(Disusun guna untuk memenuhi tugas
mata kuliah Sejarah Kebudayaan)
Dosen Pengampu
mata kuliah Drs. Sumarno M.Pd.
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Sebagai
akibat berpengaruh Hindu atas kebudayaan Asian Tenggara, timbullah istilah indianisasi. Akhirnya istilah ini
menarik perhatian dikalangan para sarjana sejarah budaya serta melahirkan
pendapat yang berbeda-beda. Ada para ahli yang menggambarkan hubungan antara
kedua kawasan dengan istilah kolonisasi,
dimana digambarkan superioritas bangsa India terhadap bangsa Asia Tenggara.
Semua gejala hinduisme di Indonesia dianggap sebagai buah pikiran dan tangan
hindu, yaitu India, sedang unsur Indonesia tidak diberikan peranan samasekali.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan
kemajuan cara berpikir, dan oleh beberapa ahli peranan kebudayaan asli mulai
diperhitungkan. Hal ini atas kesadaran bahwa kebudayaan Indonesia asli sudah
mencapai suatu tingkatan yang tinggi terutama dari masa bercocok tanam dan
perundagian sehingga siap menerima unsur-unsur kebudayaan India
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belaakang diatas maka rumusan permasalahan dalam peneitian adalah
sebagai berikut :
1) Apa yang dimaksud dengan local genius ?
2) Bagaimana konsepsi Alam Pikiran Masyarakat Indonesia
?
3) Bagaimana local genius dalam kehidupan beragama ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan
rumusana permasalahahn diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam karya tulis
ini adalaah :
1) Untuk mengetahui dan memahami pengertian local
genius;
2) Untuk mengetahui dan memahami konsepsi Alam Pikiran Masyarakat Indonesia
3) Untuk mengetahui dan memahami local genius dalam
kehidupan beragama
BAB 2.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Local Genius
Local genius atau identitas kebudayaan,
identitas bangsa, kebudayaan asli, kebudayaan tradisonal, kepribadian untuk
pertamakalinya diperkenalkan oleh H. G. Quaritch Wales dalam bukunya The Making of Greater India: A Study of
South-east Asian Culture Change (1948-49). Istilah local
genius yang dimaksudkan oleh Quaritch
Wales adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam
menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu
berhubungan. Sebagai akibat dari hubungan itu terjadilah proses akulturasi,
dimana kebudayaan setempat menerima pengaruh kebudayaan asing singkatnya adalah
menjelaskan
pergeseran dan perubahan kebudayaan dari suatu bangsa. Istilah itu mengandung
arti “cirri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh sebagian besar rakyat
bangsa sebagai hasil pengalaman hidupnya dimasa lalu”, sedangkan yang
dimaksudkan dengan kata local ialah
unsure-unsur kebudayaan dari kurun waktu pra-Hindu atau prasejarah. Untuk mengembangkan
hipotesanya itu Quaritch Wales pada dasarnya menggunakan konsep R. von Heine
Geldern mengenai adanya dua gaya seni dalam kebudayaan mengalithikum; yang
lebih tua dan yang lebih muda dengan cirinya masing-masing.
Pengertian ini ia peroleh dari pengamatannya atas
hubungan yang terjadi pada waktu kebudayaan Indonesia meneruma pngaruh
ebudayaan India. Sebaliknya di Indonesia bagian timur kebudayaaan India itu
hanya merupakan perangsang bagi perkembangan budaya setempat. Dalam hal ini ia
melihat bahwa kebudayaan setempat itu, yaitu kebudayaan prasejarah tetap mampu
mempertahankakn salalh satu unsur kebudayaannnya yaitu ragam hias geometris.
Kemampuan inilah yang secaranyata ia maksudkan sebagai local genius itu.
Konsep Quaritch
Wales itu ditolak oleh FDK Bosch dalam makalahnya Local Genius en Oud-Javaanse Kunst (Med. KNA W 1952). Dalam
kerangkan itu Bosch menolak istilah local
genius dan menggantikannya dengan genius
lain, yang artinya ‘bakat’ dan ‘kemampuan’ luar biasa orang-orang Jawa dalam
mengolah atau mencipta kembali (herscheppen)
sesuatu karya. Bosch lebih menitik berat perhatiannya pada pelaku
penerima kebudayaan itu. Menurut pendapatnya proses penerimaan kebudayaan itu
dilakukan oleh para pendeta Indonesia. para pendeta ini mula-mula pergi untuk
menuntut ilmu ke India, serta kemudian kembali ke Indonesia. setibanya di
Indonesia mereka kemudian mengamalkan ilmu yang mereka peroleh. Hasil pengalaman
mereka yang samappi pada saat ini adalah candi dan karya sastra.
