seokarno, Hatta dan Radjiman dipanggil ke Dalath
(Saigon, Vietnam) untuk bertemu Jenderal Terauchi yang akan merestui
pembentukan Negara RI. Sekembalinya rombongan pulang dari Dalath pada tanggal
14 agustus, segera dikelurkan pengumuman untuk memanggi para anggota-anggota
panitia persiapan kemerdekaan indonesi yang seharusnya bersidang pada tanggal
18 Agustus sampai 7 september. Kini
tanggal proklamasi diajukan pada stangga 16 Agustus jam 10.00.
Namu seluuh rencana itu tidak
dapat dilaksanakan karena golongan-golongan yang tidak terwakili dalam wadah
yang dibentuk jepang mempunyai rencana lain. Golongan ini terutama dari
golongan dari para pemuda yang tidak menyenangi jepang. Sudah lama golongan ini
menunjukkan sikap permusuhan terhadap jepang, contohnya pemberontakan PETA
Blitar dan contoh lainnya adalah perlawanan pemuda pada bulan juni. Pada waktu
itu jepang telah membentuk suatu wadah tunggal untuk golongan para. Dengan
harapa dapat menarik mereka ke pihaknya. Organisasi yang bernama Gerakan Rakyat
Baru itu bersidang di bandung untuk mengesahkan anggaran dasarnya. Dalam
perdebatan pihak jepang mencegah pemasukan istilah “Republik Indonesia” dalam
anggaran dasarnya. Para pemuda melawan dan mensabot organisasi saat itu.
Kelompok-kelompok lain yang pada waktu itu terdapat dalam masyarakat di jawa
adalah
- Ikai Dai Gakku (mahasiswa kedokteran di asrama perapatan) yang pro syahrir, seseorang tokoh dari sebelum perang menolak bekerjasama dengan jepang dan melakukan sesuatu ”gerakan bawah tanah” dengan jaringan di seluruh Jawa.
- Asrama Menteng 31 yang dipimpin orang-orang yang bekerja pada koantor propaganda jepang ( soekarni, chaerul saleh dan lain-lain).
- Asrama Indonesia merdeka dari Mr.soebardjo yang mendapat perlindungan dari Admiral Maeda, dan berhasil memberi kursus-kursus pada kira-kira 100 orang pemuda.
Golongan yang berbeda pandangan
inilah yang menyambut Soekarno-Hatta dari Dalath pada tanggal 15 agustus dan
mendesak agar proklamasi dikeluarka tanpa sidang PPKI yang dianggap buatan
jepang. Alasan sebagian merka adalah agar sekutu yang menang Perang itu tidak akan mencapai Indonesia
sebagai buatan Jepang. Syahrirlah yang memberi bimbingan dalam dalam hari
pertama itu. Berbagai rapat yang diselenggarakan para pemuda dan
pertemuan-pertemuan dengan Soekarno dan Hatta selalu dilaporkan kepada syahrir.
Namun Soekarno dan Hatta menolak
permintaan para pemuda dengan alas an bahwa alat yang ada (PPKI) bisa saja
dipakai untuk tujuan yang lebih murni. Selain itu mereka ingin menghindarkan
pertarungan senjata dengan jepang. Sebab itu para pemuda mengambil tindakan
sendiri, terlepas dari syahrir. Dalam suatu perundingan, diputuskan untuk
mengungsikan Soekarno dan Hatta ke rengasdengklok di luar Jakarta darimana
kedua tokoh itu bisa mengeluarkan proklamasi kemerdekaan tanpa halangan jepang,
dan kemudian akan diadakan revolusi (perebutan kekuasaan dari pihak jepang)
dengan bantuan satuan-satuan PETA. Rencana ini mulai dilangsungkan pada tanggal
16 Agustus, namun ternyata PETA menolak tidak bersedia untuk memberontak.
Sementara itu sidang PPKI pada
tanggal 16 Agustus gagal dan Mr.soebardjo yang menjabat sekertaris PPKI mulai
mencari kedua pemimpin tersebut. Melalui wikana, yang bersama soekarni memimpin
peristiwa rengasdengklok itu, soebardjo mengetahui tempat kedua tokoh itu,
persoalannya kemudian dimengerti, lalu soebardjo menghubungi Laksamana Maeda,
atasannya pada bagian penerangan AL di Jakarta, dan mendapat izin dari
peristiwa jepang yang simpati pada perjuangan, untuk menyediakan rumahnya ( di
jl. Imam Bonjol NO.1 ) untuk dijadikan tempat rapat para pemimpin Indonesia.
