(Disusun guna untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Multikultural)
Dosen Pengampu
mata kuliah Drs. Sumarno M.Pd.
Oleh:
Eka Ariska Putri
(120210302005)
Kelas A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
taufiq dan
hidayah-Nya, sehingga kami
dapat
menyelesaikan makalah ini dengan lancar. Sholawat
dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi akhir zaman
yang telah menunjukkan kita ke jalan yang diridhoi Allah SWT.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi
tugas Pendidikan Multikulltural dengan judul “Kebudayaan Masyarakat Tegal,
Jawa Tengah” di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi
Pendidikan Sejarah Universitas Jember. Kami berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan kami dalam penyusunan makalah ini. Namun sebagai manusia biasa, kami tidak luput dari kesalahan dan
kekhilafan.
Kami mengucapakan terima kasih kepada
dosen pembina serta beberapa kerabat yang memberi masukan yang bermanfaat dalam penyususnan
makalah ini, meluangkan waktunya untuk
memberikan arahan dan saran demi kelancaran penyusunan makalah ini.
Demikian semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Kami sangat
menyadari dari hasil makalah ini masih kurang sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan saran serta kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun.
Jember, Mei 2015
Penyusun
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latra Belakang
Dalam
setiap kesempatan banyak para ahli budaya,
pemerhati budaya dan
para praktisi budaya merasakan suatu keprihatinan yang luar
biasa akan budaya masa
lau yang telah
mulai tergerus oleh budaya luar
yang bukan merupakan budaya anak negeri.
Keprihatinan tersebut terlihat
dari sedikitnya generasi muda
yang masih mengenal
dan mengingat akan
budaya leluhur yang dianggap tidak modern dan ketinggalan
jaman.
Setiap masyarakat baik itu yang berada di daerah
yang terpencil maupun di daerah perkotaan memiliki warisan kebudayaan
yang bervariatif dan memiliki ciri berbeda
antara wilayah yang satu dengan lainnya. Warisan budaya terebut
ada yang masih
terlihat jelas sampai sekarang
ada pula yang tinggal berupa benda/ artefak.
Namun demikian warisan tersebut ada di sebagian masyarakat
di Indonesia masih lestari
dan terawat dengan
baik sampai sekarang. Secara etimologi, kata “kebudayaan” berasal
dari kata “budaya”,
yang berasal dari kata “budi dan daya”. Berdasarkan etimologi itu,
maka budaya berarti
daya dari budi. Budi itu sendiri
adalah mengacu pada
pikiran. Kebudayaan dengan
demikian merupakan sifat dari
“daya suatu budi”.
Sebagai
sebuah nilai yang dihayati,
kebudayaan diwariskan secara
turun-temurun, dari satu generasi
ke generasi. Proses pewarisan kebudayaan disebut sebagai proses enkulturasi.
Proses enkulturasi berlangsung mulai dari kesatuan yang terkecil, yakni
keluarga, kerabat, masyarakat, suku bangsa, hingga kesatuan yang
lebih besar lagi. Proses enkulturasi ini berlangsung dari
masa kanak-kanak hingga masa tua. Melalui proses enkulturasi ini, maka dalam
benak sebagian besar anggota masyarakat akan memiliki
pandangan, nilai yang sama tentang persoalan-persoalan yang dianggap baik dan dianggap buruk,
mengenai apa yang harus dikerjakan dalam hidup bersama dan mengenai apa yang
tidak harus dikerjakan.
Indonesia memmpunyai latar
belakang agama dan etnik, bahasa dan budaya, terdiri
dari 250 suku, lebih dari 250 bahasa, 13.000 pulau dan lima agama resmi.
Keragaman latar belakang siswa dalam hal agama, politik, sosial ekonomi, adat istiadat, jenis kelamin dan
asal daerah inilah yang semakin memperkaya kebudayaan yang dimiliki oleh
Indonesia. salah
satunya adalah Kebudayaan Daerah Masyayrakat Kota Tegal di Jawa Tengah
Kebudayaan
Daerah bukan hanya terungkap dari bentuk dan pernyataan rasa keindahan melalui
kesenian, melainkan segala bentuk dan cara berperilaku, bertindak dan pola
pikiran yang berada jauh di belakang apa yang tampak tersebut. Kiranya sedikit
gambaran dari makna kebudayaan daerah, yang dalam hal ini akan diulas
kebudayaan daerah/lokal daerah Tegal yang khas dan unik.
Tentunya,
jika ingin mengulas kebudayaan maka akan ada keterkaitan dengan sejarah, untuk
itu penyusun suguhkan pula sedikit sejarah tentang daerah ini. Aspek
lainnya yang perlu diketahui dari kekhasan budaya tegal adalah mengenai
Kesenian (tari-tarian, upacara adat, arsitektur bangunan, kepercayaan dll),
perilaku, watak khas orang tegal serta bahasa jawa tegalan dengan dialek yang
unik bahkan terkenal sampai keluar daerah dan kerap dijadikan bahan lawakan di
acara-acara televisi nasional.
Sayangnya
jarang kepustakaan yang bisa dijadikan rujukan mengingat selama ini budaya Tegal
tiudak memiliki tradisi literasi. Bahkan tradisi lisanpun sudah sangat sulit
ditemukan, mengingat para pelakunya tisak peka terhadapa generasi muda.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas maka rumusan permasalahan dlam peneitian adalah
sebagai berikut.
1)
Bagaimana pengertian kebudayaan ?
2)
Bagaimana gambaran Kota Tegal ?
3)
Bagaimana Sejarah dari Kota Tegal ?
4)
Bagaimana 7 unsur kebudayaan dalam
Antropologi masyarakat ?
5)
Bagaimana 7 unsur kebudayaan dalam
Antropologi masyarakat Kota Tegal ?
6)
Bagaimanakah budaya Tegal sebagai sebuah
kearifan lokal ?
1.3
Tujuan
Berdasarkan
rumusana permasalahahn diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
ini adalaah.
1) Untuk
mengetahui dan memahami pengertian kebudayaan
2) Untuk
mengetahui dan memahami gambaran Kota Tegal;
3) Untuk
mengetahui dan memahami Sejarah dari Kota Tegal;
4) Untuk
mengetahui dan memahami 7 unsur kebudayaan dalam Antropologi masyarakat;
5) Untuk
mengetahui dan memahami kebudayaan dalam Antropologi masyarakat Kota Tegal.
6) Untuk
mengetahui dan memahami budaya Tegal sebagai sebuah kearifan lokal.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Definisi
Kebudayaan
Kata budaya
berasal dari kata buddhayah sebagai bentuk jamak dari buddhi (Sanskerta) yang
berarti ‘akal’ (Koentjaraningrat, 1974: 80)[1].
Berikut ini adalh pengertian kebudayaan menurut para ahli
a. E.B. Tylor
Definisi
yang paling tua dapat diketahui dari E.B. Tylor yang dikemukakan di dalam
bukunya Primitive Culture (1871). Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan
aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain (Nyoman Kutha Ratna, 2005: 5)[2].
b. Marvin
Harris
Marvin
Harris (1999: 19)[3] yaitu
seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara
belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Kecuali itu juga ada definisi yang
dikemukakan oleh Parsudi Suparlan bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan man usia sebagai makhluk sosial, yang
digunakan untuk menginterpretasi dan
memahami lingkungan yang dihadapi, dan untuk menciptakan serta mendorong
terwujudnya kelakuan (1981/ 1982: 3)[4].
c. Edward
Burnett Tylor
Kebudayaan
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat (Tylor, E.B.: 1974).
d. Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi
kebudayaan
adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat
(http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya).
e. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1996: 149)
Budaya
adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil
kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan,
kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan
kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan
kebudayaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat
kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan. Definisi-definisi
tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk
memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek: (1)
Kehidupan Spritual; (2) Bahasa dan Kesustraan; (3) Kesenian; (4) Sejarah; dan
(5) Ilmu Pengetahuan. Aspek kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik,
seperti sarana (candi, patung nenek moyang, arsitektur), peralatan (pakaian,
makanan, alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial, seperti
upacara-upacara (kelahiran, pernikahan, kematian).
