Pages

Mei 02, 2015

LOKAL GENIUS DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA



(Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan)
Dosen Pengampu mata kuliah Drs. Sumarno M.Pd.
 
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Sebagai akibat berpengaruh Hindu atas kebudayaan Asian Tenggara, timbullah istilah indianisasi. Akhirnya istilah ini menarik perhatian dikalangan para sarjana sejarah budaya serta melahirkan pendapat yang berbeda-beda. Ada para ahli yang menggambarkan hubungan antara kedua kawasan dengan istilah kolonisasi, dimana digambarkan superioritas bangsa India terhadap bangsa Asia Tenggara. Semua gejala hinduisme di Indonesia dianggap sebagai buah pikiran dan tangan hindu, yaitu India, sedang unsur Indonesia tidak diberikan peranan samasekali.
            Perkembangan selanjutnya menunjukkan kemajuan cara berpikir, dan oleh beberapa ahli peranan kebudayaan asli mulai diperhitungkan. Hal ini atas kesadaran bahwa kebudayaan Indonesia asli sudah mencapai suatu tingkatan yang tinggi terutama dari masa bercocok tanam dan perundagian sehingga siap menerima unsur-unsur kebudayaan India

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belaakang diatas maka rumusan permasalahan dalam peneitian adalah sebagai berikut :
1)      Apa yang dimaksud dengan local genius ?
2)      Bagaimana konsepsi Alam Pikiran Masyarakat Indonesia ?
3)      Bagaimana local genius dalam kehidupan beragama ?

1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusana permasalahahn diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam karya tulis ini adalaah :
1)      Untuk mengetahui dan memahami pengertian local genius;
2)      Untuk mengetahui dan memahami konsepsi Alam Pikiran Masyarakat Indonesia
3)      Untuk mengetahui dan memahami local genius dalam kehidupan beragama
 

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Local Genius
Local genius atau identitas kebudayaan, identitas bangsa, kebudayaan asli, kebudayaan tradisonal, kepribadian untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh H. G. Quaritch Wales dalam bukunya The Making of Greater India: A Study of South-east Asian Culture Change (1948-49). Istilah local genius yang dimaksudkan oleh Quaritch Wales  adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan. Sebagai akibat dari hubungan itu terjadilah proses akulturasi, dimana kebudayaan setempat menerima pengaruh kebudayaan asing singkatnya adalah menjelaskan pergeseran dan perubahan kebudayaan dari suatu bangsa. Istilah itu mengandung arti “cirri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh sebagian besar rakyat bangsa sebagai hasil pengalaman hidupnya dimasa lalu”, sedangkan yang dimaksudkan dengan kata local ialah unsure-unsur kebudayaan dari kurun waktu pra-Hindu atau prasejarah. Untuk mengembangkan hipotesanya itu Quaritch Wales pada dasarnya menggunakan konsep R. von Heine Geldern mengenai adanya dua gaya seni dalam kebudayaan mengalithikum; yang lebih tua dan yang lebih muda dengan cirinya masing-masing.
Pengertian ini ia peroleh dari pengamatannya atas hubungan yang terjadi pada waktu kebudayaan Indonesia meneruma pngaruh ebudayaan India. Sebaliknya di Indonesia bagian timur kebudayaaan India itu hanya merupakan perangsang bagi perkembangan budaya setempat. Dalam hal ini ia melihat bahwa kebudayaan setempat itu, yaitu kebudayaan prasejarah tetap mampu mempertahankakn salalh satu unsur kebudayaannnya yaitu ragam hias geometris. Kemampuan inilah yang secaranyata ia maksudkan sebagai local genius itu.
Konsep Quaritch Wales itu ditolak oleh FDK Bosch dalam makalahnya Local Genius en Oud-Javaanse Kunst (Med. KNA W 1952). Dalam kerangkan itu Bosch menolak istilah local genius dan menggantikannya dengan genius lain, yang artinya ‘bakat’ dan ‘kemampuan’ luar biasa orang-orang Jawa dalam mengolah atau mencipta kembali (herscheppen) sesuatu karya. Bosch lebih menitik berat perhatiannya pada pelaku penerima kebudayaan itu. Menurut pendapatnya proses penerimaan kebudayaan itu dilakukan oleh para pendeta Indonesia. para pendeta ini mula-mula pergi untuk menuntut ilmu ke India, serta kemudian kembali ke Indonesia. setibanya di Indonesia mereka kemudian mengamalkan ilmu yang mereka peroleh. Hasil pengalaman mereka yang samappi pada saat ini adalah candi dan karya sastra.
Dari data diatas jelas ada dua pendapat atau paham yang berbeda mengenai arti local genius. Quaritch Wales lebih menekankan konsepsinya pada aspek fisik kebudayaan, sedangkan Bosch melihatnya dari peranan pelakunya. Paham yang baru nanti hendaknya mengandung unsure-unsur yang idenya telah ditemukan oleh Quaritch Wales  dan Bosch, tetpai terbatas pada kurun waktu tertentu, oleh karena paham itu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan alam pikiran dari pendukung kebudayaan itu. Prekembangan itu bahkan dapat kita amati berlangsung sampai zaman sekarang. sebagai contoh beberapa kegiatan upacara tradisional yang masih hidup hampir seluruh nusantara, seperti upacara mulai panen padi dengan mnghormati dewi padi (Dewi Sri, Nyi Pohaci Sanghyang Sri) dan permulaan panen tebu (cembengan). Adat istiadat dan upacara-upacara tradisional itu pada mulanya belum dikenal dalam zaman prasejarah atau zaman pra-Hindu. Jadi jelas bahwa tradisi-tradisi itu tumbuh dan timbul serta berkembang baru sesudah zaman prasejarah.