Dari data diatas
jelas ada dua pendapat atau paham yang berbeda mengenai arti local genius. Quaritch Wales lebih
menekankan konsepsinya pada aspek fisik kebudayaan, sedangkan Bosch melihatnya
dari peranan pelakunya. Paham yang baru nanti hendaknya mengandung unsure-unsur
yang idenya telah ditemukan oleh Quaritch Wales
dan Bosch, tetpai terbatas pada kurun waktu tertentu, oleh karena paham
itu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan alam pikiran dari pendukung
kebudayaan itu. Prekembangan itu bahkan dapat kita amati berlangsung sampai
zaman sekarang. sebagai contoh beberapa kegiatan upacara tradisional yang masih
hidup hampir seluruh nusantara, seperti upacara mulai panen padi dengan mnghormati
dewi padi (Dewi Sri, Nyi Pohaci Sanghyang Sri) dan permulaan panen tebu (cembengan). Adat istiadat dan
upacara-upacara tradisional itu pada mulanya belum dikenal dalam zaman
prasejarah atau zaman pra-Hindu. Jadi jelas bahwa tradisi-tradisi itu tumbuh
dan timbul serta berkembang baru sesudah zaman prasejarah.
2.2
Konsepsi Alam Pikiran Masyarakat Indonesia
2.2.1
Konsepsi Alam Pikiran Masa Prasejarah
Masa perundagian adalah
puncak segala kemajuan yang berhasil dicapai yang merupakan perkembangan lebih
lanjut dari masa bercocok tanam. Penduduk yang hidup bergabung dalam suatu
desa, sudah berhasil mencapai suatu taraf yang baik sekali dengan penguasaan
teknologi yang tinggi seperti teknik pembuatan gerabah dan kepandaian menuang
perunggu. Masa perundagian telah menghasilkan kebudayaan Indonesia asli yang
bernilai tinggi, karena dijiwai oleh konsepsi alam pikiran atau keagamaan yang
hidup dalam masyarakat pada waktu itu.
Sikap terhadap alam
kehidupan sesudah mati, adalah percaya bahwa arwah seseorang tidak lenyap pda saat
orang meninggal, tetapi tetap hidup serta roh memiliki kelanjutan dalam
ujud-ujud rohanianya. Karena itu roh leluhur itu dianggap sangat mempengaruhi
jalan kehidupan keturunannya didunia ini (Sartono Kartidirdjo dkk, 1975:190)
Sebagai medium
penghormatan yang menjadi takhta kedatangan roh dibuatkan menhir yang biasa
ditempatkan pada bangunan undak, bangunan undak itu berbentuk tersusun satu
diatas yang lain dan kian ke atas bentuknya makin kecil. Bangunan itu pada
hakikatnya sebagai replika dari bentuk gunung, ketika itu gunung dianggap
sebagi alam arwah yang abadi sehingga dipandang sebagai gunung suci (Soejono
1977:287). Dari bentuk, isi, serta orientasi sarkofakus dapat ditarik
kesimpulan tentang alam pikiran orang berkenaan dengan kepercayaan akan adanya
kehidupan sesudah mati. Kehidupan itu berlangsung disuatu tempat yang harus
dicapai oleh roh si mati dengan selamat. Tempat alam itu ada kalanya di gunung
atau di seberang laut yang jauh. Hal itu terbukti dengan arah hadap bagian
letak kepala sarkofagus membujur kearah bukit atau gunung yang terdekat. Oleh
karena itu seluruh kompleks alam pikiran yang berhubungan dengan dunia kematian
atau dalam bentuk luasnya berupa pemujaan kepada arwah leluhur.