Adapun aspek
bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel.
Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu: visual arts dan
performing arts, yang mencakup: seni rupa (melukis), seni pertunjukan (tari,
musik,) seni teater (wayang), seni arsitektur (rumah, bangunan, perahu); aspek
ilmu pengetahuan meliputi science (ilmu-ilmu eksakta) dan humanities (sastra,
filsafat, kebudayaan, sejarah, dsb).
Menurut
Koentjaraningrat, wujud kebudayaan ada tiga macam: 1) kebudayaan sebagai
kompleks ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan; 2) kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia
dalam masyarakat; dan 3) benda-benda sebagai karya manusia
(Koentjaraningrat, 1974: 83)[5].
Kecuali itu ada pula pengelompokan kebudayaan menjadi: 1) bahasa; 2) mata pencaharian;
3) organisasi; 4) ilmu pengetahuan; 5) kehidupan beragama; 6) kesenian; dan 7)
teknologi.
Menurut
Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat (http://id.wikipedia. org/wiki/Budaya).
Dari
berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem
ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan
adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat. Menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan ada tiga
macam: 1) kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, dan
peraturan; 2) kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola
manusia dalam masyarakat; dan 3) benda-benda sebagai karya manusia
(Koentjaraningrat,1974: 83).
2.2
Gambaran
Kota Tegal
Kota Tegal
secara wilayah adminstratif berbatasan langsung dengan Kabupaten Brebes dan
Kabupaten Tegal. Sedangkan secara geografis kota Tegal terletak pada posisi
109°08’ - 109°10’ Bujur Timur dan 06°50’ - 06°53’ Lintang Selatan dengan luas
wilayah yang relatif sempit bila dibandingkan dengan dengan wilayah sekitar
yakni sebesar 39,68 Km² atau 0,11% dari luas Provinsi Jawa Tengah, setelah ada
penambahan dari sebagian wilayah Kabupaten Brebes. Batas wilayah Kota Tegal
secara administratif dapat diuraikan sebagai berikut :
a.
Sebelah Utara : Laut Jawa
b.
Sebelah Timur : Kabupaten Tegal
c.
Sebelah Selatan : Kabupaten Tegal
d.
Sebelah Barat : Kabupaten Brebes
Secara
adminstratif Kota Tegal terbagi ke dalam 4 kecamatan dengan 27 Kelurahan.
Kecamatan Tegal Barat memiliki wliayah paling luas sekitar 15,13 km² disusul
kecamatan Margadana seluas 11,76 km², kecamatan Tegal Selatan seluas 6,34 km²
dan kecamatan Tegal Timur seluas 6,36 km².
Tegal
terletak 165 km sebelah barat Kota Semarang, atau 329 km sebelah timur Jakarta.
Tegal memiliki lokasi yang strategis, karena berada di jalur pantai utara
(pantura) Jawa Tengah , serta terdapat persimpangan jalur utama yang
menghubungkan pantura dengan kota-kota di bagian selatan Pulau Jawa.
Kota Tegal
berbatasan langsung dengan ibukota Kabupaten Brebes. Pertumbuhan kota Tegal
juga berkembang ke arah selatan di wilayah Kabupaten Tegal, yakni di kecamatan
Dukuhturi, Talang, Adiwerna, dan Slawi.
Stasiun
kereta api Tegal menghubungkan kota ini dengan kota-kota lain di Pulau Jawa.
Beberapa kereta api yang singgah di stasiun ini adalah: Senja Utama dan Fajar
Utama (Jakarta-Semarang), Sembrani dan Argo Dwipangga (Jakarta-Surabaya),
Matarmaja (Jakarta-Malang), Bangunkarta (Jakarta-Jombang), Harina
(Bandung-Semarang), dan Kaligung (Tegal-Semarang). Pada era 1960-an kota Tegal
pernah memiliki landasan udara Martoloyo yang diresmikan oleh Presiden Sukarno.
Jika diukur
dengan jarak tempuh antara Jakarta dan Surabaya, kota Tegal kira-kira berada di
tengah-tengahnya. Posisi strategis yang didukung dengan infrastruktur yang
memadai menjadikan kota Tegal sebagai kota transit. Hal tersebut berdampak pada
hidupnya usaha di bidang jasa pariwisata, terutama perhotelan.
2.3
Sejarah
Kota Tegal
2.3.1
Perjalanan Ki
Gede Sebayu ke Tlatah Tegal
Pada saat Kesultanan
Pajang dipegang oleh Aryo Pangiri, Kesultanan Pajang porak-poranda. Raden Aryo
Pangiri bertindak sewenang-wenang dan tidak bijaksana. Akibatnya dimana-mana
timbul banyak kerusuhan, maling, rampok, dan pemerkosaan.Pangeran Benowo, sebagai
Adipati Jipang hatinya sangat prihatin. Dia memberitahu Senopati Mataram
tentang keadaan Pajang. Senopati Mataram yang mendengar keadaan di Pajang
langsung ingin segera mengambil alih kekuasaan negeri pajang dari tangan Aryo
Pangiri. “Panembahan Senopati
memerintahkan Pangeran Benowo mengirimkan pasukan ke Pajang.” Pagi
hari di desa Weru Leladan Gunung Kidul. Prajurit kedua pasukan bersorak
meneriakkan kata-kata perang. Ki Gede
Sebayu dan pengikutnya tampak bergabung dengan pasukan Mataram.Akhirnya
prajurit Mataram dan Jipang menyerang Pajang. Prajurit Pajang mulai terdesak
mundur. Panembahan Senopati, Pangeran Benowo, Ki Juru Martani dan Ki Gede
Sebayu maju memasuki Kraton Pajang. Aryo Pangiri akhirnya menyerah dan meminta
ampun atas perbuatannya dan akhirnya negeri Pajang hidup tentram dan damai
lagi.
Setelah membantu
Senopati Mataram dan Pangeran Benowo menggulingkan Aryo Pangiri (tahun 1587) Ki
Gede Sebayu dan pengikutnya kembali ke Sedayu dengan keluarganya. Ki Gede
Sebayu memutuskan tidak kembali ke Pajang, tetapi berniat melakukan perjalanan
ke arah barat meninggalkan tlatah Mataram. Rencana tersebut tercium oleh para
pengikut Ki Gede Sebayu. Mereka bertekad mengikuti langkah Ki Gede Sebayu ke
arah barat. Perjalanan Ki Gede Sebayu dan rombongannya melalui jalan-jalan yang
sulit berupa hutan belukar, sungai, jurang dan tebing yang melelahkan. Ki Sura Laweyan dan Ki Jaga Sura pengikut setia Ki Gede
Sebayu berada paling depan mengawal perjalanan.
Beberapa hari kemudian
rombongan sampai di desa Taji wilayah Bagelan. Mereka disambut oleh Ki Gede
Karang Lo dan beristirahat di padepokannya.Ki Gede Karang Lo mengingatkan bahwa
dipesisir tlatah Tegal ada sesepuh bernama Ki Gede Wonokusuma, yang masih
keturunan Panembahan Panggung (Pangeran Drajat). Ki Gede Wonokusuma merupakan
tokoh ulama yang waskita dan bijaksana, serta mempunyai pengaruh di masyarakat
sekitarnya. Keesokan harinya mereka meninggalkan padepokan Ki Gede Karang Lo
menuju wilayah barat Banyumas, Kadipaten Purbalingga. Ki Gede Sebayu dan
rombongannya meneruskan perjalanan memasuki Hutan Gunung Kendeng yang terkenal
ganas. Di hutan itu masih banyak dihuni binatang buas dan pohon-pohon besar,
tetapi pada akhirnya mereka bisa sampai di desa Pelawangan dengan selamat. Dari
desa Pelawangan, mereka menyisir pantai utara ke arah barat hingga di tepi kali
Gung. Ki Gede Wonokusuma dengan ramah menerima kedatangan mereka.