2.2    Konsepsi Alam Pikiran Masyarakat Indonesia
2.2.1   Konsepsi Alam Pikiran Masa Prasejarah
Masa perundagian adalah puncak segala kemajuan yang berhasil dicapai yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari masa bercocok tanam. Penduduk yang hidup bergabung dalam suatu desa, sudah berhasil mencapai suatu taraf yang baik sekali dengan penguasaan teknologi yang tinggi seperti teknik pembuatan gerabah dan kepandaian menuang perunggu. Masa perundagian telah menghasilkan kebudayaan Indonesia asli yang bernilai tinggi, karena dijiwai oleh konsepsi alam pikiran atau keagamaan yang hidup dalam masyarakat pada waktu itu.
Sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati, adalah percaya bahwa arwah seseorang tidak lenyap pda saat orang meninggal, tetapi tetap hidup serta roh memiliki kelanjutan dalam ujud-ujud rohanianya. Karena itu roh leluhur itu dianggap sangat mempengaruhi jalan kehidupan keturunannya didunia ini (Sartono Kartidirdjo dkk, 1975:190)
Sebagai medium penghormatan yang menjadi takhta kedatangan roh dibuatkan menhir yang biasa ditempatkan pada bangunan undak, bangunan undak itu berbentuk tersusun satu diatas yang lain dan kian ke atas bentuknya makin kecil. Bangunan itu pada hakikatnya sebagai replika dari bentuk gunung, ketika itu gunung dianggap sebagi alam arwah yang abadi sehingga dipandang sebagai gunung suci (Soejono 1977:287). Dari bentuk, isi, serta orientasi sarkofakus dapat ditarik kesimpulan tentang alam pikiran orang berkenaan dengan kepercayaan akan adanya kehidupan sesudah mati. Kehidupan itu berlangsung disuatu tempat yang harus dicapai oleh roh si mati dengan selamat. Tempat alam itu ada kalanya di gunung atau di seberang laut yang jauh. Hal itu terbukti dengan arah hadap bagian letak kepala sarkofagus membujur kearah bukit atau gunung yang terdekat. Oleh karena itu seluruh kompleks alam pikiran yang berhubungan dengan dunia kematian atau dalam bentuk luasnya berupa pemujaan kepada arwah leluhur.
2.2.2        Konsepsi Alam Pikiran Masa Hindu Budha
Adanya pengaruh-pengaruh dari India pada abad-abad pertama tarikh Masehi sampai tahun 1500 dengan runtuhnya kerajaan Majapahit, telah membawa perubahan-perubahan terhadap kebudayaan Indonesia asli. Pengaruh Hindu bukan saja mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman sejarah, tetai juga membawa perubahan dalam susunan masyarakatnya, yaitu timbulnya kedudukan raja dan bentuk pemerintahan kerajaan. Dengan demikian juga dalam alam pikiran mengalami penyempurnaan dengan adanya bentuk keagamaan yang baru.
Keagamaan dan pandangan hidup tersebut tersimpul dalam dua macam agama, ialah agama Hindu dan Buddha. Kedua agama itu bersumber pada kitab suci Weda, yang merupakan kitab suci bagi agama Hindu yang terdiri dari 4 himpunan (samhita), yaitu Rigweda, Samaweda,  Yajurweda, dan Atharwaweda. Keagamaan zaman Weda itu mengenal adanya Brahmana atau Tuhan Yang Mahaesa dengan disebutkan dalam Rigweda ‘Ekam ewa adwityam Brahman’. Artinya ‘hanya ada satu kebenaran (Tuhan) tidak ada yang kedua’. Disamping itu juga percaya akan adanya tenaga alam. Manifestasi yang utama adalah tiga dewa (Trimurti), yaitu Dewa Pencipta (Dewa Brahma), Dewa Pemelihara (Dewa Wisnu). Dan Dewa Perusak (Dewa Syiwa).