2.2.2
Konsepsi Alam Pikiran Masa Hindu Budha
Adanya
pengaruh-pengaruh dari India pada abad-abad pertama tarikh Masehi sampai tahun
1500 dengan runtuhnya kerajaan Majapahit, telah membawa perubahan-perubahan
terhadap kebudayaan Indonesia asli. Pengaruh Hindu bukan saja mengantarkan
bangsa Indonesia memasuki zaman sejarah, tetai juga membawa perubahan dalam
susunan masyarakatnya, yaitu timbulnya kedudukan raja dan bentuk pemerintahan
kerajaan. Dengan demikian juga dalam alam pikiran mengalami penyempurnaan
dengan adanya bentuk keagamaan yang baru.
Keagamaan
dan pandangan hidup tersebut tersimpul dalam dua macam agama, ialah agama Hindu
dan Buddha. Kedua agama itu bersumber pada kitab suci Weda, yang merupakan
kitab suci bagi agama Hindu yang terdiri dari 4 himpunan (samhita), yaitu Rigweda,
Samaweda, Yajurweda, dan Atharwaweda. Keagamaan
zaman Weda itu mengenal adanya Brahmana atau Tuhan Yang Mahaesa dengan
disebutkan dalam Rigweda ‘Ekam ewa
adwityam Brahman’. Artinya ‘hanya ada satu kebenaran (Tuhan) tidak ada yang
kedua’. Disamping itu juga percaya akan adanya tenaga alam. Manifestasi yang
utama adalah tiga dewa (Trimurti), yaitu Dewa Pencipta (Dewa Brahma), Dewa
Pemelihara (Dewa Wisnu). Dan Dewa Perusak (Dewa Syiwa).
2.3
Local Genius Dalam Kehidupan Beragama
Setelah mengetahui
secara singkat konsep alam pikiran kebudayaan Indonesia asli, demikian pula
bentuk keagamaan baru yang datang dari India, nampaklah beberapa kemampuan
lokal dalam agama seperti dalam bentuk kepercayaan dan upacara keagamaan.
Kurun waktu yang
dipilih ialah abad ke 9 dan ke 14 M, yang oleh pemrasaran dianggap sebagai
abad-abad yang dapat mewakili periode kesenian Jawa Tengah dan Jawa Timur. periode-periode
tersebut mempunyai gaya-gaya
tersendiri. Jika periode Jawa Tengah dianggap sebagai periode klasik karena
pengaruh kebudayaan asing masih kuat dan menonjol, periode Jawa Timur dianggap
sebagai periode timbulnya kembali unsure-unsur kebudayaan asli atau kepribadian
bangsa makin menampakkan dirinya. Pengejawantahan dari perubahan gejala tadi
dapat kita lihat pada hasil seni patung dan seni bangunan. Jika dalam periode
Jawa Tengah agaknya para seniman (silpin)
masih memegang teguh ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang termuat
dalam kitab-kitab pedoman silpasastra, dengan
penggambaran arca-arcanya secara plastic dan naturalistis, dalam periode Jawa
Timur para silpin agaknya telah
menemukan kembali identitas atau kepribadiannya dengan penggambaran
arca-arcanya secara simbolis, kaku dan bentuknya kewayang-wayangan. Dilihat
sepintas lalu, orang akan menduga terjadi suatu kemerosotan (dekadensi,
degradasi) dalam seni, akan tetapi sebenarnya tidak demikian. Gejala itujustru
menampakkan adanya “regenerasi” dalam kesenian. Disinilah kita lihat peranan
apa yang disebut local genius atau
kepribadian atau identitas bangsa dalam proses pembentukan kebudayaan Indonesia
yang ber”bineka tunggal ika.”
a.
Local Genius dari abad ke-9
Abad sembilan dipilih karena dua
alasan yaitu karena abad ini meninggalkan banyak data antropologi dan beberapa
peninggalan karya sastra yang lengkap. Kedua dari abad ini dapat pula diketahui
secara menyeluruh bahwa bangsa ndoneisa benar-benar berperan dalam keagamaan.
Abad sembilan merupakan abad yang
subur bagi perkembangan agama, khususnya agama budha. Kesuburan inidapat
dilihat dari peninggalan arkeologi maupun fisiplogi yang ditemukan di India
maupun di Inonesia. Di Indoneisa ini banyak diketahui dari banyaknya candi yang
didirikan, sedangkan di India dapat diketahui dari pendirian beberapa pusat
studi agama Budha yang sekarang bisa dibandingkan dengan Universitas. Salahsatu
diantaranya adalah Nalanda.