2.3.2
Pembangunan
Tlatah Tegal
Ki Gede Sebayu
menceritakan kedatangannya pada Ki Gede Wonokusuma. Kedatangan Ki Gede Sebayu
dengan maksud “Mbabat Alas” membangun masyarakat Tlatah Tegal disambut
gembira. Kemudian atas ijin Ki Gede Wonokusuma, Ki Gede Sebayu mulai mengatur
penempatan para pengikutnya sesuai keterampilan dan keahliannya. Rombongan yang
memiliki keahlian di bidang kerajinan dan pertukangan ditempatkan di pusat
perniagaan dan perdagangan. Sedangkan mereka yang ahli pertanian ditempatkan di
daerah pertanian. Ki Gede Sebayu sendiri bersama keluarga dan beberapa ahli
keemasan serta tenun menganti benang tinggal di Dukuh Menganti (Dukuh
Karangmangu) Desa Kalisoka Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal.
Pembangunan Tlatah
Tegal dimulai. Para pengikut Ki Gede Sebayu bekerja membabat ilalang, semak
belukar, menebangi pohon besar, meratakan gundukan tanah.Beberapa tahun
kemudian tampak kemajuan di segala bidang yang dirasakan oleh masyarakat
sekitarnya. Para petani tidak susah lagi memperoleh alat-alat pertanian dengan
adanya hasil kerajinan pandai besi. Peningkatan taraf hidup masyarakat mulai
dirasakan, rumah penduduk dibangun dan diperbaiki secara gotong-royong,
mengolah tanah, membuat jalan desa, serta mengatur keamanan bersama.
Disamping melaksanakan
pembangunan fisik, Ki Gede Sebayu juga mengutamakan pembangunan rohani.
Diantaranya dengan membangun masjid dan pondok pesantren di Dukuh Pesantren
sebagai tempat kegiatan agama masyarakat sekitar.
2.3.3
Pembangunan
Bendungan Kali Gung
Pada suatu ketika
terjadi musim kemarau panjang di daerah Tegal. Sawah dan tegalan penduduk
banyak yang mengalami kekeringan. Hasil panen petani dipastikan gagal. Selama
ini masyarakat petani di wilayah itu masih mengandalkan hujan sebagai
usaha pengairan sawahnya (tadah hujan / tegalan). Keadaan ini membuat Ki Gede
Sebayu prihatin. Dia berpikir untuk mencoba membudidayakan pertanian basah
(persawahan irigasi). Untuk membudidayakan pertanian basah Ki Gede Sebayu
berencana membuat bendungan. Ki Gede Sebayu disertai dua orang pengikutnya yang
setia Ki Jaga Sura dan Ki Sura Laweyan pergi mencar sumber air. Ketika
perjalanan mereka sampai di lereng Gunung Salapi, Ki Gede Sebayu memutuskan di
tempat ini paling cocok membuat bendungan.Rencana pembangunan bendungan air
terdengar sampai ke pelosok wilayah tlatah Tegal. Berbondong-bondong masyarakat
datang ke padepokan Karangmangu. Kepada Ki Gede Sebayu mereka menyatakan siap
membantu.
Ki Gede Sebayu,
keluarganya dan beberapa pengikut yang setia sementara waktu pindah ke desa
Timbang Reja, Kecamatan Lebaksiu. Tak lama rakyat dari pelosok tlatah
Tegal berdatangan menyusul Ki Gede Sebayu ke desa Timbang Reja. Mereka
membawa bermacam-macam peralatan seperti : cangkul, sekop, garpu, linggis dan
lain-lain.Pada pertengahan bulan Dul’kaidah (Bulan Apit) pembangunan bendungan
dimulai, diharapkan pada bulan Sapar pembangunan bendungan sudah selesai,
sehingga pada jatuhnya musim penghujan bendungan sudah mampu menampung air.
Batu-batu besar digulingkan dari atas ke igir, didongkel, digotong dan ditata
sedemikian rupa.
Pada malam Jum’at
Pahing Ki Gede Sebayu mengadakan tasyakuran atas selesainya bendungan Kali Gung
dan sekaligus berpamitan kepada masyarakat Timbang Reja untuk kembali ke
Padepokan di Karangmangu bersama keluarganya.
Ki Gede Sebayu kemudian
berpesan kepada masyarakat di sekitar bendungan antara lain :
a.
Di daerah ini sejalan perubahan jaman
dinamakan Desa Danawarih yang berarti memberi air.
b.
Setelah Ki Gede Sebayu meninggal, dia
berpesan supaya dimakamkan tidak jauh dari bendungan bersama kuburan rakyat
yang meninggal pada saat membangun bendungan.
c.
Diharapkan masyarakat tiap Rabu dan akhir
Bulan Sapar mengadakan tasyakuran hari jadi Bendungan Kali Gung di lokasi yang
dinamakan Wangan Jimat.
Ki Gede Sebayu beserta
keluarganya kemudian kembali ke Padepokan Karangmangu. Sepanjang perjalanan Ki
Gede Sebayu dan rombongan mendpat sambutan meriah dari rakyat yang sempat
mengharukan Ki Gede Sebayu. Semenjak ada Bendungan Kali Gung, maka tlatah Tegal
banyak dibuka lahan persawahan baru yang tidak lagi mengandalkan musim hujan
untuk muali tanam karena air dari Bendungan Kali Gung selalu tersedia.
2.3.4
Pengangkatan Ki
Gede Sebayu menjadi Juru Dumeng
Setelah kedatangan Ki
Gede Sebayu di Tlatah Tegal terlihat kemajuan kehidupan masyarakat, baik berupa
fisik maupun rohani. Semuanya tidak lepas dari peran Ki Gede Sebayu dan para
pengikutnya.
Keberhasilan Ki Gede
Sebayu meningkatkan taraf hidup rakyat tlatah Tegal terdengar oleh Panembahan
Seopati Mataram. Penguasa Mataram itu kemudian mengutus Mantri Manca Praja ke
Tlatah Tegal untuk menganugerahkan pangkat dan kedudukan kepada Ki Gede Sebayu.
Akhirnya pada tahun 1601 Masehi atau 1523 Caka Ki Gede Sebayu oleh utusan
Panembahan Seopati dari Mataram diangkat menjadi Juru Demung atau penguasa
lokal Tlatah Tegal.
Dengan jabatan sebagai
Juru Demung (Temenggung) Ki Gede Sebayu mulai mengatur wilayah dan rakyatnya.
Sejak saat itulah di wilayah Tlatah Tegal telah berjalan sistem pemerintahan
lokal yang pertama kali di bawah bendera Mataram. Komunitas masyarakat yang
dulu terpisah-pisah dan tidak beraturan sekarang mulai mengkerucut ke
dalam sistem, dan struktural pemerintahan yang terpusat dibawah pimpinan Ki
Gede Sebayu.
2.4
7
Unsur Kebudayaan Dalam Antropologi Masyarakat
Urutan unsur – unsur
kebudayaan menurut Koentjaraningrat didasarkan pada mudah atau sulitnya suatu
unsur kebudayaan mengalami perubahan. Artinya, unsur kebudayaan yang pertama
dianggap sebagai unsur kebudayaan Universal yang paling sulit berubah, sedangkan
urutan yang paling terakhir merupakan Unsur yang paling mudah untuk berubah. Berikutnya kita akan
menjelaskan sedikit tentang sistem 7 Unsur Kebudayaan Universal yaitu sebagai berikut:
a.