Sidang PPKI dengan ditambah
golongan muda (antara lain soekarna dan chaerul saleh) berlangjung mulai jam
03.00 subuh du kediaman Maeda. Sebelumnya soekarno dan Hatta telah menghubungi
pihak pemerintahan militer jepang yang ternyata tidak mengizinkan tindakan itu
maupun tidak melarangnya. Sebabnya pihak jepang di Jakarta belum mendapatkan
berita resmi mengenai menyeluruhnya dari nipo.
Penyusunan naskah proklamasi di
jalan Imam Bonjol no. 1 itu dilakukan oleh ir.Soekarno, Drs. M. Hatta dan Mr. A
soebardjo, disakasikan oleh sayoeti Malik, soekarni, B. M. Diah dan Soediro.
Untuk itu mereka meninggalkan anggota-anggota PPKI dirung tamu kediaman Maeda
dan menyendiri di ruang makan. Ir. Soekarno yang mencatat dan Mr. Soebardjo
yang mengeluarkan kalimat pertama; “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaan Indonesia”. Kalimat ini berasal dari piagam Jakarta yang berbunyi:
“Atas berkat rahmat Allah maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaannya”. Kalimat ke dua berasal dari Drs. M. Hatta “ hal-hal yang
mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara yang
seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya”. Sayoeti Malik yang ditugaskan
mengetik naskah itumengubah “ Tempoh” menjadi “ Tempo” dan “ Wakil bangsa
Indonesia” menjadi “ Atas nama Bangsa Indonesia.
Kemudian timbul persoalan penandatanganannya.
Pihak pemuda (soekarni) menuntuk agar semua yang hadir menandatanganinya. Ini
ditolak oleh PPKI. Akhirnya dicapai kompromi: hanya Soekarno dan Hatta saja
yang menandatanganinya. Proklamasi ini dibaca pada keesokan harinya di
pegangsaan timur 56 (kediaman Ir. Soekarno)
dengan disaksikan oleh anggota-anggota PPKI, para pemuda dan beberapa
anggota peta.
PPKI bersidang lagi pada tanggal
18 Agustus dengan tambahan 9 anggota pemuda hanya Soekarni yang menolak
keanggotaannya. Pada sidng ini UUD disempurnakan dan diterima dan Presiden dan
Wakilnya dipilih. Keesokan harinya PPKI bersidang lagi dan membentuk delapan
provinsi dengan gubernurnya sekaligus. Kemudian juga diumumkan pembentukan
komite Nasional Indonesia Pusat yang bertindak sebagai dewan perwakilan rakyat
dan meneruskan tugas-tugas PPKI. Juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR)
untuk menjaga ketentraman umum. Selain itu dikumandangkan pula pembentukan PNI
sebagai satu-satunya partai politik yang sah. Pada tanggal 22 Agustus
anggota-anggota PPKI kembali ke tempat masing-masing.
Proklamasi sudah terdengar di
daerah-daerah sejak tanggal 18 Agustus. Tapi baru tanggal 22 Agustus disiarkan
secara resmi dalam Asia Raya (Koran resmi) setelah secara resmi pula Jepang
menyatakan kekalahannya. Sejak itu mulai diusahakan untuk merebut kekuasaan
dari pihak tentara Jepang. Dan pengambilalihan administrasi pemerintah oleh
para pegawai. Tindakan-tindakan ini mulai meningkat sejak bulan September. Di
Surabaya diadakan rapat umum untuk mengumumkan proklamasi pada rakyat (11 dan
17 September). Rapat serupa di Jakarta di langsungkan pada 19 september diikuti
kira-kira 200.000 orang dilapangan merdeka. Lalu para pemuda mulai membentuk
badan –badan perjuangan untuk melakukan perlawanan secara fisik. Perkembangan yng
sama terjadi juga di keresidenan-keresidenan di Sumatera, Sulawesi, Maluku,
Irian (biak), Kalimantan dan Nusatenggara.