2.3    Local Genius Dalam Kehidupan Beragama
Setelah mengetahui secara singkat konsep alam pikiran kebudayaan Indonesia asli, demikian pula bentuk keagamaan baru yang datang dari India, nampaklah beberapa kemampuan lokal dalam agama seperti dalam bentuk kepercayaan dan upacara keagamaan.
Kurun waktu yang dipilih ialah abad ke 9 dan ke 14 M, yang oleh pemrasaran dianggap sebagai abad-abad yang dapat mewakili periode kesenian Jawa Tengah dan Jawa Timur. periode-periode tersebut mempunyai gaya-gaya tersendiri. Jika periode Jawa Tengah dianggap sebagai periode klasik karena pengaruh kebudayaan asing masih kuat dan menonjol, periode Jawa Timur dianggap sebagai periode timbulnya kembali unsure-unsur kebudayaan asli atau kepribadian bangsa makin menampakkan dirinya. Pengejawantahan dari perubahan gejala tadi dapat kita lihat pada hasil seni patung dan seni bangunan. Jika dalam periode Jawa Tengah agaknya para seniman (silpin) masih memegang teguh ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang termuat dalam kitab-kitab pedoman silpasastra, dengan penggambaran arca-arcanya secara plastic dan naturalistis, dalam periode Jawa Timur para silpin agaknya telah menemukan kembali identitas atau kepribadiannya dengan penggambaran arca-arcanya secara simbolis, kaku dan bentuknya kewayang-wayangan. Dilihat sepintas lalu, orang akan menduga terjadi suatu kemerosotan (dekadensi, degradasi) dalam seni, akan tetapi sebenarnya tidak demikian. Gejala itujustru menampakkan adanya “regenerasi” dalam kesenian. Disinilah kita lihat peranan apa yang disebut local genius atau kepribadian atau identitas bangsa dalam proses pembentukan kebudayaan Indonesia yang ber”bineka tunggal ika.”
a.    Local Genius  dari abad ke-9
Abad sembilan dipilih karena dua alasan yaitu karena abad ini meninggalkan banyak data antropologi dan beberapa peninggalan karya sastra yang lengkap. Kedua dari abad ini dapat pula diketahui secara menyeluruh bahwa bangsa ndoneisa benar-benar berperan dalam keagamaan.
Abad sembilan merupakan abad yang subur bagi perkembangan agama, khususnya agama budha. Kesuburan inidapat dilihat dari peninggalan arkeologi maupun fisiplogi yang ditemukan di India maupun di Inonesia. Di Indoneisa ini banyak diketahui dari banyaknya candi yang didirikan, sedangkan di India dapat diketahui dari pendirian beberapa pusat studi agama Budha yang sekarang bisa dibandingkan dengan Universitas. Salahsatu diantaranya adalah Nalanda.
Nalanda sebagai pusat studi agama Budha tidak saja dihuni oleh oang India tapi juga dihuni oleh orang-rang dari China, Tibet dan Indonesia. keberadaan orang Indonesia di Nalanda dapat diketahui dari sumber prasastri dan arkeologi. Sumber prasasti menyebutkan di Nalanda tinggal kurang lebih seribu orang pendeta, sehingga perlu didirikan vihara untuk mereka. Rupanya mereka juga membawa sendiri patung-patung dari perunggu atau mereka membuatnya sendiri di Nalanda mereka masih mempertahankan gaya seni Jawa Tengahnya.
Sebagai pusat studi suasana yang dikembangan di Nalanda adaah kebiasaan ilmiah dalam bentuk tradisi berdebat. Adapun masalah yang diperdebatkan adalah ajaran agama berdasarkan berbagai aliran yang dianut pada masa itu.  Sebagaimana diketahui Nalanda memberikan kesematan kepada siapapun untuk mengajarkan agamanya kepada siapapun juga. Sebaliknya mereka harus siap mempertahankan ajarannya itu dalam suatu perdebatan yang telah ditentukan aturannya, teerhadap sanggahan dari aliran-aliran lain. Dengan sendirinya seoramhg guru yang kalah dalam erdebatan ini tidak akan mampu menarik banyak murid. Mudah pula dimengerti, bahwa pemimpin pusat studi ini adalah seorang yang belum pernah tyerkalahkan dalam pedebatan.
Bahwa tradisi debat ini menduduki tempat pentig dalam kehidupan beragamapada masa ini, dapat diketahui dari beberapa naskah berbahasa Sansekerta. Tradisi ini pun dibawa pulang oleh pendeta-pendeta Indonesia yang belajar disana. Setidak-tidaknya sebagaimana naskah Sang Hyang Kamahayanikan (SHK).
Salah satu ciri Nalanda dibawah pemerintahan Dinasti Pala adaah apa yang disebut dengan pala synthesis.  Pada masa ini terdapat suasana sintese antara aliran Paramita engan Mantrayana. Sebagaimana diketahui, aliran yang kedua walaupun awalnya ajaran aliran yang dirahasiakan namun di Nalanda mulai dituliskan secara utuh.
(a)     Sang Hyang Kamahayanikan (SHK)
Kemampuan untukmenyusun suatu rumusan baru dari ajaran-ajaran agama yang telah dikuasai oleh pendeta Indonesia, merupakan salah satu local genius yang dapat kita ketahui sekarang. Kemampuan ini dapat kita lihat melalui perwujudannya dalam bentuk karya sastra. Karya satra sedemikian ini ialah Sang Hyang Kamahayanikan (SHK), sebuah naskah keagamaan berbahasa sansekerta dan jawa kuno. Kitab ini menjadi penting kedudukannya, karena merupakan satu-satunya naskakh terlengkap sampai sekarang ini.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa apabila kita anggap ajaran yang berkembang di Nalanda sebagai ajaran baku masa itu, maka ajaran itu berbentuk suatu sintese antara Paramitaya dengan Mantrayasa. Sintese ini kemudian dirumuskan dalam suatu karya sastra kuno Sang Hyang Kamahayanikan (SHK).
Penyusun Sang Hyang Kamahayanikan (SHK) menafsirkan pala synthesis sebagai proses pencapaian kebudayaan. Dalam hal ini, Paramitayana diuraikan sebagai langkah awal yang harus dilalui oleh seseorang untuk menuju kearah pencapaian kebudayaan. Pada tahap ini orang harus mengumpulkan kebajikan, yaitu dengan melaksanakan ajaran menurut Paramitayana. Tahap berikutnya adalah pencapaian kebijaksanaan engan cara yoga sebagaimana yang diajarkan dalam Mantrayana. Sebagai jembatan yang dapat menghubungkan kedua cara pebcapaian itu digunakan filsafat Yogacara. Filsafat ini dipergunakan sebagai penghubung, karena mengajarkan bahwa kebudayaan dapat dicapai melalui kebijakan yang diperoleh melalui yoga. Dengan demikian penghubungan antara kedua ajaran tersebut dapat menjadi sangat halus.
Walaupun diatas pala synthesis dianggap sebagai ajaran baku, namun sejauh penelitian agama Budha menunjukan sampai sekarang belum pernah ditemukan, diluar SHK naskah yang berisi sintese secara lengkap. Dengan diajarkannya Mantrayana maka orang mendapat kemungkinan memperoleh kebudayaan pada waktu menempuh hidupnya.
Dengan demikian melihat isi dan kenyataan bahwa pemaduan Pramitayana dan Mantrayanan belum pernah dirumuskan dalam suatu karya sastra secara utuh maka dapa disimpulkan kemampuan atau kegeniusan itu justru lebih terlihat menonjol, karen di India sendiri perumusan yang demikian itu belum pernah ditemukan.
(b)      Candi Borobudur
Kemampuan sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, dimana sesuatu ajaran dirumuskan secara baru, sambil tetap mempertahankan hakekat ajaran yang baku, dapat dikenali dari suatu bangunan candi, yaitu Candi Borobudur.
Apabila diatas yang dikaji adalah kemampuan sastrawan, maka dari Candi Borobudur yang hendak dikenali adalah keahlian perancangnya. Dalam usahanya untuk merumuskan sintese itu menjadi suatu bentuk bangunan, ia juga menafsirkan sintese itu sebagai tahap-tahap yang harus dilalui oleh orang yang hendak mencapai Kebudayaan.
Untuk melahirkan gagasannya, perancang Borobudur memilih beberapa cerita yang diambilnya dai khasanah kesusastraaan agama Budha. Selanjutnya, pilihan itu dirangkaikannya menjadi jalinan suatu cerita yang urut dan utuh. Adapun cerita yang dipilihnya itu ialah Mahakarmavi-banga, Jataka-mala, Avadana-Jataka, Lalitavistara, Gandavyuha, dan Bhadracari. Semua cerita ini mencerminkan usaha manusia mengumpulkan kebajikan melalui pelaksanaan Paramitayana.
Selanjutnya, ia gambarkan pelaksanaan Mantrayana melalui perwujudannya dalam bentuk patung Lima Tathagata. Ditinjau dari sudut ini, maka ajaran yang dipilih, apabila bisa disejajarkan dengan SHK, adalah dari Guhyasamajatantra