Sistem Religi
Kepercayaan manusia terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang muncul
karena kesadaran bahwa ada zat yang lebih dan Maha Kuasa.
b. Sistem Pengetahuan
Sistem yang terlahir karena setiap manusia memiliki akal dan pikiran
yang berbeda sehingga memunculkan dan mendapatkan sesuatu yang berbeda pula,
sehingga perlu disampaikan agar yang lain juga mengerti.
c. Sistem Peralatan dan Perlengkapan Hidup Manusia
Sistem yang timbul karena manusia mampu menciptakan barang – barang dan
sesuatu yang baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan membedakan manusia
dengam makhluk hidup yang lain.
d. Sistem Mata Pencaharian Hidup dan Sistem – Sistem Ekonomi
Terlahir karena manusia memiliki hawa nafsu dan keinginan yang tidak
terbatas dan selalu ingin lebih.
e. Sistem Organisasi Kemasyarakatan
Sistem yang muncul karena kesadaran manusia bahwa meskipun diciptakan
sebagai makhluk yang paling sempurna namun tetap memiliki kelemahan dan
kelebihan masing – masing antar individu sehingga timbul rasa utuk
berorganisasi dan bersatu.
f. Bahasa
Sesuatu yang berawal dari hanya sebuah kode, tulisan hingga berubah sebagai
lisan untuk mempermudah komunikasi antar sesama manusia. Bahkan sudah ada
bahasa yang dijadikan bahasa universal seperti bahasa Inggris.
g. Kesenian
Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang
dapat memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian yang dapat
memuaskan.
Tiap
unsur kebudayaan universal sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud
kebudayaan terurai diatas, yaitu wujudnya yang berupa system budaya, yang berupa
system sosial , dan yang berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Dengan demikian
system ekonomi misalnya mempunyai wujud sebagai konsep-konsep, rencana-rencana,
kebijaksanaan, adat-istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi mempunyai
juga wujudnya yang berupa tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara
produsen, tengkulak, pedagang, ahli transport, pengecer dengan konsumen.
Demikian juga system religi misalnya mempunyai wujudnya sebagai system
keyakinan, dan gagasan-gagasan tentang tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus, neraka,
surga dan sebagain universal lainnya.
Kerangka
mengenai ketujuh unsur kebudayaan universal itu biasanya juga dipakai oleh para
penulis etnografi sebagai contoh untuk menyusun daftar isi buku etnografinya.
Dengan membawa kerangka itu kelapangan untuk mengumpulkan data etnografi,
seorang sarjana antropologi sudah mengetahui sebelumnya unsureunsur apakah yang
akan ditelitinya.
Tiap-tiap
“unsure kebudayaan universal” dapt di perinci kedalam unsureunsurnya yang lebih
kecil sampai beberapa kali. Wujud system budaya dari suatu unsure kebudayaan universal
berupa adat, dan pada tahap pertamanya adat dapat diperinci kedalam beberapa
komplek budaya.
Ketujuh
unsure kebudayaan universal itu masing-masing tentu juga mempunyai unsure
fisik, walaupun tidak ada satu wujud fisik untuk satu keseluruhan dari satu
unsur kebudayaan universal.itulah sebabnya kebudayaan fisik tidak perlu
diperinci, menurut empat tahap perincian tidak seperti yang dilakukan padaa
istem budaya dan system sosial. Namun semua unsure kebudayaan fisik sudah tentu
secara khusus terdiri dari benda-benda kebudayaan.
Ada
beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsure
kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
a.
Melville J.
Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: alat-alat teknologisistem
ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik
b.
Bronislaw
Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: sistem norma sosial yang
memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri
dengan alam sekelilingnya, organisasi ekonomi, alat-alat dan lembaga-lembaga
atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan
utama), dan organisasi kekuatan (politik).
2.5
7
Unsur Kebudayaan Dalam Antropologi Masyarakat Kota Tegal
2.5.1
Sistem Religi
Sebagian
besar penduduk Tegal beragama Islam dan mayoritas tetap
mempertahankan tradisi Kejawen yang dikenal dengan
istilah abangan. Agama lain yang dianut adalah Protestan,
Katolik, Hindu , Budha, Kong Hu Cu, dan puluhan aliran kepercayaan.
Mayoritas penduduk Tegal pada tahun 2012 beragama
Islam, yaitu sebanyak 1.579.393 orang (99,47%). Selebihnya sebanyak 4.573 orang
(0,29%) beragama Kristen, 2.546 orang (0,16%) beragama Katholik, 512 orang
(0,03%) beragama Hindu, 467 orang (0,03%) beragama Budha dan 179 orang (0,01%)
beragama Konghucu dan 73 orang beragama lainnya. Hidup berdampingan dan saling
toleransi antar pemeluk agama tetap terpelihara dengan baik.
Prasarana dan sarana peribadatan bagi masing-masing
pemeluk agama juga tersedia dan terpenuhi dengan jumlah yang memadai. Pada
tahun 2013 terdapat 958 Masjid dan 3.384 Mushola/langgar sebagai tempat ibadah
pemeluk agama islam, 9 Gereja Kristen tempat ibadah pemeluk agama Kristen, 10
Gereja Khatolik/Kapel tempat ibadah pemeluk agama Katholik, 1 Pura/Kuil/Sanggah
tempat ibadah pemeluk agama Hindu, dan 3 Vihara/Cetya/Klenteng tempat ibadah
pemeluk agama Budha/Konghucu.
Pondok pesantren sebagai basis pendidikan agama
Islam di Tegal pada tahun 2014 berjumlah 43 Ponpes dengan santri sebanyak 7.810
orang. Di samping itu terdapat pendidikan agama islam untuk anak-anak
yaitu Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) yang jumlahnya meningkat jika
membandingkan keadaan di tahun 2010 dan 2014. Jika di tahun 2010 berjumlah 714
unit, maka di tahun 2014 telah berkembang menjadi 837 unit. Sementara itu
jumlah kuota haji tiap tahunnya berubah. Tercatat pada tahun 2010 kuota haji di
Tegal sebanyak 1.027 orang, tahun 2011 menjadi 1.077 orang, dan tahun 2012 naik
menjadi 1.129 orang. Di tahun 2013 kuoata naik lagi menjadi 1.040 orang tetapi
turun menjadi 1.040 orang di tahun 2014.
2.5.2
Sistem Pengetahuan
Sistem
pengetahuan di Kota Tegal diantaranya sistem pengetahuan maritim, sistem
pengetahuan buatan dan sistem pengrtahuan bercocok tanam.
Kota Tegal memiliki perguruan tinggi
swasta Pancasakti Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Bhamada, Politeknik Harapan Bersama, Politeknik Purbaya, Politeknik Trisila Dharma, Akademi Bahasa Asing IEC Putra
Bangsa, Akademi Perikanan Baruna dan AMIK YMI Tegal.
Selain
itu belum efisien dan efektifnya sarana dan prasarana pendidikan baik fisik
maupun non-fisik untuk menunjang kelancaran dan perbaikan proses pembelajaran.
Tujuannya yaitu meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan. Hal ini, mengandung
makna adanya peningkatan jumlah dan mutu sarana dan prasarana pendidikan yang
diharapkan dalam meningkatkan kualitas proses kegiatan belajar dan mengajar.
2.5.3
Sistem Peralatan dan
Perlengkapan Hidup Manusia
Transportasi Kota Tegal dilalui
jalan negara yang menghubungkan kota Pekalongan-Purwokerto,
Purwokerto-Temangggung-Magelang/Semarang, serta
jalan lintas selatan Bandung-Yogyakarta-Surabaya. Wangon
merupakan persimpangan jalur Yogyakarta-Bandung dan Tegal-Cilacap.Angkutan umum
bis antarkota diantaranya jurusan Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta/Solo.