Sekutu
Mendarat
Setelah jepang menyerah, pihak
sekutu bertanggung jawab untuk memulangkan tentara jepang dan membebaskan
tawanan-tawanan perang serta menjaga ketertiban. Daerah Indonesia seluruhnya
menjadi tanggung jawab Inggris sejak tanggal 15 Agustus. Tetapi pada tanggal 28
Agustus telah dibuat Anglo-Dutch Civil Affaires Agreement (perjanjian
persoalan-persoalan pemerintahan antara Inggris dan Belanda) dimana Inggris
yang akan memegang kekuasaan militer, berjanji akan menyerahkan kekuasaan sipil
kepada Belanda bila tugasnya telah selesai. Namun dalam melaksankan tugas
pemulangan tentara Jepang dan lain-lain itu, Inggris juga bertekat untuk
bekerjasama dengan para pemimpin Indonesia.
Tugas Inggris itu paling cepat
dilaksanakan di bekas daerah-daerah Angkatan laut Jepang. Disana tugas ini
diserahkan kepada Australia yang memang semenjak beberapa bulan sebelumnya telah menduduki
Kalimantan utara dan Irian jaya, kemudian setelah Jepang menyerah, pulau-pulau
di Maluku dan Sulawesi secara cepat diduduki. Australia mendapat kenyataan
bahwa di daerah-daerah itu sudah ada pemerintahan RI namun mereka melindungi
NICA ( Netherlands Indies Civil Administration) yang ikut masuk ke
daerah-daerah itu. Di jawa dan sumatera, dimana Inggris sebelumnya tidak
berpengaruh, pendaratan dimulai pada bulan Oktober. Disini pun mereka hanya
menduduki kota-kota penting seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan,
Palembang, Padang, dan menyerahkan daerah lainnya pada Belanda. Namun usaha
Belanda tidak berhasil. Van Mook yang dijadikan Let.Gub. jenderal, mencoba
berunding dengan Soekarno, tetapi pemerintah Belanda melarang dengan alasan
Soekarno adalah penjahat perang. Perundingan baru mulai pada bulan November,
ketika syahrir dijadikan perdana menteri. Ia dianggap tidak bercacat dalam hal
ini.
Sementara itu antara September dan
februari 1956 para pemuda merupakan faktor terutama dalam perubahan-perubahan.
Berbagai badan perjuangan dari berbagai sukubangsa, pelajar, pegawai dan
lain-lain kelompok. Gerakan mereka terutama di dalam kota-kota dan sangat anti
Jepang maupun anti Inggris dan Belanda. Semboyan mereka adalah “merdeka atau
Mati”.
Pergolakan pemuda yang palingbesar
terjadi di Surabaya. Sejak semula mereka telah mempunyai persenjataan yang kuat
berupa 12 tank dan senjata lainnya untuk satu resimen. Inilah konsentrasi
kekuatan senjata yang paling besar di satu tempat selama seluruh perang
kemerdeakaan. Insiden meningkat ketika kapten Huyer dari AL Belanda mengadakan
provokasi, akhirnya ia mencoba melarikan diri tetapi ditwan oleh residen. Kemudian tentara Inggris
mendarat pada tanggal 25 Oktober dengan pimpinan Jendr.Mallaby. ia lalu
melepaskan Huyet dan pengerahkan pasukannya keluar dari tanjung perak, hal ini
bertentangan dengan perjanjian dengan Residen. Lalu pertempuran pun meletus.
Ketika Inggris hampir dikalahkan, pimpinan mereka memanggil Ir.soekarno, Hatta
dan Amir syarifuddin untuk meredam amarah arek-arek Surabaya. Ketiga tokoh
tersebut berhasil membuat suatu perjanjian yang menguntungkan pihak Indonesia.
Namun pada tanggal 30 Oktober oknum yang tidak bertanggung jawab menembak
Mallaby. Penggantinya mencoba membalas dengan mengirim ultimatum agar pasukan
Indonesia menyerahkan senjatanya. Ultimatum itu tidak diterima dan tanggal 10
November pecahlah pertempuran yang berlangsung selama tiga minggu. jumlah
jumlah 150.000 pemuda Indonesiaberhdapan dengan tentara Inggris yang menyerang
dari darat, laut dan udara. Pertempuran Suabaya memberi inspirasi pada pemuda
lain untuk melakukan perlawanan juga.