Akhirnya, pencapaian Kebudayaan dilukiskannya sebagai Tathagata dalam dharma cakra parvatana mudra . namun demikian, karena pencapaian Kebudayaan itu ditujukan untuk dapat menolong orang lain juga mampu mencapai Kebudayaan, maka patung Tathagata ini diletakkan dalam stupa berongga dan bertulang-tulang. Gagasan semacam ini mungkin dirujuk dari Saddharma pundarika. Akhirnya sebagai puncak perjalanan seorang manusia, yaitu Mahaparinirvana, dilambangkannya sebagai stupa besar dipuncak candi.
b.    Local Genius abad ke-14
Dari abad ini, para ahli agama Indonesia tidak lagi terlalu melihat agama-agama sebagai hasil atau tujuan akhir belaka, karena mereka menganggap bahwa agama berakhir pada tujuan yang sama. Dengan demikian, maka agama yang melahirkan berbagai aliran, bahkan dari lain agama, akhirnya akan sampai pada hasil yang sama.
Konsep yang demikian ini dirumuskan sebagai apa yang dikenal dengan istilah Siwa-Budha. Dari istilah ini, dapat diketahui bahwa konsep ajaran yang demikian tidaklah membedakan Siwa sebagai dewa tertinggi dari agama Saiva dengan Buda sebagai tujuan terakhir dari penganut agama Buda. Dengan demikian, penganut ajaran ini tidak lagi membedakan agama, yaitu apabila orang telah mencapai tingkat yang tertinggi.
Kepercayaan Syiwa-Budha yang diperkirakan mengalami perkembangan pada masa kerajaan di Jawa Timur mulai tumbuh, dimulai sejak zaman Singosari. Menurut J.H.C Kern dan W.H Rassers (1982:XVII) tumbuhnya Syiwa-Budha berpangal dari kepercayaan Jawa Purba dengan klasifikasi kosmosnya atas dua bagian, sehingga agama Syiwa dan Budha tidak lagi bersaing dan bermusuhan seperti yang terjadi di Jawa Tengah antara dinasti Sailendra dengan Sanjaya. Juga menurut Zotmulder (dalam K.H.C Kern dan W.H Rassers (1982:XVII) dikatakan bahwa dalam masa Kartanegara tela terjadi penyelenggaraan upacara inisiasi di perkuburan yang mengandung upacara makan, minum serta hubungan sex. Kemudian saat Kertanegara wafat dimakamkan sebagai ardhanari maupun Syiwa- Budha.
Sampai saat inidi India konsep semacam ini tidaklah ditemukan. Sebagaimana diketahui, agama Buda telah punah pada waktu agama Islam masuk ke India. Disamping itu, diantara agama-agama yang tergolong agama Hindu pun tidak mengenal perpaduan yang demikian itu.
Sebagaimana halnya dengan perpaduan yang terjadi diabad Sembilan, yaitu sintese Paramitayana dengan Mantrayana, maka perpaduan Siwa-Budha pun diwujudkan kedalam karya sastra dan arkeologi.
Dari penjelasan mengenai perkembangan local genius dalma kurun waktu abad ke sembilan dan ke empat belas nampak terlihat beberapa kemampuan lokal dalam agama seperti dalam bentuk kepercayaan dan upacara keagamaan
Dalam kepercayaan nampak pemujaan arwah nenek moyang (asli Indonesia) berdampingan dengan pemujaan Tuhan Mahaesa beserta manifestasinya yaitu para dewa (dari agama Hindu). Hal ini terlihat dalam candi tempat terjadinya penggabungan antara penyembahan dewa dan pemujaan roh nenek moyang. Unsur dewa menyediakan zat rohaniah dan menurun dari rongga atap candi ke dalam arca, sedang unsur nenek moyang yang menyediakan zat jasmaniah dari dalam perigi candi, sehingga pada waktu upacara arca perwujudan itu menjadi hidup. Unsurb jasmaniah diwakili oleh pripih, bukan abu jenazah (R. Soekmono 1974:218).
Demikianlah pura di Bali bersifat Dwifungsi, yaitu tempat pemujaan roh suci leluhur (Bhatara) asli Indonesia dan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Mahaesa) beserta para dewa ( pengaruh dari agama Hindu).
Orang yang meninggal dan dikubur dalam srkofagus itu dianggap akan mengalami kelahiran kembali dalam kehidupan baru. Anggapan itu ditampakkan oleh sarkofagus yang bidang-bidang atas dan bawahnya dipahat dalam bentuk genitalis yang stilistik serta simetris seperti gaya Ambyarsari (Soejono 1977:267). Kepercayaan tentang kelahiran kembali bagi seseorang masih tetap melanjut setelah hinduisme; salah satu sradha (kepercayaan) dari pascasradha agama hindu adalah punarbhawa yang berarti ‘kelahiran kembali’.
Pada masa perundagian terdapat kepercayaan gunung sebagai alam arwah sehingga gunung dianggap sebagai alam dan sebagai tiruan alam suci itu dibuatlah bangunan untuk yang disusun bertingkat-tingkat makin ke atas makin mengecil. Setelah pengaruh kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia, anggapan tentang gunung sebagai tempat tinggal roh nenek moyang masih tetap dilanjutkan, di samping gunung dianggap sthana para dewa. Untuk kepentingan pemujaan,  untuk dewa-dewa itu dibuatkan arca-arca yang kemudian ditempatkan dalam suatu bangunan, didirikan dengan bentuk tiruan dari tempat dewa-dewa itu dibuatlah arca-arca yang kemudian ditempatkan dalam suatu bangunan, didirikan dengan bentuk tiruan dari tempat dewa-dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru (Van Romondt 1951:51).
Dalam seni bangunan keagamaan terlihat unsur-unsur kemampuan lokal yang melanjut terus pada masa belakangan. Hal ini dapat disaksikan stupa Borobudur yang dibangun pada tahun 824 ketika pemerintah Raja Samaratungga. Apabila diperhatikan arsitekturnya, Borobudur tidak dibangun sesuai bentuk India, tetapi menujukkan aspek-aspek bangunan undak yang terdiri dari 10 undak. Bentuk bangunan undak itu kebiasaan dari zaman megalitik yang berfungsi sebagai tempat pemujaan leluhur (Sutjipto Wirjosuparto 1964:2) bentuk seni bangunan candi yang tergolong periode akhir Majapahit menunjukkan bangunan undak yang tinggi, misalnya Candi Sukuh dan Candi Ceto.
Demikian pula bila kita memperhatikan struktur halaman pura di Bali yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu halaman luar (jabaan), halaman tengah (jaba tengah), dan halaman paling dalam (jeroan) tempat terdapat bangunan-bangunan suci. Masing-masing halaman dibangun dalam posisi makin meninggi sehingga yang tertinggi adalah halaman jeroan. Dengan demikian pembagian atasn tiga bagian itu ditempatkan dalam posisi yang sejajar, sedangkan pada candi-candi di Jawa pembagian atas tiga bagian ditempatkan dalam posisi vertikal. Pembagian denah atas tiga bagian yang horisontal ini terlihat pada Candi Panataran di Jawa Timur.
Pada zaman megalitik, kerbau mempunyai kedudukan yang penting dalam kehidupan sosial ekonomis dan religius kultural bangsa Indonesia. Pada waktu itu Kepulauan Indonesia menjadi pusat kultus kerbau:  kerbau dijadikan binatang kurban di dalam upacara-upacara tertentu, seperti upacara kematian. Kecuali dianggap binatang suci yang dikurbankan dalam upacara-upacara keagamaan, kerbau juga dianggap sebagai sumber kekuatan magis yang sering sekali dihubungkan dengan kultur nenek moyang dan upacara kemakmuran atau kesuburan (Sutaba 1970:12).
Kerbau dianggap pula sebagai kendaraan bagi arwah nenek moyan. Dalam hubungan itu kerbau dimaksudkan juga sebagai suatu unsur dalam sistem dualisme (bipartite system) yang membagi alasemesta dua hal atau golongan yang saling bertentangan, misalnya dunia atas dan dunia bawah serta unsur laki-laki dan wanita. Di dalam sistem ini, kerbau termasuk ke dalam golongan bumi, air, dan sebagainya (Van Der Hoop 1949:130-137).
Penggunanaan kerbau sebagai binatang kurban yang mempunyai makna yang penting bagi upacara-upacara tertentu pada zaman megalitik melanjut sampai sekarang pada beberapa suku di Indonesia, diantaranya di Bali. Sebagai contoh di Bali dikenal upacara Pakelem dan Titimamah.
Upacara Pakelem adalah kurban kerbau yang dilakukan di laut, danau atau gunung, bertujuan sebagai sarana simbollis untuk mengharmoniskan hubungan makrokosmos dengan mikrokosmos sehingga dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Upacara titimamah juga mempergunakan kerbau, tetapi telah dikuliti sebagai simbol turunnya Tuhan ke bumi dengan perantara menginjak kepala kerbau, karena kerbau adalah lambang bumi. Bahkan dewasa ini masih dikerjakan penanaman kepala kerbau sebagai upacara selamatan pada waktu pembangunan gedung-gedung, jembatan dan lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. 1986. Kepribadiain Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta : Kanisius.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