Selain itu juga terdapat jalur kereta api lintas
selatan Jakarta-Cirebon-Purwokerto-Yogyakarta-Surabaya. Di antara kereta api
yang melintasi Tegal adalah: Bima (Jakarta Kota-Surabaya Gubeng), Argo Lawu (Jakarta Gambir-Solo Balapan).
Alat
–alat dapur yang sebagian besar digunakan oleh masyarakat Kota Tegal dengan
filosofinya diantaranya adalah.
a.
Ilir merupakan
kipas yang terbuat dari anyaman bambu melambangkan seseorang yang sudah
berkeluarga agar dapat membedakan perbuatan baik dan buruk sehingga dapat
mengambil keputusan yang bijak saat sudah berumah tangga.
b.
Cething adalah
alat yang digunakan untuk tempat nasi terbuat dari bambu. Maksudnya bahwa
manusia hidup di masyarakat tidak boleh semunya sendiri tanpa mempedulikan
orang lain dan lingkunganya.Manusia adalah mahluk sosial yang butuh orang lain
c.
Kukusan adalah
alat untuk menank nasi yang terbuat dari anyaman bamboo berbentuk kerucut yang
mempunyai arti kiasan bahwa seseorang yang sudah berumah tangga harus berjuang
untuk menckupi kebutuhan hidup semaksimal mungkin.
d.
Centhong adalah
alat untuk mengambil nasi pada saat nasi diangi, yang terbuat dari kayu atau
hasil tempurung kelapa. Maksudnya seorang yang sudah berumah tangga mampu
mengoreksi diri sendiri atau introspeksi sehingga ketika mendapatkan
perselisihan antara kedua belah pihak (suami dan istri) dapat terselesaikan
dengan baik. Selalu mengadakan musyawarah yang mufakat sehingga terwujudlah
keluarga yang sejahtera, bahagia lahir dan batin.
e.
Irus adalah
alat untuk mengambil dan mengaduk sayur yang terbuat dari kayu atau tempurung
kelapa. Maksudnya ialah sesorang yang sudah berumah tangga hendaknya tidak
tergiur atau tergoda dengan pria atau wanita lain yang dapat mengakibatkan
retaknya hubungan rumah tangga.
f.
Siwur adalah
alat untuk mengambil air terbuat dari tempurung kelapa yang masih utuh dengan
melubangi di bagian atas dan diberi tangkai. Siwur merupakan kerata basa yaitu,
asihe aja diawur – awur. Artinya, orang yang sudah berumah tangga harus
dapat mengendalikan hawa nafsu, jangan suka menabur benih kasih saying kepada
orang lain.
g.
Saringan ampas
atau kalo adalah alat untuk menyaring ampas terbuat dari anyaman
2.5.4
Sistem Mata Pencaharian
Hidup dan Sistem – Sistem Ekonomi
Perdagangan
dan jasa merupakan sektor utama perekonomian kota Tegal. Kota ini menjadi
tempat pengolahan akhir dan pemasaran berbagai produk dari kawasan Jawa Tengah
bagian barat. Usaha kecil dan menengah yang cukup pesat kemajuannya adalah
industri logam rumahan di kawasan jalan Cempaka, dan kerajinan batik Tegalan di
kelurahan Kalinyamat. Untuk mendukung denyut perekonomian, pemerintah Kota
Tegal telah membangun Pusat Promosi dan Informasi Bisnis (PPIB).
Iklim
investasi yang cukup sejuk mengundang banyak investor luar daerah menanamkan
modalnya di kota ini. Maka tak mengherankan, dalam kurun waktu 5 tahun sejak
2001, telah berdiri beberapa pusat perbelanjaan antara lain Pacific Mall, Rita
Mall, Dedy Jaya Plaza, Marina Plaza, dan Pusat grosir Moro.
2.5.5
Sistem Organisasi
Kemasyarakatan
Kota Tegal terdiri 4 kecamatan,
yakni Tegal Barat, Tegal Timur, Tegal Selatan, dan Margadana. Balai kota Tegal
semula menempati gedung yang kini digunakan untuk gedung DPRD Kota Tegal. Namun
sejak tahun 1985, pusat pemerintahan dipindahkan ke bekas pendopo Kabupaten
Tegal, yakni di kawasan alun-alun.
Dalam
setiap masyarakat selalu dijumpai upacara-upacara yang biasa dikenal dengan
istilah upacara adat-istiadat. Pengertian adat istiadat yang dimaksud yaitu
berbagai aturan, kegiatan, dan kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun
dan menjadi simbol bagi masyarakat pendukungnya. Penggunaan bahasa dalam ranah
adat yang dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada adat-istiadat yang erat
kaitannya dengan upacara-upacara kelahiran, pernikahan, dan kematian.
Pada
upacara perkawinan penggunaan baju dipengaruhi oleh mempelai yang melangsungkan
pernikahan. Apabila mempelai berasal dari sesama etnis Jawa lazimnya digunakan
bahasa Jawa. Sebaliknya, apabila kedua mempelai berlainan etnis, mereka
menggunakan bahasa indonesia . Penggunaan basasa Jawa dalam upacara perkawinan
selain pada upacara akad nikah, juga dalam sambutan-sambutan yang disampaikan
dari pihak mempelai.
Pada
upacara kematian penggunaan baju lebih banyak dijumpai pada masyarakat
pedesaan. Pada masyarakat perkotaan terutama dari golongan kelas menengah ke
bawah juga terdapat pemakain baju dalam upacara tersebut.
2.5.6
Bahasa
Bahasa Tegal adalah alat tutur dan sarana komunikasi yang berakar dari
entitas masyarakat Kabupaten/Kota Tegal serta sebagian masyarakat Kab.Brebes
dan Pemalang. Bahasa ini hidup dan berkembang selama berabad-abad sebagai
turunan dari bahasa Jawa Kuno,sebagaimana bahasa-bahasa Jawa yang lain, yang
berada di wilayah Jogyakarta, Surakarta,Semarang,Kedu Rembang, Surabaya,
Malang, Banyumas, Cirebon dan Banten (Poerwadarminta 1953).
Bahasa-bahasa tersebut memiliki derajat kerumitan dan keunikan
masing-masing.Halus dan kasar sebuah bahasa sebenarnya tergantung siapa
penuturnya dan dalam kontek atau suasana apa si penutur berkomunikasi.
Wilayah
pengguna Bahasa Tegal karena posisinya yang jauh dari pusat budaya kraton
nyaris tidak tersentuh dengan apa yang disebut “budaya adiluhung”.Masyarakat
Tegal memiliki bahasa dan budaya Jawa tersendiri yang lebih demokratis dan
a-feodalistik.Bahasa Tegal tidak mengenal strata (tingkatan) ketiga yang
disebut “kromo inggil”,tetapi hanya mengenal “ngoko” dan “bebasa”. Bahasa Tegal
menjadi bahasa yang terbuka dan mudah menerima serapan bahasa asing.Bahasa
Tegal juga tidak pernah diajarkan di sekolah,sehingga bahasa ini berkembang
dengan liar,tanpa memiliki paramasastra dan ejaan yang baku.
Strata
bahasa yang diikuti dengan diskriminasi strata sosial, yakni adanya masyarakat
golongan “priyayi” dan golongan “rendah” menyebabkan Bahasa Tegal mengidap
beban budaya dengan stigmatisasi sebagai bahasa yang kasar,tidak punya
unggah-ungguh dan tatakrama.Padahal setiap etnis dan bahasa ibu memiliki
karakter masing-masing, bagaimana bahasa tersebut memiliki ungkapan-ungkapan
honorifik,sebagai penghormatan kepada lawan bicara.Bahasa Tegalpun memiliki
ungkapan honorifik,yang khas dan spesifik,tidak sama dengan bahasa Jawa baku[6].