Revolusi
Sosial
Di beberapa daerah terjadi pula
gejala yang menyimpang dari pola umum tersebut. Di tempat-tempat itu muncul
gerakan-gerakan yang dinamakan revolusi sosial untuk menumbangkan golongan adat
yang dianggap kaki tangan penjajah sejak Belanda dan Jepang. Dalam hal ini para
pemuda terorganisir rapi tetapi sering juga (seperti di Sumatera Timur)
menggunakan bdan-badan perjuangan yang dibentuk secara spontan. Faktor ideologi
Marxisme di Jakarta tidak mengambil bagian.
Revolusi sosial di Aceh, Sumatera
Timur, Tapanuli, Banten, Pekalongan, Surakarta. Di Aceh: sejak zaman Belanda
golongan adat (ulebalang) dianak emaskan sebagai penguasa; para pemimpin dari
kalangan Islam dikesampingkan karena dianggap berbahaya. Pada masa Jepang kedua
golongan itu diperlakukan sama, sepanjang menguntungkan Jepang. Pada awal
Revolusi golongan ulebalang muncul lagi dengan perkiraan Belanda akan kembali.
Sewaktu hal itu tidak terbukti, golongan elite Islam muncul. Wadah mereka
adalah PUSA yang dipimpin oleh Daud Beureuh. Pemberontakan bermula di Pidie.
Seluruh ulebalang digulingkan dan diganti oleh para ulama. Kemudian gerakan ini
menjalar ke seluruh Aceh dan baru berakhir pertengahan Maret 1946. Sumatera
Timur: para raja yang zaman Belanda dianakemaskan pada mulanya juga bangkit
dengan harapan Belanda akan kembali. Ketika hal itu tidak terjadi mereka
mencoba mendekati pemimpin-pemimpin nasional di Medan untuk mengadakan perubahan
dalam sistem pemerintahan kerajaan. Namun golongan marxs tidak menerima hal ini
dan melancarkan perlawanan terhadap para raja tersebut. Kebanyakan dibunuh dan
ditawan, termasuk penyair Amir Hamzah. Hanya dengan perantaraan pemerintah
pusat peristiwa ini bisa diselesaikan. Hal-hal yag sama terjadi di Banten dan
daerah pesisir Jawa Tengah.
Perjuangan
Syahrir
Sutan Syahrir diawal Perang
kemerdekaan berusaha memanfaatkan situasi revolusioner untuk mencapai
kekuaasaan, tetapi kemuadian ia malah berusaha mengekang faktor-faktor ini
untuk mencapai suatu menyelesaikan diplomatis dengan Belanda. Ia berjasa
menciptakan suatu sistem pemerintahan Pralementer sejak bulan November 1945
dengan maksud menghubungkan pemerintah dengan rakyat. Keistimewaannya adalah,
ia dapat melihat jauh ke depan seperti dalam tulisannya “Perjuangan Kita”. Ia berpendapat bahwa revolusi Indonesia tidak
seluruhnya nasional dan tidak seluruhnya sosialis. Selanjunya, harus ada
kerjasama dengan pihak luar negeri untuk membangun Indonesia yang kaya alamnya.
Revolusi Indonesia menurut Syahrir adalah revolusi yang demokratis. Mengenai
golongan adat yang bekerjasama dengan Belanda sebagai birokrat, ia berpendapat
bahwa mereka harus digeser perlahan-lahan dan diberi fungsi penasehat ahli
dalam bidang pemerintahan. Selain itu ia setuju bahwa feodalisme harus
diakhiri.
Sebab itulah ia berusaha
menciptakan lembaga-lembaga parlementer seperti lazimnya terdapat dalam siste
politik yang demokratis. Lembaga-lembaga itu adalah:
1.
KNIP yang pada tanggal 16 Oktober 1945
dinyatakan sebagai lembaga legslatif (oleh Hatta) dengan Badan Pekerja (BP)
untuk tugas sehari-hari dengan Syahrir sebagai ketuanya;
2.
Partai-partai poltik diizinkan berdiri
melalui suatu peraturan tertanggal 3 November 1945
3.