gak malu ya NYONTEK abis artikel Prof.Dr.Noerhadi MAGETSARI - beliau itu salah satu Dr.Emeritus (tertinggi) di Universitas Indonesia

Unknown mengatakan...

Maaf ya sebelumnya,,,,
tugas mata kuliah multikultural ini,, referensi yg aku pake udah aku cantumin di daftar pustaka,, termasuk artikel yg kamu mksd itu ada di buku kepribadian budaya bangsa,,,,

Unknown mengatakan...

Waah cukup lumayan, nambah wawasan saya ttg unsur-unsur budaya Nusantara. Mau nanya nih, klw ada kirimi yg masa pra aksara...🙏🙏

LOKAL GENIUS DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA



(Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan)
Dosen Pengampu mata kuliah Drs. Sumarno M.Pd.
 
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Sebagai akibat berpengaruh Hindu atas kebudayaan Asian Tenggara, timbullah istilah indianisasi. Akhirnya istilah ini menarik perhatian dikalangan para sarjana sejarah budaya serta melahirkan pendapat yang berbeda-beda. Ada para ahli yang menggambarkan hubungan antara kedua kawasan dengan istilah kolonisasi, dimana digambarkan superioritas bangsa India terhadap bangsa Asia Tenggara. Semua gejala hinduisme di Indonesia dianggap sebagai buah pikiran dan tangan hindu, yaitu India, sedang unsur Indonesia tidak diberikan peranan samasekali.
            Perkembangan selanjutnya menunjukkan kemajuan cara berpikir, dan oleh beberapa ahli peranan kebudayaan asli mulai diperhitungkan. Hal ini atas kesadaran bahwa kebudayaan Indonesia asli sudah mencapai suatu tingkatan yang tinggi terutama dari masa bercocok tanam dan perundagian sehingga siap menerima unsur-unsur kebudayaan India

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belaakang diatas maka rumusan permasalahan dalam peneitian adalah sebagai berikut :
1)      Apa yang dimaksud dengan local genius ?
2)      Bagaimana konsepsi Alam Pikiran Masyarakat Indonesia ?
3)      Bagaimana local genius dalam kehidupan beragama ?

1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusana permasalahahn diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam karya tulis ini adalaah :
1)      Untuk mengetahui dan memahami pengertian local genius;
2)      Untuk mengetahui dan memahami konsepsi Alam Pikiran Masyarakat Indonesia
3)      Untuk mengetahui dan memahami local genius dalam kehidupan beragama
 

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Local Genius
Local genius atau identitas kebudayaan, identitas bangsa, kebudayaan asli, kebudayaan tradisonal, kepribadian untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh H. G. Quaritch Wales dalam bukunya The Making of Greater India: A Study of South-east Asian Culture Change (1948-49). Istilah local genius yang dimaksudkan oleh Quaritch Wales  adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan. Sebagai akibat dari hubungan itu terjadilah proses akulturasi, dimana kebudayaan setempat menerima pengaruh kebudayaan asing singkatnya adalah menjelaskan pergeseran dan perubahan kebudayaan dari suatu bangsa. Istilah itu mengandung arti “cirri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh sebagian besar rakyat bangsa sebagai hasil pengalaman hidupnya dimasa lalu”, sedangkan yang dimaksudkan dengan kata local ialah unsure-unsur kebudayaan dari kurun waktu pra-Hindu atau prasejarah. Untuk mengembangkan hipotesanya itu Quaritch Wales pada dasarnya menggunakan konsep R. von Heine Geldern mengenai adanya dua gaya seni dalam kebudayaan mengalithikum; yang lebih tua dan yang lebih muda dengan cirinya masing-masing.
Pengertian ini ia peroleh dari pengamatannya atas hubungan yang terjadi pada waktu kebudayaan Indonesia meneruma pngaruh ebudayaan India. Sebaliknya di Indonesia bagian timur kebudayaaan India itu hanya merupakan perangsang bagi perkembangan budaya setempat. Dalam hal ini ia melihat bahwa kebudayaan setempat itu, yaitu kebudayaan prasejarah tetap mampu mempertahankakn salalh satu unsur kebudayaannnya yaitu ragam hias geometris. Kemampuan inilah yang secaranyata ia maksudkan sebagai local genius itu.
Konsep Quaritch Wales itu ditolak oleh FDK Bosch dalam makalahnya Local Genius en Oud-Javaanse Kunst (Med. KNA W 1952). Dalam kerangkan itu Bosch menolak istilah local genius dan menggantikannya dengan genius lain, yang artinya ‘bakat’ dan ‘kemampuan’ luar biasa orang-orang Jawa dalam mengolah atau mencipta kembali (herscheppen) sesuatu karya. Bosch lebih menitik berat perhatiannya pada pelaku penerima kebudayaan itu. Menurut pendapatnya proses penerimaan kebudayaan itu dilakukan oleh para pendeta Indonesia. para pendeta ini mula-mula pergi untuk menuntut ilmu ke India, serta kemudian kembali ke Indonesia. setibanya di Indonesia mereka kemudian mengamalkan ilmu yang mereka peroleh. Hasil pengalaman mereka yang samappi pada saat ini adalah candi dan karya sastra.
Dari data diatas jelas ada dua pendapat atau paham yang berbeda mengenai arti local genius. Quaritch Wales lebih menekankan konsepsinya pada aspek fisik kebudayaan, sedangkan Bosch melihatnya dari peranan pelakunya. Paham yang baru nanti hendaknya mengandung unsure-unsur yang idenya telah ditemukan oleh Quaritch Wales  dan Bosch, tetpai terbatas pada kurun waktu tertentu, oleh karena paham itu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan alam pikiran dari pendukung kebudayaan itu. Prekembangan itu bahkan dapat kita amati berlangsung sampai zaman sekarang. sebagai contoh beberapa kegiatan upacara tradisional yang masih hidup hampir seluruh nusantara, seperti upacara mulai panen padi dengan mnghormati dewi padi (Dewi Sri, Nyi Pohaci Sanghyang Sri) dan permulaan panen tebu (cembengan). Adat istiadat dan upacara-upacara tradisional itu pada mulanya belum dikenal dalam zaman prasejarah atau zaman pra-Hindu. Jadi jelas bahwa tradisi-tradisi itu tumbuh dan timbul serta berkembang baru sesudah zaman prasejarah.