Bahasa tegal memiliki kemiripan
dengan bahasa Banyumas (ngapak) yaitu dalam kosa kata. Namun kebanyakan
masyarakat Tegal enggan disebut sebagai orang ngapak, sebab nyata-nyata
dialeknya berbeda. Masyarakat yang menggunakan bahasa Tegal meliputi: bagian
utara kabupaten Tegal, kota Tegal, bagian barat kabupaten Pemalang, dan bagian
timur kabupaten Brebes. Kongres bahasa Tegal pertama digelar oleh pemerintah
kota Tegal pada tanggal 4 April 2006, di hotel Bahari Inn. Acara yang digagas
oleh Yono Daryono tersebut menghadirkan beberapa tokoh antara lain SN Ratmana
(cerpenis), Ki Enthus Susmono (dalang Tegal), Eko Tunas (penyair Tegal). Tujuan
digelarnya kongres itu adalah untuk mengangkat status dialek Tegalan menjadi
bahasa Tegal.
2.5.7
Kesenian
Berikut
adalah beragam kesenian dari masyarakat tegal yang masih terus dilestarikan
sampai sekarang ini :
a. Tari Topeng
Endel
Pada sekitar tahun 1950-1960 tari
topeng Endel mengalami masa puncak kejayaan, yang
kemudian surut kembali. Pada tahun 1980 oleh Dinas Kebudayaan
tari topeng Endel diangkat keberadaannya
untuk lebih mudah diingat dan masih dapat dikaji lebih lanjut bentuk penyajiaannya. Pada tahun 1987 oleh kepala seksi kebudayaan kabupaten Tegal,
para seniman dan seniwati diminta
untuk mempelajari dan mengembangkan tari topeng Endel. Pada tahun 2004 oleh dinas pendidikan dan
kebudayaan kabupaten Tegal dibuat iringan dan rekaman gambar
yang dibuat dalam bentuk
VCD berbagai tari topeng Tegal dan kemudian disahkan oleh
bupati Tegal sebagai tarian khas
kabupaten
Tegal, salah satunya adalah tari topeng Endel yang merupakan kekayaan khasanah budaya nasional.
Sampai saat ini belum
diketahui secara pasti
sejarah
kesenian
tari topeng Endel yang pasti di Tegal. Ada pula yang berpendapat bahwa
Tari topeng Endel bearasal
dari daerah Tegal berasal
dari daerah Cirebon dan ada
pula sebagian berpendapat dari daerah Losari Kabupaten Brebes yang selanjutnya bercampur dengan budaya Tegal itu sendiri.
Menurut sejarah babat Tegal, daerah Tegal termasuk dalam
jajahan
Majapahit. Pada masa itu
Majapahit menjadi pusat segala kegiatan baik mengenai
pemerintahan,
hukum, perundang-undangan,
pendidikan, pertanian, pelayaran, keamanan, dan budaya.
Gambar
2.1 Kesenian Tari Tpoteng Endel, Tegal, Jawatengah
|
Dalam pertunjukan pedalangan atau pewayangan Tegal sebelum masuk kejudul ceritera satu malam, muncul pementasan Endel
dulu sebelum jejer atau awal suatu adegan Patih dan Ratu
keluar. Endel menggambarkan seorang pembantu yang pekerjaannya menari untuk menghibur Ratu. Endel
merupakan tari
pembuka sebelum acara inti ditampilkan yaitu tampilnya Patih dan Ratu, yang akhirnya tercipta tari topeng Patih.
Jadi dapat dijelaskan bahwa bentuk penciptaan gerak tari topeng Endel didasari dari penyajian wayang golek
Tegal, yang sebelum pementasanya tersebut disajikan terlebih dahulu dengan diawali pembukaan menggunakan tari wayang golek Endel. Dalam penyajian gerak tari topeng
Endel didasari dari
bentuk gerak wayang golek Tegal yang terlihat pada gerakan pentangan yang tinggi, lurus dan patah-patah.
1) Bentuk Pertunjukan kesenian
tradisional tari topeng Endel
Adapun bentuk kesenian tari topeng Endel ini merupakan perwujudan dari tiga unsur pendukung antara lain: pemain musik, penari dan wujud topeng Endel. Dalam struktur
penyajian kesenian
tradisional tari
topeng Endel
tidak pernah berubah.
Dalam pertunjukan
tari topeng Endel tidak mengandung
makna tertentu namun unsur
keindahan dalam gerak sangat diutamakan sehingga mampu membawakan keindahan, kedinamisan,dan kelincahan dalam menyajikan
gerak
tari
topeng Endel. Contohnya
pada gerak
lontang, jeglong,
egolan
yang
memberi arti
Endel
yang gendil
dan lincah.
Pada pertunjukan tari topeng Endel
dijajakan dengan cara babakan yaitu pertunjukan
yang hanya menampilkan
bagian-bagian
atau babak- babak sebuah tarian tidak secara utuh. Babakan tari
topeng Endel terdiri
dari dua babak, yang pertama disebut kosongan yang mempunyai
arti tarian biasa dengan
gerakan spontan,
tidak menggunakan topeng untuk mendatangkan penonton.
Babak kedua adalah
tarian yang disesuaikan dengan topeng yang
dikenakan dengan permintaan
pihak penyelenggara pesta.
2) Ragam gerak tari topeng
Endel
Ragam gerak tari topeng
Endel
yang
menjadi ciri
khas adalah sebagai berikut :
a) Sikap Pada
Sikap Pada dengan tangan menentang lurus
dengan tangan kiri menekuk
nyiku, sikap topeng gedheg (menggelengkan
kepala), dan kaki mendhak, tanjak kanan.
b) Sikap Giyul (egolan)
Sikap pantat egol atau goyang dengan sikap kaki jejer jenjeng,
tangan kanan dan kiri lurus digerakan secara
bergantian, sikap topeng tolehan kekanan dan kekiri mengikuti gerakan tangan.
c) Sikap Jeglong
Sikap jeglong
yaitu sikap lutut menekuk,
kaki tanjak
kanan, tangan kiri
menekuk dan
tangan kanan trap
sampur, sikap topeng
gedheg mengikuti jeglong.
d) Sikap Lontang
Sikap kedua tangan lambean didepan dada, sikap kepala
tolehan,
sikap kaki jalan di
tempat dan sikap badan sebagai proses dari gerakan
tangan dan kaki.
3) Alat musik tari topeng Endel
Dalam kesenian tari topeng Endel iringan musiknya sangat mendukung
karena tanpa adanya iringan musik maka pertunjukan
tidak dapat dilaksanakan. Ciri
khas iringan atau gending tegalan yaitu menggunakan gending Ilo-ilo itek dan gending ombak banyu Alat musik kesenian tari topeng Endel mempunyai ciri khas Tegalan dengan menggunakan gending tegalan yang telah mengalami banyak perubahan.
Dahulu kesenian tari topeng Endel
hanya menggunakan empat alat musik saja
yaitu kendang,
bonang, saron, balongan dan peking. maka para seniman menjual jasanya dengan cara mengamen (mbarang) keliling desa pada saat
upacara panen padi. Bunyinya cenderung membosankan, monoton maka
banyak peralatan musik
yang
ditambahkan.
Alat
musik yang digunakan pada
saat sekarang
menggunakan
seperangkat
gamelan
lengkap antara lain:
a) Bonang yaitu alat musik jawa
yang
berbentuk pencon yang dalam memukulnya menggunakan pemukul dengan dua tangan.
b) Saron yaitu alat musik Jawa yang berbentuk bilahan yang memukulnya mengikuti notasi musiknya.
c) Kendang yaitu alat musik yang terbuat dari kulit, dengan cara dipukul.
d) Demung yaitu alat musik Jawa berbentuk bilahan, cara memukulnya mengunakan alat
pemukul dengan satu
tangan,
sedangkan
tangan satunya lagi memegang bilahan yang telah dipukul.
e) Kenong
f) Kethuk
g) Kempul
h) Gong
Dalam iringan tari topeng Endel peralatan gamelan yang sangat dominan adalah kendang untuk mendukung sehingga
nampak lebih
dekat dalam suasana dan kelincahan agar nampak lebih dinamis.
b. Mantu Poci
Mantu Poci
adalah salah satu kebudayaan di wilayah Tegal (Jawa Tengah), dengan cara inti
melangsungkan 'pesta perkawinan' antara sepasang poci tanah berukuran raksasa.