Mengumumkan sebuah “Manifesito Politik”
pada 1 November 1945 untuk menjelaskan
garis-garis perjuangannya.
4.
KNIP di setiap daerah yang berdiri sejak
Agustus 1945 (kelanjutan dari Hokokai) diubah. Untuk itu perlu diadakan
pemilihan dan pembentukan badan Pekerja Daerah untuk membantu kepala daerah
dalam tugas eksekutif
5.
Pembentukan Kabinet Syahrir yang
bertanggung jawab pada KNIP, pada tanggal 4 November 1945, untuk menggantikan
kabinet Soekarno yang terbentuk pada tanggal 18 Agustus.
Perubahan-perubahan
kelembagaan tersebut ini tidak dicapai melalui prosedur parlementer, tetapi
dengan persaingan kekuatan antara tiga pihak yaitu Soekarno-Hatta, Syahrir, dan
Tan Malaka sejak 5 Agustus telah kembali ke Jakarta sesudah merantau di luar
negeri bertahun-tahun. Ia mula-mula bertemu dengan Soekarno, lalu membantu
Soebarjo dalam kabinet Soekarno. Pada 10 Oktober ia bertemu dengan Soekarno dan
memaksakan Soekarno menandatangani suatu surat wasiat yang isinya antara lain
menyatakan bahwa jika Inggris menangkap Soekarno, maka Tan Malaka akan menggantikan
sebagai Presiden. Karena harapan itu tidak terlaksana, maka Tan Malaka
menggalang kekuatan sendiri dan melawan Soearno maupun Syahrir.
Syahrir
berusaha menguasai keadaan dalam bulan-bulan itu. Tetapi hubungan dengan masa
diserahkan kepada Amir Syarifuddin, menteri pertahanan. Mula-mula Amir
Syarifuddin berusaha mendekati pihak TKR (Tentara), namun mereka menentangnya
karena ia bersikap anti hal-hal yang berhubungan dengan Jepang (perwira-perwira
TKR banyak dari PETA). Malah TKR memilih Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai
Menteri Pertahanan. Dengan demikian antara Kabinet Syahrir dan TKR timbul
ketegangan, kecuali dengan Divisi Siliwangi, yang dipimpin Kolonel A.H.
Nasution.
Untuk
menguasai pemuda pada tanggal 10 November pemerintah memprakarsai Kongres Pemuda
di Yogya. Namun hanya sebagian dari organisasi pemuda yang menerim gagasan Amir
Syarifuddin untuk mendirikan PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia). Sebagian
terbesar dari Organisasi pemuda bergabung dalam organisasi tersendiri. Sikap
kabinet Syahrir terhadap partai-partai juga sangat selektif. Partai yang
pemimpin-pemimpinnya bekerja sama dengan Jepang tidak menyukainya karena
sikapnya anti hal-hal yang berbau Jepag.salah satu partai besar yang
menentangnya adalah PNI.
Garis
perkembangan selama perang kemerdekaan adalah: perbedaan dan pertentangan
antara golongan yang memihak pada “diplomasi” (yang dijalankan oleh pemerintah
dari golongan manapun) dan garis “perjuangan” yang terutama diperlihatkan oleh
para pemuda dalam bulan-bulan Agustus-Desember 1945. Mula-mula Tan Malaka
mencoba memainkan kekuatan-kekuatan revolusioner (pemuda) untuk
maksud-maksudnya. Pada Januari 1946 ia membentuk suatu wadah yang bernama
Persatuan Perjuangan. Semboyannya ialah “merdeka
100%” dan menentang perundingan-perundingan yang dilakukan Syahrir.
Kemerdekaan harus diperoleh dengan cara perjuangan senjata. Hamper setiap
golongan dan partai, malah TKR melalui panglima Soedirman, menyetujui semboyan
ini. Gerakan ini berhasil mengalahkan Syahrir sehingga ia harus meletakkan
jabatan pada bulan Januari 1946. Persoalannya adalah perundingan Syahrir dengan
Belanda. Masyumi dan PNI mendukung Tan Malaka dalam hal ini. Soekarno muncul
dan berpidato dari Banten sampai Malang dan akhirnya mengangkat Syahrir lagi
sebagai PM. Soekarno tetap percaya bahwa “diplomasi”
adalah jalan yang paling baik, demikianpun banyak pemimpin Indonesia ketika
itu.