2.2    Konsepsi Alam Pikiran Masyarakat Indonesia
2.2.1   Konsepsi Alam Pikiran Masa Prasejarah
Masa perundagian adalah puncak segala kemajuan yang berhasil dicapai yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari masa bercocok tanam. Penduduk yang hidup bergabung dalam suatu desa, sudah berhasil mencapai suatu taraf yang baik sekali dengan penguasaan teknologi yang tinggi seperti teknik pembuatan gerabah dan kepandaian menuang perunggu. Masa perundagian telah menghasilkan kebudayaan Indonesia asli yang bernilai tinggi, karena dijiwai oleh konsepsi alam pikiran atau keagamaan yang hidup dalam masyarakat pada waktu itu.
Sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati, adalah percaya bahwa arwah seseorang tidak lenyap pda saat orang meninggal, tetapi tetap hidup serta roh memiliki kelanjutan dalam ujud-ujud rohanianya. Karena itu roh leluhur itu dianggap sangat mempengaruhi jalan kehidupan keturunannya didunia ini (Sartono Kartidirdjo dkk, 1975:190)
Sebagai medium penghormatan yang menjadi takhta kedatangan roh dibuatkan menhir yang biasa ditempatkan pada bangunan undak, bangunan undak itu berbentuk tersusun satu diatas yang lain dan kian ke atas bentuknya makin kecil. Bangunan itu pada hakikatnya sebagai replika dari bentuk gunung, ketika itu gunung dianggap sebagi alam arwah yang abadi sehingga dipandang sebagai gunung suci (Soejono 1977:287). Dari bentuk, isi, serta orientasi sarkofakus dapat ditarik kesimpulan tentang alam pikiran orang berkenaan dengan kepercayaan akan adanya kehidupan sesudah mati. Kehidupan itu berlangsung disuatu tempat yang harus dicapai oleh roh si mati dengan selamat. Tempat alam itu ada kalanya di gunung atau di seberang laut yang jauh. Hal itu terbukti dengan arah hadap bagian letak kepala sarkofagus membujur kearah bukit atau gunung yang terdekat. Oleh karena itu seluruh kompleks alam pikiran yang berhubungan dengan dunia kematian atau dalam bentuk luasnya berupa pemujaan kepada arwah leluhur.
2.2.2        Konsepsi Alam Pikiran Masa Hindu Budha
Adanya pengaruh-pengaruh dari India pada abad-abad pertama tarikh Masehi sampai tahun 1500 dengan runtuhnya kerajaan Majapahit, telah membawa perubahan-perubahan terhadap kebudayaan Indonesia asli. Pengaruh Hindu bukan saja mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman sejarah, tetai juga membawa perubahan dalam susunan masyarakatnya, yaitu timbulnya kedudukan raja dan bentuk pemerintahan kerajaan. Dengan demikian juga dalam alam pikiran mengalami penyempurnaan dengan adanya bentuk keagamaan yang baru.
Keagamaan dan pandangan hidup tersebut tersimpul dalam dua macam agama, ialah agama Hindu dan Buddha. Kedua agama itu bersumber pada kitab suci Weda, yang merupakan kitab suci bagi agama Hindu yang terdiri dari 4 himpunan (samhita), yaitu Rigweda, Samaweda,  Yajurweda, dan Atharwaweda. Keagamaan zaman Weda itu mengenal adanya Brahmana atau Tuhan Yang Mahaesa dengan disebutkan dalam Rigweda ‘Ekam ewa adwityam Brahman’. Artinya ‘hanya ada satu kebenaran (Tuhan) tidak ada yang kedua’. Disamping itu juga percaya akan adanya tenaga alam. Manifestasi yang utama adalah tiga dewa (Trimurti), yaitu Dewa Pencipta (Dewa Brahma), Dewa Pemelihara (Dewa Wisnu). Dan Dewa Perusak (Dewa Syiwa).