Mantu poci
pada umumnya diselenggarakan oleh pasangan suami istri yang telah lama berumah
tangga namun belum juga dikarunai keturunan. Seperti layaknya pesta perkawinan,
mantu poci juga dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan undangan. Lengkap dengan
dekorasi, sajian makanan, dan beraneka pementasan untuk menghibur para undangan
yang hadir. Tak lupa pula, di pintu masuk ruang resepsi disediakan kotak
sumbangan berbentuk rumah.
Selain sebagai harapan agar pasangan suami
istri segera mendapatkan keturunan, mantu poci juga bertujuan agar
penyelenggara merasa seperti menjadi layaknya orang tua yang telah berhasil
membesarkan putra putri mereka, kemudian dilepas dengan pesta besar dengan
mengundang sanak saudara, dan relasi.
Gambar
2.2 Mantu Poci
|
c. Tradisi Labuhan
Tradisi Labuhan merupakan ritual
melarung atau menghanyutkan sesaji kelaut
yang dilaksanakan oleh masyarakat
di desa Tegalsari
Tegal. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada tanggal
satu Sura. Masyarakat nelatan desa
Tegalsari meyakini bahwa
tanggal satu Sura adalah
hari yang tepat
untuk melakukan ritual
suci.Mereka percaya pada pergantian tahun dalam penanggalan Jawa
bersamaan dengan hari meninggalnya ki
Budug Basuh, tetapi menurut legenda Ki
Budug Basuh kalah dalam perang merebutkan Dewi Sri kemudian kembali nlagi
kelaut dan kemudian menjadi penguasa laut. Hal inilah yang mendasari tiap tahun
pada tanggal satu Suro masyarakat
nelayan di desa Tegalsari
menyelenggarakan Tradisi Labuhan
atau sedekah laut untuk menghormati dan memohon perlindungan dari
penguasa laut. Tempat Tradisi Labuhan tepatnya di pelabuhan desa Tegalsari Tegal.
Tradisi Labuhan di deesa Tegalsari
Tegal dilaksanakan setiap tahun pada tanggal satu Sura. Pemilihan
waktu ini disesuaikan dengan keyakinan masyarakat
nelayan desa
Tegalsari bahwa tanggal
satu Sura adalah
tanggal keramat dalam penanggalan
Jawa,
dimana
tanggal
tersebut
dipercaya mempunyai daya magis yang sangat tinggi.
Inti dari pelaksanaan Tradisi
Labuhan di desa Tegalsari ini adalah untuk membuang segala bencana, kejahatan
dan malapetaka sehingga memperoleh keselamatan dan kebahagiaan, sekaligus untuk
memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi warga masyarakat nelayan desa
Tegalsari. Dengan melakukan Ritual ini
masyarakat akan merasa tenang, ayem tentrem. Sebaliknya apabila
masyarakat tidak melaksanakan ritual
maka akan timbul rasa takut akan adanya musibah, rasa takut akan diganggu roh halus yang jahat. Tradisi Labuhan juga
berhubungan dengan pemujaan dan
penghormatan kepada Allah SWT dan para
leluhur ini merupakan
permohonan untuk memperoleh
keselamatan dan kebahagiaan
dunia dan akhirat dan rejaki yang melimpah.
Isi
doa yang dilantunkan
dalam Tradisi Labuhan
berisi permohonan kepada Allah
untuk mengampuni dosa, menjauhkan diri dari segala kemungkaran, memberikan
rahmat serta hidayahnya dan rejeki yang banyak. Sehingga tujuan
utama masyarakat nelayan Desa
Tegalsari Tegal selain untuk
mengucap syukur atas
segala Karunia Allah
juga memohon perlindungan dari
Allah, menjauhkan dari
segala mara bahaya
dan mendapatkan rejeki yang melimpah, sehingga dapat membawa kedamaian,keselamatan
dan kesejahteraan kepada seluruh warga
masyarakat.
d. Kentrung
Gambar 2.3 Kesenian Kentrung
|
Penggunaan
Kentrung ditujukan agar anak tidak bosan mendengarkan nasehat dan tidak merasa
digurui atau diperintah, juga dimaksudkan agar hati anak selalu bahagia ketika
mendengarkan nasehat. Perasaan bahagia ini yang menyebabkan anak cepat memahami
isi syair. Dalam perkembangannya, syair Kentrung juga berisi pesan kebaikan
tentang hidup sosial, pendidikan, hubungan cinta muda-mudi, juga cerita lucu.
Seiring
dengan perkembangan zaman, kini keberadaan Kentrung sangat memprihatinkan,
bahkan, hampir punah. Dahulu, hampir di setiap pedesaan di Kabupaten Tegal
ada Kentrung, kini pentas dan senimannya tak lagi dijumpai. Tak ada lagi orang
yang mau mempelajarinya. Generasi muda tak lagi suka, karena
Kentrung dianggap kuno. Generasi muda sekarang lebih menyukai musik pop dan
musik Barat.
Dengan
hilangnya seni Kentrung, maka hilang pula pesan-pesan dan nilai-nilai kebaikan tradisional
dalam syair Kentrung. Padahal, nilai-nilai itu masih sangat dibutuhkan dalam kehidupan
masyarakat modern sekarang. Oleh karena itu, kesenian Kentrung harus
dilestarikan (Jawa: diuri-uri), dijaga, bahkan harus dibuat pelatihan Kentrung
untuk menciptakan generasi penerus.
e.
Batik Tegalan
Asal-usul
batik tegal tidak bisa dipisahkan dari pengaruh Mataram, yaitu
sejak munculnya budaya berpakaian batik yang dibawa Raja Amangkurat I (Sunan
Amangkurat Mas dari Keraton Kasunanan Surakarta) ketika dalam pelarian ke Tegal
Arum. Amangkurat yang saat itu menyusuri pantai utara, membawa
pengikut yang diantaranya perajin batik. Perkembangan batik tulis tegal
kemudian lebih berkembang di tangan R. A. Kardinah sebagai isteri Bupati Tegal,
R. M. Sajitno Reksonegoro IX yang menjabat tahun 1908-1936. Pada tahun
1914, Kardinah mendirikan sekolah putri Wisma Pranawa, orang biasa menyebutnya
“Sekolah Kepandaian Putri” dimana salah satu mata pelajaran dalam kurikulum
mengajarkan cara membatik. Dari sini batik tulis tegal menjadi lebih berkembang
di masyarakat, sehingga menjadi produk rakyat (Untung : 2009).
Tegal
merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah dimana letaknya dianggap
strategis, karena berada di jalur pantura dan terletak di antara jalur
Jakarta-Surabaya maupun Jakarta-Solo. Letaknya yang strategis membuat Kota
Tegal memiliki beraneka ragam budaya, baik budaya asli maupun budaya serapan yang
dibawa oleh para musafir.
Salah
satu budaya yang hingga kini masih bertahan yaitu batik tulis tegal. Seperti
yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa dalam pembuatan karya tulis ini
penulis meneliti dua sentra batik yang ada di Kota Tegal, yaitu di Desa Bengle
dan Desa Dukuh Salam. Setelah diadakan penelitian pada dua tempat tersebut,
diketahui bahwa batik tulis tegal dapat dibagi kedalam dua macam, yakni batik
kidul dan batik lor. Batik kidul meliputi batik dukuh salam, batik pangkah,
batik tegal wangi dan batik pagianten. Sedangkan batik lor yakni meliputi batik
bengle, batik pasangan, serta batik pesisiran di Kabupaten dan Kota Tegal
lainnya kecuali batik tegal wangi.