Dalam
masa Revolusi sosial di Surakarta sekali lagi golongan Tan Malaka menjatuhkan
Syahrir, ia diculik. Soekarno muncul di radio dengan pidato yang bernada keras
dan mengencam tindakan penculikan itu. Tidak lama kemudian para penculik
membebaskan Syahrir. Syahrir sekali lagi dipercayakan oleh Presiden Soekarno
sebagai Perdana Menteri demi lancarnya diplomasi. Sementara itu usaha-usaha PP
hancur sendiri karena mereka mencoba memaksa Soekarno menggantikan kabinet.
Inilah dikenal sebagai peristiwa 3 Juli 1946, ketika pihak oposisi mencoba
mengadakan perebutan kekuasaan. Ternyata Presiden Soekarno tetap menyokong
Syahrir. Usaha itu adalah yang terakhir dari PP.
Perundingan
Syahrir dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati (November 1946);
Disepakati, bahwa wilyah RI meliputi Jawa, Madura, da Sumatera. Selain itu RI
bersama-sama Belanda akan membentuk suatu sistem pemerintahan pusat yang
bersifat federal pada awal 1949. Namun sesudah mencapai persetujuan penting
itu, kabinet Syahrir bubar karena pertentanganya intern antara Amir Syarifuddin
dan Syahrir. Syahrir rupanya mulai mencurigai orang-orang Komunis dalam PSI.
Golongan ini lalu keluar dari kabinet sehingga kabinet terpaksa harus
dibubarkan.
Sebagai
pengganti, Soekarno mengangkat Amir Syarifuddin untuk melanjutkan perundingan.
Amir sebagai orang yang anti Jepang tetap diterima di luar negeri. Namun usaha-usaha Amir berakibat
clash dengan Belanda pada Juli 1947. Dengan perantaraan PBB akhirnya dicapai
perdamaian dalam bentuk perjanjian Renville (Januari 1948). Tetapi perjanjian
ini justru lebih parah dari perjanjian Linggarjati karena wilayah RI
dipersempit lagi sehingga hanya meliputi sebagian dari pulau Jawa dan sebagian
dari pulau Sumatera. Perjanjian Renville ditentang dengan keras oleh
partai-partai besar seperti Masyumi dan PNI. Soekarno kini mengangkat Hatta
sebagai Perdan Menteri, diluar dugaan Amir Syarifuddin.
Pemberontakan
PKI/Madiun:
Kini
Amir Syarifuddin yang merasa dirugikan menggunakan kekuatan-kekuatan
revolusioner untuk merebut kekuasaan. Ia berusaha menyatukan seluruh golongan
Marxis dalam suatu wadah yang dinamakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada
Februari 1948. Ini berarti taktik parlementer diganti dengan taktik
gerakan masa (perjuanagn menggantikan
diplomasi). Perlawanan terhadap Hatta meningkat ketika timbul masalah pembukaan
hubungan dengan Rusia. Soekarno pernah memerintah agar hubungan dengan Rusia
dibuka dan Soepripto (seorang komunis) yang merundingkannya di Praha. Ketika
Rusia mengumumkan pembukaan hubungan diplomatik Hatta tidak menjawab kecuali
memanggil Soepripto kembali. Ini menimbulkan kemarahan FDR.
Tetapi
FDR mendapat saingan dari golongan baru, yaitu golongan Tan Malaka yang muncul
dengan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Mereka menentang diplomasi dengan
menganjurkan penggunaan senjata. Namun kemampuan mereka tidak sebanding dengan
PP, dan semboyan mereka (merdeka 100%) sudah tidak efektif. Akhirnya beralih ke
suatu organisasi petani yang bernama Barisan Tani Indonesia (BTI) yang memihak
pada Syahrir. Ketika Syahrir-Amir pecah (1948), BTI jatuh ke tangan orang
komunis. Pemberontakan Delangu (Mei 1948) terjadi dalam rangka usaha ini.