Nalanda sebagai pusat studi agama
Budha tidak saja dihuni oleh oang India tapi juga dihuni oleh orang-rang dari
China, Tibet dan Indonesia. keberadaan orang Indonesia di Nalanda dapat
diketahui dari sumber prasastri dan arkeologi. Sumber prasasti menyebutkan di
Nalanda tinggal kurang lebih seribu orang pendeta, sehingga perlu didirikan
vihara untuk mereka. Rupanya mereka juga membawa sendiri patung-patung dari
perunggu atau mereka membuatnya sendiri di Nalanda mereka masih mempertahankan
gaya seni Jawa Tengahnya.
Sebagai pusat studi suasana yang
dikembangan di Nalanda adaah kebiasaan ilmiah dalam bentuk tradisi berdebat.
Adapun masalah yang diperdebatkan adalah ajaran agama berdasarkan berbagai
aliran yang dianut pada masa itu.
Sebagaimana diketahui Nalanda memberikan kesematan kepada siapapun untuk
mengajarkan agamanya kepada siapapun juga. Sebaliknya mereka harus siap mempertahankan
ajarannya itu dalam suatu perdebatan yang telah ditentukan aturannya, teerhadap
sanggahan dari aliran-aliran lain. Dengan sendirinya seoramhg guru yang kalah
dalam erdebatan ini tidak akan mampu menarik banyak murid. Mudah pula
dimengerti, bahwa pemimpin pusat studi ini adalah seorang yang belum pernah
tyerkalahkan dalam pedebatan.
Bahwa tradisi debat ini menduduki
tempat pentig dalam kehidupan beragamapada masa ini, dapat diketahui dari
beberapa naskah berbahasa Sansekerta. Tradisi ini pun dibawa pulang oleh
pendeta-pendeta Indonesia yang belajar disana. Setidak-tidaknya sebagaimana
naskah Sang Hyang Kamahayanikan (SHK).
Salah satu ciri Nalanda dibawah
pemerintahan Dinasti Pala adaah apa yang disebut dengan pala synthesis. Pada masa
ini terdapat suasana sintese antara aliran Paramita engan Mantrayana.
Sebagaimana diketahui, aliran yang kedua walaupun awalnya ajaran aliran yang
dirahasiakan namun di Nalanda mulai dituliskan secara utuh.
(a)
Sang Hyang Kamahayanikan (SHK)
Kemampuan untukmenyusun suatu
rumusan baru dari ajaran-ajaran agama yang telah dikuasai oleh pendeta
Indonesia, merupakan salah satu local
genius yang dapat kita ketahui sekarang. Kemampuan ini dapat kita lihat
melalui perwujudannya dalam bentuk karya sastra. Karya satra sedemikian ini
ialah Sang Hyang Kamahayanikan (SHK), sebuah
naskah keagamaan berbahasa sansekerta dan jawa kuno. Kitab ini menjadi penting
kedudukannya, karena merupakan satu-satunya naskakh terlengkap sampai sekarang
ini.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa
apabila kita anggap ajaran yang berkembang di Nalanda sebagai ajaran baku masa
itu, maka ajaran itu berbentuk suatu sintese antara Paramitaya dengan
Mantrayasa. Sintese ini kemudian dirumuskan dalam suatu karya sastra kuno Sang Hyang Kamahayanikan (SHK).
Penyusun Sang Hyang Kamahayanikan (SHK) menafsirkan pala synthesis sebagai proses pencapaian kebudayaan. Dalam hal ini,
Paramitayana diuraikan sebagai langkah awal yang harus dilalui oleh seseorang
untuk menuju kearah pencapaian kebudayaan. Pada tahap ini orang harus
mengumpulkan kebajikan, yaitu dengan melaksanakan ajaran menurut Paramitayana.
Tahap berikutnya adalah pencapaian kebijaksanaan engan cara yoga sebagaimana
yang diajarkan dalam Mantrayana. Sebagai jembatan yang dapat menghubungkan
kedua cara pebcapaian itu digunakan filsafat Yogacara. Filsafat ini
dipergunakan sebagai penghubung, karena mengajarkan bahwa kebudayaan dapat
dicapai melalui kebijakan yang diperoleh melalui yoga. Dengan demikian
penghubungan antara kedua ajaran tersebut dapat menjadi sangat halus.