1) Batik Kidul
Batik
kidul lebih dikenal dengan corak warnanya yang khas, yakni menggunakan warna
putih, coklat dan hitam. Inilah yang menjadi ciri khas batik kidul. Corak
ini mirip dengan corak asli dari keraton.
Rata-rata
perajin batik kidul enggan untuk membuat batik dengan corak warna lain karena
dinilai bukan merupakan ciri khas dari daerah mereka. Selain itu, mereka juga
saat ini belum dapat memproduksi batik dengan corak yang warna-warni, hal ini
disebabkan karena mereka belum mahir melakukan ‘proses colet’ yang mana akan
membuat keragaman warna dari kain batik itu sendiri.
2) Batik Lor
Batik lor memiliki komposisi warna yang
beragam, sehingga batik ini dapat digolongkan ke dalam batik corak pesisiran.
Para perajin batik daerah ini, berusaha membuat kain batik dengan motif dengan
menyesuaikan selera konsumen. Sehingga hal ini menyebabkan batik lor lebih
berkembang dari batik kidul.
Gambar 2.4 Batik Tegalan
|
f.
Wayang Golek
Tegalan
Asal mula
wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap,
baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari
wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit.
Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan
Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat
dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan
bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah
70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya
dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya
menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya
wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang
golek.
Gambar
2.5 Ki Enthus Susmono
|
Pada mulanya
yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut
wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu
(cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut
sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar.
Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita
yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan
waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek
dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840
(Somantri, 1988).
Gambar 2.6 Wayang Golek Tegal
|
2.5 Budaya Tegal
Sebagai Sebuah Kearifan Lokal
Pakar
ilmu-ilmu sosial menangkap perilaku pola hidup masyarakat tradisional
dengan mendefinisikannya menjadi kearifan budaya lokal. Mereka mengatakan,
kearifan budaya lokal adalah cara dan praktik yang dikembangkan oleh sekelompok
masyarakat, yang berasal dari pemahaman dan interaksi mendalam akan lingkungan
tempat tinggalnya. Kearifan budaya lokal berasal dari masyarakat untuk
masyarakat yang dikembangkan dari generasi ke generasi, menyebar, menjadi milik
kolektif, dan tertanam di dalam cara hidup masyarakat setempat. Masyarakat
memanfaatkan tata atur kearifan lokal untuk menegaskan jatidiri dan
bertahan hidup.
Kearifan
budaya lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang
dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka
terhadap alam dan budaya sekitarnya. (Caroline
nyamai-kisia, 2010)
Kearifan
budaya lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau
ajeg dalam suatu daerah. Kearifan budaya lokal merupakan perpaduan antara
nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan budaya
lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi
geografis dalam arti luas. Kearifan budaya lokal merupakan produk budaya masa
lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun
bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat
universal. (Gobyah. 2003).
Kearifan
lokal budaya tegal dapat ditelusuri melalui berbagai kakjian, misalnya bahasa,
kesenian tradisional, peninggalan sejarah, cerita rakyat, tatacara dan upacara,
bahkan makanan dan busana. Masih banyak kearifan lokal lainnya yang perlu
diadakan kajian dan inventarisasi guna menemukan nilai-nilai luhur dan filosofi
yang terkandung didalamnya. (Utomo, M.H, 2011).
BAB 3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat
pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Kota Tegal
secara wilayah adminstratif berbatasan langsung dengan Kabupaten Brebes dan
Kabupaten Tegal. Sedangkan secara geografis kota Tegal terletak pada posisi
109°08’ - 109°10’ Bujur Timur dan 06°50’ - 06°53’ Lintang Selatan dengan luas
wilayah yang relatif sempit bila dibandingkan dengan dengan wilayah sekitar yakni
sebesar 39,68 Km² atau 0,11% dari luas Provinsi Jawa Tengah, setelah ada
penambahan dari sebagian wilayah Kabupaten Brebes.
Setelah kedatangan Ki
Gede Sebayu di Tlatah Tegal terlihat kemajuan kehidupan masyarakat, baik berupa
fisik maupun rohani. Semuanya tidak lepas dari peran Ki Gede Sebayu dan para
pengikutnya. Keberhasilan Ki Gede Sebayu meningkatkan
taraf hidup rakyat tlatah Tegal terdengar oleh Panembahan Seopati Mataram.
Penguasa Mataram itu kemudian mengutus Mantri Manca Praja ke Tlatah Tegal untuk
menganugerahkan pangkat dan kedudukan kepada Ki Gede Sebayu. Akhirnya pada
tahun 1601 Masehi atau 1523 Caka Ki Gede Sebayu oleh utusan Panembahan Seopati
dari Mataram diangkat menjadi Juru Demung atau penguasa lokal Tlatah Tegal.
Unsur
Kebudayaan Dalam Antropologi Masyarakat Kota Tegal yaitu Sistem Religi, sebagian besar penduduk Tegal
beragama Islam dan mayoritas tetap mempertahankan
tradisi Kejawen yang dikenal dengan istilah abangan. Agama
lain yang dianut adalah Protestan, Katolik, Hindu , Budha, Kong
Hu Cu, dan puluhan aliran kepercayaan. Sistem Pengetahuan Kota Tegal
memiliki perguruan tinggi swasta Pancasakti Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Bhamada, Politeknik Harapan Bersama, Politeknik Purbaya, Politeknik Trisila Dharma, Akademi Bahasa Asing IEC Putra
Bangsa, Akademi Perikanan Baruna dan AMIK YMI Tegal. Sistem
Mata Pencaharian Hidup dan Sistem – Sistem Ekonomi, perdagangan dan jasa merupakan sektor utama
perekonomian kota Tegal. Kota ini menjadi tempat pengolahan akhir dan pemasaran
berbagai produk dari kawasan Jawa Tengah bagian barat. Bahasa Tegal adalah alat tutur dan sarana komunikasi yang berakar dari
entitas masyarakat Kabupaten/Kota Tegal serta sebagian masyarakat Kab.Brebes
dan Pemalang. Kesenian kota tegal diantaranya Tari Topeng Endhe, mantu
poci, tradisi labuhan, kentrung, batik tegalan, wayang golek tegalan dll.
DAFTAR PUSTAKA
Soetjiptoni. 2007. Ki Gede Sebayu Pendiri Pemerintahan Tegal tahun
1585-1625. Tegal: Citra Bahari Animal
Koentjaraningrat, 1974, Pengantar
Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Ratna, N.K, 2005, Sastra dan
Cultural Studies. Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Soemarno. 1984. Tegal Sepanjang
Sejarah. Tegal: Kantor Debdikbud Kabupaten Tegal
Soepoetro. 1959. Tegal dari masa
ke masa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementrian PP dan
K
Su’ud Abu, 2003. Semangat
Orang-orang Tegal. Tegal: Pemerintah Kota Tegal dan Masscom Media.
[1]
Koentjaraningrat, 1974, Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
[2]
Ratna, Nyoman Kutha, 2005, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi
dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[3]
Harris, Marvin, 1999, Theories of Culture in Postmodern Times. New York:
Altamira Press
[4]
Suparlan, Parsudi, 1981/82, “Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama: Agama sebagai
Sasaran Penelitian Antropologi”,Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia
(Indonesian Journal of Cultural Studies), Juni jilid X nomor 1. Jakarta:
Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
[5]
Koentjaraningrat, 1974, Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
[6]
Disampaikan dalam Seminar Budaya Kearifan Lokal Dalam Arus Modernisasi IMT Komisariat
IAIN Walisongo Semarang Di Aula STIBN – Slawi Kabupaten Tegal (2 Juni 2011)
[7]Yusuf
Efendi, Pamong Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan di Tegal