Delangu adalah daerah perkebunan dan pabrik kapas yang dikuasai pemerintah
daerah (Badan Tekstil Negara). Pada 19 Mei SARBUPRI (Serikat Buruh Perkebunan
RI) demokrasi ke Surakarta untuk menuntut dinaikkan upah namun tidak ditanggapi
pemerintah sehingga mereka mogok. Pemerintah lalu memasukkan orang-orang STII
Masyumi dengan pengkawalan tentara (Siliwangi), untuk mengerjakan pabrik itu.
Karena terjadi perkelahian, BTI melanjutkan usaha pemberontakan petani ke
tempat-tempat lain di daerah DR di Jawa.
Dalam
suasana ini muncul Soeripto (agustus 1948) yang membawa Moeso. Moeso seorang
anggota kawakan PKI yang berdiam di Moskow. Istimewanya ia membawa gari-garis
perjuangan baru dari Moskow yang dimuat dalam buku berjudul “Jalan Baru”.
Isinya:
1.
Agar kaum komunis membentuk satu partai
saja;
2.
Agar diadakan nasionalisasi dan
landreform;
3.
Agar politik diplomasi dari pemerintah
dilawan.
Tokoh
Marxis Amir Syarifuddin bergabung dengan PKI, demikian pula Pesindo, BTI dan
sisa-sisa FDR lainnya. Kekacauan di wilayah pedesaan makin meluas di Kedu dan
Yogyakarta. Ini adalah awal dari pemberontakan PKI di Madiun.
Tetapi
tidak terdapat bukti-bukti yang nyata, bahwa PKI yang menyulut pemberontakan di
madiun. Rencana mereka adalah awl 1949, bila Belanda telah melemahkan RI.
Pemberontakan itu dimulai karena suatu golongan tertentu menculi perwira yang
dituduh memihak PKI. Pasukan yang memihak PKI lalu menuduh Siliwangi yang
melakukannya dan membalas sehingga 30 orang Siliwangi gugur.
Pertempuran-pertempuran kedua pihak membuat Presiden Soekarno menunjuk Gatot
Soebroto sebagai Gubernur Militer untuk mengamankannya.
Sementara
itu Moeso dan rombongannya sedang mengadakan perjalanan propaganda. Di
purwodadimereka mendengar berita tentang peristiwa di Madiun yang meletuspada 7
September 1948, dan segera di Madiun. Moeso menyalahkan Soekarno dan memakinya
di radio. Ternyata inikesalahan besar, sebab Presiden Soekarno kemudian
membalas melalui radio. Kolonel Gatot Soebroto lalu memerintahkan Siliwangi
untuk menghancurkan kubu-kubu Moeso di Madiun, sementara Presiden Soekarno
mengangkat Kolonel Soengkono sebagai Gubernur Militer untuk Jawa Timur dengan
maksud menyerang Madiun dari arah itu. Beberapa saat Belanda menyerang RI pada
Desember 1948, Moeso ditembak mati oleh TNI. Sebagian dari pengikut-pengikutnya
yang tertangkap juga ditembak di tempat. Jumlah golongan komunis yang ditawan
ketika itu adalah sekitar 35.000 orang. Sebagian besar kemudian, berhasil
melarikan diri ketika Belanda menduduki Yogyakarta. Di antaranya terdapat D.M.
Aidit yang berhasil menyusup ke Jakarta. Aiditlah yang dalam tahun-yahun
1950-an membangkitkan kembali organisasi PKI, yang sejarahnya berakhir pada
tahun 1966.
Konferensi
Meja Bundar
Setelah
perjanjian Renville pihak Belanda meneruskan polotik federasinya tanpa suatu
arah yang pasti. Mereka memaksakan pembentukan RIS tanpa mengikutsertakan RI
dalam perundingan-perundingannya. Negara-negara bagian diikutsertakan melalui
suatu badan baru yang bernama Bijeen-komst voor Federaal Overleg (BFO).
Rencana pembentukan RIS ditetapkan akhir 1948 dan meliputi seluruh indonesia,
termasuk Jawa dan Sumatera (wilayah RI). Persoalannya adalah bagaimana
membentuk pemerintah peralihannya. Untuk menyelesaikan hal itu Hatta didekati.
Perdana menteri Hatta tetap tidak dapat menyetujui rencana itu, terutama
masalah pembentukan tentara federal. Hatta tidak setuju TNI digabungkan dengan
KNIL.