2.3    Local Genius Dalam Kehidupan Beragama
Setelah mengetahui secara singkat konsep alam pikiran kebudayaan Indonesia asli, demikian pula bentuk keagamaan baru yang datang dari India, nampaklah beberapa kemampuan lokal dalam agama seperti dalam bentuk kepercayaan dan upacara keagamaan.
Kurun waktu yang dipilih ialah abad ke 9 dan ke 14 M, yang oleh pemrasaran dianggap sebagai abad-abad yang dapat mewakili periode kesenian Jawa Tengah dan Jawa Timur. periode-periode tersebut mempunyai gaya-gaya tersendiri. Jika periode Jawa Tengah dianggap sebagai periode klasik karena pengaruh kebudayaan asing masih kuat dan menonjol, periode Jawa Timur dianggap sebagai periode timbulnya kembali unsure-unsur kebudayaan asli atau kepribadian bangsa makin menampakkan dirinya. Pengejawantahan dari perubahan gejala tadi dapat kita lihat pada hasil seni patung dan seni bangunan. Jika dalam periode Jawa Tengah agaknya para seniman (silpin) masih memegang teguh ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang termuat dalam kitab-kitab pedoman silpasastra, dengan penggambaran arca-arcanya secara plastic dan naturalistis, dalam periode Jawa Timur para silpin agaknya telah menemukan kembali identitas atau kepribadiannya dengan penggambaran arca-arcanya secara simbolis, kaku dan bentuknya kewayang-wayangan. Dilihat sepintas lalu, orang akan menduga terjadi suatu kemerosotan (dekadensi, degradasi) dalam seni, akan tetapi sebenarnya tidak demikian. Gejala itujustru menampakkan adanya “regenerasi” dalam kesenian. Disinilah kita lihat peranan apa yang disebut local genius atau kepribadian atau identitas bangsa dalam proses pembentukan kebudayaan Indonesia yang ber”bineka tunggal ika.”
a.    Local Genius  dari abad ke-9
Abad sembilan dipilih karena dua alasan yaitu karena abad ini meninggalkan banyak data antropologi dan beberapa peninggalan karya sastra yang lengkap. Kedua dari abad ini dapat pula diketahui secara menyeluruh bahwa bangsa ndoneisa benar-benar berperan dalam keagamaan.
Abad sembilan merupakan abad yang subur bagi perkembangan agama, khususnya agama budha. Kesuburan inidapat dilihat dari peninggalan arkeologi maupun fisiplogi yang ditemukan di India maupun di Inonesia. Di Indoneisa ini banyak diketahui dari banyaknya candi yang didirikan, sedangkan di India dapat diketahui dari pendirian beberapa pusat studi agama Budha yang sekarang bisa dibandingkan dengan Universitas. Salahsatu diantaranya adalah Nalanda.
Nalanda sebagai pusat studi agama Budha tidak saja dihuni oleh oang India tapi juga dihuni oleh orang-rang dari China, Tibet dan Indonesia. keberadaan orang Indonesia di Nalanda dapat diketahui dari sumber prasastri dan arkeologi. Sumber prasasti menyebutkan di Nalanda tinggal kurang lebih seribu orang pendeta, sehingga perlu didirikan vihara untuk mereka. Rupanya mereka juga membawa sendiri patung-patung dari perunggu atau mereka membuatnya sendiri di Nalanda mereka masih mempertahankan gaya seni Jawa Tengahnya.
Sebagai pusat studi suasana yang dikembangan di Nalanda adaah kebiasaan ilmiah dalam bentuk tradisi berdebat. Adapun masalah yang diperdebatkan adalah ajaran agama berdasarkan berbagai aliran yang dianut pada masa itu.  Sebagaimana diketahui Nalanda memberikan kesematan kepada siapapun untuk mengajarkan agamanya kepada siapapun juga. Sebaliknya mereka harus siap mempertahankan ajarannya itu dalam suatu perdebatan yang telah ditentukan aturannya, teerhadap sanggahan dari aliran-aliran lain. Dengan sendirinya seoramhg guru yang kalah dalam erdebatan ini tidak akan mampu menarik banyak murid. Mudah pula dimengerti, bahwa pemimpin pusat studi ini adalah seorang yang belum pernah tyerkalahkan dalam pedebatan.
Bahwa tradisi debat ini menduduki tempat pentig dalam kehidupan beragamapada masa ini, dapat diketahui dari beberapa naskah berbahasa Sansekerta. Tradisi ini pun dibawa pulang oleh pendeta-pendeta Indonesia yang belajar disana. Setidak-tidaknya sebagaimana naskah Sang Hyang Kamahayanikan (SHK).
Salah satu ciri Nalanda dibawah pemerintahan Dinasti Pala adaah apa yang disebut dengan pala synthesis.  Pada masa ini terdapat suasana sintese antara aliran Paramita engan Mantrayana. Sebagaimana diketahui, aliran yang kedua walaupun awalnya ajaran aliran yang dirahasiakan namun di Nalanda mulai dituliskan secara utuh.
(a)     Sang Hyang Kamahayanikan (SHK)
Kemampuan untukmenyusun suatu rumusan baru dari ajaran-ajaran agama yang telah dikuasai oleh pendeta Indonesia, merupakan salah satu local genius yang dapat kita ketahui sekarang. Kemampuan ini dapat kita lihat melalui perwujudannya dalam bentuk karya sastra. Karya satra sedemikian ini ialah Sang Hyang Kamahayanikan (SHK), sebuah naskah keagamaan berbahasa sansekerta dan jawa kuno. Kitab ini menjadi penting kedudukannya, karena merupakan satu-satunya naskakh terlengkap sampai sekarang ini.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa apabila kita anggap ajaran yang berkembang di Nalanda sebagai ajaran baku masa itu, maka ajaran itu berbentuk suatu sintese antara Paramitaya dengan Mantrayasa. Sintese ini kemudian dirumuskan dalam suatu karya sastra kuno Sang Hyang Kamahayanikan (SHK).
Penyusun Sang Hyang Kamahayanikan (SHK) menafsirkan pala synthesis sebagai proses pencapaian kebudayaan. Dalam hal ini, Paramitayana diuraikan sebagai langkah awal yang harus dilalui oleh seseorang untuk menuju kearah pencapaian kebudayaan. Pada tahap ini orang harus mengumpulkan kebajikan, yaitu dengan melaksanakan ajaran menurut Paramitayana. Tahap berikutnya adalah pencapaian kebijaksanaan engan cara yoga sebagaimana yang diajarkan dalam Mantrayana. Sebagai jembatan yang dapat menghubungkan kedua cara pebcapaian itu digunakan filsafat Yogacara. Filsafat ini dipergunakan sebagai penghubung, karena mengajarkan bahwa kebudayaan dapat dicapai melalui kebijakan yang diperoleh melalui yoga. Dengan demikian penghubungan antara kedua ajaran tersebut dapat menjadi sangat halus.
Walaupun diatas pala synthesis dianggap sebagai ajaran baku, namun sejauh penelitian agama Budha menunjukan sampai sekarang belum pernah ditemukan, diluar SHK naskah yang berisi sintese secara lengkap. Dengan diajarkannya Mantrayana maka orang mendapat kemungkinan memperoleh kebudayaan pada waktu menempuh hidupnya.
Dengan demikian melihat isi dan kenyataan bahwa pemaduan Pramitayana dan Mantrayanan belum pernah dirumuskan dalam suatu karya sastra secara utuh maka dapa disimpulkan kemampuan atau kegeniusan itu justru lebih terlihat menonjol, karen di India sendiri perumusan yang demikian itu belum pernah ditemukan.
(b)      Candi Borobudur
Kemampuan sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, dimana sesuatu ajaran dirumuskan secara baru, sambil tetap mempertahankan hakekat ajaran yang baku, dapat dikenali dari suatu bangunan candi, yaitu Candi Borobudur.
Apabila diatas yang dikaji adalah kemampuan sastrawan, maka dari Candi Borobudur yang hendak dikenali adalah keahlian perancangnya. Dalam usahanya untuk merumuskan sintese itu menjadi suatu bentuk bangunan, ia juga menafsirkan sintese itu sebagai tahap-tahap yang harus dilalui oleh orang yang hendak mencapai Kebudayaan.
Untuk melahirkan gagasannya, perancang Borobudur memilih beberapa cerita yang diambilnya dai khasanah kesusastraaan agama Budha. Selanjutnya, pilihan itu dirangkaikannya menjadi jalinan suatu cerita yang urut dan utuh. Adapun cerita yang dipilihnya itu ialah Mahakarmavi-banga, Jataka-mala, Avadana-Jataka, Lalitavistara, Gandavyuha, dan Bhadracari. Semua cerita ini mencerminkan usaha manusia mengumpulkan kebajikan melalui pelaksanaan Paramitayana.
Selanjutnya, ia gambarkan pelaksanaan Mantrayana melalui perwujudannya dalam bentuk patung Lima Tathagata. Ditinjau dari sudut ini, maka ajaran yang dipilih, apabila bisa disejajarkan dengan SHK, adalah dari Guhyasamajatantra
Akhirnya, pencapaian Kebudayaan dilukiskannya sebagai Tathagata dalam dharma cakra parvatana mudra . namun demikian, karena pencapaian Kebudayaan itu ditujukan untuk dapat menolong orang lain juga mampu mencapai Kebudayaan, maka patung Tathagata ini diletakkan dalam stupa berongga dan bertulang-tulang. Gagasan semacam ini mungkin dirujuk dari Saddharma pundarika. Akhirnya sebagai puncak perjalanan seorang manusia, yaitu Mahaparinirvana, dilambangkannya sebagai stupa besar dipuncak candi.