Walaupun diatas pala synthesis dianggap sebagai ajaran
baku, namun sejauh penelitian agama Budha menunjukan sampai sekarang belum
pernah ditemukan, diluar SHK naskah yang berisi sintese secara lengkap. Dengan
diajarkannya Mantrayana maka orang mendapat kemungkinan memperoleh kebudayaan
pada waktu menempuh hidupnya.
Dengan demikian melihat isi dan
kenyataan bahwa pemaduan Pramitayana dan Mantrayanan belum pernah dirumuskan
dalam suatu karya sastra secara utuh maka dapa disimpulkan kemampuan atau
kegeniusan itu justru lebih terlihat menonjol, karen di India sendiri perumusan
yang demikian itu belum pernah ditemukan.
(b)
Candi Borobudur
Kemampuan
sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, dimana sesuatu ajaran dirumuskan
secara baru, sambil tetap mempertahankan hakekat ajaran yang baku, dapat
dikenali dari suatu bangunan candi, yaitu Candi Borobudur.
Apabila diatas
yang dikaji adalah kemampuan sastrawan, maka dari Candi Borobudur yang hendak
dikenali adalah keahlian perancangnya. Dalam usahanya untuk merumuskan sintese
itu menjadi suatu bentuk bangunan, ia juga menafsirkan sintese itu sebagai
tahap-tahap yang harus dilalui oleh orang yang hendak mencapai Kebudayaan.
Untuk melahirkan
gagasannya, perancang Borobudur memilih beberapa cerita yang diambilnya dai
khasanah kesusastraaan agama Budha. Selanjutnya, pilihan itu dirangkaikannya
menjadi jalinan suatu cerita yang urut dan utuh. Adapun cerita yang dipilihnya
itu ialah Mahakarmavi-banga, Jataka-mala, Avadana-Jataka, Lalitavistara, Gandavyuha,
dan Bhadracari. Semua cerita ini mencerminkan usaha manusia mengumpulkan
kebajikan melalui pelaksanaan Paramitayana.
Selanjutnya, ia
gambarkan pelaksanaan Mantrayana melalui perwujudannya dalam bentuk patung Lima
Tathagata. Ditinjau dari sudut ini, maka ajaran yang dipilih, apabila bisa
disejajarkan dengan SHK, adalah dari Guhyasamajatantra
Akhirnya,
pencapaian Kebudayaan dilukiskannya sebagai Tathagata dalam dharma cakra parvatana mudra . namun
demikian, karena pencapaian Kebudayaan itu ditujukan untuk dapat menolong orang
lain juga mampu mencapai Kebudayaan, maka patung Tathagata ini diletakkan dalam
stupa berongga dan bertulang-tulang. Gagasan semacam ini mungkin dirujuk dari
Saddharma pundarika. Akhirnya sebagai puncak perjalanan seorang manusia, yaitu
Mahaparinirvana, dilambangkannya sebagai stupa besar dipuncak candi.
b. Local Genius abad ke-14
Dari
abad ini, para ahli agama Indonesia tidak lagi terlalu melihat agama-agama
sebagai hasil atau tujuan akhir belaka, karena mereka menganggap bahwa agama
berakhir pada tujuan yang sama. Dengan demikian, maka agama yang melahirkan
berbagai aliran, bahkan dari lain agama, akhirnya akan sampai pada hasil yang
sama.
Konsep
yang demikian ini dirumuskan sebagai apa yang dikenal dengan istilah
Siwa-Budha. Dari istilah ini, dapat diketahui bahwa konsep ajaran yang demikian
tidaklah membedakan Siwa sebagai dewa tertinggi dari agama Saiva dengan Buda
sebagai tujuan terakhir dari penganut agama Buda. Dengan demikian, penganut
ajaran ini tidak lagi membedakan agama, yaitu apabila orang telah mencapai
tingkat yang tertinggi.