Macetnya
perundingan ini menyebabkan Belanda mengambil langkah lain dan menjalanka
politik agresinya. Sejak 13 Desember Perdana Menteri Belanda telah minta izin
pada Parlemen untuk menyerang Indonesia. Serangan itu ternyata dilancarkan pada
tanggal 18 Desember 1948. Tetapi Indonesia pun sudah siap pula, sehingga bisa
menghadapi pasukan Belanda. Sebelumnya telah disempurnakan susunan ketentaraan.
Keseluruhan tentara dibagi dua bagian, yaitu Komando Jawa dibawah pimpinan
Kolonel Nasution, dan Komando Sumatera yang kemudian dipercayakan kepada
Kolonel Hidayat, keduanya dari Siliwangi. Panglima Tertinggi tetap di tangan
Jenderal Soedirman. Pasuka-pasukan diperintahkan untuk menjalankan perang
gerilya dalam unit-unit kecil dan membina masyarakat pada tingkat kecamatan.
Segera setelah tentara Belanda maju, pasukan-pasukan TNI mengundurkan diri ke
pedesaan. Walaupun Belanda dapat menguasai seluruh kota-kota di Jawa dan
Sumatera, tetapi daerah pedesaan tetap pada tangan TNI. Camat dan Lurah
dimiliterisasi dan seluruh rakyat dikerahkan. Perpaduan inilah yang menyebabkan
RI bisa bertahan, sebab pimpinan pusat ketika itu sudah menyerahkan diri karena
bertekad untuk melanjutkan “diplomasi”.
Ada
golongan-golongan yang mencoba menyaingi kekompakan itu.pertama Tan Malaka
lagi. Sgera setelah Soekarno-Hatta tertangkap ia menyerukan agar rakyat mengikuti
pimpinannya. Namun TNI menganggap berbahaya sehingga ia dikejar-kejar dan
akhirnya tertembak pula di Jawa Timur. Oposisi yang kedua adalah S.M.
Kartosoewiryo yang sejak Linggarjati menentang pemerintah yang berpolitik
diplomasi itu. Di Garut ia membentuk suatu kekuatan yang dinamakan Darul Islam
dengan ia sendiri sebagai Imam (1948). Kemudian ia membentuk Tentara Islam
Indonesia (TII) sebagai organisasi bersenjatanya. Tetapi kekuasaannya waktu itu
hanya meliputi Garut-Tasikmalaya, Tegal-Brebes, dan Banyumas.
Saat
terjadinya pertempuran, pihak PBB memaksakan Belanda untuk menghentikan perang
dan mengadakan perundingan lagi dengan RI. Soekarno dan Hatta dibebaskan dari
Bangka dan dikembaikan ke Yogya. Perintah ceasefire dikeluarkan oleh Soekarno
dan Jendral. Spoor. Namun Jendral Soedirman tidak dapat menerima sikap para
pemimpin tersebut dan mengundurkan diri (beliau meninggal 1950 karena penyakit
paru-paru). Perundingan-perundingan di Den Haag dalam bulan Agustus sampai
November 1949, melahirkan sistem pemerintahan baru, yaitu Republik Indonesia
Serikat.
Namun
bentuk pemerintah federal itu ternyata tidak disenangi oleh pihak nasionalis
dalam negara-negara bagian buatan Belanda. Satu persatu mereka membubarkan diri
dan masuk dalam RI. Pada Agustus 1950 seluruh negara bagian telah bubar
sehingga muncul kembali negara kesatuan RI. Persoalan-persoalan yang menyangkut
dekolonisasi masih terdapat disana sini seperti peristiwa Westerling/APRA di
Bandung, Peristiwa Andi Aziz di Makassar (Ujung Pandang), danperistiwa “RMS” di
Ambon. Inipun dapat diatasi dengan cepat dalam tahun 1950. Hanya masalah
Kartosoewiryo baru diselesaikan dalam tahun-tahun 1960-an. Dengan demikian
selesailah suatu periode sejarah yang berawal dari perjuangann perwujudan suatu
Bangsa Indonesia dengan cita-cita kemerdekaan dan cita politik itu dalam
tahun-tahun 1945-1950.
1 komentar:
Terimakasih kak atas postingannya! Berguna buat saya :)
Posting Komentar