b.    Local Genius abad ke-14
Dari abad ini, para ahli agama Indonesia tidak lagi terlalu melihat agama-agama sebagai hasil atau tujuan akhir belaka, karena mereka menganggap bahwa agama berakhir pada tujuan yang sama. Dengan demikian, maka agama yang melahirkan berbagai aliran, bahkan dari lain agama, akhirnya akan sampai pada hasil yang sama.
Konsep yang demikian ini dirumuskan sebagai apa yang dikenal dengan istilah Siwa-Budha. Dari istilah ini, dapat diketahui bahwa konsep ajaran yang demikian tidaklah membedakan Siwa sebagai dewa tertinggi dari agama Saiva dengan Buda sebagai tujuan terakhir dari penganut agama Buda. Dengan demikian, penganut ajaran ini tidak lagi membedakan agama, yaitu apabila orang telah mencapai tingkat yang tertinggi.
Kepercayaan Syiwa-Budha yang diperkirakan mengalami perkembangan pada masa kerajaan di Jawa Timur mulai tumbuh, dimulai sejak zaman Singosari. Menurut J.H.C Kern dan W.H Rassers (1982:XVII) tumbuhnya Syiwa-Budha berpangal dari kepercayaan Jawa Purba dengan klasifikasi kosmosnya atas dua bagian, sehingga agama Syiwa dan Budha tidak lagi bersaing dan bermusuhan seperti yang terjadi di Jawa Tengah antara dinasti Sailendra dengan Sanjaya. Juga menurut Zotmulder (dalam K.H.C Kern dan W.H Rassers (1982:XVII) dikatakan bahwa dalam masa Kartanegara tela terjadi penyelenggaraan upacara inisiasi di perkuburan yang mengandung upacara makan, minum serta hubungan sex. Kemudian saat Kertanegara wafat dimakamkan sebagai ardhanari maupun Syiwa- Budha.
Sampai saat inidi India konsep semacam ini tidaklah ditemukan. Sebagaimana diketahui, agama Buda telah punah pada waktu agama Islam masuk ke India. Disamping itu, diantara agama-agama yang tergolong agama Hindu pun tidak mengenal perpaduan yang demikian itu.
Sebagaimana halnya dengan perpaduan yang terjadi diabad Sembilan, yaitu sintese Paramitayana dengan Mantrayana, maka perpaduan Siwa-Budha pun diwujudkan kedalam karya sastra dan arkeologi.
Dari penjelasan mengenai perkembangan local genius dalma kurun waktu abad ke sembilan dan ke empat belas nampak terlihat beberapa kemampuan lokal dalam agama seperti dalam bentuk kepercayaan dan upacara keagamaan
Dalam kepercayaan nampak pemujaan arwah nenek moyang (asli Indonesia) berdampingan dengan pemujaan Tuhan Mahaesa beserta manifestasinya yaitu para dewa (dari agama Hindu). Hal ini terlihat dalam candi tempat terjadinya penggabungan antara penyembahan dewa dan pemujaan roh nenek moyang. Unsur dewa menyediakan zat rohaniah dan menurun dari rongga atap candi ke dalam arca, sedang unsur nenek moyang yang menyediakan zat jasmaniah dari dalam perigi candi, sehingga pada waktu upacara arca perwujudan itu menjadi hidup. Unsurb jasmaniah diwakili oleh pripih, bukan abu jenazah (R. Soekmono 1974:218).
Demikianlah pura di Bali bersifat Dwifungsi, yaitu tempat pemujaan roh suci leluhur (Bhatara) asli Indonesia dan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Mahaesa) beserta para dewa ( pengaruh dari agama Hindu).
Orang yang meninggal dan dikubur dalam srkofagus itu dianggap akan mengalami kelahiran kembali dalam kehidupan baru. Anggapan itu ditampakkan oleh sarkofagus yang bidang-bidang atas dan bawahnya dipahat dalam bentuk genitalis yang stilistik serta simetris seperti gaya Ambyarsari (Soejono 1977:267). Kepercayaan tentang kelahiran kembali bagi seseorang masih tetap melanjut setelah hinduisme; salah satu sradha (kepercayaan) dari pascasradha agama hindu adalah punarbhawa yang berarti ‘kelahiran kembali’.
Pada masa perundagian terdapat kepercayaan gunung sebagai alam arwah sehingga gunung dianggap sebagai alam dan sebagai tiruan alam suci itu dibuatlah bangunan untuk yang disusun bertingkat-tingkat makin ke atas makin mengecil. Setelah pengaruh kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia, anggapan tentang gunung sebagai tempat tinggal roh nenek moyang masih tetap dilanjutkan, di samping gunung dianggap sthana para dewa. Untuk kepentingan pemujaan,  untuk dewa-dewa itu dibuatkan arca-arca yang kemudian ditempatkan dalam suatu bangunan, didirikan dengan bentuk tiruan dari tempat dewa-dewa itu dibuatlah arca-arca yang kemudian ditempatkan dalam suatu bangunan, didirikan dengan bentuk tiruan dari tempat dewa-dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru (Van Romondt 1951:51).
Dalam seni bangunan keagamaan terlihat unsur-unsur kemampuan lokal yang melanjut terus pada masa belakangan. Hal ini dapat disaksikan stupa Borobudur yang dibangun pada tahun 824 ketika pemerintah Raja Samaratungga. Apabila diperhatikan arsitekturnya, Borobudur tidak dibangun sesuai bentuk India, tetapi menujukkan aspek-aspek bangunan undak yang terdiri dari 10 undak. Bentuk bangunan undak itu kebiasaan dari zaman megalitik yang berfungsi sebagai tempat pemujaan leluhur (Sutjipto Wirjosuparto 1964:2) bentuk seni bangunan candi yang tergolong periode akhir Majapahit menunjukkan bangunan undak yang tinggi, misalnya Candi Sukuh dan Candi Ceto.
Demikian pula bila kita memperhatikan struktur halaman pura di Bali yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu halaman luar (jabaan), halaman tengah (jaba tengah), dan halaman paling dalam (jeroan) tempat terdapat bangunan-bangunan suci. Masing-masing halaman dibangun dalam posisi makin meninggi sehingga yang tertinggi adalah halaman jeroan. Dengan demikian pembagian atasn tiga bagian itu ditempatkan dalam posisi yang sejajar, sedangkan pada candi-candi di Jawa pembagian atas tiga bagian ditempatkan dalam posisi vertikal. Pembagian denah atas tiga bagian yang horisontal ini terlihat pada Candi Panataran di Jawa Timur.
Pada zaman megalitik, kerbau mempunyai kedudukan yang penting dalam kehidupan sosial ekonomis dan religius kultural bangsa Indonesia. Pada waktu itu Kepulauan Indonesia menjadi pusat kultus kerbau:  kerbau dijadikan binatang kurban di dalam upacara-upacara tertentu, seperti upacara kematian. Kecuali dianggap binatang suci yang dikurbankan dalam upacara-upacara keagamaan, kerbau juga dianggap sebagai sumber kekuatan magis yang sering sekali dihubungkan dengan kultur nenek moyang dan upacara kemakmuran atau kesuburan (Sutaba 1970:12).
Kerbau dianggap pula sebagai kendaraan bagi arwah nenek moyan. Dalam hubungan itu kerbau dimaksudkan juga sebagai suatu unsur dalam sistem dualisme (bipartite system) yang membagi alasemesta dua hal atau golongan yang saling bertentangan, misalnya dunia atas dan dunia bawah serta unsur laki-laki dan wanita. Di dalam sistem ini, kerbau termasuk ke dalam golongan bumi, air, dan sebagainya (Van Der Hoop 1949:130-137).
Penggunanaan kerbau sebagai binatang kurban yang mempunyai makna yang penting bagi upacara-upacara tertentu pada zaman megalitik melanjut sampai sekarang pada beberapa suku di Indonesia, diantaranya di Bali. Sebagai contoh di Bali dikenal upacara Pakelem dan Titimamah.
Upacara Pakelem adalah kurban kerbau yang dilakukan di laut, danau atau gunung, bertujuan sebagai sarana simbollis untuk mengharmoniskan hubungan makrokosmos dengan mikrokosmos sehingga dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Upacara titimamah juga mempergunakan kerbau, tetapi telah dikuliti sebagai simbol turunnya Tuhan ke bumi dengan perantara menginjak kepala kerbau, karena kerbau adalah lambang bumi. Bahkan dewasa ini masih dikerjakan penanaman kepala kerbau sebagai upacara selamatan pada waktu pembangunan gedung-gedung, jembatan dan lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. 1986. Kepribadiain Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta : Kanisius.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

gak malu ya NYONTEK abis artikel Prof.Dr.Noerhadi MAGETSARI - beliau itu salah satu Dr.Emeritus (tertinggi) di Universitas Indonesia

Unknown mengatakan...

Maaf ya sebelumnya,,,,
tugas mata kuliah multikultural ini,, referensi yg aku pake udah aku cantumin di daftar pustaka,, termasuk artikel yg kamu mksd itu ada di buku kepribadian budaya bangsa,,,,

Unknown mengatakan...

Waah cukup lumayan, nambah wawasan saya ttg unsur-unsur budaya Nusantara. Mau nanya nih, klw ada kirimi yg masa pra aksara...🙏🙏