Kepercayaan
Syiwa-Budha yang diperkirakan mengalami perkembangan pada masa kerajaan di Jawa
Timur mulai tumbuh, dimulai sejak zaman Singosari. Menurut J.H.C Kern dan W.H
Rassers (1982:XVII) tumbuhnya Syiwa-Budha berpangal dari kepercayaan Jawa Purba
dengan klasifikasi kosmosnya atas dua bagian, sehingga agama Syiwa dan Budha
tidak lagi bersaing dan bermusuhan seperti yang terjadi di Jawa Tengah antara
dinasti Sailendra dengan Sanjaya. Juga menurut Zotmulder (dalam K.H.C Kern dan
W.H Rassers (1982:XVII) dikatakan bahwa dalam masa Kartanegara tela terjadi
penyelenggaraan upacara inisiasi di perkuburan yang mengandung upacara makan,
minum serta hubungan sex. Kemudian saat Kertanegara wafat dimakamkan sebagai
ardhanari maupun Syiwa- Budha.
Sampai
saat inidi India konsep semacam ini tidaklah ditemukan. Sebagaimana diketahui,
agama Buda telah punah pada waktu agama Islam masuk ke India. Disamping itu,
diantara agama-agama yang tergolong agama Hindu pun tidak mengenal perpaduan
yang demikian itu.
Sebagaimana
halnya dengan perpaduan yang terjadi diabad Sembilan, yaitu sintese
Paramitayana dengan Mantrayana, maka perpaduan Siwa-Budha pun diwujudkan
kedalam karya sastra dan arkeologi.
Dari
penjelasan mengenai perkembangan local genius dalma kurun waktu abad ke
sembilan dan ke empat belas nampak terlihat beberapa kemampuan lokal dalam
agama seperti dalam bentuk kepercayaan dan upacara keagamaan
Dalam kepercayaan
nampak pemujaan arwah nenek moyang (asli Indonesia) berdampingan dengan
pemujaan Tuhan Mahaesa beserta manifestasinya yaitu para dewa (dari agama
Hindu). Hal ini terlihat dalam candi tempat terjadinya penggabungan antara
penyembahan dewa dan pemujaan roh nenek moyang. Unsur dewa menyediakan zat
rohaniah dan menurun dari rongga atap candi ke dalam arca, sedang unsur nenek
moyang yang menyediakan zat jasmaniah dari dalam perigi candi, sehingga pada
waktu upacara arca perwujudan itu menjadi hidup. Unsurb jasmaniah diwakili oleh
pripih, bukan abu jenazah (R.
Soekmono 1974:218).
Demikianlah pura di
Bali bersifat Dwifungsi, yaitu tempat pemujaan roh suci leluhur (Bhatara) asli
Indonesia dan Hyang Widhi Wasa (Tuhan
Mahaesa) beserta para dewa ( pengaruh
dari agama Hindu).
Orang yang meninggal
dan dikubur dalam srkofagus itu dianggap akan mengalami kelahiran kembali dalam
kehidupan baru. Anggapan itu ditampakkan oleh sarkofagus yang bidang-bidang
atas dan bawahnya dipahat dalam bentuk genitalis
yang stilistik serta simetris seperti gaya Ambyarsari (Soejono 1977:267).
Kepercayaan tentang kelahiran kembali bagi seseorang masih tetap melanjut
setelah hinduisme; salah satu sradha (kepercayaan)
dari pascasradha agama hindu adalah
punarbhawa yang berarti ‘kelahiran kembali’.
Pada masa perundagian
terdapat kepercayaan gunung sebagai alam arwah sehingga gunung dianggap sebagai
alam dan sebagai tiruan alam suci itu dibuatlah bangunan untuk yang disusun
bertingkat-tingkat makin ke atas makin mengecil. Setelah pengaruh kebudayaan
Hindu masuk ke Indonesia, anggapan tentang gunung sebagai tempat tinggal roh
nenek moyang masih tetap dilanjutkan, di samping gunung dianggap sthana para
dewa. Untuk kepentingan pemujaan, untuk
dewa-dewa itu dibuatkan arca-arca yang kemudian ditempatkan dalam suatu
bangunan, didirikan dengan bentuk tiruan dari tempat dewa-dewa itu dibuatlah
arca-arca yang kemudian ditempatkan dalam suatu bangunan, didirikan dengan
bentuk tiruan dari tempat dewa-dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru (Van
Romondt 1951:51).
Dalam seni bangunan
keagamaan terlihat unsur-unsur kemampuan lokal yang melanjut terus pada masa
belakangan. Hal ini dapat disaksikan stupa Borobudur yang dibangun pada tahun
824 ketika pemerintah Raja Samaratungga. Apabila diperhatikan arsitekturnya,
Borobudur tidak dibangun sesuai bentuk India, tetapi menujukkan aspek-aspek
bangunan undak yang terdiri dari 10 undak. Bentuk bangunan undak itu kebiasaan
dari zaman megalitik yang berfungsi sebagai tempat pemujaan leluhur (Sutjipto
Wirjosuparto 1964:2) bentuk seni bangunan candi yang tergolong periode akhir
Majapahit menunjukkan bangunan undak yang tinggi, misalnya Candi Sukuh dan
Candi Ceto.
Demikian pula bila kita
memperhatikan struktur halaman pura di Bali yang terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu halaman luar (jabaan), halaman tengah (jaba tengah), dan halaman paling
dalam (jeroan) tempat terdapat bangunan-bangunan suci. Masing-masing halaman
dibangun dalam posisi makin meninggi sehingga yang tertinggi adalah halaman
jeroan. Dengan demikian pembagian atasn tiga bagian itu ditempatkan dalam
posisi yang sejajar, sedangkan pada candi-candi di Jawa pembagian atas tiga
bagian ditempatkan dalam posisi vertikal. Pembagian denah atas tiga bagian yang
horisontal ini terlihat pada Candi Panataran di Jawa Timur.
Pada zaman megalitik,
kerbau mempunyai kedudukan yang penting dalam kehidupan sosial ekonomis dan
religius kultural bangsa Indonesia. Pada waktu itu Kepulauan Indonesia menjadi
pusat kultus kerbau: kerbau dijadikan
binatang kurban di dalam upacara-upacara tertentu, seperti upacara kematian.
Kecuali dianggap binatang suci yang dikurbankan dalam upacara-upacara keagamaan,
kerbau juga dianggap sebagai sumber kekuatan magis yang sering sekali
dihubungkan dengan kultur nenek moyang dan upacara kemakmuran atau kesuburan
(Sutaba 1970:12).
Kerbau dianggap pula
sebagai kendaraan bagi arwah nenek moyan. Dalam hubungan itu kerbau dimaksudkan
juga sebagai suatu unsur dalam sistem dualisme (bipartite system) yang membagi
alasemesta dua hal atau golongan yang saling bertentangan, misalnya dunia atas
dan dunia bawah serta unsur laki-laki dan wanita. Di dalam sistem ini, kerbau
termasuk ke dalam golongan bumi, air, dan sebagainya (Van Der Hoop
1949:130-137).
Penggunanaan kerbau
sebagai binatang kurban yang mempunyai makna yang penting bagi upacara-upacara
tertentu pada zaman megalitik melanjut sampai sekarang pada beberapa suku di
Indonesia, diantaranya di Bali. Sebagai contoh di Bali dikenal upacara Pakelem
dan Titimamah.
Upacara Pakelem adalah
kurban kerbau yang dilakukan di laut, danau atau gunung, bertujuan sebagai
sarana simbollis untuk mengharmoniskan hubungan makrokosmos dengan mikrokosmos
sehingga dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Upacara titimamah
juga mempergunakan kerbau, tetapi telah dikuliti sebagai simbol turunnya Tuhan
ke bumi dengan perantara menginjak kepala kerbau, karena kerbau adalah lambang
bumi. Bahkan dewasa ini masih dikerjakan penanaman kepala kerbau sebagai
upacara selamatan pada waktu pembangunan gedung-gedung, jembatan dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi. 1986. Kepribadiain Budaya Bangsa (Local Genius).
Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2.
Yogyakarta : Kanisius.
3 komentar:
gak malu ya NYONTEK abis artikel Prof.Dr.Noerhadi MAGETSARI - beliau itu salah satu Dr.Emeritus (tertinggi) di Universitas Indonesia
Maaf ya sebelumnya,,,,
tugas mata kuliah multikultural ini,, referensi yg aku pake udah aku cantumin di daftar pustaka,, termasuk artikel yg kamu mksd itu ada di buku kepribadian budaya bangsa,,,,
Waah cukup lumayan, nambah wawasan saya ttg unsur-unsur budaya Nusantara. Mau nanya nih, klw ada kirimi yg masa pra aksara...🙏🙏
Posting Komentar